MAAF, MISCHA
Jika kata adalah mantra,
Bolehkah aku meminta apapun,
Jika kata tiada arti,
Mengapa kita berbicara,
MAIKA.
Senin, hari di awal minggu. Bagiku hari Senin adalah segalanya, untuk mengawali hari - hariku selanjutnya. Bulan pagi ini aku bangun terlalu siang. Karena kemarin asyik membaca buku tentang petualangan anak minang yang keliling lima benua menuju berbagai negara. Tiga buku baca sejak pulang sekolah. Hari libur, ku habiskan dengan membaca buku selanjutnya. Kubalkan janji jalan-jalan dengan teman-teman, termasuk dengan Alfa dan Nayla.
Dan minggu ini berakhir dengan bangun siang, karena aku akan membaca buku yang sepert.
“Mei-mei, cepat. Ini sudah siang. ”Ayah kuembung dari ruang tamu. Bersiap berangkat.
“Iya. Yah. ”Aku ran sambil makan roti tawar. Mencium pipi kanan kiri ibu.
“Hati-hati di jalan.” Ibu berteriak dari dapur, dan aku sudah ada di dalam mobil. Siap berangkat.
Ayah memacu mobil dengan kecepatan tinggi. Memutar, menuju jalan dalam kompleks. Tidak melalui jalan kota dan utama. Kami memilih jalan tikus, memutar lebih jauh menuju sekolahku. Dan tepat waktu di depan gerbang sekolah. Setelah mencium tangan ayah, aku keluar mobil. Segera berlari menuju lapangan. Mencari barisan teman sekelasku. Naah, aku menyusui, segera berlari.
Bruk.
Aku kejatuhan terduduk, ada yang aku menabrak seseorang karena tidak memperhatikan jalanku. Orang sedang tepat di depanku. Dia tidak memarahiku, atau berteriak padaku. Dia mengulurkan tangan, aku menerimanya. Membantuku berdiri. Lalu kulontak tanganku darinya. Aku membersihkan rok dan bajuku. Terima kasih, ku tatap matanya. Aku tidak bisa lagi, berlari menuju barisan temanku.
***
“Maika.” Alfa memanggilku, dia membawa selembar kertas.
Aku hanya mendongak, dia berjalan menghampiriku.
“Ada tugas dari Guru Bahasa Indonesia.”
“Apa? ”Nara, gadis berputar panjang dan bergeombang, datang menghampiri kami.
“Ada tugas kelompok, ini. “Alfa memberikan kertas yang sedari lalu dia bawa.
“Kelompoknya sudah di bagi?” Nara Tanya.
Alfa hanya menganguk kecil dan tersenyum. Kami hanya bisa menggelengkan kepala. Nara pergi meninnggalkan kami, berjalan ke depan. Bersiap memberi tanggal.
“Teman - teman ada tugas kelompok Bahasa Indonesia dan ini daftar nama anggota perkelompok.” Nara menuskan kertas yang dia bawa ke mading kelas kami. Suara tenang berubah menjadi suara riuh. Kami selalu menolak tugas kelompok yang anggotanya sudah di bagi oleh guru. Bagi kami itu tidak adil. Suara itu semakin riuh, tak ada yang tenang. Mereka protes, ada banyak suara yang terdengar, banyak mulut yang berbicara. Alfa yang sejak tadi hanya berdiri dan senyum-senyum sendiri di sebelahku, kini mulai berteriak. Telinganya sudah sakit Menyenangkan teman - teman kami.
"Diam." Alfa berteriak, ekspresi satu persatu. Suara riuh sudah tidak seperti tadi, perlahan teriakan menjadi suara bisikan-bisikan. Hanya beberapa yang masih berbicara dengan nada normal. Sebelum mencampur Alfa dengan mereka, mereka hanya bisa diam. Menutup mulut.
“Tugas kelompok ini di kerjakan selama satu semester, karena anggota kelompok sudah di tentukan jadi kita harus bisa kerja sama. Dan selama satu semester itu kita harus memberikan hasil terbaik, kita bisa memilih anggota kelompok untuk semester dan kerja kelompok selanjutnya. Setiap satu bulan sekali kita harus memberikan laporan hasil kerja kelompok kepada Guru Bahasa Indonesia, Jika dia merasa hasil kerja kelompok belum baik. Maka itu akan menjadi Tugas tambahan untuk bulan berikutnya dan jika Anda merasa belum mengetahui bahwa BAB yang sedang kalian kerjakan. Kalian bisa berdiskusi dengan beliau di ruangannya. Satu bulan sebelum ujian semester tugas ini harus sudah selesai. “
Dengan berat hati kami menuju teman-teman peringkat kami. Mengeluarkan buku Bahasa Indonesia, membukanya. Sudah cukup sampai melalui buku, yang sedang dilakukan Alfa, kami akan memulai kerja kelompok.
“Kamu kenapa?”
“Apa?” Alfa menoleh, melihatku. Buku Bahasa Indonesiaya dia biarkan terbuka, tanpa melihat halaman berapa yang sedang terbuka.
“Lihat itu. “Alfa melihat halaman yang dibuka.
"Maaf." Hanya tersenyum, masalah membolak-balik halaman demi halaman. Tanpa tahu halaman beerapa yang sedang kami Diskusikan.
Kelompok kami kami terdiri dari aku dan Alfa. Nando, cowok berambut pendek, berkacamata dan berwajah tirus namun tegas. Dan Nadine, gadis berambut lurus dan panjang dan berwajah gemuk. Dan selain itu Alfa tidak menyebut kempok kami. Dia tidak bersemangat, tidak seperti biasanya. Kami berdiskusi tentang pembagian tugas kelompok. Alfa hanya menganguk dan menggeleng, tanpa memberikan pendapat atau sanggahan dari pendapat kami. Wajahnya terlihat bosan. Kami tetap melanjutkan diskusi tanpa tau apa yang membuat Alfa seperti ini.
“Teman-teman, Kalian bisa bekerja kelompok di luar kelas. Pastikan babak baik. ”Alfaid memberi pengumuman, lalu duduk lagi. Sebelum muncul bosan. Suara dari teman-teman mulai terdengar. Bagi kami adalah udara segar di bagian tengah yang memberatkan kami. Nara dan teman satu kelompok yang sedang membereskan buku-buku dan siapa saja yang ada di meja, mereka meninggalkan meja yang sudah bersih, keluar kelas. Ku lihat teman yang lain dan juga melakukan hal yang sama, keluar kelas. Entah membawa buku atau tidak.
"Kita bekerja kelmpok di mana?" Nadine bersuara, anggota sibuk membereskan benda-benda miliknya yang tercecer di meja.
“Perpustakaan. Di sana banyak referensi untuk tugas kita. ”Nando syasnsg bersuara, membayar ditutup notebook milliknya.
“Kantin aja, konfigurasi lagi jam istirahat. Perutku minta di isi. ”Alfa menutup buku milikya, menunggu kami membersihkan meja.
“Setuju, kantin.” Nadine selesai membereskan benda-benda miliknya, bersiap untuk pergi.
Aku dan Nando saling menatap mata.
“Oke. Kantin. ”Aku dan Nadine berjalan lebih dulu. Nando dan Alfa berjalan di bagian kami.
***
"Kita sekarang mengerjakan Bab pertama." Nando bersuara, hebat mengotak-atik notebooknya. Aku dan Nadine sibuk dengan ponsel masing-masing. Alfa sebaliknya sibuk buka makanan ringan yang tadi dia beli bersama Nadine. Dengan santai terbuka mulut dan biayanya. Kami sdang berada di pojok kantin, ini ide Alfa dan kami menyetujuinya karena memang tempat ini tersembunyi tapi tetap bisa melihat keadaan kantin. Hanya ada satu meja dan sedikit lebih besar dari meja yang ada di sana, ada enam kursi kosong. Aku duduk di depan Nando, di sebelahku tempat duduk Nadine, dan Alfa duduk di sebelah Nando. Menyisakan dua kursi kosong di sebelah Nadine dan Alfa.
“Fa, aku mau itu. “Nadine mengulurkan khusus.
“Nih. “Alfa menyodorkan makanannya. Nando hanya melihatnya. Mereka adalah asyik makan camilan. Nadine sibuk mengunyah makanannya tetapi badan sibuk mengotak- atik ponsel seperti yang kulakukan. Nando menatap serius notebooknya, Alfa santai makan camilannya.
“Fa kamu gak ikut kerja kelompok?” Nando bersuara.
"Ikut." Alfa tetap santai mengunyah camilannya.
"Pakai tabletku aja." Nadine menyodorkan tabletnya, tekanan yang lain mengambil camilan miliknya. Alfa menerimanya, mengotak-atiknya. Nando kembali ke layar notebooknya. Wajah Alfa berubah, aku merasa dia sedang tidak mengerjakan tugasnya, tetapi sedang bermain game.
Aku Kembali melompati layar ponselku. Mencari referensi dan video sastra lama.
"Fa, kamu mau?" Nadine kembali bersuara, kali ini dia yang menyodorkan makanannya. Alfa tidak menjawab, hanya menggeleng. Matanya tetap iklan dan layar tablet Nadine. Kami kembali ke pekerjaan kami. Kembali fokus mengerjakan tugas masing-masing.
Dari suara mulut Nadine, ada yang mengerjakan tugas sambil nyemil. Terdengar dari mulutnya yang tidak berhenti mengunyah. Aku masih sibuk dengan ponselku. Nah, ini yang ku cari. Di situ tertera puisi WS Rendra dan ulasannya, juga videonya.Aku siap menulis. Nade menyodorkan camilannya adaku, aku menggeleg.Fokusku masih di riwayat puisi.
"Kenapa?" Tanya Nadine padaku.
Sekali lagi aku menggeleng, ataku masih fokus untuk layar ponselku.
“Ini enak, gak beracun kok.” Bujuk Nadine, ia sendiri dari biaya makanannya. Aku masih fokus pada layar ponsel, kata kunci dari WS Rendra. Nadine ang duduk di sebelahku tiba menggeser kursinya, tetapi kemudian terdiam dan tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
“Kamu mau ke mana?” Aku bertanya pada Nadine, dan ikut melihat ke arah Nadine termenung. Aku melihat, seseorang yang dulu aku tabrak dan menolongku sedang berdiri di hadapan kami bersama salah satu di dalam. Mereka sedang membawa nampan makanan dan minuman. Aku masih ingat kalau hanya bertemu sekali dengannya. Aku dan Nadine yang sedang termenung, Alfa dan Nando ikut melihat apa yang kami lihat. Mereka tidak lagi akan menyalakan layar tablet atau notebook.
“Hei! Kalian mau makan, duduk di sini saja. ”Alfa yang bersuara lebih dulu, ada yang mengenal salah satu dari mereka atau aku tahu, aku tidak tau pasti. Dan dengan sadar diri dan Nadine memberikan mereka tempat duduk dan sedikit meja untuk tempat mereka makan. Membersihkan bungkus dan sisa makanan Nadine dan Alfa. Menutup buku dan catatan yang tidak kami siapkan. Membiarkan mereka duduk di sebelah Alfa dan Nadine. Mereka memasukkan nampan mereka yang berisi makanan dan minuman. Mereka taadi pagi tidak sarapan, sama sepertiku. Hanya sepotong roti selai cokelat. Aku tidak lagi menghiraukan mereka. Kembali fokus ke tugasku. Mulai menulis dan menyalin.
“Kenapa tadi kamu terlambat?”
Teman Alfa yang duduk disebelah Nadine bersuara. Cowok dengan tubuh tinggi kekar, berambut pendek dan terang. Seorang pemain basket. Aku hanya mendengarnya tanpa melihat mereka, aku masih bisa mengubah posisi ponsel. Kembali mencari referensi.
“Biasa bangun kesiangan.” Teman Alfa yang duduk di sebelahnya menjawab.
“Trus kenapa tadi bahagia?” Mereka masih melanjutkan pembicaraan.
“Biasa aja tuh. “Dengan membenturkan mereka, mereka akan berbicara tentang sesuatu yang lebih panjang.
“Ketemu ceweknya kali.” Alfa juga ikut dalam pembicaraan, ikut menimpali. Dan dengan santai mengambil camilan Nadine.
“Itu punya kita, jangan makan.” Nadine meyakinkan camilan yang sedang dibuka Alfa mengambilnya. Membuat ak dan Nando terusik, kami saling berbicara dan kembali melanjutkan peyers kami.
"Tapi aku laper." Alfa kembali bersuara.
“Sekali gak mau, gak boleh ngambil.”
“Pelit.”
“Bodo amat.”
Aku dan Nando membereskan benda-benda milik kami, bersiap pergi. Melakukan tugas-tugas seperti ini akan sulit untuk di kerjakan.
“Kita duluan, kalau kalian sudah selesai jangan lupa sama-sama masing-masing.” Aku berdiri, berpamitan dengan Alfa dan Nadine. Aku dan Nando pergi. Meninggalkan mereka. Tidak lama kemudian Nadine ssudah ada di sebelahku. Berjalan dengan santai, membawa camilannya.
“Sebentar lagi istirahat, kalian gak mau beli makan dulu. “Nando bersuara. Aku dan Nadine terlihat menggeleng. Hari ini aku, Nadine dan Nara siap untuk bawa bekal dari rumah. Nanti waktu istirahat kami akan makan dan bertukar lauk di gazebo taman sekolah. Kami berjalan, kmbali ke kelas. Menunggu beladakan berbunyi.
***
“ Maika. “ Nadine memanggilku, kami sedang berada di kelas. Masih menungu bel istirahat. Meskipun di dalam kelas hanya ada beberapa siswa. Aku dan Nara sibuk mencari novel terbaru dari aplikasi perpustakaan sekolah. Aku tidak menjawabnya, hanya mendongak, menatapnya.
“ Ada pesan masuk dari ponselmu.” Dia kembali menatap layar tablet miliknya.
Aku mengambil ponselku yang tergeletak di atas meja bersama ponsel Nara dan Nadine.
From : Alfa. 10.55
Aku dapat tugas berat dari Nando, habis istirahat tolong bantu aku. Maika baik. ?
Beberapa kata kukirim untuknya.
To : Alfa. 10.59
Gak janji.?
Aku kembali fokus melihat notebook bersama Nara. Mencari bacaan bagus untuk hari Sabtu. Nadine sibuk bermain game di tabletnya.
“Kita ke gazebo aja, yuk. Nunggu bel istirahatnya di sana.” Nadine bersuara, sepertinya dia sudah bosan dengan gamenya. Aku dan Nara saling pandang. Nadine ada benarnya, membuat kami mengiakan ajakannya. Kami bertiga berjalan menuju gazebo taman sekolah, sambil membawa kotak makan kami dan notebook Nara.
Lorong sekolah sepi, mungkin mereka sedang ada pelajaran di sekolah atau justru sedang mengantri makanan di kantin sekolah. Hanya beberapa siswa yang terlihat di luar kelas, kami juga saling menyapa dengan teman yang kami kenal. Tidak ada yang bersuara diantara kami, hanya berjalan bertiga. Melihat keadaan kiri kanan. Seperti kucing yang bersiap mengambil ikan di atas meja. Nadine yang biasanya paling banyak berbicara, kini dia menatap serius layar ponselnya. Wajahnya berseri bahagia, tetapi dia tetap tak bersuara.
Taman sekolah sepi, hanya ada sedikit siswi yang sedang asyik bercanda di gazebo taman. Anak- anak yang lain pasti sedang ada di kantin, mengantri membeli makan siang. Kami menuju gazebo terdekat. Melepas sepatu, meletakkan makanan dan notebook diatas meja. Bersiap melanjutkan mencari referensi bacaan bersama Nara.
“ Nah, akhirnya ketemu juga.” Nadine bersuara, tangan kanannya asyik mengotak atik ponselnya, tangan kirinya masih memegang tas kecil berisi makanan, mnuman dan tabletnya.
“ Apa?”
“ Siapa ?” Aku dan Nara bertanya bersamaan.
“ Nih. So cool.” Nadine menyodorkan ponselnya pada kami. Nara menerimanya, Nadine melepas seepatunya dan meletakkan tasnya di atas meja. Ikut duduk dekat kami.
“ Maksud kamu Mischa, sebelas Ilmu Pengetahuan Alam Tiga?” Nara yang bersuara lebih dulu, tangannya masih menscroll layar ponsel Nadine, melihat lebih banyak. Aku tak bisa meihat siapa dia. Ada banyak foto di sana. Dan dalam foto itu tidak ada yang seorang, selalu ada tiga atau empat orang. Yang ku tahu di situ juga ada foto Alfa bersama mereka.
“ Kamu kenal sama dia?” Nadine bersemangat, matanya membulat.
“ Gak kenal, cuma tahu aja.”
“Apa aja yang kamu tahu?” Nadine bersemangat bertanya, mereka duduk lebih dekat. Aku duduk lebih dekat pada mereka.
Drttt...
Getar ponselku, membuat ku mengurungkan niat untuk ikut dalam pembicaraan mereka.
From : Alfa. 11.03
Jangan kaya gitu. Katanya kamu teman baikku? Kamu tega ninggalin teman baikmu dengan banyak masalah tanpa membantunya.?
Aku tersenyum membaca pesan dari Alfa. Berfikir sejenak, lalu aku menuliskan beberapa kata untuknya.
To : Alfa. 11.04
Iya, nanti aku bantu setelah istirahat. Demi teman baikku. Alfa ?
Kuletakkan ponselku di meja. Membuka notebook Nara, kembali mencari referensi bacaan. Ku lihat Nara dan Nadine sedang asyik berbincang.
“ Iya, mereka biasanya berkumpul sepulang sekolah bersama Carroline dan teman-temannya, di parkiran.” Nara menjawab santai, tangannya tidak lagi memegang ponsel Nadine.
“ Carroline, gadis berambut panjang hitam legam itu. Ketua OSIS kita?”
“ Iya. Dia juga ketua kelas mereka. Sangat tegas dia, bahkan terlalu menakutkan untuk ukuran cewek.”
“Kenapa?”
“ Dia bisa memberikan hukuman dan tidak ada perlakuan khusus untuk orang lain, termasuk cowoknya sendiri.”
Hanya itu yang ku dengar dari pembicaraan mereka, sisanya tak ingin ku dengarkan lagi. Fokus menatap layar notebook Nara. Sepertinya mereka akan melanjutkan pembicaraan tentang Carroline dan teman-temannya. Menurutku tidak ada yang salah jika seorang cewek bersikap lebih tegas kepada siapapun.
Ponselku kembali bergetar, ada pesan dari Alfa.
From : Alfa. 11.05
Maika baik.?
Aku hanya tersenyum membaca pesannya. Kuletakkan lagi ponselku di atas meja. Dentang bel istirahat berbunyi.
“ Maika.” Suara Nara.
“ Ya.” Aku menoleh, melihat mereka.
“ Ayo makan.” Nadine yang bersuara, wajahnya berseri bahagia.
Aku hanya menganguk, membuka kotak makanku. Kami bersiap makan siang. Selama makan siang kami tidak bersuara. Asyik menikmati makan siang, hanya bertukar lauk. Tetapi tidak ada yang bersuara. Sepertinya ada banyak kebahagian yang sedang dipikirkan Nadine. Dia makan siang dengan lahap. Aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Nara, temanku ini dalam keadaan apapun akan terlihat sama. Dingin, dengan ekspresi cuek. Tetapi dia seorang yang peduli.
Hari ini Nara membawa onigiri berisi sosis, hanya membawa lima dengan ukuran lebih kecil dari biasanya. Dan acar sayur, lengkap dengan kecap dan sambal khas jepang. Aku dan Nadine mengambil masing-masing satu onogiri dari kotak makan Nara.
Nadine membawa sepuluh potong sushi ukuran sedang berisi sosis dan sayuran, juga beberapa potong wortel, paprika dan sosis. Aku dan Nara mengambil masing masing satu potong sushi.
Dan inilah alasanku tidak bisa sarapan, menyiapkan nasi goreng berbalut telur dadar. Tadi pagi aku bangun siang, dan harus menyiapkan bekal makanku. Selesai mandi dan bersiap diri, aku mulai memasak. Aku menggoreng nasi dan mengocok susu bersama telur. Lalu menggorengnya, ketika telur dadar setengah matang. Aku memasukkan nasi gorengku yang berisi sayur dan sosis. Lalu menggulung telur dadar, sehingga membentuk setengah lingkaran. Membolak-baliknya supaya tidak gosong. Aku membuatnya tiga ukuran sedang dan membawa sedikit acar segar dan saus. Aku membagi satu bagian kepada Nara dan Nadine.
“ Setelah ini kita ke kelas atau tetap di sini?” Nadine menyuapkan suapan terakhirnya berisi sayur dan sosis. Lalu minum air putihnya.
“ Ke kelas saja. Aku ada tugas yang belum selesai.” Nara mengambil botol kecil berisi susu, meminumnya.
“ Aku mau ke perpustakaan, bantuin Alfa ngerjain tugas.” Aku menutup kotak makanku. Mengambil botol air minumku.
“ Alfa kamu bantu, kapan kamu bantu aku?” Nadine merajuk.
“ Kamu sudah bisa ngerjain tugas kamu sendiri. Memangnya ada yang perlu kubantu lagi?” Seingatku Nadine adalah tipe cewek yang rajin dan disiplin.
“ Ada.”
“ Apa?” Tanya Nara dan aku bersamaan. Kami meletakkan botol minum masing-masing. Menatap serius Nadine.
“ Ngalahin Alfa main game ini. “ Nadine menunjukkan layar tabletnya. Di situ ada gambar seorang cewek yang membawa senjata bersiap menembak, dengan latar kota yang maju tapi tidak berpenghuni. Sepertinya game ini berisi misi pencarian. Aku dan Nara hanya tersenyum dan menggeleng kepala. Sudah kuduga, pasti bukan soal pelajaran yang menjadi masalah Nadine.
“ Memangnya Alfa suka main game kaya gitu?” Tangan Nara asyik mengarahkan kursor notebooknya, mencari buku bacaan lebih banyak lagi.
“ Hmm.. iya.” Nadine menatap serius layar tabletnya.
Aku dan Nara saling pandang. Lalu kami tersenyum. Nadine kalau sudah bermain game, tidak akan ada yang bisa membuatnya berpaling kecuali alarm dari dirinya berbunyi. Aku dan Nara kembali fokus mencari lebih banyak lagi bacaan. Membiarkan Nadine bermain game.
“ Hei...” Suara Nadine dan seorang cowok. Mereka berterak bersama. Sepertinya Nadine telah kehilangan sesuatu di game-nya.
Aku dan Nara reflek menoleh, mencari siapa yang berteriak.
“ Apa ? ” Nadine melepaskan pandangannya dari layar tabletnya, meletakkan tabletnya di meja.
“ Aku tahu kamu yang teriak, tapi ada suara cowok. “ Nara menjelaskan pada Nadine. Itulah yang membuat kami mencari asal suara. Karena di sini hanya ada kami. Tidak ada cowok.
“ Sama teman sendiri lupa.” Alfa berdiri, di luar gazebo. Bersiap melepas sepatu.
“ Ada apa? “ Nara bertanya sambil memberi ruang untuk Alfa duduk.
“ Nanti kalau ada panggilan atau pengumuman dari guru, kamu yang datang. Aku mau belajar sama Maika di perpus.” Alfa dengan santai merebahkan diri di sebelah Nara , dengan kaki masih menggantung. Membuat kami duduk lebih merapat.
“ Iya. Kamu duduk apa tidak bisa?” Nara protes.
“ Ngantuk aku, bentar lagi mau ke perpus.” Alfa menutup matanya.
“ Dasar Alfa. “ Nadine membereskan benda-benda kami supaya kami bisa lebih leluasa.
“ Hai. “ Nando berdiri di luar gazebo. Sepertinya dia merasa tidak nyaman melihat kami.
Alfa tidur di depan kami dengan kaki mengantung, entah dia tidur atau hanya pura - pura kami tidak tahu.
“ Ada apa?” Nara yang bersuara.
“ Hanya lewat.” Dia balik kanan. Pergi meniggalkan kami. Kami hanya bisa menggelengkan kepala.
***
“ Ini yang pertama untukku.” Alfa berbicara, entah dia mengucapkan mantra apa ketika kami memasuki perpustakaan sekolah.
“ Apa ?” Aku menatapnya ketika membuka pintu perpustakaan.
Alfa tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala.
Perpustakaan kami cukup luas yang berisi rak –rak tinggi yang penuh berisi buku, berjajar rapi. Tidak ada debu, ruangan ini ber-AC. Sama seperti kelas kami hanya saja di sini AC-nya lebih banyak dan lebih dingin, membuatku selalu nyaman dan ingin menghabiskan banyak waktu di perpustakaan. Aku dan Nara suka menghabiskan waktu di sini, mengambil buku dari rak lalu membacanya, hingga lupa waktu.
Di depan rak buku yang berjajar rapi, tinggi dan penuh dengan buku. Adalah tempat untuk kami presentasi pelajaran. Dengan beberapa kursi dan meja panjang. Tempat duduk ketika pelajaran di perpustakaan di mulai. Selain itu, ada juga kursi dan meja panjang yang tersebar hampir di setiap sela beberapa rak buku. Aku selalu suka ketika berdiri di sana, ketika bisa melihat betapa luas dan rapinya perpustakaan kami. Karena ketika berdiri di sana, seluruh ruangan akan terlihat, tak terkecuali setiap pojok ruang. Membuat kami tidak bisa bersembunyi di sini ketika jam pelajaran yang mebosankan.Itulah yang membuatku dan Nara selalu kagum dengan perpustakaan kami.
“ Kita ke mana?” Alfa bertanya ketika kami sedang berdiri di depan banyak rak buku. Dia sedang menatap kagum perpustakaan kami.
Aku berjalan mendahuluinya, menuju rak buku sastra lama. Rak ini terletak sedikit di belakang dari barisan rak buku sebelah kanan. Alfa mengikutiku, berjalan di belakangku. Tangannya menyentuh beberapa buku dari rak yang kami lewati. Sepertinya ini pertama kali Alfa memasuki perpustakaan kami. Matanya begitu bersinar, seperti ia menemukan mainan baru. Dia berjalan pelan, menikmati setiap buku dari rak yang menjulang tinggi dan penuh dengan buku. Tanpa ada debu yang menempel di rak atau di buku. Wangi kayu pada rak berpadu dengan aroma kertas dari buku yang sudah usang dan lama disimpan di rak ini. Aku mengambil satu buku, sedikit lebih tebal ari yang lain. Kertasnya sudah berwarna coklat, rapuh. Duduk di kursi terdekat dari rak. Aku tidak membukanya, menikmati tingkah aneh Alfa. Menunggu hingga ia tersadar dari kagumnya pada perpustakaan kami.
“ Apa?” Aku menatap Alfa yang sdah berhenti dari rasa kagumnya. Dia sedang berdiri tepat di depanku, bersandar pada rak buku.
“ Keren.” Alfa hanya tersenyum dan duduk di sebelaku.
“ Kita mulai dari mana?”
Tidak ada jawaban. Aku melirik Alfa, dia asedang melirik kiri kanan. Dari sorot matanya sepertinya dia sedang tidak sadar tentang tujuan kami ke sini untuk belajar.
“ Alfa. “
“ Iya.” Alfa menoleh, melihatku. Dia tersenyum.
“ Kalau belum siap belajar. Kita ke kelas saja.”
“ Jangan. Aku siap belajar.” Alfa bekata dengan sungguh-sungguh, membuka buku catatannya.
Kami mulai berdiskusi tentang puisi ‘AKU’.
Ada orang lain yang masuk perpustakaan. Sepertinya perpustakaan ini akan digunakan untuk belajar siswa satu kelas. Entah kelas apa.karena dari suara yang aku dengar ada banyak suara derap langkah sepatu. Aku dan Alfa melirik kiri kanan. Jika kami mengangu. Kami akan keluar dari perpustakaan. Tetapi aku tidak menemukan guru yang mengajar. Hanya beberapa siswa dan siswi yang sedang berjalan menyusuri rak buku. Dan kembali berjaan menuju depan perpustakaan.
“ Sekarang, Ibu, beri waktu kalian dua puluh menit, untuk membuat sajak. Tema bebas. Di mulai dari sekarang.” Aku mendengar suara guru perempuan sedang memberi tugas. Tetapi aku tidak tahu mereka dari kelas apa.
“ Iya, Bu.” Aku dan Alffa saling pandang ketika mendengarnya.
Alfa di sebelahku menggelengkan kepala. Aku tidak tahu kenapa.
“ Kita salah tempat dan waktu. “ Alfa menatap mereka, membuatku juga ikut melihat mereka. Sekarang aku tahu siapa yang sedang mengajar mereka. Guru bahasa Indonesia, bertubuh tinggi dan bergaris muka tegas sedang berdiri diantara mereka, yang sedang berdiri tepat di depan rak buku yang berjajar rapi, sehingga bisa melihat seluruh isi ruangan karena lantainya memang lebih tinggi dari pada yang lain.
Aku dan Alfa kembali fokus pada buku kami. Mencoba membuat puisi. Sepertinya fokus Alfa terpecah. Aku tidak tahu apa yang sedang di pikirkannya. Dia mulai gelisah, menatap mereka yang sedang menyusuri rak buku. Dan berdiskusi.
“ Apa yang sedang kamu pikirkan?” Aku bertanya padanya, karena sepertinya ada banyak yang sedang dia pikirkan. Tetapi dia tidak menjawab, hanya menggelengakan kepala. Dan mencoba fokus pada bukunya. Aku membiarkannya mencoba membuat puisi.
“ Sudah dua puluh menit. Sekarang kalian bacakan sajak ataau puisi kalian satu persatu dengan suara lantang. Harus terdengar seluruh ruangan.” Suara Guru Bahasa Indonesia terdengar dari tempat kami duduk. Dari tempat kami duduk kami bisa mendengar apa yang sedang Guru Bahasa Indonesia katakan.
“ Bu...” Cowok yang tadi pagi kutabrak dan makan di kantin sekolah bersuara. Jadi kelas dia yang sedang belajar di sini. Dia sedang melihatku, kami saling menatap tetapi hanya sebentar. Aku mencoba kembali fokus pada apa yang sedang kami kerjakan.
“ Iya, Mischa silahkan baca hasil karyamu. “
“ Apa, Bu?” Ada keraguan dari suaranya
“ Silahkan baca hasil karyamu.” Guru Bahasa Indonesia itu kini sedang menatapku dan Alfa. Ada senyum dari wajah tegasnya.
Dia mulai membaca sajaknya.
Dingin
Malam tak berbintang
Menyisakan gelap
Bulan pergi
Entah di mana bintang
Hanya ada sunyi
Tak ada musik
Aku melihatnya, kembali bertemu dengan manik matanya. Aku segera menunduk dan memperhatikan apa yang sedang di bicarakan oleh Alfa. Tetapi aku hanya bisa mendengar apa yang sedang dia bacakan daripada apa yang sedang Alfa bicarakan.
Bulan menjelma matahari
Ayam tak berkokok
Pagi menyapa
Untuk yang tidak bersuara
Dalam diam ada kata
Tapi semahal itukah kata
Bukan kalimat, hanya kata, sapa
Alfa mendongak, sedikit melihatnya, ketika aku hanya diam saja. Alfa mulai melihatku dan dia secara bergantian. Aku mencoba memfokuskan diri pada buku Alfa yang terdapat banyak coretan. Sepertinya Alfa tahu itu.
Senyumpun tak ada
Hanya mata saling berkaca
Melihat betapa banyak potongan
Juga berharap suatu saat menemukan
Tetapi dalam matamu
Aku hanya melihatmu
Bukan diriku
Atau potongan diriku
Hanya dirimu
Bukankah kita saling berkaca
Kenapa hanya ada kamu
Bukan aku
Tidak lagi kudengar suaranya. Aku sudah kembali tersadar, fokus pada puisi Alfa. Kudengar teman - temannya bertepuk tangan, riuh sekali. Dan mereka mulai berkumpul , meyeret kursi. Duduk lebih dekat pada tempat yang disediakan Guru Bahasa Indonesia untuk membacakan hasil karya mereka.
“ Itu sajak atau puisi cinta ?” Aku mengenal suara itu.
“ Bagus, Mischa. Kalian tidak perlu mendekat, cukup menyebutkan nama dan membacakan karya kalian. Ibu akan mendengarkan dari sini.”
“ Setelah ini Darron. Tapi sebelumnya kita kedatangan tamu istimewa. Dia juga akan membacakan sajak atau mungkin rayuannya.” Guru Bahasa Indonesia itu mengedarkan pandangannya. Ketika kami saling menatap beliau melambaikan tangannya pada kami. Aku dan Alfa masih bingng, saling menataap mata. Tetapi Alfa lebih dulu menganguk. Membuatku berdiri dan kami berjalan menuju Guru Bahasa Indonesia. Ada rasa ketidaknyamanan ketika kami melangkah.
“ Hai, Alfa. Apa kabar? “
Aku mmengedarkan pandangan. Ada Carroline. Itu cukup untuk membuaatku merasa nyaman.
“ Baik, Bu. “ Alfa yang menjawab. Aku hanya berdiri di belakang Alfa.
“ Kalian tahu kenapa Alfa di sini?”
Mereka hanya menggelengkan kepala.
“ Alfa tidak pernah ingin masuk perpustakaan dan kalian lihat hari ini ia ada di sini bersama Maika. “ Ada rasa terkejut ketika aku mendengarnya. Bagaimana beliau tahu tentang itu. Pantas saja tadi Alfa terkagum-kagum pada perpustakaan kami. Aku berusaha tetap dingi dan datar. Aku mengikuti mereka yang hanya menganguk tidak mengerti.
“ Seharusnya hari ini kalian belajar sajak bersama teman satu kelas Alfa. Tetapi karena ia tidak ingin belajar di perpustakaan, terpaksa Ibu hanya memberikan tugas kepada kelas Alfa. Dan mengajak kalian ke perpustakaan. Kalian bisa memberikan hukuman kepada Alfa atas sikap egoisnya, silahkan.”
“ Bu, apa karena Alfa juga kami tidak bisa memlih teman satu kelompok?” Dua cowok teman Alfa yang tadi makan ddi kantin bertanya bersamaan.
“ Iya itu juga atas kesalahan Alfa, dan kalian bisa memberi hukuman padanya.”
Mereka hanya menggelengkan kepala dan tersenyum kecil. Alfa juga melakukannya, tampak tak berdosa atas apa yang dia lakukan.
“ Bu. Menurut kami hukuman yang pantas untuknya adalah membaca sajak. Sama seperti kita.” Carroline yang bersuara. Dia masih sama.
“ Alfa kamu dengarkan permintaan Carroline dan teman-temannya.”
Alfa hanya menganguk. Memintaku menuliskan sesuatu pada buku catatanya.
bulan dan bintang, mereka bersama
meski kadang hanya sendiri
tanpa bintang yang menemani
atau kadang bintang tanpa bulan
Alfa menunduk, membaca apa yang baru terlintas diotakku dan baru saja kutulis.
Tetapi malam tetaplah malam
Dan kaca tetaplah kaca
Ia hanya kaca,
Kaca yang diam
Sudah. Hanya itu yang bisa kutulis. Kini Alfa tidak lagi menatap bukunya. Dia mullai menatap mereka satu persatu.
Yang di depan kaca lah yang berbicara
Mencoba menilai
Tetapi kaca tetap diam
Diam tanpa kata
Yang berkacalah yang berbicara
Refleksi dari hati dan otak
Kaca tetap diam
Menunjukkan apa yang ada dihadapannya
Tanpa berkata apapun
Tak sepatah kata pun,
Ia membiarkanya,
Bahkan ketika pergi pun
Ia tetap diam
Alfa menyelesaikan sajaknya, ia menganguk. Tanda ia sudah selesai. Mereka bertepuk tangan, riuh. Aku dan Guru Bahasa Indonesia juga ikut bertepuk tangan. Beliau berdiri dari duduknya. Raut muka nya sedikit berubah.
“ Bagus Alfa. “
“ Terima kasih, Bu. Apakah kami boleh kembali ke kelas,, Bu?”
“ Sama-sama. Kalian boleh kembli ke kelas.”
Kami bersalaman pada Guru Bahasa Indonesia, berpamitan lalu pergi. Meningggalkan perpustakaan.
“ Kita ke kantin. Aku traktir kamu makan.”
“ Aku sudah makan.”
“ Kalau gitu makanan ringan.”
Aku hanya menggelengkan kepala. Dia menatapku gemas.
“ Sudahlah, Maika. Nanti aku ceritakan semuanya.”
Aku hanya tersenyum kecil, menganguk. Kami berjalan menuju kantin. Lorong kelas sepi, tidak ada siswa yang ada di depan kelas. Setiap kelas ada gurunya. Pintunya tertutup. Kami berjalan santai menuju kantin. Di antin sama sepinya dengan lorong kelas. Sepertinya mereka sedang belajar di kelas dantidak ada yang bolos belajar. Sampai di sana, Alfa mengambil beberapa makanan ringan. Lalu membayarnya. Satu kantong plastik bessar berisi banyak makanan ia berikan padaku. Alfa hanya mengambil satu makanan ringan berisi keripik kentang.
“ Buat aku?” Aku menerimanya.
Alfa hanya menganguk. Kami berjalan menuju kelas.
“ Jadi?”
Alfa menoleh, raut wajahnya bahagia. Tetapi dia hanya menganguk, tidak bercerita. Aku hanya bisa kesal. Dia ingkar janji.
“ Maika.” Dia memanggilku. Aku hanya menoleh.
“ Aku mau cerita.”
“ Apa?” Aku pura-pura marah.
“ Kamu tahu tadi itu ortunya siapa?”
“ Siapa?”
“ Guru Bahasa Indonesia kita.”
“ Hmmm.... Reyna.“
“ Demi anaknya aku rela lakuin apapun.”
“ Masa.”
“ Dan karena dirimu aku masuk perpustakaan. Membuktikan bahwa aku bisa.” Aku hanya menganguk-anguk.
“ Awas saja kalau kamu berani nyakitin Reyna.” Aku mengancamnya.
Dia tidak takut justru tertawa.
“ Tenang, Maika. Aku akan jaga dia dan bantu kamu soal PDKT sama cowok.” Katanya di sela tawanya.
“ Apa maksudmu?” Aku melotot menatapnya.
“ Kita kan teman jadi harus saling membantu. Termasuk dalam urusan cinta.” Dia masih tertawa.
“ Alfa.”
“ Kalau kamu jatuh cinta sama cowok bilang aja. Nanti aku bantuin.”
“ Alfaa...”
“ Sama Nando juga aku bantu. Tapi kalau ada yang lain aku lebih semangat bantu kamu.” Dia tidak lagi tertawa. Hanya tersenyum.
“ Kenapa harus Nando?”
“ Ayolah... Maika. Banyak anak yang mengira bahwa kita pacaran. Termasuk Nando.”
“ Masa? Aku baru tahu.”
“ Astaga Maika.”
Aku berjaan mendahuluinya.
“ Kamu suka Nando?”
“ Alfa...”
“ Kalau kamu sama dia, gak asyik. “ Aku hanya diam. Berlalu.
“ Maika.” Alfa memanggilku. Membuatku berhenti berjalan. Dia seedikit berlari kearahku.
“ Kalau kamu sama dia jadinya gini.” Alfa memasang muka serius dan berkerut, membuatku tidak bisa menahan tawa. Kami tertawa bersama. Alfa tertawa dengan suara keras, segera membuatk tersadar bahwa kami sedang berada di lorong kelas. Aku segera menutup mulut, Alfa juga mengikutiku.
“ Alfa.” Kami menoleh, ada seseorang yang memanggilnya.
“ Dari mana?” Alfa bertanya, ia membuka makanan ringannya.
“ Biasa jalan-jalan.” Cowok yang tadi pagi kutabrak.
“ Kenapa? Bosan di perpus?”
“ Dari mana?”
“ Kita?” Alfa menunjuk dirinya dan aku.
“ Iya.”
“ Beli makanan. Ini untuk kamu, belum aku makan.” Alfa memberikan makanannya pada cowok itu.
“ Kamu?” Dia menerimanya.
“ Tenang, nanti aku minta Maika. Dia punya banyak.” Alfa santai menjawab sambil menoleh melihatku. Aku membalasnya dengan menggelengkan kepala. Alfa memasang muka memelasnya, membuatk kembali tersenyum kecil, dia memohon padaku. Membuatnya tertawa melihat tingkah kami.
“ Dia gak mau ngasih. Kita beli lagi aja. “ Alfa merajuk, mengajaknya membeli makanan di kantin depan sekolah. Mereka berjaan beberapa langkah, sambil makan makanan dari Alfa.
“ Alfa. “ “ Apa?”
“ Kita ke kelas gak ke kantin.”
“ Aku belum beli makanan.”
Aku mengangkat kantong plastikku. Membuat Alfa tidak jadi beli makan lagi.
***
Sejak Alfa bercerita tentang pendekatannya dengan Reyna. Anak Guru Bahasa Indonesia kami, tetangga dan temanku di rumah. Membuat ku dan Alfa sering terlihat bersama ketika di sekolah.
“ Kalian pacaran apa nggak sih?” Tanya Nadine, ketika kami berdiskusi tenntang tugas sekolah di gazebo taman.
Aku dan Alfa serentak menggelengkan kepala. Terpaksa Nadine kembali fokus pada tugasnya Karena Nando sudah menatap tajam kami. Memberi isyarat untuk fokus belajar, bukan menggosip. Karena Alfa sering meminta bantuan padaku, membuatku sering menghabiskan waktu bersamanya. Seperti ketika waktu istirahat tiba, Alfa akan dengan cepat mengajakku pergi ke kantin. Makan bersamanya. Membuatku jarang makan bersama Nara dan Nadine.
“ Kamu temenku apa temennya Alfa?” Nara merajuk, karena aku terlalu sering makan siang bersama Alfa dibanding dengan mereka.
“ Kita bagi saja jadwalnya. Hari ini kamu bersama kami, besok kamu bersama Alfa. Begitu, selama satu minggu.” Nadine memberi usulan ketika aku tidak bisa menjawab permintaan Nara.
“ Iya, Nadine benar.” Nara setuju dengan usulan Nadine.
Karena hal itu, aku selalu bergantian saat makan siang. Ketika bersama Alfa, kami akan makan siang di kantin, bersama dua atau lebih teman cowoknya. Selesai makan aku akan segera pergi, karena biasanya mereka akan terlibat perbincangan. Selama itu juga, aku sebisa mungkin tidak terlibat dalam pembicaraan mereka. Alfa akan sangat mengerti ketika aku bertemu teman satu kelas dan ikut pergi bersama mereka.
Terkadang jika aku malas makan, aku hanya memesan camilan dan jus. Alfa tidak pernah berkomentar apapun tentang makanan yang ku makan. Dia hanya akan membelikan aku jus atau susu jika aku malas makan di kantin.
“ Kamu harus makan. Supaya bisa kasih aku ide tentang Reyna.” Aku sedang malas, hari ini kami makan di pojok kantin. Tempat biasa kami makan bersama beberapa teman cowok Alfa. Aku hanya menganguk, meminum susu yang sudah di pesan Alfa. Entah apa yang membuatku begini, rasanya aku tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengganjal, tetapi aku tidak tahu itu apa. Ada hal lain yag sedang aku pikirkan.
Drrttt...
Getar ponselku, menyadarkanku dari lamunan. Ada pesan masuk.
From : Nara. 11.15
Kita perlu bicara. Ini tidak baik bagi pertemanan kita. Aku tunggu di gazebo taman.
Aku membacanya dengan tidak mengerti, apa maksud Nara. Tetapi aku segera mengirimkan beberapa kata untuknya. Berdiri, pergi meninggalkan Alfa.
“ Aku duluan, Fa. “ Berjalan cepat menuju gazebo taman. Tak ku pedulikan lingkungan, hanya gazezbo yang aku pikirkan. Berjalan cepat mencari Nara. Membuka pesam darinya.
Brukk.
Aku menabrak seseorang. Dengan cepat dia meraih tanganku. Sebelah tangannya menangkap apa yang aku bawa. Berusaha supaya aku tidak sampai jatuh. Garis wajahnya tegas, hidungnya mancung dan matanya menatap tajam padaku. Aku melihatnya. Cowok yang ku tabrak dulu.
“ Maaf.” Dia melepaskan tangannya dariku. Lalu ku memberikan ponselku.
“ Terima kasih.” Aku segera tersadar, harus menemui Nara. Berlalu, meninggalkannya.
“ Maika.” Da memanggilku.
Aku hanya bisa berhenti berjalan, memastikan bahwa ia sedang memangilku. Dia berjalaan ke arahku. Aku segera bebalik, melihatnya .
“ Ya.” Aku tersenyum tipis.
“ Boleh aku meminta nomor ponselmu ? ”
Aku menyerahkan ponselku padanya.
“ Tulis nomormu dan nama mu.”
“ Aku ? “ Dia bertanya, bingung. Tetapi tetap menerima ponselku.
“ Iya, aku tidak tahu nama kamu. ”
“ Mischa. “ Dia tersenyum kecil, mengulurkan tangannya. Kami berjabat tangan. Tanda perkenalan kami. Dia berikan lagi ponselku, aku menyimpan dua belas digit nomor baru di kontak ku dengan nama Mischa.
***
Getar ponsel membuatku terkejut. Siapa yang pagi hari kirim pesan? Aku masih duduk di meja makan. Sarapan. Memikirkan apa yang sudah Nara katakan kemarin siang. Tetapi aku tetap membuka ponsel, membaca pesan.
From : Mischa. 06.00
Bulan pergi, matahari kembali
Sendiri, tanpa bintang
Menjaga pagi untuk yang sudah banggun
Aku tersenyum membacanya, tetaapi aku tidak tahu harus membalas apa.
“ Dari siapa? “ Ibu bertanya, wajahnya ikut tersenyum usil.
Aku tidak menjawabnya, hanya menggelengkan kepala.
“ Sudahlah, Bu. Anak kita sudah besar. Biarkan.” Ayah berkata sambil mengambil tas kerja, bersiap berangkat. Aku hanya tersenyum, ikut mengambil tas. Meninggalkan piring yang sudah kotor.
“ Mei-mei berangkat, bu.” Aku bersalaman pada ibu, mencium pipi kanan kiri. Berjalan mengikuti ayah menuju mobil.
***
Aku sudah lelah mengerjakan tugas sekolah. Hari ini terlalu bayak yang aku pikirkan membuatku sedikit bosan ketika mengerjakan soal pekerjaan rumah. Aku menatap langit malam dari jendela kamarku. Menikmati hitamnya langit malam, hanya sedikit bintang yang ada di sana. Juga hembusan angin malam yang sedikit membuatku tenang. Membuatku teringat sesuatu. Segera aku mengambil ponsel. Menuliskan sesuatu, dan mengirimnya.
To :Mischa. 20.00
Bulan atau matahri
Mereka yang menjaga hari
Matahari mengucapkan selamat pagi
Bulan berkata selamat malam
Sejak perkenalan kami di taman sekolah. Dan esan pertama yang dia kirim untukkku. Rasanya ketika bertemu dengannya membuatku sedikit merefresh diri. Karena senyumnya sangat menenangka. Sejak saat itu juga aku dan Mischa hanya bertukar senyum dan sapa saat bertemu. Kami tidak pernah berkomunikasi lebih dari itu. Kami seperti orang yang saling tahu tanpa harus berbicara. Tetapi hal inilah yang menjadi masalah bagiku dan dua sahabatku selanjutnya.
Sudah lebih dari dua minggu hubunganku dengan Nadine dan Nando tidak baik. Aku tidak mengerti kenapa. Membuat Nara, pihak penengah kami menjadi bingung. Tetapi aku memutuskan untuk mengirim sajak ini untuk Mischa. Jika memang ini bisa sedikit mengurangi masalahku.
To : Mischa. 05.00
Jika kata adalah mantra,
Bisakah aku meminta apapun,
Jika kata tiada arti,
Mengapa kita Berbicara,
Jika kata hanya bisa di baca dan ditulis,
Bagaimana dengan yang polos
Ada yang harus dibaca
Ada yang harus tahu
Jika tidak pergi, biarlah
Jika harus menolong, tolonglah
Karena bahagia itu tidak sendiri
Demi Nara dan Nadine.
??????