“Bohong kan? Rey!” Yuki membentakku. Aku terdiam. Mulutku terkatup. Aku harus bilang yang sebenarnya. Dia sahabatku. Dia pasti ngerti….
“Kamu dipaksa Dilar? Atau Yosi? Atau itu cuman gossip aja? Kamu nggak mungkin…”
Aku membodohi diri sendiri. Ekspresi Yuki benar-benar terpukul. Seperti akulah yang jahat di sini. Ya, kami, aku, yang salah. Kak Dilar udah wanti-wanti, udah bilang, lebih baik kami jujur. Biar skenario terburuk nggak kejadian: ketahuan dengan cara begini. Sudah cukup buruk dijebak Yosi cuma karena dia dendam sama Kak Dilar. Apalagi kami memang ketahuan Kak Hamka. Aku membuka mulut. Rasanya susah sekali. Seakan mulutku selama ini bukan dari daging , kulit, dan otot seperti yang kutahu. Seakan ada beban seberat beton menguncinya.
Yuki dengan syok melihatku, dia tidak mengatakan apa-apa lagi.
“Lho?” ternyata pipiku sudah basah. Pantas pandanganku kabur.
Yuki melihatku seakan dia melihat alien.
“Yuki…” aku memanggil serak, tanganku berusaha menggapainya.
Aku tersentak waktu dia menepisnya. Dia sendiri kaget karena refleksnya.
Sunyi, mungkin hanya 5 menit atau kurang kesunyian itu melingkupi kami. tapi….
Aku tertawa, kecil. Seperti bayi yang baru membuka mata dan beradaptasi dengan cahaya. Baru sekarang aku melihat dengan jernih. Yuki menatapku dengan ekspresi tidak terbaca. Rasa bersalah, dikhianati…dikhianati? Apa cuma dia yang sakit?
Aku pengen ketemu kak Dilar.
Aku membuka pintu kamarku. Menatap Yuki.
Aku, dengan air mata mengalir dan isakan kecil sesekali, mempersilahkannya keluar tanpa suara.
Ekspresinya sekarang berubah lagi. Membeku. Seperti robot dia memenuhi permintaan bisuku dan melangkahkan kaki pelan ke luar. Untungnya aku sedang di rumah sendirian, dia tidak akan kesulitan menjelaskan kenapa pulang secepat itu padahal biasanya dia menginap di rumahku waktu malam Jumat.