Aku masih dalam keadaan kacau. Setengah sadar dan setengah tidak sadar. ‘Yuki….’ Masih terbayang refleksku waktu aku menepis Rey. Tawanya yang putus asa, seakan tesadar dari mimpi, dan sikap tubuhnya. Dia memang begitu. Tanpa tedeng aling-aling kalau menyangkut hal yang benar. Dan dia benar. Rasa bersalah melandaku. Hal yang paling kubenci adalah merasa salah.
Memangnya kenapa kalau dia pacaran sama Dilar?
Terus kenapa dia sembunyiin? Itu pertanyaan logis untuk membela dirinya sendiri. Fakta bahwa ada kesalahan dari pihak Rey yang menyembunyikan fakta itu.
Tapi apa itu memang kesalahan? Kenapa dia menyembunyikannya….
Sudah jelas. Dia dan Hamka penyebabnya. Karena mereka selalu, selalu, bertengkar bahkan ketika hanya bertemu pandang sepuluh meter jauhnya. Mereka tidak berani, bukan, bukan tidak berani, mereka tidak mau menyakiti perasaan siapa-siapa. Dia terduduk di kamarnya. Memeluk lutut. Diamnya Rey berarti murka.
Dan pastinya, itu yang akan terjadi besok di sekolah.
Benar saja. Paginya, Rey tidak tersenyum padanya, tidak melihatnya, tidak berbicara padanya. Friska mendatangi Rey dengan khawatir. Lalu sepertinya menanyainya ragu-ragu. Meski terlihat tidak peduli, keliahatan kalau satu kelas mendengarkan. Dan satu dua orang bermain smartphone sambil mencuri pandang. Seakan sudah siap mem-broadcast kebenaran rumor itu. Cewek nggak dikenal kelas sepuluh dan si balok es Dilar. Apalagi mereka sahabatku dan Hamka, yang jelas musuh bebuyutan. Mungkin mereka bakal dijuluki Romeo & Juliet.
Aku meneguk ludah. Itu berarti kami keluarga jahat yang memisahkan keduanya.
Sejenak Friska menatapku. Rey refleks mengikuti, tapi seakan sadar, lalu tidak jadi. Bahuku langsung turun. Friska menatapku seakan….dia lalu menurunkan pandangannya dengan ekspresi tidak enak. Sepanjang hari itu dia lebih memilih menemani Rey. Sudah jelas dia memihak siapa.
Dan sudah jelas aku tahu siapa diantara kami sahabat yang jahat.
Karena tidak tahan dengan suasan kelas yang terasa mencekam karena Rey yang dikenal bersahaja diam seribu bahasa karena murka, aku pun memilih kabur ke tugasku sebagai Bendahara II OSIS. Aku ingat ada beberapa bagian yang diminta Kepala Sekolah untuk direvisi. Sesampainya di sana, aku terkejut setengah mati. Ketua, si Hamka, di mejanya sedang sibuk dengan berbagai dokumen. Tapi…wajahnya. Babak belur mungkin terlalu dramatis. Tapi ototmatis aku langsung tahu apa yang terjadi. Dia mendongak. Terkejut melihatku.
“Apa?”
Aku terlalu sedih, sampai tidak ada kekesalan tersisa untuknya.
Kubilang, dengan lesu, aku hanya mau mengambil file.
“….” Dia diam. Mungkin tidak menyangka reaksiku akan lempeng saja.
“Fuck!”
Aku terlonjak, file yang kupegang jatuh ke lantai. Dan sebagai tambahan, kupikir mustahil tadi itu Hamka. The ever proper and top-notch student, cursing? Yeah, hell must be frozen now.
“Kamu udah denger rumornya kan??” dia bertanya. Agak membentak, tapi aku mengiyakan.
“Gimana reaksi temenmu itu?”
Baru ini aku marah, “Namanya REY.” Aku menunduk, “dan….dia murka.”
“Kenapa malah dia yang murka?? Kan dia sama Dilar yang sembunyi-sembunyi kan??!”
Astaga.
Si kepala batu plus muka badak ini! Kalau punya cukup kekuatan, aku bakal pukul bagian bonyok mukanya di pipi kiri itu. Aku jadi sedikit menyukai Dilar, kalau dia berani memukul wajah sahabatnya sendiri sampai bonyok demi Rey….
I’ve been a bitch to her. To both of them. I admit it now. Dan sekarang, si muka badak ini juga harus tahu. Know that HE IS THE JERK HERE!
“Kamu tuh bajingan nggak cuman sama aku ternyata ya?” dengan suara bergetar aku memulai. Dia menatapku. Sepertinya tadi dia pikir aku bisa ‘memahami’ pengkhianatan sahabat-sahabat kami. Sayangnya iya, dan syukurlah, aku memahaminya dengan cara yang berbeda dan sadar lebih cepat.
“Apa??” dia menantang.
“Dia sahabatmu kan??”
“Terus? Dia sembunyi-sembunyi, di belakangku. Temenmu itu juga kan? Kenapa malah marah ke aku?”
“Karena…..aaargh!!!! Kepalamu itu bisa lebih keras nggak sih?” aku mendekatinya lalu mencengkeram kerahnya.
“MEREKA SEMBUNYI-SEMBUNYI…KARENA KITA BEGO!” aku berteriak di depan wajahnya.
Hamka terdiam. Aku melanjutkan dengan decibel lebih tinggi, “HARUSNYA KAMU JUGA SADAR!! KAMU YANG PERTAMA KALI NYAKITIN DIA! DIA, TEMANMU ITU NGGAK PUNYA PILIHAN TAHU!”
Masih diam. Aku melepas cengkeramanku. Belum puas, tapi aku menambahkan dengan lebih pelan.
“Mereka satu SMP…kamu tahu? Berarti mereka lebih dulu saling suka ketimbang waktu kita saling benci. Dan…” aku menghela napas, “kita yang menghalangi mereka buat bahagia. Kenapa kamu nggak sadar?! Kenapa aku… ah, udahlah. Aku juga bego. Sekarang Rey nggak bakal ngomong sama aku lagi.” Aku menambahkan dengan lesu. Air mataku serasa mau tumpah lagi, tapi gengsiku di depannya lebih tinggi ketimbang Monas. Aku nggak amu nangis di depan si jerk ini!
Hamka masih terdiam. Aku yang bingung menghadapi pandangan kosong dan tidak terima Hamka memilih untuk permisi.
“Aku masih banyak kerjaan, permisi KAK.” Aku menekankan kata kak. Aku butuh seseorang untuk disalahkan. Tidak peduli dia ketua OSIS. Dia lebih tua. Harusnya dia lebih dewasa dalam menghadapi masalah begini. Masalah kami kan sama?
Aku menghela napas.
“Hoi.”
Sebelum aku melangkah keluar, dia memanggil. Aku menoleh dengan heran.
“Mau….ke rumah Dilar, hari ini?”
Hah?
“Maksudnya?”
“Aku….mau dengerin cerita dia. Harusnya dari kemarin kudengar, tapi….” dia menunjuk memar dan bonyoknya, “dia benar-benar ngamuk, mungkin…memang…dia nggak sepenuhnya salah.”
“Udah bagus banget kalau kamu nyadar di situ,” aku dengan capek membalas, “terus kenapa tiba-tiba ngajak ke sana?”
Dia mengangkat bahu, “kamu juga sebenernya belum bisa terima kenyataan kan?”
Aku ganti diam. Tertohok.
“Kalo gitu, biar kita sama-sama liat ‘Dilar yang sebenarnya’ dulu, abis itu….mungkin temanmu udah mau ngomong ke kamu lagi.”
Aku menelan ganjalan di tenggorokanku. Sungguh, kalau ini memang bakal membuat Rey mau ngomong ke aku lagi, maka aku tinggal melakukan satu hal.
Aku mengangguk.
“Abis pulang sekolah? Di sini?”
“Ya.”
Aku mengangguk sekali lagi, lalu pergi.