"Tu, wa, ga, pat!"
Jreng!
Sello menyapukan jarinya di atas senar gitar listrik. Idan menabuhkan stiknya ke drum. Sementara Jujun siap-siap menyambut mereka dengan petikan senar bass. Mereka tergabung dalam grup band bernama D'BandIt yang lahir sejak pertengahan semester kedua di kelas X.
Semua berawal dari penunjukan sepihak dari panitia prom nite. Penunjukan di waktu yang mepet itu memang sengaja dilakukan panitia atas permintaan murid laki-laki kelas XII. Mereka ingin membalas sakit hati mereka kepada Sello karena telah menciptakan pusaran perhatian para gadis lebih tertuju padanya, termasuk pacar mereka. Mereka sudah siap sedia dengan tumpukan tomat dan telur busuk yang disembunyikan di bawah meja yang nantinya akan dilemparkan pada band yang mereka sebut D'amatiran.
Cuma begitu satu-satunya cara balas dendam yang efektif dan sangat halus. Mereka pun sukses melakukannya. Sello, Idan dan Jujun menjadi bahan olok-olokan sepanjang acara berlangsung. Namun justru sejak saat itulah mereka bangkit dan konsisten melatih kemampuan bermusik mereka. Nama D'amatiran mereka buang dan menggantikannya dengan D'BandIt.
Melihat besarnya animo murid-murid dalam bermain musik, pihak sekolah merevitalisasi perlatan musik, menggantikannya dengan yang baru dan kemudian ruang bermusik pun direnovasi. Pihak sekolah melalui guru kesenian menetapkan sistem berjadwal untuk latihan. Masing-masing grup mendapat jatah latihan satu hari untuk satu jam setengah usai pelajaran sekolah. D'BandIt mendapatkan jatah latihan hari Kamis. Di luar jadwal tersebut, mereka melanjutkan latihan dengan menyewa kamar studio musik langganan mereka setiap malam selasa dan malam sabtu.
Jenis musik yang diusung D'BandIt adalah Pop Rock Metal. Mereka melatih lagu-lagu dari band Aerosmith, Avenged Sevenfold, Scorpion dan kadang lagu dari band lokal seperti Noah, Ungu, Slank dan lainnya. Sejak penampilan mereka yang memalukan dulu, mereka belum pernah menunjukkan aksi panggung mereka meski sekedar ngejam bersama band lain. Meskipun begitu mereka tetap latihan mempersiapkan band mereka untuk mengikuti acara festival-festival atau lomba yang diadakan pihak label musik dan komunitas musik lainnya. Entah kapan. Yang penting mereka terus berlatih.
"Stop, stop, stop!" Idan urung menabuh drum. "Lo mulai dari kunci mana, Bro?"
"Salah, ya?" Sello balik bertanya. Ekspresinya seperti orang bodoh.
Idan menepuk dahinya sambil geleng kepala. "Hadehh! Lagi mikirin apa sih lo? Vanda?"
"Pastinya," sambar Jujun.
Sello menarik wajahnya dan tersenyum kaku. Saat itu dia memang sedang memikirkan Vanda, tapi Lara lebih mendominasi. Dia heran melihat kedekatan mereka. Dia menduga Lara sedang berusaha membunuh karakternya untuk balas dendam. Karena tidak mampu melakukannya sendiri, Lara memanfaatkan Vanda. Lara pasti sudah meracuni pikiran Vanda dengan menjelek-jelekinya sehingga murid baru itu selalu menghindar saat didekati.
"Bukan begitu, bro. Apa kalian nggak merasa aneh melihat Vanda begitu dekat dengan Lara?"
"Biasa saja," jawab Jujun datar. "Memang sih mereka mirip beauty and the beast, tapi selebihnya biasa saja."
"Terus kenapa?" Idan balik tanya pada Sello sambil memainkan stik drum di sela-sela jemarinya. "Lo naksir Lara atau Vanda?"
"Vandalah," jawab Sello tegas dan lugas. "Lara buat lo aja."
Jujun melirik Idan penuh arti. "Sudah pernah dicoba tuh!"
Idan langsung menoleh dan menggeleng pelan seolah melarang Jujun bicara.
"Tapi ditolak." Jujun melanjutkan, lalu mengikik puas. Dia tak menggubris pelototan mata Idan yang mengancam.
"Serius?" Sello memandang Idan tak percaya. "Bahkan cewek low standard saja nolak lo. Gimana mau saingan sama gue? Ck, ck, ck, payah lo!"
Idan membanting stiknya ke drum dengan wajah kesal. "Cewek sialan!"
"Gimana ceritanya?" Sello urung mengutarakan praduganya terhadap Lara.
"Waktu itu..."
"Stop!" larang Idan. "Lo suka nggak valid kalau ngomong." Lalu dia menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya dan mulai bercerita. "Awalnya gue iseng saja mendekatinya sebagai bentuk keputusasaan gue yang selalu ditolak cewek." Diam sejenak, melirik Sello yang tersenyum geli. "Tapi kalian tahu sendiri Lara itu seperti apa orangnya, kaku banget mirip zombi." Dia tegak dari duduknya dan memperagakan cara Lara berjalan yang kaku secara berlebihan, lalu mengekeh sendiri. "Kira-kira begitulah. Kalian tahu, gue susah payah merancang skenario buat nembakinya. Gue pikir itu bakalan berhasil, eh, tahunya dia terlalu pintar, nggak bisa dibohongi. Dia menolak gue mentah-mentah. Tebal banget muka gue dibuatnya. Mana waktu itu ramai orang lagi."
"Di mana?" Sello penasaran.
"Kasih tahu nggak, ya?"
Sello memutar matanya.
"Taman Lawang!" celetuk Jujun asal.
"Di Banjir Kanal Timur." Idan mendekap mulutnya seketika, sadar telah kelepasan bicara. Ups!
Sello dan Jujun saling pandang, lalu tawa mereka meledak.
"Gila! Nggak modal banget lo ngajak cewek mojok di sana!" ucap Sello di sela tawanya.
Wajah Idan memerah. "Semoga saja Lara jadi pacar elo!" semprotnya.
"Amit-amit," balas Sello dan Jujun.
"Kalau gue lihat..."
"Eh, kerasukan Bu Rika lo?" potong Jujun.
"Ck," decak Idan, lalu melanjutkan ucapannya, "Kedekatan Vanda dan Lara itu sudah kayak magnet, lengket dan awet. Lara bakalan banyak tahu mengenai Vanda. Jadi, siapa pun di antara kita yang mau mendekati Vanda, harus melewati gerbangnya dulu. Tapi kalian tahu sendiri, nggak gampang mendekati Lara."
"Repot amat cara lo!" Sello keberatan. "Selama ini bidikan panah asmara gue selalu mengarah pada sasaran yang tepat. Ngapain juga muter-muter nggak jelas gitu?"
"Hmm," Idan memandangi Sello dengan mata mengerut. "Gue mau tahu, apa lo bisa mendapati Vanda dalam waktu tiga hari?"
"Taruhan nih ceritanya?" Sello merasa tertantang.
"Eits, gue nggak ikutan!" Jujun angkat tangan, geleng kepala.
"Lo jadi saksi saja," sambut Idan. "Gimana? Deal?" Menggerak-gerakkan alisnya kepada Sello.
"Siapa takut?" Sello menjawab.
Keduanya saling mendekat, lalu berjabat tangan.
"Deal!"
"Eh, taruhannya apa dulu, nih?" tanya Jujun.
"Yang kalah harus jadi budak Lara atau pacarnya selama sebulan," jawab Idan semangat.
"Kok Lara?" Jujun bingung.
"Dia juga ikut terlibat," jawab Idan.
"Gimana kalau dia nggak suka?" Sello meragukan taruhan itu.
"Itu urusan dia, tapi gue pikir dia bakalan senang dilayani atau jadian sama elo, Sel." Idan tersenyum jahil.
"Oke. Siapa takut? Kita lihat saja siapa yang jadi pacar dia nanti," ucap Sello sesumbar. Yang penting bukan gue, lanjutnya dalam hati sambil bergidik membayangi penolakan Vanda sewaktu pulang sekolah tadi siang.
***
Motor Kawasaki Ninja 250 SE melaju dengan kecepatan sedang, mengatur jarak dari mobil Honda Civic warna merah. Menguntit merupakan cara terakhir yang ditempuhnya bila personal aproach mengalami kegagalan. Biasanya hal itu hanya dia lakukan pada gadis yang jinak-jinak merpati. Tapi Vanda bukan merpati yang malu-malu saat didekati. Dengan latar belakang pernah tinggal di Australia, berbaur dengan kehidupan barat, sedikit banyak pastilah Vanda terpengaruh kehidupan di sana. Sello menaksir kalau Vanda bisa lebih liar dari Tasmanian Devil. Hanya saja Lara selalu membayang-bayangi Vanda layaknya hantu sehingga Sello mengalami kesulitan menjajakinya. Uh, lagi-lagi Lara!
Pada kasus-kasus penguntitan sebelumnya, dengan modus kesasar atau kebetulan lewat, gadis yang menjadi incaran terkagum-kagum pada usaha gigih Sello meskipun menyadari modus itu hanya trik belaka dan basi. Cara yang sama dia terapkan pada Vanda dengan berbekal alasan, "sedang mencari rumah teman". Entah alasan itu dapat meyakinkan Vanda atau tidak, tidak jadi soal. Yang penting alamat Vanda sudah terpampang nyata di matanya.
Sedan melambat dan berhenti di pinggir jalan. Pengemudinya yang cantik berseragam putih abu-abu keluar, tegak bersandar di pintu mobil menyidekapkan tangan di bawah dada. Rambutnya riap-riapan diterpa angin kering. Dengan ujung jarinya yang lentik, dia menyelipkan rambut ke telinga, menunggu pengendara motor yang mengutitnya keluar dari barisan kenderaan, lalu menepi dengan laju melambat.
Sello berhenti dan menghampiri. "Oh, hai!" Membuka penutup helm dan menyeringai. "Nggak nyangka, ya, kita ketemu di sini?"
Vanda tersenyum sinis sambil geleng kepala pelan. Tatapannya menyelidik. "Aku sangat mengenal tipe cowok gombal sepertimu."
"Terima kasih. Kuanggap itu pujian."
"Kau punya banyak waktu untuk mencari tahu di sekolah ataupun sosial media, mengapa harus repot-repot sampai menguntitku segala?"
"Siapa? Aku?" Sello belagak bego.
"So, begini cara Casanova kita saat mendekati cewek-cewek?"
Sello terkejut. Mati kartu gue. Pasti Lara yang kasih tahu.
"Maaf, aku sama sekali tidak tertarik sama kamu dan segala trik yang kamu lakukan. Sungguh. Sebaiknya hentikan usahamu. Apapun yang kaulakukan tidak membuat hatiku luluh. Percayalah. Sebelum kecewa sebaiknya kaumundur." Vanda mengucapkannya dengan tegas dan blak-blakan.
Sello tertohok. Belum pernah ada seorang gadis pun menolaknya selugas dan setegas itu, tapi dia suka perlawanan seperti itu. Itu artinya tantangan.
"Aizz, tahan dulu tuduhanmu itu, say. Jangan ge-er," elaknya tidak mau kehilangan muka. "Kita berjalan di arah yang sama dan aku tidak mau lancang mendahuluimu. Kau tahu, ladies first."
Vanda mencibir. "Oh, ya? Bukankah rumahmu di arah Selatan?"
Skak mat! Sello speechless.
Vanda tersenyum menang. Dia berbalik, membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Mesin mobil menyala. Perlahan-lahan kaca jendela bergerak turun. Dia menoleh sebentar ke celah jendela dengan senyum kemenangan masih terlukis di wajahnya.
"Lain kali cobalah yang lebih baik lagi," ucapnya dengan nada menyindir, lalu melambaikan tangan dan mobil pun meluncur ke jalan, meninggalkan Sello yang tegak seperti orang bodoh.
Tak berapa lama, Sello tersenyum senang menyadari ucapan Vanda. Ucapan itu berarti bahwa Vanda memberinya peluang untuk mendekatinya.
Pasti. Gue pasti mencoba lebih baik lagi dari sekarang.
***
Suara Crash Cymbals yang dipukul membawa Sello kembali ke studio. Dia terkejut, lalu pelototi Idan. "Kira-kira dong," ketusnya.
Idan dan Jujun saling pandang heran.
"Jadi latihan nggak, nih?" tanya Idan kemudian.
Sello garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Mood gue mendadak hilang."
"Yaelaaa... kacauu, kacau!" Idan beranjak dari posisinya. "Ada apa lagi, sih? Jangan bilang penyebabnya adalah taruhan kita tadi. Kalau lo nggak sanggup, lo boleh nyerah dari sekarang. Iya kan, Jun?"
Jujun mengangguk setuju.
"Nyerah? Sama lo?" Sello mencibir. "Nggak semudah itu! Sekali gue maju, gue pantang mundur selangkah pun. Catet, tuh!" Mendegut kasar.
Jujun mendecak. "Cewek melulu yang ada di otak kalian. Kalau begini terus kita bisa mempermalukan diri kita lagi nanti. Ayo, angkat 'senjata' kalian."
Mereka balik ke posisinya masing-masing dengan wajah menekuk.
"Tu, wa, ga, pat!"
Jrengg!!
Pintu studio terbuka. Petugas jaga studio masuk.
"Waktunya habis."
nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu
Comment on chapter Casanova