Mana lagi itu anak?
Bukan, aku untungnya nggak bakal ngomong sekasar ini tentang Rey. Tapi Hamka. Yang berjanji mau datang ke toko setelah aku berjanji tidak ada pelanggan pemilik doggy yang datang hari ini. Sialan. Mana ini Hari Minggu, ritualku adalah datang ke kafe dengan Rey. Tapi dia sendiri punya janji nonton dengan Yuki dan satu orang cewek lagi. Untuk itu aku bersyukur sudah menginterogasi siapa identitas dari ‘teman’ yang satu lagi itu. Ternyata Junna, kakak kelas kami yang juga ‘idola’-nya Yuki. Meski sudah pensiun dari OSIS, Kak Junna terkenal karena kepintarannya nomor satu seangkatan kelas dua belas. Belum lagi dia satu-satunya yang menembus kriteria untuk studi banding ke luar negeri.
Bukannya aku posesif….oke, aku posesif, apalagi nggak ada yang tahu kami pacaran. Meski Rey pemalu dan sering merasa rendah diri dan nggak pede, dia manis, baik, setia (dibuktikan dengan persahabatan dengan Yuki yang terkenal bermulut pedas ke siapapun). Lebih dari satu kali aku mendapati cowok berusaha mendekatinya. Rey sih, sopan-sopan aja menanggapi mereka tanpa prasangka. Tapi banyak cowok berotak udang yang mikir cewek pendiam bakal luluh kalau mereka deketin terus. Mana mereka PDKT-nya sampai berani hampir pegang-pegang! Terang aja aku yang makan ati. Untungnya karena sifatnya itu, Rey lebih banyak nempel ke Yuki. Kalau diibaratkan hewan peliharaan, sebagai resepsionis klinik hewan kenamaan kompleks dan pemilik saham kafe kucing yang paling kecil dan belum cukup umur, Yuki itu anjing ras Labrador cross-breed super galak yang menggonggong ke siapa saja. Rey sebagai pemiliknya, satu-satunya yang nggak akan digonggongi.
Sialnya dia juga menggongong ke aku. Bahkan udah mau nerkam. Apalagi kalau lagi sama Hamka.
Bunyi decit rem sepeda akhirnya muncul.
“Hoy.” Dia menyapa.
“What? You’re late.”
“Heh, sok Bahasa Inggris segala. Ini bukan di lab bahasa!”
“Lagian bilang mau dateng udah dua jam yang lalu.”
“Halah, emang ada acara apaan hari ini? Cuman jaga ini doang kan?”
“Enak aja, daripada bareng kamu mending aku…” aku terdiam. Hampir aku bilang ‘bareng Rey’.
“Apa?”
“Mending terima jadwal grooming doggy Pak Jaya.”
Hamka langsung menjauh dan mendekati lagi sepedanya secepat kilat. Aku nyengir. “Bercanda hoi. Masa grooming dua kali seminggu, banyak duit dong kakakku.”
“Sialan! Jangan bercanda soal ‘itu’ dong! Kamu kan tahu phobiaku!”
Dia cerita kalau waktu kecil tanpa berbuat apa-apa. Dia lewat rumah tetangga habis TPA. Malang, ada anjing liar besar yang menggelandang di dekat jalan yang dilewatinya. Tanpa dinyana anjing itu mengejarnya. Kontan Hamka lari tunggang langgang. Cerita makin dramatis waktu dia bilang dia kesandung dan anjing itu sudah ada di atasnya. Meneteskan air liur dan menggonggong penuh dendam. Aku mau membayar berapapun untuk berada di sana biar bisa melihat kelanjutannya, dimana Hamka kecil menangis dan berteriak histeris. Kapan lagi Hamka yang jutek teriak histerik dan panik?
“Terus? Ngapain ke sini?”
“….”
“What is it? Spill it out already!”
“Tugas seni…”
“Hah?”
“….” Dengan wajah tampak amat sangat terpaksa dia berusaha menggunakan nada meminta tolong, “Awasin aku bikin tugas seni!”
Aku melongo. Menahan ejekan dan tawa, ini anak mau minta tolong apa ngancem? Tapi bisa dimengerti, sejak kecil dia cuma bisa bergantung pada diri sendiri. Dua orangtuanya bekerja sebagai tukang jahit dan guru SD honorer. Dia sendiri masih punya dua adik yang masing-masing baru masuk kelas 1 SMP dan kelas 1 SD. Dengan usahanya sendiri dia berhasil melalui SMP tanpa membayar SPP, dan begitu juga di SMA ini, dia mendapat beasiswa dari sekolah, dengan syarat dia harus mempertahankan nilai sekaligus mengambil program ekstrakulikuler yang menunjang prestasinya. Selama menjadi anggota OSIS, setidaknya dia berhasil menyukseskan acara-acara sekolah dan OSIS, sekaligus menjadi perwakilan olimpiade sains bidang Biologi. Memperlancar biayanya untuk terus sekolah di SMA kami.
Sayang kalau soal seni….ibarat Rey yang ilmunya sudah setinggi bulan dari sananya dan masih terus naik, si Hamka ini cuma bisa lompat-lompat di palung terdalam dasar laut. Aku pun dengan sukarela terkadang membantunya, meski agak susah karena memang bakat Hamka mungkin bukan di bidang ini.
Meski sukarela, dengan senang hati aku akan membantu setiap kali dia meminta tolong dengan wajah terpaksa. Lucu aja ngeliatnya.
“Oke, oke. Kelasmu dapet tugas apaan?”
“Melukis surealis…”
Aku mengerutkan dahi. “Kok susah amat?” kelasku mendapat tugas menggambar realis, tidak jauh beda, tapi bisa dikatakan lebih masuk akal.
“Kalo nggak susah nggak bakal aku minta tolong, bego.”
“Kalo tugas seni nggak mungkin kamu nggak minta tolong, bego,” aku menimpali sambil garuk-garuk kepala. Bingung juga gimana mau ngajarin ini anak.
“Minta bantuan Yosi?” aku sebenarnya ogah karena msih dongkol dengan kelakuannya ke Rey. Tapi mau gimana lagi? Bisa dibilang dia yang paling berbakat di bidang seni seangkatan.
“Ogah,” dengan lega kudengar Hamka menjawab dengan wajah berkerut.
“Kenapa? Nggak suka?”
“Anak-anak banyak yang ogah temenan sama playboy sarden begitu, ngapain minta tolong dia?”
Aku terkekeh. Itu bukan gossip, itu kebenaran. Banyak murid cowok yang malas berteman dengan Yosi karena sikapnya yang ramah cuma ke cewek aja. Tapi sekali lagi, siapa lagi yang bisa dimintai tolong. Temen cewek? Mereka, bukan menyombong, bakal kegeeran.
Rey? Aku mengernyit. Sebenarnya itu ide bagus. Rey tidak akan keberatan. Tapi tekanannya ke kami, ke dia, yang paling merasa bersalah bersembunyi di punggung sahabat-sahabat kami. Dia bahkan takut Hamka bakal nggak mau temenan lagi sama aku gara-gara dia. How sweet.
Pernah beberapa kali kami membahasnya. Bukan, bukan bertengkar. Hanya membahas masalah sahabat kami. Yuki dan Hamka keras kepala. Dan tidak ketahuan kenapa mereka saling benci sampai seperti itu. Hamka hanya beralasan karena Yuki perlu diajari untuk menghormati dan tidak melompati yang lebih tua. Senioritas. Dan Rey bilang Yuki pernah dongkol karena merasa terkekang di negara ini, dimana senioritas dijunjung terlalu tinggi. Tidak seperti di Jepang dimana hubungan antara yang lebih tua dan yang lebih muda, meski saling menghormati, masih kalah dengan yang namanya kemampuan. Yang kemampuannya lebih tinggi berhak mendapat apresiasi yang pantas. Yang di bawahnya dipersilahkan berusaha dan memacu diri agar menjadi lebih baik lagi. Yuki memang mewarisi sikap ambisius ayahnya yang orang Jepang tulen.
“Lagian….Kak Dilar berani bilang ke kak Hamka?” dia bertanya takut-takut. Aku terdiam. Hamka kuat dalam berprinsip. Kadang prinsipnya itu agak meluber terlalu jauh. Sampai Rey pernah ketakutan dipelototi ketika hanya sedang bersama Yuki. Padahal bukan urusan OSIS.
“Jujur….nggak. Aku masih takut gimana reaksinya. Apalagi hubungan mereka lagi buruk-buruknya.”
Rey sendiri bimbang. Yuki bisa dikatakan bersikap lebih dominan dalam persahabatan mereka. Kalau bukan karena diajukan Yuki, Rey nggak akan berminat masuk OSIS. Dia terlalu pemalu dan lebih suka menghabiskan waktu untuk melakukan hal yang disukainya.
Kadang aku sendiri mikir, kalau tiba-tiba kubilang ke Hamka, apa dia bakal menerimanya begitu saja? Kayaknya dia sudah terlanjur menganggap Rey juga musuh. Mengingat perlakuannya kadang ke Rey…..jujur bikin pengen mukul. Aku geram stengah mati ke sohibku itu dulu karena suatu peristiwa.
“Kamu bisanya nunduk doang? Niat jadi nggota OSIS nggak?!” waktu itu pelatihan kilat. Persiapan untuk menjadi OSIS sungguhan. Dulu, waktu kelas sepuluh dia menjadi Humas. Dan tentu saja, sebagai senior kami kebagian memelonco adik-adik kelas. Meski praktik ini sudah hampir ditiadakan, tapi ada satu acara yang diharuskan demikian. Satu itu saja. Tanpa kekerasan fisik, tanpa kekerasan verbal yang berlebih. Tapi Rey kulihat mengatupkan bibir rapat-rapat. Gelagatnya ketika menahan kesal atau tangis. Matanya berarir. Pertama kalinya aku menghardik Hamka (tentu saja setelahnya, di tempat lain yang lebih sepi) karena sikapnya dengan alasan dia terlalu kasar.
“Itu aku biasa aja, Lar! Mereka aja yang berlebihan, cengeng. Apalagi si blasteran tukang teriak itu.” Yang dimaksud Yuki, yang ketika sahabatnya dibentak, kontan bereaksi bagai api melawan api. Itu bukan awal percekcokan mereka. Tapi jelas bukan akhir. Kayaknya menyodorkan Rey sebagai pilihan bukan ide bagus untuknya. Meski itu ide bagus untukku.
Apa kucoba saja?