Read More >>"> The Cundangs dan Liburan Gratis Pantai Pink (Butuh Perhatian) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Cundangs dan Liburan Gratis Pantai Pink
MENU 0
About Us  

BAB 2 – Butuh Perhatian

Angin bertiup kencang, kami para murid memasuki bis setelah mendapat izin dari pak Hamdan. Kulihat sekilas, Siska duduk agak depan dan Beni segera berlari untuk duduk di bangku yang dekat dengannya. Hanif juga tak mau kalah dan duduk di samping Beni di dekat jendela. Aku kemudian memilih duduk di belakang mereka dan segera menuju jendela. Merasakan genitnya angin yang datang meraba sangatlah nikmat demi memanjakan wajah. Tak terasa, bis pun mulai berjalan dan hembusan angin kian menerpa.

Jujur saja, saat-saat seperti ini adalah saat-saat yang indah bagiku. Meski mungkin terdengar jarang orang yang bisa menikmatinya. Tapi melihat rumah-rumah yang bergerak semu, memperhatikan jalanan, orang-orang yang berdiri, duduk dan melakukan aktifitas mereka, semua terasa indah di mataku. Aku seperti sedang menjelajahi hidup dengan itu. Seperti sedang menelusuri bingkai-bingkai kehidupan yang telah tersusun dalam slide yang berputar cepat. Seperti sedang berkeliling mengunjungi rumah-rumah berisi kisah dalam waktu singkat sesuai cepat roda berputar. Entah bagaimana bermula, tapi begitulah yang kurasakan.

Ya, walaupun setelah itu semuanya seakan sirna dalam sekali lahap. Aku pun mengakui bahwa memang, seindah-indahnya kebahagiaan, tetap ada yang tidak bisa melihatnya. Ia justru datang dan menghancurkan suasana dan segalanya, lebih-lebih dengan menggunakan hal-hal yang tidak ada penting-pentingnya. Seperti Rudi sekarang ini yang menggangguku dengan segala curahan hatinya. Ia terlihat seperti bocah manja yang butuh perhatian.

“Sialan, Men!” katanya mulai mengeluh setelah tadi kudengar berdebat tentang tempat duduk dengan Beni.

“Masa gue tadi dicuekin gitu aja sama anak-anak!” lanjutnya lagi melanjutkan sesi yang tadi kepadaku. Meski aku sudah memasang tampang bosanku, entah kenapa dia masih saja terus mengatakannya. Padahal di samping kanan depannya sudah ada Siska yang bisa dia mintai perhatiannya, tapi masih saja dia menempel kepadaku.

Beni dan Hanif sendiri setelah tadi sempat berisik menggoda-goda dan meminta perhatian Siska, kini kedengarannya sudah agak tenang dan masing-masing asyik sendiri. Hanif dengan lagu-lagunya dan Beni dengan permainan di ponselnya. Lirik demi lirik dari suara yang agak kecil, mulai kudengar beberapa orang menyanyikan lagu yang sama dengan lagu yang dinyanyikan Hanif. Perlahan-lahan dengan diimbangi suara Hanif yang lumayan, suara-suara itu mulai merambat dan akhirnya memenuhi seantero bis. Salah seorang anggota klub drama pun maju ke depan sambil membawa gitarnya. Aku sendiri hanya bisa ikut mengangguk mengikuti irama musik tanpa bisa ikut bernyanyi.

Hingga beberapa saat kemudian, setelah melihat pria yang kutaksir masih adik kelas kami itu berdiri sambil memainkan gitarnya, aku pun beranjak berdiri dan menarik Rudi untuk menempati posisiku di dekat jendela. Lalu aku menepuk pundak si pria dan mengisyaratkannya untuk duduk di posisi Rudi tadi. Aku pun beranjak ke belakang mencari posisi yang kosong untuk dapat bersantai diri. Rasanya mood-ku masih tidak ingin terlalu bergembira saat-saat ini. Aku masih ingin bersantai dan mungkin dengan sedikit menidurkan diri.

Setelah berjalan agak belakang, aku menemukan beberapa wajah anak baru yang kurasa juga bagian dari klub drama. Mereka terlihat ramah ketika menatapku yang berjalan ke arah mereka, meski demikian bibir mereka tak membuang kesempatan untuk tetap berdendang. Lantas aku pun hanya perlu mencari satu bangku kosong dekat jendela dan untungnya ada satu orang yang duduknya memang tidak di dekat jendela dan membiarkan bangku itu tetap kosong. Aku meminta ijin sedikit dengan melihat ke arah jendela dan dengan sangat mudah anak itu mengerti dan memberikanku jalan.

Setelah melihatku berhasil masuk dan duduk di dekat jendela, aku melihatnya berhenti berdendang dan mengalihkan pandangannya ke arahku. Sambil mengeluarkan permen karet yang ia kunyah, tangan kirinya terlihat merogoh kertas dari dalam tasnya. Itu adalah selembar tisu yang digunakannya untuk menangkap permen karetnya yang telah putih karena puas dikunyah. Laki-laki itu membuang permen karetnya ke dalam lembaran kantong plastik yang memang telah banyak menampung sampah. Lalu dalam sekali geraknya kembali, ia menjatuhkan pandangannya ke arahku. Dan perlahan kulihat mulutnya mulai terbuka dan terlihat seperti slow motion di depan mataku yang dramatis ini.

“Kamu merasa agak gaduh, yah?” tanyanya yang sempat tak kumengerti sebelumnya. Karena merasa tak boleh menjawab asal, aku menanyakan lagi apa yang dikatakannya. Anak itu mengerti dan mengulang perkataannya kembali. Aku pun mengangguk mengerti dan menjawabnya, “Memang agak gaduh dan aku kadang suka kesulitan menangani kegaduhan.” Jadi, itulah alasan mengapa aku memilih pindah ke kursi belakang.

Lalu si anak baru yang ternyata sudah kelas XII sama dengan kami itu pun menjulurkan tangannya ke arahku. Dengan senyuman yang cukup ramah, dia mencoba menarik perhatianku dan aku merasakan aliran pertemanan yang akan baik di antara kami. Sambil menyambut tangannya aku pun membalas, “Ardi,” setelah mendengar dia mengucap, “Zaki dari Medan, kelas dua belas,” sebagai perkenalan. Sejak saat itu dia mengangguk dan membiarkanku tertidur menikmati waktu dalam “kesendirianku”.

Hingga, “Hey, bangun! Sudah sampai!” katanya kepadaku. Aku baru sadarkan diri dan benar ternyata kami sudah sampai. Kupikir dia ini terasa cukup nyaman. Meskipun ia seorang teman baru, perhatian yang ia berikan cukup menyenangkan. Dia sepertinya jenis pria ramah yang benar-benar berbeda dengan teman-teman kelasku. Tentu saja kecuali tiga kecebong yang selalu hanyut bersamaku itu. Ya, kalau dipikir-pikir, sepertinya ocehan Rudi tadi sangat beralasan mengingat betapa berkubu-kubunya kelas kami yang berisi 39 orang itu. 5 kubu wanita dan 3 kubu laki-laki dan sisanya adalah tanpa kubu. Persis seperti film Divergent yang kutonton beberapa tahun lalu.

“Hoy, mau sampai kapan lu bengong di situ?” tanya Rudi menghampiri kami sekaligus membuyarkan lamunanku. Dia juga membawakan tasku dan menyodorkannya cepat ke hadapanku.

“Buru, tangan gue pegel nih!” katanya bebas seperti biasa. Aku melihat dan kemudian mengambilnya. Zaki yang sedari tadi menatapi kami kemudian menyodorkan tangan ke arah Rudi dan menyebutkan namanya. Sialnya, cebong yang satu itu tak dapat mengerti dan menatap penuh misteri. Meski demikian, Zaki tetap tangkas dan meraih tangan cebong hanyut itu agar berjabatan dengannya. Katanya, “Kamu Rudi, kan? Salam kenal!” Dia lalu pamer senyum kepada kami dan pamit pergi untuk menyusul teman-temannya.

Kini tinggal aku dan Rudi yang sama-sama mengangkat alis masing-masing. Suatu adegan yang agak awkward bagi kami para pecundang yang tak banyak mendapat perhatian. Dan yah, sekarang bukan waktunya menikmati keanehan tapi menikmati panorama dan keindahan. Kami berdua lekas turun dan menemui Beni serta Heri yang telah menunggu. Mereka berdua mengoceh tak jelas karena bosan menungguku yang sudah seperti perempuan. Entah darimana mereka bisa menemukan kata-kata seperti itu.

Setelah beberapa menit berjalan dalam antrian, akhirnya kami sampai juga di atas kapal. Para murid langsung tampak berhamburan mencari tempat duduk atau rebahan. Siang hari yang terang dan matahari yang terik membuat semuanya merasa kewalahan dan mencari peristirahatan. Mungkin kecuali aku yang tadi tertidur atau beberapa yang kekuatannya memang berlebih yang mampu mengendalikan diri dan merasakan happy. Kami yang seperti ini lantas mulai berkeliling dan memuaskan diri. Namun khusus untuk diriku sendiri, sebelum aku hendak berjalan mencari pemuasan diri, kulihat seseorang menelpon ke ponsel Hanif. Rudi dan Beni pergi duduk ke sisi samping dan kulihat nama “Bapak” di layar ponsel milik Hanif yang kelihatannya agak tegang dan kemudian mengusap untuk menolak panggilan dari bapaknya. Tangannya juga tangkas mematikan ponselnya. Dan itu membuatku sedikit penasaran ditambah melihat ekspresinya yang tak bisa kusukai.

Aku pun bertanya, “Kenapa, Cong?” ketika melihat raut wajahnya yang berubah padam. Dia hanya menggeleng ringan dan meniadakan masalah yang sebenarnya tak bisa kupercaya. Namun demi tak mengganggu hari liburnya, aku pun memilih merangkulnya dan mengajaknya bercanda. Tapi, belum sempat aku mengeluarkan jurus jitu tinju mautku ke perutnya, dia langsung berteriak, “Aw aw aw!” membuat aku lekas melepasnya demi melihat dimana kesakitannya. Rupanya dia hanya berakting dan beralasan agar bisa pergi ke toilet.

Aku pun melihatnya berjalan pergi sambil mengamati jalan menuju tujuannya. Tak sempat kutebak, ternyata dia tidak benar-benar ingin pergi ke toilet. Dia hanya ingin keluar dan menghampiri dua wisatawan perempuan yang juga sekapal dengan kami. Dasar memang cebong buaya darat. Tidak bisa melihat perempuan cantik sedikit saja, gerakannya sudah menempel ke sana.

Aku pun jadi ikutan ingin keluar menemuinya dan menemaninya menggoda wanita, tapi rasa-rasanya ada yang aneh dengan perutku. Akhirnya aku hanya bisa memilih untuk mencari toilet terlebih dahulu ketimbang menggoda wanita bersamanya. Melihat kedua temanku yang sedang duduk bersama menatapi Siska yang rebahan di samping Mira, aku menitipkan tas kepada mereka. Aku berharap awalnya tasku bisa selamat berada di tangan mereka, namun petaka itu ternyata berbahaya.

Ketika kembali dari toilet kapal, aku hanya menemukan tas yang kutitip tadi ditinggal begitu saja oleh dua sampah bujang yang tidak tahu arti kesetiakawanan itu. Mereka meninggalkan harta benda berhargaku itu seperti meninggalkan tisu bekas basahan yang tidak lagi memiliki tuan. Sungguh aku merasakan penghianatan yang amat berat dari kedua makhluk perkutut itu. Tapi, sungguh tak kusangka, ulah kedua bocah yang meninggalkan aku dalam kesendirian itu melahirkan sebuah kisah yang tak kuduga-duga sebelumnya.

Ketika aku memandang ke luar ke arah railing kapal, kulihat Rita sedang berdiri memandangi lautan. Dia mengatupkan matanya seakan menikmati sejuknya alam dan basahnya angin laut. Tanpa kusadari aku sudah terpesona dengan dandanannya hari ini. Mungkin sudah saatnya aku menceritakannya.

Tampilan Rita biasanya sangat berbeda dengan hari ini. Meski aku belum pernah tahu bagaimana dia hidup di rumahnya, tapi bila dibandingkan dengan kebiasaannya di sekolah, hari ini dia terlihat seratus delapan puluh derajat lebih baik. Wajahnya yang biasanya ditutupi dengan rambut kelam nan menyeramkan itu, sekarang sudah diekspos sebanyak-banyaknya. Pipinya dibubuhi rona cantik dan bibirnya dihiasi kelembaban lipstik berwarna merah muda. Sangat mampu mengeluarkan aura keremajaannya. Lebih-lebih, matanya yang masih jernih itu. Sangat menggoda. Hanya saja, dia masih tidak suka memamerkan senyumnya.

Bodohnya, karena terlalu lama memperhatikannya, aku lupa bahwa dia juga berpaling ke arahku. Dia menatapiku dengan wajah tidak sukanya dan tepat, itu membuatku merasa seperti seseorang yang sedang difitnah sebagai kriminal. Bodohnya, aku malah membayangkan bahwa dia baru saja memaki bahwa aku ini seorang kriminal mesum yang diam-diam mencuri pandang ke arahnya. Aku tidak tahu darimana datangnya semua bayangan dramatis ini, tapi aku tidak akan tinggal diam karenanya. Aku akan segera membuktikannya, bahwa aku, bukan cabul seperti yang dia pikirkan.

Setelah sedikit beradu pandang dan dia menang dengan mengeluarkan aura kebenciannya, kulihat dia berjalan menuju lantai atas kapal. Aku pun menuruti dan mengejarnya ke atas sana. Ketika aku sampai ke bagian atas kapal, sayang sekali aku tidak dapat menemukannya. Aku melihat sekeliling dan mendapati banyak temanku sedang berdiri di ujung tempat itu. Termasuk dua bujang yang mengkhianatiku itu. Mereka sedang beradu berebut tempat berdiri di dekat Siska, gadis yang sedang asik menikmati pemandangan dari sisi atas kapal.

“Aku lebih dulu melihatnya tadi,” kata Rudi ketika aku melangkah mendekati mereka.

“Tapi aku lebih dulu sampai ke sini,” ucap Beni tak mau kalah.

Kadang aku merasa bahwa kedua bocah ini hanya jelmaan ikan badut yang masuk ke tubuh manusia. Mereka memang terlihat seperti berandal, tapi cara bersaing mereka selalu saja tak ada perkembangan. Hanya adu mulut yang tak berujung kesimpulan. Dan selalu, harus aku yang menjadi penentu.

Kedua bocah itu lantas sama-sama menatapku untuk meminta jawaban. Siska yang sedari tadi tak peduli, kini sudah berbalik ketika berhenti mendengar ocehan kedua anak ini. Sempat kulirik ke arah Siska, dia terlihat meliuk karenaku. Aku yang sebenarnya tidak tahan, hanya bisa menghela nafas sambil pasrah. Si tomboi Mira juga ikut menatap memperhatikan kami, dia berdiri di samping kiri Siska saat kedua bocah ini memperebutkan posisi di samping kanan Siska.

“Kenapa kalian tidak tanyakan langsung saja kepada orangnya? Daripada ribut seperti itu.”

Aku pun mengeluarkan suara. Dan tepat setelah itu, kedua bocah itu saling memandang dengan wajah tak sukanya. Mereka berhitung satu dua tiga hingga kembali menatapku dan berkata, “Bencong!!” membuat aku ikut mengeluarkan rupa hancur dan kesalku. Bibirku tanpa sadar mengerucut dan kurasa, itu akan tampak seperti ikan yang bibirnya sensual.

“Kenapa nggak bilang saja kalau kamu yang mau berdiri di dekatnya?” kata Rudi sekali lagi untuk menimpali.

Aku hanya menyengir sedikit dan menggaruk-garuk kepalaku. Aku bukannya sengaja ingin melakukannya, aku hanya tidak ingin melihat mereka bertengkar. Tapi jawabanku, tentu saja Siska akan menjawab ingin berdiri bersamaku bila mereka menanyai ia ingin berdiri bersama siapa. Tapi aku tidak mungkin melakukannya, karena hal itu akan sia-sia saja. Jadi, beralihlah aku mencari opsi lain.

“Bagaimana kalau kalian berdua berdiri di kedua sisinya?” tanyaku berinisiatif. Rudi dan Beni pun perlahan saling menatap satu sama lain.

“Enggak. Nggak ada yang boleh ngambil tempat gue di sini,” sahut Mira tanpa ditanya. Rudi dan Beni pun kembali menatapku dengan tatapan mengadu milik mereka. Seperti dua cebong anak ayam yang cacingnya direbut anak ayam lain dan tengah mengadu ke induknya. Takdir apa aku punya teman super cundang seperti mereka ini?

“Terserah kalian dah, bukan gue juga yang butuh!”

Aku pun pergi meninggalkan mereka lagi, mencari-cari dimana keberadaan gadis cantik yang tadi pergi meninggalkan fitnah di dadaku. Aku tak bisa tinggal diam melihat dia berpikiran yang tidak-tidak tentang diriku. Aku harus segera meluruskan apa yang sebenarnya terjadi dan mengajaknya bicara. Oh, tanpa sadar, aku tersenyum sendiri mengingatnya. Hey gadis aneh, kemana kau pergi?

Aku pun mencari-cari ke lantai bawah lagi. Di mana tempat aku melihat keramaian, di situlah aku menghindar. Aku tahu kebiasaan gadis itu tak akan bertahan di tempat yang ramai. Tadi saja, dia masih betah berdiri di tempat sepi saat aku menatapinya. Melihat dan mencari, aku berjalan kesana kemari. Setelah beberapa menit berkeliling, akhirnya aku berhasil menemukannya jua.

Sekitar sepuluh meter sebelum sampai kepadanya, aku mencoba menghentikan langkahku dan mengamatinya dari jauh. Meski di sini sepi dari siswa lain dan hanya ada dia sendiri, aku tak yakin bahwa dia sedang menangis. Rasanya, aku seperti sedang memergoki seseorang dengan rahasia besarnya. Aku jadi merasa tidak enak dan hendak undur diri dan pergi jauh darinya. Aku merasa bahwa dia sedang butuh waktu sendiri. Tapi, baru selangkah aku berpaling darinya –memungginya– aku mendengar suara sepatu menginjak railing dan debur orang yang menjatuhkan diri ke dalam ombak laut. Dengan cepat aku berbalik dan aku melihat sudah tidak ada orang di tempatnya berdiri tadi.

Apa ini yang tadi Beni duga? Rencana tertentu? Dia mengikuti kami hanya demi naik kapal dan lalu terjuan untuk membuang nyawanya sendiri? Ini, ini berlebihan. Aku berlari dengan cepat menuju railing kapal untuk mencari di mana posisinya. Melihat kapal yang semakin melaju menjauh darinya, aku menjadi semakin panik dan berlari untuk meminta bantuan. Berteriak tidak jelas hingga semua mata dan perhatian tertuju padaku.

“Rita bunuh diri, Rita bunuh diri!” itulah gumaman bodah yang bisa kuteriakkan kala itu. Jujur, saat aku mengingatnya kembali, aku merasa sangat menyedihkan sebagai seorang pria.

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Daniel Whicker
8001      1756     13     
Mystery
Sang patriot ikhlas demi tuhan dan negaranya yang di khianati oleh negara dan dunia.. Dan Ayahnya pun menjadi korban kesadisan mereka...
SHEINA
337      236     1     
Fantasy
Nothing is Impossimble
A You.
784      406     1     
Romance
Ciara Leola memiliki ketakutan yang luar biasa kepada Shauda Syeffar. Seorang laki-laki yang dulu selalu membuatnya tersenyum dan menyanyikan lagu-lagu cinta untuknya setiap hari. Ciara melanjutkan hidupnya sebagai orang asing di hadapan Shauda, sedangkan Shauda mengumpat kepada dirinya sendiri setiap hari. Lagu-lagu cinta itu, kemudian tidak lagi dinyanyikan.
ATHALEA
1285      561     1     
Romance
Ini cerita tentang bagaimana Tuhan masih menyayangiku. Tentang pertahanan hidupku yang akan kubagikan denganmu. Tepatnya, tentang masa laluku.
Hujan Bulan Juni
350      239     1     
Romance
Hujan. Satu untaian kata, satu peristiwa. Yang lagi dan lagi entah kenapa slalu menjadi saksi bisu atas segala kejadian yang menimpa kita. Entah itu suka atau duka, tangis atau tawa yang pasti dia selalu jadi saksi bisunya. Asal dia tau juga sih. Dia itu kaya hujan. Hadir dengan serbuan rintiknya untuk menghilangkan dahaga sang alang-alang tapi saat perginya menyisakan luka karena serbuan rintikn...
Simplicity
9511      2286     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
7382      1808     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Puisi yang Dititipkan
495      322     2     
Romance
Puisi salah satu sarana menyampaikan perasaan seseorang. Puisi itu indah. Meski perasaan seseorang tersebut terluka, puisi masih saja tetap indah.
Meja Makan dan Piring Kaca
52085      7879     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
Ballistical World
9382      1844     5     
Action
Elias Ardiansyah. Dia adalah seorang murid SMA negeri di Jakarta. Dia sangat suka membaca novel dan komik. Suatu hari di bulan Juni, Elias menemukan dirinya berpindah ke dunia yang berbeda setelah bangun tidur. Dia juga bertemu dengan tiga orang mengalami hal seperti dirinya. Mereka pun menjalani kehidupan yang menuntun perubahan pada diri mereka masing-masing.