MAAF, MAIKA
Jika kata adalah mantra,
Uang aku meminta apapun,
Jika kata tiada arti,
Mengapa kita berbicara,
MISCHA.
Sejak Maikaukar sajak kesedihan itu, kami sudah jarang bertemu dan bertegur sapa. Aku hanya bisa melihat senyum bersama dua teman perempuannya. Dia juga sudah jarang makan siang bersama Alfa. Membuat kami tidak bisa menghabiskan saat makan siang. Sekali lagi hanya bisa melihat dari jauh, dia akan membalas dia akan menundukkan kepala.
Sudah beberapa kali saja aku bisa pergi sedang bersama dua teman perempuannya. Lihatlah apa yang ada di kelas satu, untuk dinikmati Guru Bahasa Indonesia. Hanya bisa membayangkan sedang pemanasan jam kerja olah raga. Hanya bisa melihat aari jauh.
Itu karena dia mengirimkan sajak itu, aku sudah berusaha meminta penjelasan. Apa maksudnya dia mengirim sajak itu. Pagi hari membuat sekolah menjadi sepi, aku menunggunya di depan gerbang sekolah. Berharap dia bergerak lebih pagi. Maka kompilasi ada mobil hitam berhenti di gerbang dan terbuka pintunya. Jantungku melakukan berdetak lebih cepat. Aku menampilkan turun dari mobil. Dia sedikit terkejut ketika aku menunggunya di gerbang sekolah. Selama ini aku tidak pernah menunggunya di gerbang sekolah, pertemuan kami selalu ketidak sengajaan. Maka hari itu dia terkejut ketika melihatku sedang tersenyum menyapanya.
“Pagi, Maika.” Senyum masih mengembang di wajahku, aku berjalan dengan mobil yang mengantarnya sudah pergi. Ia tidak suka, tidak ada senyum di muka. Hanya terbang saja. Aku berjalan lebih cepat, mungkin bisa mengimbangi langkah pint.
“Kita perlu bicara.” Aku berkata, lebih cepat dari yang kurencanakan. Dia berhenti sebelum menaiki anak tangga menuju lorong kelasnya. Berbalik, melihatku.
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan." Dia mulai menaiki anak tangga.
“Ada. “Aku menutup jalannya. Berdiri tepat dua anak tangga diungkapan. Membuatnya berhenti melangkah dan menatap mataku. Ini Maika yang ku mau, dia masih menatap mataku. Menungguku Berbicara. Tapi tidak ada kata yang bisa keluar dari mulutku. Aku hanya bisa melihat matanya. Tidak ada yang lain. Dia menaiki satu anak tangga dengan tidak sabar. Membuatku sedikit terkejut, karena dia, jarak antara kita menjadi lebih sedikit.
“Apa maksud dari sajak mu?” Aku ingin tetap tenang. Meski detak jantungku semakin cepat. Dia diam. Menunduk. Aku menunggunya berbicara.
“Kamu harus pergi, sebelum ada yang melihatmu sedang bersamaku. “Dia berjalan menaiki satu anak tangga, membuat kita tidak memiliki jarak lagi. Dia tidak lagi menunduk. Kepalanya tegap menatap ke depan. Menatap manik mataku. Dia kembali berjalan menaiki satu anak tangga lagi, membuatku memberikan dia jalan. Bukan ini yang ku mau dari Maika, aku baru tersadar karena dia sudah ada dua anak tangga di depanku. Dia tidak menoleh, berjalan dengan santai meninggalkanku.
***
Bel kembali sekolah berdentang. Kami sudah siap pulang. Ugun secara mendadak langit berubah menjadi gelap. Kami tetap mendorong keluar kelas, pulang Cipta. Aku dan Darron berjalan menuju parkiran. Hari ini kami berencana untuk mengerjakan tugas di rumah Darron bersama Carroline dan Davina. Dua wanita itu sedang asyik mengobrol di dalam kelas. Aku dan Darron memutuskan pulang lebih cepat. Tidak ingin kehujanan.
Ketika kami tiba di tengah-tengah tiba-tiba saja tiba-tiba saja menumpahkan airnya. Hujan deras. Ada banyak siswa yang sedang berada di luar kelas. Mereka berlari dengan cepat, menuju tempat berteduh terdekat. Aku dan Darron ikut berlindung di teras kelas satu. Suara riuh hujan berpadu dengan suara riuh dari mulut para siswa yang sedang berteduh. Mereka tidak dapat diberikan jika hujan turun begitu deras dan mereka belum mulai dari sekolah. Aku segera teringat seseorang. Maika. Aku mendongak menatap langit. Langit yang dulu dicat sekarang telah berubah menjadi putih. Pertanda bahwa rintik akan turun lebih lama. Entah kapan akan berhenti. Aku segera berlari menyebrangi lapangan. Menuju gerbang sekolah. Berlari tercepat yang bisa.
" Kamu ke mana?" Darron berteriak, ketika melihatku sedang berlari menerobos hujan. Aku tidak menjawabnya. Terus berlari. Maika. Maika. Hanya nama dia yang ku sebut ketika aku berlari. Rasanya sangat jauh jarak antara lapangan dengan pintu gerbang sekolah.
Ketika sampai di pintu gerbang sekolah aku melihatnya. Maika. Gadis berambut sebahu dengan tas ransel berwarna coklat berukuran sedang di bahunya. Berdiri sendirian. Memeluk Tubuhnya sendiri, menghangatkan diri. Tubuhnya sudah basah. Aku tidak tahu apa yang membuatnya masih bertahan di sini ketika hujan seperti ini. Segera aku berjalan ke arahnya. Melepas jaketku, memakaikan padanya. Dia mendongak menatap mataku. Tetapi tidak menolak. Mulutnya sudah bergetar. Segera aku menelpon Darron.
" Mischa.." Suaranya lirih, diantara riuhnya air hujan. Aku hanya melihat nya, memberikan isyarat untuk diam. Dia menurutiku. Diam. Menunduk dan merapatkan jaket. Selesai menelpon Darron aku masih berdiri di sebelahnya. Sama-sama menatap air hujan yang sedang turun. Aku tidak sampai hati memeluknya dalam kondisi seperti ini. Kami hanya diam. Tidak ada yang bersuara.
" Mei - Mei, ayo." Suara perempuan yang sepertinya tidak asing sedang berbicara dengan Maika. Aku mengenal mobilnya. Dia sedang duduk di belakang, menurunkan sedikit kaca jendelanya. Di depan Darron yang memegang kemudi. Aku mengenalnya. Caroline.
Maika masih diam di tempatnya, sama seperti aku.
" Paman sudah aku kasih tahu. Kami akan mengantarmu. Ayo cepat. " Caroline dengan tidak sabar membuka pintu mobilnya, dia mengeluarkan payung untuk kami. Menyuruh kami berjalan cepat memasuki mobilnya.
Aku duduk di depan bersama Darron, Maika duduk di belakang bersama Caroline. Caroline sengaja mematikan AC mobil dan membuka sedikit kaca jendela mobil supaya kami tidak masuk angin. Tetapi menurutku ini akan percuma. Darron melajukan mobil dengan kecepatan sedang. Sepertinya dia sudah tahu alamat mana yang akan kami tuju. Aku sendiri tidak tahu akan ke mana. Jalanan kota sedikit lenggang, mungkin karena hujan deras yang mendadak. Jadi banyak orang yang memilih menunggu hujan reda.Di dalam mobil kami tidak saling bicara. Tidak ada yang bersuara. Aku hanya melihat Maika dari kaca depan. Meliriknya, sekedar tahu bahwa dia baik-baik saja.
***
" Kamu ini bodoh atau apa sih?" Darron marah karena tindakan ceroboh ku dia dan Caroline menjadi terlibat. Kami sedang ada di kamar kost ku. Darron sedang menikmati jahe hangat yang tadi dia pesan untukku dan dirinya. Kini dia sedang duduk bersantai menikmati jahe hangat di depan kamar kosku. Dia amemilih berbicara dengan ku tanpa melihatku. Karena jika ia melihatku, dia akan lebih kesal lagi.
" Untung saja Caroline, teman kecilnya Maika. Jadi tahu rumahnya." Dia masih berbicara diantara suara hujan yang riuh, sambil menikmati jahe hangatnya.
Aku hanya bisa diam di dalam kamar. Aku sendiri tidak tahu tentang apa yang terjadi padaku. Yang ku tahu dia harus aman, meski aku hanya bisa melihatnya. Tiba-tiba Darron masuk kamar kost. Melihatku yang sedang meringkuk dengan selimut tebal membuatnya tertawa keras.
" Lain kali kalau gak bisa kehujanan jangan maksa. Dasar bodoh." Dia masih menasihatiku di sela tawanya. Tetapi ketika melihatku yang sedang menerawang jauh dan tidak merespon leluconnya membuat nya, ikut tidur di sofa kamar kosku. Dia tidak lagi memarahiku atau menasihatiku. Dia tidur. Mungkin benar apa katanya kalau aku selalu bodoh, apalagi dalam urusan perempuan. Aku meminum jahe hangat ku. Ada rasa hangat yang menyelinap masuk dalam diriku, bukan hanya hangatnya jahe. Tetapi ada rasa lain, ketika aku mengingat kejadian di gerbang sekolah. Sudah lebih dari dua bulan kami tidak saling bertukar sapa atau senyum. Tetapi aku masih bisa mengingat nya ketika hujan turun Senin ini. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Mataku rasanya sudah mulai kabur saat melihat. Rasa kantuk mulai menyerang ku. Aku tidak melawannya, membiarkan nya. Aku tertidur dengan senyum mengembang dan merapatkan selimut tebal pada tubuhku.
***
MAIKA.
" Oline, maaf ya jadi merepotkan mu. " Aku dan Carroline sedang berada dalam kamarku. Tadi dia mengantarkan ku pulang. Karena Mischa yang meminta bantuan pada Darron. Dan Darron bertanya rumahku pada Carroline. Membuat Carroline mengantarku pulang bersama Mischa dan Darron. Tetapi Darron dan Mischa tidak bisa mampir ke rumah ku. Darron harus mengantar Mischa pulang sebelum dia sakit karena hujan.
Carroline masih memandang hujan dari jendela kamarku. Dia masih memakai seragam sekolah. Padahal sudah aku suruh dia berganti dengan pakaian ku. Tetapi dia tidak mau. Kebiasaan Carroline sejak kecil, tidak pernah memakai apa yang bukan miliknya. Meski dari teman dekatnya sendiri.
" Aku kangen masa kecil kita. " Carroline masih memandang hujan. Tangannya asyik bermain di kaca jendela yang berembun.
" Dulu kita sering main hujan-hujanan bersama di halaman belakang rumah. Tetapi sekarang..." Carroline berhenti dari bicaranya.
" Sama. Aku juga kangen masa - masa kita masih bisa bermain bersama." Aku berjalan mendekatinya. Ikut bermain embun di kaca jendela.
" Ketika kita tumbuh, selalu mimpi yang kita kejar. Lupa caranya bermain." Carroline berhenti dari bermain embun. Dia menatapku, berharap aku berkata sesuatu.
" Karena mimpi kita ada di sini." Hanaya itu kata yang bisa keluar dari mulutku.
" Kamu tetap sama. Mei-mei, gadis dengan imajinasi dan pemikiran yang sederhana." Carroline tiba-tiba memelukku. Membuat ku ikut memeluknya.
" Aku kangen kamu."
" Aku kangen, Mei-mei."
Aku hanya bisa mengangguk dan memeluknya lebih erat.
" Maaf ibu mengganggu, tetapi kalian harus makan." Ibu datang dengan membawa nampan berisi makanan. Kami segera melepaskan pelukan, Carroline mengusap matanya. Sepertinya dia juga menangis seperti aku.
Ibu meletakkan nampan di meja belajar. Dulu kami sering makan bersam, entah itu di rumahku atau di rumah Carroline. Tetapi sejak Carroline pindah rumah kami jarang bertemu. Hanya berkirim pesan. Menanyakan kabar masing-masing. Dan sedang mengejar mimpi atau sedang membangun mimpi. Selain itu kesibukan tugas sekolah membuat kami menjadi jarang bertemu. Hanya ketika di sekolah kami akan bertukar senyum atau sapa.
" Jangan lupa di makan." Ibu berpesan sambil menutup pintu kamar. Kami hanya tersenyum. Berjalan menuju meja untuk makan.
***
MISCHA.
Hari ini bukan Hari Senin, tetapi Hari Selasa. Aku baru saja membuka mata. Rasanya tubuhku sedikit sakit. Aku bangun dari tidur. Membuka ponsel. Ada pesan masuk. Maika.
From : Maika. 05.00
Terima kasih. Semoga tidak sakit.
Aku tersenyum membacanya. Ada semangat yang tumbuh pada diriku. Aku menuliskan beberapa kata untuknya.
To : Maika. 05.45
Lain kali jangan kaya kemarin.
Send. Aku melihat jam dinding. Astaga sudah jam lima lebih empat puluh lima menit. Aku segera bangkit dari tempat tidur ku. Harus segera mandi dan berangkat.
" Mischa." Suara Darron memasuki kamar kost ku ketika aku sedang mencari tas sekolahku. Aku tidak menjawabnya, masih sibuk mencari tas dan buku sekolah.
" Sehat ? " Darron duduk di sofa. Aku menjawab pertanyaan nya dengan anggukan.
" Sudah, ayo berangkat. " Aku sudah berdiri di ambang pintu kamar kost.
" Jaket." Darron mengingatkanku. Aku menoleh pada gantungan baju. Tempat biasa aku menggantung jaketku. Tidak ada.
" Maika." Darron yang menjawab. Sepertinya dia tahu apa yang sedang ku pikirkan. Aku berjalan menuju almari baju. Mengambil jaket yang lain.
" Dasar. " Darron menepuk bahu ku ketika kami berjalan keluar. Bersiap berangkat sekolah. Aku hanya tersenyum.
***
Kami sampai di sekolah tepat waktu. Sebenarnya masih ada lima belas menit lagi sebelum bel tanda pelajaran akan di mulai. Kami memutuskan untuk tuk pergi ke kantin. Mencari sarapan.
Kami berjalan santai menyebrangi lapangan. Carroline berjalan santai bersama Maika dari arah bersebrangan. Sepertinya mereka baru saja memarkirkan mobil di belakang. Carroline menyapa kami dengan anggukan dan senyum, melewati kami begitu saja. Tidak ada basa basi. Maika yang berjalan di sebelahnya juga melakukan hal yang sama. Tetapi dia sedikit terkejut ketika melihatku. Aku tidak tahu kenapa. Kami tetap berjalan santai menuju kantin sekolah.
" Bu sarapan dua porsi. " Aku berbicara dengan penjaga kantin bertubuh tinggi. Dengan sigap dia menyiapkan pesananku. Jus mangga dan jus jeruk, juga dua porsi nasi ayam goreng. Tempat biasa aku membeli sarapan. Darron sedang sibuk dengan ponselnya. Aku mengeluarkan ponselku. Ada pesan masuk.
From : Maika. 06.50
Gak janji. Jaket kamu masih aku bawa. Besok aku kembalikan.
Aku tersenyum membacanya. Jadi dia tadi terkejut karena melihatku dengan jaket yang berbeda. Aku menuliskan beberapa kalimat untuknya.
To : Maika. 06. 53
Tidak perlu. Kamu bawa saja jaketku.
Send. Aku mengirimnya. Dengan senyum masih mengembang di wajahku. Aku menerima nampan dari ibu penjaga kantin. Memberinya uang. Aku dan Darron berjalan cepat menuju tempat biasa kami makan.
" Hai..." Alfa sudah berada di sana. Piring dan gelas nya sudah kosong. Mempersilahkan kami duduk. Aku dan Darron saling berpandangan, tetapi segera duduk ketika perutku berbunyi. Membuat Alfa dan Darron tertawa.
" Bagaimana rasanya kenal Maika ? " Alfa bertanya padaku ketika aku baru saja menyuapkan nasi ke mulutku.
" Sudahlah, Alfa. Biarkan dia makan. Kasihan. " Darron yang menjawab. Dia ingin makan dengan tenang. Aku hanya balas mengangguk. Makan secepatnya. Sepertinya Darron juga melakukan hal yang sama. Alfa hanya bisa mengotak atik ponselnya. Menunggu kami selesai makan.
" Dia menarik. " Hanya itu yang bisa keluar dari mulutku ketika mengingat Maika. Alfa mengangguk mengerti.
" Sejak kapan kamu mau kehujanan ? " Alfa melanjutkan dengan pertanyaannya. Belum sempat aku menjawab. Darron yang duduk di sebelahnya sudah tertawa keras. Aku hanya senyum. Alfa juga ikut tertawa seperti Darron.
" Dia itu bodoh atau apa sih. Untung saja hari ini dia tidak sakit. " Darron yang menjawab. Aku hanya bisa diam dan tersenyum.
" Jadi kalian berangkat bersama ? " Alfa masih melanjutkan pertanyaannya. Aku dan Darron hanya bisa mengangguk.
" Setelah kejadian kemarin, aku salut sama kalian. " Alfa kembali bersuara setelah suara tawa Darron dan Alfa reda. Mereka tidak lagi menertawakanku.
" Siapa ? " Aku bingung dengan kalimat Alfa.
" Kamu sama Maika. " Alfa menjawab dengan santai.
" Memangnya kenapa ? " Darron kembali bersuara.
" Nando suka sama Maika. Tetapi Maika tetap cuek. " Aku hanya bisa senyum.
" Kalau dia suka. Kemarin dia ke mana? " Aku tidak sadar kalimat itu keluar dari mulutku. Aku masih kesal ketika melihatnya berdiri sendirian dengan tubuh basah di depan gerbang sekolah.
" Dia membawa payung untuk Maika. Tapi Mischa sudah duluan memberikan jaketnya. " Alfa menjelaskan.
Kami hanya diam mengangguk. Tidak ada yang bersuara.
Bel tanda pelajaran akan di mulai berdentang. Kami segera pergi dari kantin. Berjalan cepat menuju kelas masing-masing. Berharap guru pelajaran yang akan mengajar belum datang.
***
Suara hujan masih menemaniku hingga malam. Tubuhku rasanya sakit semua, aku hanya bisa duduk di sofa dan melihat hujan dari dalam kamar kost. Pintu aku biarkan terbuka, sedikit udara dingin mungkin tidak apa. Karena tubuhku sudah tidak bisa menerima dinginnya udara malam ini. Mungkin dinginnya udara ketika musim hujan. Pikiranku menerawang jauh.
From : Darron. 07.00
Cepat sehat. Pelatih nunggu kamu.
Aku hanya bisa tersenyum ketika membaca pesan dari Darron. Hari ini ada pertandingan basket antar sekolah. Karena sejak jam pulang sekolah tubuhku sudah demam, anak-anak yang lain menyuruhku pulang. Istirahat. Entah karena apa setiap kali aku kehujanan aku akan demam. Anehnya, ketika Hari Senin yang lalu. Ketika aku kehujanan karena Maika masih menunggu di gerbang sekolah. Aku tidak sakit. Tetapi karena kemarin ketika aku pulang latihan, aku kehujanan. Tubuhku tadi pagi sedikit demam. Aku memutuskan pulang. Istirahat. Berharap ketika bangun tubuhku tidak sakit lagi. Kenyataannya ketika aku bangun tubuhku masih demam. Dan aku mencoba merebahkan dirinya di sofa, melihat derasnya air hujan turun. Dan memikirkan perkataan Alfa.
Ku letakkan lagi ponselku. Mungkin menikmati hujan akan membuatku sedikit relax. Apa karena Nando, Maika menjauh dariku? Aku memikirkannya. Pertanyaan itu muncul mengganggu ku. Tetapi selama ini aku jarang melihat mereka bersama. Maika selalu bersama Alfa atau dua teman perempuannya.
Kalau mereka saja tidak pernah bersama, lalu bagaimana dengan aku?
Aku mengambil ponselku. Alfa harusnya tahu banyak tentang Maika. Aku menelpon Alfa. Hanya berdering tetapi tidak di jawab. Aku menunggunya dengan tidak sabar.
" Halo. Nanti saja. Aku sedang sibuk. " Alfa berkata cepat, ketika menjawab teleponku. Belum sempat aku menjawab dia sudah mematikan ponselnya.
Dengan terpaksa aku hanya bisa kembali menikmati hujan. Suaranya sudah tidak sekeras tadi. Hanya rintik hujan yang turun. Sepertinya hujan ini tidak akan reda sampai besok pagi.
***
" Ada apa? " Alfa meneleponku. Sudah satu jam setengah aku menunggu telponnya. Sejak aku menelponnya lagi setengah jam setelah dia menjawab teleponku dengan cepat tanpa memberikanku waktu untuk bicara. Dan dia akan menjawab nanti aku telpon.
" Kamu ngapain sih? " Aku bangun dari tidurku. Duduk. Masih di sofa, mencari posisi yang nyaman.
" Habis nyelesain tugas. Ada apa? "
" Rajin. Maika. " Aku to the point pada Alfa.
" Sama kayak kamu. Demi Maika, rela kehujanan. " Alfa menjawab dengan suara riang. Aku hanya bisa tertawa. Tetapi aku penasaran, apa yang membuat Alfa rajin belajar.
" Kamu lagi pendekatan sama siapa? " Aku ingin tahu cewek mana yang sedang diincar Alfa.
" Reyna. Anak Guru Bahasa Indonesia kita. " Alfa menjawab dengan percaya diri. Tidak ada keraguan dari suaranya.
" Gila kamu, berani deketin anaknya. " Aku kagum pada Alfa.
" Memangnya kenapa? Dia jadi orang tua yang baik dan guru yang galak. "
" Nah itu kamu tahu. " Aku masih penasaran dengan cerita Alfa. Aku tersenyum ketika mendengar Alfa memuji Guru Bahasa Indonesia.
" Kalau di sekolah aku masih siswanya. Kalau aku ke rumahnya, aku temen anaknya. "
" Kamu berani ke rumahnya? " Aku sudah tidak lagi bersandar pada sofa. Aku sudah duduk. Serius mendengarkan cerita Alfa.
" Kadang seminggu sekali. Sama Maika. "
" Mereka tetangga?"
" Iya. Anaknya temannya Maika sama Carroline. "
" Tunggu Carroline itu temannya Maika? "
" Mereka sahabat. Tetapi sejak Carroline pindah rumah mereka jarang komunikasi. "
Aku hanya menganguk mendengar penjelasan Alfa. Dia tahu lebih banyak dari yang aku duga.
" Lalu bagaimana dengan Nando? "
" Nando ? "
" Iya, maksudku mereka jarang terlihat bersama. "
" Jadi kamu telpon aku buat cari info tentang Maika? " Sepertinya Alfa baru sadar atas apa tujuanku menelponnya.
" Iya. "
" Oke gini cerita yang ku tahu dari mereka. " Alfa berbicara seakan sedang mendongeng untuk anaknya. Aku mencoba mendengarkan dengan serius, jangan sampai aku tertawa ketika Alfa bercerita dengan nada mendongeng. Dia akan marah.
" Nando dan Nadine, mereka sepupu. Sama suka game. Nadine dan Nara mereka teman dekat Maika. "
" Yang mana yang Nadine? " Aku tidak tahu. Yang ku tahu Maika sering bersama dua temannya.
" Hmm... Nadine, yang satu kelompok sama aku. Nara yang punya rambut bergelombang. " Alfa mencoba mengingat.
" Oke. Lalu ? "
"Setahuku Nando sering ngajak Maika ngobrol atau keluar, tetapi Maika selalu menolak. "
" Kenapa ?"
" Aku tidak tahu. Aku bukan Maika. " Alfa menjawab dengan nada kesal. Dan dengan refleks aku tertawa mendengarnya.
" Kalian kan sering bersama ? "
" Maika tidak sama dengan gadis lain. " Alfa kembali menjawab pertanyaanku dengan nada bicara santai. Tidak mendongeng atau kesal.
" Sebenarnya kamu suka sama Maika atau Reyna ? " Aku hanya ingin memastikan. Di seberang, Alfa tertawa keras.
" Aku sudah suka sama Reyna, sebelum ketemu Maika. Mungkin jika aku ketemu Maika aku juga suka dia. "
" Dasar playboy. "
" Tenang, Mischa. Belum jadi kekasihnya jangan cemburu. "
" Sebentar lagi. " Aku menjawabnya dengan cepat. Tetapi segera menyesal, setengah menyesal dan berharap. Di seberang suara Alfa tertawa keras, membuatku sedikit menjauhkan ponsel dari telingaku.
" Semoga saja. " Dia berkata di sela tawanya. Tetapi aku masih bisa mendengar suara tawanya yang perlahan berhenti.
" Dia tidak pernah bercerita padamu atau dua temannya ? "
" Aku tidak tahu, Mischa. " Alfa menjawab dengan santai.
" Lalu apa yang kamu tahu ? " Aku kesal pada Alfa. Dia tidak memberikan informasi yang ku mau. Tetapi menertawakanku.
" Nando suka cemburu kalau dia melihatku sedang bersama Maika. " Kadang aku kagum padamu, bagaimana kamu bisa dekat dengan Maika.
" Tahu darimana kamu ? "
" Dia selalu ada saat Maika bersama cowok lain. "
" Kalau sama cewek ? "
" Apa ? " Dasar Alfa, susah paham. Aku sedikit kesal padanya.
" Bagaimana saat Maika sama cewek, di mana Nando ? "
" Ohh... Kalau itu dia tidak ada. Tetapi kan ada Nadine, sepupunya. Mungkin dia merasa aman. "
" Oke. Terima kasih. " Cukup. Aku hampir mematikan telepon ku.
" Nara dan aku ada di pihak kalian. "
" Apa maksudmu ? " Aku tidak mengerti.
" Kamu tidak tahu ? " Alfa bertanya pada ku.
" Apa ? " Aku benar-benar tidak tahu.
" Nadine suka kamu. "
Aku hanya diam. Alfa juga diam. Kami tidak bersuara. Aku tidak tahu Alfa tahu tentang ini. Aku sendiri tidak tahu.
" Kamu ingat, saat meminta No ponsel Maika ? " Alfa kembali bersuara. Aku mengangguk, tetapi Alfa tidak bisa melihat ku.
" Iya.. "
" Nadine dan Nando tidak suka itu. "
" Apa mereka ada di sana ? "
" Iya mereka melihatnya. "
" Kamu ? "
" Aku tidak ada. Nara yang bercerita. "
" Kenapa ? "
" Apa ? "
" Kenapa Nara cerita ? "
" Nara cerita padaku supaya bisa bantu Maika. "
" Bantu apa ? "
" Nara tidak ingin sahabatnya bertengkar gara-gara aku atau kamu. "
Aku mengerti maksud baik Nara. Aku hanya bisa diam. Memikirkan hal lain. Mulai merenung.
" Terima kasih. " Hanya itu yang bisa kukatakan pada Alfa.
***
Lima bulan yang lalu.
" Dimana Nadine ? " Aku bersandar pada gazebo, tidak sampai duduk. Lelah rasanya, aku sudah berjalan cepat dari kantin ke sini. Nafasku tersengal-sengal. Di gazebo hanya ada Nara. Dia sedang memijat kepalanya, di atas meja, mukanya sedang sedih. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya. Dia masih menunduk, mungkin tidak mendengar suaraku.
" Nara.. " Aku duduk di sebelahnya. Dia mendongak, memelukku.
" Ada apa ? " Aku hanya bisa membalas pelukannya. Kami saling diam tidak ada yang bersuara.
" Aku rindu kita yang dulu. " Aku hanya bisa diam. Tidak mengerti maksudnya. Nara melepas pelukannya.
" Aku tidak tahu, tapi rasanya ada yang aneh dengan diriku. " Aku mulai bercerita pada Nara. Kami duduk saling berhadapan.
" Aku tahu. " Nara sedikit sedih mengatakannya.
" Apa ? " Aku sendiri tidak tahu lalu bagaimana Nara bisa tahu. Aku menatapnya, berharap dia mau menjelaskan kepadaku. Nara tidak menjawab, dia masih diam. Menunduk.
" Yang ku tahu, Maika. Apapun yang terjadi tolong... Pertahankan persahabatan kita. Kalau memang tidak bisa juga tidak apa-apa. " Nara menjelaskan dengan serius. Aku diam. Sekali lagi tidak mengerti maksudnya.
" Aku tidak mengerti maksudmu, Nara ? Tetapi aku berjanji akan mempertahankan persahabatan kita. "
Nara hanya menganguk. Kami kembali saling diam.
" Sebenarnya apa yang terjadi ? Adakah yang salah dengan ku kepada kalian ? " Aku kembali bersuara, rasanya ada yang sedang Nara sembunyikan dari diriku. Nara mendongak, melihatku. Sekali lagi dia memelukku.
" Aku sayang kamu, Maika. "
" Aku sayang kamu, Nara. "
Nara melepaskan pelukannya. Dia mencoba menghembuskan nafas panjang. Sepertinya dia akan bercerita kepadaku.
" Nadine. Dia suka iri ketika lihat kamu makan siang sama Alfa dan temannya. Dia tidak suka itu. " Aku mengangguk.
" Kenapa ? "
" Dia suka sama temannya Alfa. Yang dulu dia stalking, temennya Carroline. "
" Maksudmu Mischa ? " Nara menganguk.
" Nando suka sama kamu. Dan mereka tidak suka ketika kalian makan siang bersama. "
" Kami hanya makan siang bersama, tidak lebih. "
" Aku tidak tahu. Tetapi mereka tidak suka akan hal itu. " Aku hanya bisa mengangguk, mencoba mengerti.
" Aku akan mencoba jaga jarak dengan mereka. " Hanya itu yang bisa ku ucapkan.
" Semoga mereka mengerti jika kamu melakukan demi mereka. " Aku hanya mengangguk. Kami kembali ke kelas. Sebentar lagi jam pelajaran berikutnya akan di mulai.
Ada tekad bulat di diriku. Untuk tetap mempertahankan persahabatan kami.
***
NARA
" Fa, kita perlu bicara." Aku menghentikan kegiatan Alfa yang sedang memasukkan buku pelajaran ke dalam tasnya. Pelajaran Biologi baru saja selesai. Aku yang duduk di seberang Alfa, berbicara sedikit pelan. Alfa tidak menjawab, hanya menganguk.
Kami berjalan ke gazebo taman. Hari ini matahari sangat terik. Mem buat kami gerah.
" Ada apa ? " Alfa memilih bersandar pada pohon mangga. Pohon itu besar, di bawahnya terasa sejuk.
" Tadi Maika ketemu Mischa. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tetapi Nando dan Nadine tidak suka akan hal itu. "
" Lalu ? " Alfa menjawab dengan santai.
" Kamu. Bantu selesain masalah kami. " Aku memukul bahunya. Bagaimana dia tetap santai dalam keadaan seperti ini.
" Apa yang bisa ku lakukan ? " Alfa kembali serius.
" Aku sendiri tidak tahu. Tetapi aku tidak ingin Maika punya masalah dengan Nando atau Nadine. Mereka ambisius. " Alfa hanya bisa menganguk.
" Janji ? " Aku tidak menunjukkan jari kelingking ku. Hanya menatap manik mata Alfa. Dia membalas tatapan ku. Tetapi kemudian dia menganguk dan tersenyum kecil.
Hanya itu yang bisa ku lakukan pada Maika. Aku dan Alfa berjalan menuju lapangan. Alfa berbelok menuju parkiran motor. Aku berjalan lurus menuju gerbang sekolah, hari ini aku diantar.
***
MAIKA.
From : Mischa. 05.00
Jika kata adalah mantra,
Bisakah aku meminta apapun,
Jika kata tiada arti,
Mengapa kita berbicara,
Ada yang lebih perasa dari mulut dan mata
Ada yang lebih indah dari kata
Ada yang mengerti tanpa harus bicara
Ada yang jelas meski tak terlihat
Untukmu, mungkin bukan kamu tetapi kita
Aku hanya bisa tersenyum ketika membacanya. Kami tidak saling berkirim sajak, ada yang aneh, membuat saya pesan pada pagi hari. Dan hari ini aku tersenyum, membaca pesan darinya.