….
Kenapa aku bisa dapet cowok sekeren dan sebaik Kak Dilar ya?
Kaget, aku bereaksi terhadap gombalannya. Iya, Kak Dilar yang nggak segan bilang bego buat cewek genit yang mendekatinya, menggombal. Aku merasa senyumku pasti benar-benar dari telinga ke telinga lebarnya.
Seperti kata Kak Dilar, tidak ada murid lagi setelah Kak Yosi tadi. Aku masih kepikiran sebenernya. Apa dia tadi melihat kami cukup lama? Atau dia curiga meski hanya melihat kami sekilas? Bagaimanapun, di mata satu sekolah, kami pacaran plus Yuki-Hamka tertawa bersama adalah kemustahilan.
Selama perjalanan kuenyahkan pikiran itu. Karena kulihat Kak Dilar sungguhan capek. Beberapa kali dia menyandarkan kepalanya di bis. Tapi dia bilang tidak apa-apa. Untung saja rumahku sebelum rumahnya, katanya. Setidaknya dia merasa tenang setelah mengantarku. Dengan sedikit cemas aku menaruh tas di teras, lalu menuju halaman lagi, untuk memastikan Kak Dilar sudah sampai di rumah-klinik tanpa pingsan. Aku menghela napas lega.
“Rey?”
Aku menoleh, oh, kakak laki-lakiku. Deg. Tadi dia lihat Kak Dilar nggak ya?
Aku menelan ludah, kayaknya nggak, Kak Ferir tersneyum menyuruhku masuk. “Ayo masuk, kok malah nggelayut di pager. Mandi, makan, ntar sakit lho.”
Kalimat sakti kakakku. Ntar sakit lho. Dia lebih tua 7 tahun. belum menikah dan super overprotektif terhadapku. Orangtuaku dengan gembira menyambut Kak Dilar waktu dia main ke rumah. Sementara kakakku memberi pandangan hina, menyelidik, dan curiga sekaligus. Dia memelototi Kak Dialr yang menunggu di ruang tamu. Tepat di kursi seberangnya. Aku masih ingat. Kayaknya Kak Dilar masih trauma deh.
“Kamu siapanya Rey?”
Kak Dilar dengan bingung menjawab, “saya….pacarnya?”
“HAAAH?” dia mendekatkan telinga seakan tidak dengar. Kak Dilar mengulang.
“Saya pacarnya, KAK.”
Salah ngomong, kakakku langsung kalap, “Heh! Siapa yang kakakmu??? Baru pacaran udah berlagak kayak adik ipar ya!”
“Kalau kakak merestui….” Kak Dilar malah dengan mantab menjawab. Wajahku dan kakakku memerah. Untuk alasan yang berbeda. aku karena malu, Kak Ferir karena amarah. Diinterogasinya Kak Dilar selama tiga jam. TIGA JAM. Dia benar-benar mau mengorek kekurangan Kak Dilar. Mencari celah agar aku melihat keburukannya. Tapi semakin ditanya, semakin mantab dia menjawab, semakin merah wajahku, dan semakin senang ayah dan ibu karena serasa sudah punya calon menantu tetap. Sambil mencak-mencak Kak Ferir membiarkan Kak Dilar pergi, meski belum puas menginterogasi.
Aku mengenang saat-saat itu. Rasanya kok sudah lama sekali ya….tapi sebenarnya belum ada setahun.
“Ngomong-ngomong…” Kak Ferir yang berjalan di depanku berbalik, tersenyum manis, “yang nganterin kamu tadi BUKAN Dilar kan ya?”
Aku dengan pucat memandang senyum penuh amarahnya. Kok bisa ada orang yang tetap tersenyum meski lagi marah ya….aku menggeleng, tapi lalu aku sadar menggeleng setelah pertanyaan kakak tadi berarti berbohong, aku pun kelepasan meralat.
“Eh, iya. Itu Kak Dilar. Soalnya….soalnya…udah gelap kak…” suaraku makin mengecil. Senyum Kak Ferir lenyap, kemudian dia mendengus.
“Ya udah. Paling nggak dia mau jagain kamu.”
Aku tersenyum, lega.