Read More >>"> Koma (Casanova) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Koma
MENU
About Us  

Muka Sello mendadak masam ketika hendak berpapasan dengan Lara di ujung koridor di simpang lorong toilet sekolah. Sikap Lara mendadak tegang dan canggung. Perubahan sikap itu membuat Sello tidak nyaman. Minta di-bully dia rupanya, pikirnya.

Di kalangan murid-murid SMU Cahaya Nusantara, Sello Refado dikenal playboy. Bahkan ada yang mencap dirinya secara berlebihan sebagai Casanavo. Dia tidak pernah komplain. Senang malah.

Pemberian label kepada dirinya bukan tanpa alasan. Secara keseluruhan, dia seperti paket menarik yang bila dilempar ke pasaran akan segera laku terjual. Yah, remaja lelaki itu dianugerahi paras rupawan dengan kulit putih bersih dan postur tubuh tinggi ramping namun berisi, yang membuat gadis-gadis sulit berkedip saat melihatnya pada pandangan pertama. Daya tarik lainnya ada pada sorot mata yang tajam dan lesung pipit yang terbentuk saat bibir merah padat merekahkan sebuah senyuman yang menawan. Sikap bersahaja, ramah, bersahabat dan juga cerdas segera menaikkan popularitasnya di sekolah. Para gadis pun berlomba-lomba untuk mendekatinya, berusaha menjadi pacarnya atau sekedar bicara dan pulang sekolah barsama.

Anehnya, sikap "malaikat" itu seolah tak pernah bisa diterapkannya pada Lara. Sikapnya berubah 180 derajat dalam sekejap jika bertemu dengan Lara seolah ada setan dari perut bumi lapis ketujuh merasukinya. Dia menganggap Lara tidak lebih sebagai objek bullying dan lelucon. Anehnya lagi, tak seorangpun menyalahkan sikapnya. Murid-murid cenderung tutup mata dan latah mengikuti sikap buruknya terhadap Lara. Semula dia mengira akan mendapat perlawanan dari Lara berupa pembalasan serupa atau melaporkan perbuatannya kepada guru-guru. Lara tampaknya tidak mempermasalahkan bullying tersebut.

Karena tak ada reaksi, perlahan-lahan Sello mulai mengurangi bullying-nya. Tapi bukan itu alasan sesungguhnya. Dia cuma tak ingin perasaan benci yang ada pada Lara menumbuhkan bulir-bulir cinta di hati gadis itu. Bukankah pepatah ada yang bilang bahwa cinta berawal dari benci? Dia tak mau itu terjadi dan dia bisa memastikan hal itu takkan pernah mungkin terjadi. Dia sudah membuat standar tinggi untuk sosok gadis yang akan dicintainya. Dan Lara tidak masuk hitungan meski dunia kiamat sekalipun.

Pada akhirnya kekhawatiran itu membuatnya selalu mewaspadai setiap gerak-gerik Lara dan selalu mencurigai apapun yang dilakukannya. Pernah suatu ketika usai bermain bola basket di lapangan yang berada di tengah sekolah, dia memergoki Lara seperti sedang memperhatikannya.

"Perasaan si nerdes memperhatikan gue terus," beritahunya pada Idan dan Jujun, dua sohib kentalnya.

Idan, murid berpostur kurus tinggi dengan wajah tirus berminyak dipenuhi jerawat, menghentikan putaran bola basket di ujung jarinya yang ceking. Dia celingak-celinguk mencari orang yang dimaksud. Mukanya makin berkilat karena keringat.

"Siapa?"

"Siapa lagi? Ya, pacar lo!" Sello menunjuk Lara yang berdiri di depan kelas dengan mukanya.

Idan menoleh ke arah yang ditunjuk. "Pacar lo kelees!"

Sello tertawa geli. "Gak level gue dia," ucapnya rada menyombong. "Level gue itu kayak Agnes Monica, Cinta Laura atau minimal nilai tujuh gitulah kayak Sesil, kalau dia nggak resek sih."

"Songong!" Idan melemparkan bola basket ke Sello. Dengan sigap Sello menangkapnya dan meletakkannya di sela kakinya yang bersila.

"Fakta bro, fakta! Di antara kita cuma gue yang digila-gilain cewek-cewek."

"Huek!" Jujun, si gempal pendek, berkulit legam dan berambut kribo, belagak mual.

"Eh, emang benar kan?" Sello nyolot. "Ingat sewaktu lo nembak Nena? Eh, tuh cewek larinya ke gue." Tersenyum bangga.

"Itu karena pelet lo lebih kuat dari tembakan Idan." Jujun membela.

"Betul." Idan menimpali. "Tapi... " Matanya menyorot Sello penuh selidik sambil mengelus dagunya yang lancip ditumbuhi rambut halus.

"Apa?" Sello mengerutkan dahi.

"Gue heran," ujar Idan. "Dari semua cewek yang naksir lo, nggak seorang pun yang jadian sama lo. Harapan mereka lo gantung. Apa lo..."

"Apa, apa?! Lo pikir gue homo gitu?!" senggak Sello meradang.

Jujun dan Idan mengekeh.

"Who knows," goda Idan.

"Sialan lo!" damprat Sello. "Biar kalian pada tahu, ya. Seorang Casanova nggak pernah ninggalin jejak rekam percintaan yang buruk pada cewek-cewek yang dipikatnya. Hari ini Nena. Besok Cika. Lusa Kimi. Besok lusanya lagi Arni. Terus lanjut ke Maya, Hana, Yeni, Ningsih, Marni...ah, pokoknya cinta gue merata ke semuanya. Kalau gue jadian sama salah satu mereka, yang lain pasti nuntut dong. Gue cuma mau jadian sama cewek yang sangat, sangat spesial. Nggak perlu lagi gue jelasin lagi tipe cewek idaman gue pada kalian'kan?"

"Prett!" Idan menjulurkan lidahnya.

"Belagu! Tunggu saja. Lo bakal kena batunya!" Jujun menoleh ke arah Lara, tapi cewek hitam manis itu sudah beranjak dari sana. "Gue yakin cinta lo bakal takluk di hati Lara, the ugly duck!"

"Amiin!" seru Idan cepat-cepat.

Muka Sello berubah masam mengingat ucapan yang mendoakan itu. Amit-amit, pikirnya.

Dalam jarak empat-lima langkah, dia menyeringai. Sepasang tanduk semu tiba-tiba mencuat di kepala. Tepat ketika mereka berjalan bersisian, dia menarik sebelah kakinya, menjegal Lara yang berjalan sambil menyembunyikan wajah.

***

Lara sebenarnya kesal dengan julukan the ugly duck. Bila dilihat dari sudut manapun julukan itu memang sangat keterlaluan. Lara cuma gadis canggung berkulit hitam manis yang tidak begitu peduli pada penampilannya. Rambutnya yang keriting sering dibiarkan berminyak. Potongan poninya tidak menarik, seperti tirai kusut. Dia tidak memakai bedak apalagi pelembab bibir. Dia tampil apa adanya. Namun julukan itu kadung melekat sejak Sello melontarkannya pertama kali sehingga murid-murid jadi latah. Karena sudah terbiasa, dia tidak lagi mempersoalkan julukan tersebut. Dia mencoba bersikap dewasa. Toh, julukan itu tidak mengurangi sedikitpun kualitas dirinya.

Jika Sello populer di kalangan murid, Lara justru populer di tengah-tengah guru-guru, terutama guru pelajaran eksak. Sejak SD sampai SMP, Lara kerap meraih juara umum sekolah. Kini dia mengulangi kembali prestasi itu dengan pencapaian nilai yang sempurna, bahkan tertinggi se-Indonesia. Tapi itu tidak cukup membantu pergaulannya. Murid-murid cenderung ngeri dan minder. Parahnya lagi, prestasinya itu malah berbalik menjadi bahan olok-olokan baru. Dia pernah dipanggil Miss Frankenstein. Ada juga yang memanggil Miss Zombie, lalu Miss Jackyl, Miss Spooky, Miss Kolot, Miss Nerdes dan masih banyak panggil yang tidak menyenangkan lainnya. Dan semua panggilan itu berasal dari Sello. Dia sering bertanya-tanya sendiri kesalahan apa yang pernah dilakukannya sehingga Sello membencinya.

Dia jadi teringat pada sebuah ungkapan berbunyi, kadang cinta berawal dari benci. Barangkali saja kebencian Sello dapat berubah menjadi cinta. Meski tidak terlalu berharap, tapi hati kecilnya mengamininya. Lalu sejak itu pula diam-diam dia mengamati gerak-gerik Sello, berupaya menemukan sedikit sinyal cinta darinya tanpa peduli di belakang Casanova telah mengantri sederet gadis-gadis cantik yang berusaha merebut perhatiannya.

Namun sebelum itu terjadi, sepertinya dia harus menyembuhkan penyakit yang membuatnya seperti robot karatan bila bertemu atau berada di dekat Sello. Dia seolah mengalami penurunan kecerdasan secara dramatis dan membuatnya seperti orang teramat idiot, kaku dan menggelikan seperti yang terjadi sekarang. Sello sedang berjalan ke arahnya. Dia yakin Sello menatapnya, tapi konyolnya dia melemparkan pandangan ke arah lain, tak berani balas menatap. Dia yakin cara kakinya melangkah pasti terlihat aneh.

Ya, Tuhan. Dia semakin dekat! 

Bukk!

Lara jatuh tersungkur. Ini sangat memalukan! Seharusnya aku melihat-lihat jalan. Dia meringis kesakitan sambil memeriksa lututnya yang lecet.

"Kamu nggak apa-apa?"

Dia berharap Sello yang melontarkan pertanyaan bernada peduli itu. Akan tetapi ketika Lara menarik mukanya, melihat uluran tangan, lalu beralih menatap pada muka orang yang mau menolongnya, orang itu bukan Sello. Entah siapa. Dia belum pernah melihat murid perempuan yang tersenyum ramah itu.

Lara meraih uluran tangan, berdiri tegak, lalu mengibaskan pakaiannya dari debu. "Terima kasih."

"Aku Vanda. Vanda Alanis."

"Lara."

Keduanya berjabat tangan.

"Kamu..." Lara mengamati wajah Vanda.

Vanda memiliki wajah cantik perpaduan timur dan barat. Rambutnya yang kecoklatan tergerai anggun melewati bahunya dan mengikal di bagian wajah. Sorot matanya yang berwarna coklat terang menyimpan suatu keberanian dan ketegasan seorang pemberontak. Dia lebih tinggi lima senti daripada Lara dengan postur tubuh langsing cenderung atletis. Pasti bakal masuk antrian penggemar Sello.   

"Aku murid baru." Bibir tipis Vanda mengulas senyum.

"Pindahan mana?"

"Australia." Vanda menjawab. "Barusan aku mau menemui petugas Tata Usaha, mencari tahu kelasku. Tepat ketika aku mau masuk ke ruangannya, aku melihatmu dijegal orang."

Sello menjegalku? "Oh, itu... " Lara diam sejenak. "Aku yang ceroboh. Aku melangkah tidak hati-hati dan... jatuh."

"Hmm... " Vanda berhenti di depan ruang TU. "Kamu teman pertama yang kukenal. Kupikir pasti menyenangkan bila kita bisa satu kelas. Dan aku bisa mengetahui segala hal yang berkaitan dengan sekolah ini melalui kamu."

Lara tersenyum kaku. "Terima kasih atas kepercayaanmu." Dalam hati dia meragukan permintaan Vanda.

***

Di toilet, Sello bertanya-tanya dalam hati atas kehadiran murid perempuan yang menolong Lara. Kecantikan murid perempuan itu memiliki daya pikat yang sangat kuat, bahkan Sello nyaris tak berkedip saat menatapnya dari balik tembok.

Siapa dia?

Sello buru-buru menyelesaikan urusannya. Dia sangat bersemangat sekali untuk kembali ke koridor di mana dia menjaili Lara tadi. Namun sesampainya di sana dia kecewa berat. Dia tidak menemukan murid cantik itu maupun Lara di sana, kecuali dua murid perempuan yang sedang bergosip.

"Ran, Sen," panggilnya.

Kedua murid berhenti bicara. Mereka menoleh dengan tatapan terpana.

"Ya?" sahut keduanya, genit.

"Kalian lihat... em, murid cewek berambut kecoklatan tadi?"

Rani tersirap, deg-degan, lalu menunjuk dirinya dengan tergagap. "Mak-sud lo gu-gue?"

Sello baru menyadari kalau rambut cewek yang disapanya juga berwarna kecoklatan. "Bukaan!" sergahnya cepat-cepat. "Sebelum kalian tadi ada cewek berambut coklat juga."

"Cuma kita yang ada di sini. Iya'kan, Sen?"

"Mm-Hm."

Sello memutar bola matanya. "Cewek tadi bersama Lara." Dia sengaja tidak memperjelas penyebutan nama Lara. Tidak pantas.

"Ooh..." Mulut Rani membulat, lalu dia mengangkat bahunya.

Sello mengerang, lalu beranjak dari sana. Sebelum menjauh, dia sempat mendengar bisik-bisik mereka.

"Emangnya lo saja yang berambut kecoklatan? Gue juga kalee!"

"Iya, tapi sebenarnya yang dicari Sello itu gue, bukan lo! Cuma dia malu saja mengakuinya."

"Kepedean banget sih! Eh, tapi gue dengar tadi dia nyebutin Lara, deh. Apa si Miss Frakenstein itu yang dicarinya?"

"Aduuh, imposible banget!"

"Iya, juga sih. Eh, tapi rambut si Nerdes itu hitam dan lepek kan? Iwwhh! Gak banget deh!"

Sello geleng kepala mendengar kicauan mereka. "Dasar cewek!" Kemudian dia bergegas menuju kelas. Ketika melewati kantor Tata Usaha, seperti ada medan magnet yang membuatnya berhenti. Dia menoleh ke dalam ruangan. Jika murid cantik itu murid baru, pasti dia akan mengurus kepindahannya. Yah, dia pasti kemari.

Bingo!

Di dalam ruangan, tampak Bu Rika, Kepala Tata Usaha, sedang bicara dengan seorang murid perempuan yang duduk tegak membelakangi pintu masuk. Rambutnya kecolakletan!

Sello menggaruk kepalanya yang tidak gatal, mencari akal agar ada alasan untuk menemui Bu Rika dan menginterupsi pembicaraan mereka. Tapi apa? Uang SPP sudah dibayar setahun penuh. Uang laboratorium juga sudah. Alasan pintar apa yang bisa meyakinkan petugas kepo itu?

"Permisi..."

Bu Rika mengangkat pandangannya, mengernyit.

Tanpa disuruh masuk, Sello sudah melangkah melewati garis pintu. "Maaf mengganggu, Bu." Mendekati meja, menoleh sebentar pada murid perempuan yang sedang membaca peraturan sekolah lewat brosur. Wow, cantiknya!

"Ehem!" seru Bu Rika, menyadarkan Sello. "Mau apa kamu?" selidiknya.

"Oh, itu," Sello diam sejenak, berpikir. "Saya cuma mau bilang hari ini Ibu tampak beda."

"Maksud kamu?"

"Ibu pikir apa yang membuat saya masuk ke ruangan ini? Itu dikarenakan aura ibu terpancar kuat sampai-sampai langkah saya membelok kemari."

"Halah, gombal banget kamu!"

"Beneran lho!"

Bu Rika mencibir. "Kamu dengar kan Vanda? Selain peraturan yang kamu baca, kamu juga harus berhati-hati sama cowok seperti Sello. Sudah banyak yang jadi korban gombalnya."

Vanda tersenyum simpul.

"Vanda? Vanda siapa?" Sello celingak-celinguk seolah-olah pemilik nama yang disebut tidak ada di sana. Lalu tatapannya akhirnya berhenti juga pada Vanda dengan ekspresi kaget. "Demi Tuhan! Ada bidadari rupanya." Mengelap kedua tangannya ke baju, mengulurkannya sambil tersenyum. "Sello."

Vanda melirik uluran tangan Sello dan mengabaikannya.

Bel masuk kelas berbunyi. Sello menarik uluran tangannya, kecewa.

"Nah, Vanda," ucap Bu Rika. "Kebetulan Sello ini satu kelas dengan Lara. Jadi kamu bisa ikut dengannya."

Yes, pekik Sello dalam hati. "Dengan senang hati aku akan membawamu tur gratis keliling sekolah saat jam isitrahat nanti," ucapnya percaya diri. "Dan kamu bisa mengandalkanku kapan saja! Trust me!"

"Cukup gombalnya!" seru Bu Rika muak. "Pergilah ke kelas sebelum guru kalian masuk."

Sello menggamit lengan Vanda dan membawanya beranjak keluar ruangan.

Bu Rika mengelengkan kepala melihat tingkah Sello. Dari balik laci dia mengeluarkan cermin bundar bergagang.

"Hm... masa sih aku beda?" Memandangi wajahnya di cermin sambil pasang senyum genit.

***

Vanda membiarkan dirinya digandeng Sello menuju ruang kelas meski dia tidak suka. Ketika berada di ambang pintu, Sello berteriak lantang.

"Idaaan! Lekas lo minggat dari meja gue!"

Sontak semua murid terdiam dan menoleh ke depan kelas. Mereka terheran-heran menatap murid cantik gandengan Sello. Sesil, gadis cantik berwajah angkuh melotot tidak senang.

Idan melongok dengan wajah cemberut. "Pantesan!" sungutnya sambil beranjak dari tempatnya duduk. Bukannya mencari kursi kosong di meja lain, dia lebih senang mengusir teman semeja Jujun yang berada di depan meja Sello. "Beruntung banget si kampret itu!" rutuknya.

"Besok-besok lo operasi plastik saja atau pasang pelet sekalian," sambar Jujun. "Eh, pelet di rumah gue masih banyak loh. Lo mau?"

"Dodol! Lo pikir gue Nemo apa!"

 Sello mengajak Vanda ke mejanya yang berada di barisan paling belakang di sudut ruangan pada deretan pertama dari pintu kelas. Dia menarik kursi dan mempersilakan Vanda duduk. Vanda tidak bereaksi, bahkan cenderung muak melihat sikap Sello yang berlebihan.

"Tidak, terima kasih." Vanda menoleh ke meja Lara. Gadis itu duduk sendiri di barisan meja pertama di deretan ketiga dari pintu kelas, tepatnya di depan meja guru. "Kupikir lebih nyaman berada di dekat guru. Ilmunya langsung nyampe," sambungnya, beranjak ke meja Lara.

Sello melongo, memandangi Vanda yang tampak akrab dengan Lara. "Sial!" gerutunya sambil terduduk lesu.

Idan dan Jujun saling pandang. Mereka mengikik dan saling tos.

"Kasihan, kasihan, kasihan!" sindir Idan.

Sello meraih kerah baju keduanya, memaksa mereka menoleh ke belakang.  "Cepat atau lambat Vanda bakal jadi pacar gue!"

"Oo... namanya Vanda." Idan menoleh ke meja Lara. "Nggak bakalan bisa. Gue jamin!"

Keriuhan di kelas mendadak hening.

"Nanti kita lanjuti." Sello menoleh ke depan kelas. Bu Karla, guru sejarah, masuk. "By the way, gue berani taruhan, kali ini pasti seratus lima puluhan."

Idan dan Jujun tersenyum lebar, menahan tawa mendengar taruhan yang dilontarkan Sello. Bu Karla punya kebiasaan mengulangi ucapan, "Kalau kita lihat" selama pelajaran. Pengulangan itu menjadi bahan candaan bagi murid-murid. Mereka sering bertaruh dengan menghitung jumlah pengulangan ucapan selama pelajaran berlangsung. Rekor tertinggi yang pernah dicapainya sebanyak 160 kali dan 89 kali menjadi rekor terendah.

"Selamat pagi semua." Bu Karla meletakkan tasnya di meja, memandangi murid-murid. "Ibu mendapat informasi dari Tata Usaha, ada murid baru di kelas ini. Siapa?"

"Hadeh," desah Idan, berbisik ke Jujun. "Percuma tiap ngomong bilangi 'kalau kita lihat'. Lah, memangnya kemana matanya kali ini?"

Vanda mengacungkan tangan.

"Oh, kamu?" seru Bu Karla. "Silakan maju ke depan. Perkenalkan dirimu."

Vanda beranjak dari bangkunya, melangkah ke depan kelas. "Um... hai, semua," sapanya. "Nama Saya Vanda Alanis. Kalian bisa memanggilku Vanda. Untuk satu hal dan alasan tertentu, Saya pindah dari Autralia ke Indonesia. Saya beruntung bisa diterima di sekolah ini dan bertemu dengan kalian semua. Um... saya mohon bantuan kalian untuk ketertinggalan saya dan selama penyesuaian saya pada pelajaran di sini."

Idan mengacungkan tangannya."Boleh nanya?"

Vanda menoleh ke Bu Karla dengan ekspresi bertanya dan mendapat balasan berupa anggukan ringan.

"Itu, cara bicara kamu kenapa nggak mirip Cincah Laura?"

Murid-murid tertawa.

"Demi Tuhan!" Bu Karla menggebrak meja pakai penghapus. "Apa nggak ada pertanyaan yang lebih bodoh lagi, hah?" Dia menyuruh Vanda kembali ke bangkunya. Kemudian dia melanjutkan, "Baiklah," sambil duduk di kursi, lalu mengeluarkan buku sejarah. "Buka halaman delapan puluh satu." Diam sejenak. "Nah, 'kalau kita lihat'... "

How do you feel about this chapter?

1 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • dede_pratiwi

    nice story, kusuka bahasa yg dipakai ringan. keep writing...udah kulike dan komen storymu. mampir dan like storyku juga ya. thankyouu

    Comment on chapter Casanova
  • yurriansan

    Mainstream si, tp jokes nya bikin ngakak...????

    Comment on chapter Casanova
Similar Tags
Novel Andre Jatmiko
7596      1698     3     
Romance
Nita Anggraini seorang siswi XII ingin menjadi seorang penulis terkenal. Suatu hari dia menulis novel tentang masa lalu yang menceritakan kisahnya dengan Andre Jatmiko. Saat dia sedang asik menulis, seorang pembaca online bernama Miko1998, mereka berbalas pesan yang berakhir dengan sebuah tantangan ala Loro Jonggrang dari Nita untuk Miko, tantangan yang berakhir dengan kekalahan Nita. Sesudah ...
Love Finds
13687      2505     19     
Romance
Devlin Roland adalah polisi intel di Jakarta yang telah lama jatuh cinta pada Jean Garner--kekasih Mike Mayer, rekannya--bahkan jauh sebelum Jean berpacaran dengan Mike dan akhirnya menikah. Pada peristiwa ledakan di salah satu area bisnis di Jakarta--yang dilakukan oleh sekelompok teroris--Mike gugur dalam tugas. Sifat kaku Devlin dan kesedihan Jean merubah persahabatan mereka menjadi dingin...
Sherwin
328      212     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
Intuisi Revolusi Bumi
920      464     2     
Science Fiction
Kisah petualangan tiga peneliti muda
Alicia
1084      504     1     
Romance
Alicia Fernita, gadis yang memiliki tiga kakak laki-laki yang sangat protektif terhadapnya. Gadis yang selalu menjadi pusat perhatian sekolahnya karena memiliki banyak kelebihan. Tanpa mereka semua ketahui, gadis itu sedang mencoba mengubur luka pada masa lalunya sedalam mungkin. Gadis itu masih hidup terbayang-bayang dengan masa lalunya. Luka yang berhasil dia kubur kini terbuka sempurna beg...
Please stay in my tomorrows.
335      236     2     
Short Story
Apabila saya membeberkan semua tentang saya sebagai cerita pengantar tidur, apakah kamu masih ada di sini keesokan paginya?
Chocolate Next Door
305      212     1     
Short Story
In which a bunch of chocolate is placed on the wrong doorstep
Someday Maybe
9428      1807     4     
Romance
Ini kisah dengan lika-liku kehidupan di masa SMA. Kelabilan, galau, dan bimbang secara bergantian menguasai rasa Nessa. Disaat dia mulai mencinta ada belahan jiwa lain yang tak menyetujui. Kini dia harus bertarung dengan perasaannya sendiri, tetap bertahan atau malah memberontak. Mungkin suatu hari nanti dia dapat menentukan pilihannya sendiri.
IMAGINATIVE GIRL
2052      1084     2     
Romance
Rose Sri Ningsih, perempuan keturunan Indonesia Jerman ini merupakan perempuan yang memiliki kebiasaan ber-imajinasi setiap saat. Ia selalu ber-imajinasi jika ia akan menikahi seorang pangeran tampan yang selalu ada di imajinasinya itu. Tapi apa mungkin ia akan menikah dengan pangeran imajinasinya itu? Atau dia akan menemukan pangeran di kehidupan nyatanya?
Verletzt
1179      529     0     
Inspirational
"Jika mencintai adalah sebuah anugerah, mengapa setiap insan yang ada di bumi ini banyak yang menyesal akan cinta?" "Karena mereka mencintai orang yang tidak tepat." "Bahkan kita tidak memiliki kesempatan untuk memilih." --- Sebuah kisah seorang gadis yang merasa harinya adalah luka. Yang merasa bahwa setiap cintanya dalah tikaman yang sangat dalam. Bahkan kepada...