Gumpalan awan hitam terlihat menyelimuti bagian atas benua Arda. Menghalau cahaya sang Mentari yang ingin menyentuhnya. Kabut dan dinginnya malam juga masih belum menghilang. Menyelimuti sebagian besar benua Arda yang belum terpapar hangatnya cahaya sang Mentari. Hal itu membuat suasana malam seakan lebih panjang dari biasanya. Padahal pagi seharusnya akan segera menjelang.
Disana–di sebuah tempat yang cukup jauh dari pemukiman penduduk desa–sesosok bayangan tinggi besar terlihat sedang membelah tebalnya kabut yang menyelimuti tempat itu. Sosok besar tersebut terlihat berjalan dari batas pemukiman penduduk desa–mengitari sebuah danau yang ada di dipinggiran desa–dan menuju ke sebuah rumah tua yang letaknya tidak jauh dari pinggiran desa.
Dari sana, sosok tersebut terus berjalan hingga menuju ke bagian belakang rumah tua itu. Entah apa yang sedang dicarinya, tetapi sosok tersebut terlihat menghentikan langkahnya ketika melihat sebuah bangunan seperti makam yang berada di belakang rumah tua itu.
Sosok tersebut terdiam sejenak sebelum kemudian bersimpuh dan meletakkan sesuatu di atas bangunan itu. Entah apa yang telah diletakkannya. Benda tersebut tidak dapat terlihat dengan jelas akibat minimnya cahaya dan tebalnya kabut yang masih menyelimuti tempat itu. Hanya siluet dan gerakan sosok tersebutlah yang kini dapat tertangkap oleh indra penglihatan manusia pada umumnya.
Selanjutnya, sosok tersebut kembali menggerakkan tangan kirinya. Dia terlihat seperti sedang menyentuh sesuatu yang ada dihadapannya.
“Ayah...” Meskipun pelan dan berat, akhirnya sebuah suara mulai terdengar dari sosok besar tersebut. Dia terdengar seperti sedang berbicara dengan pemilik makam yang ternyata adalah ayahnya.
“...akhirnya aku bisa memisahkan kristal itu dari sang Raja!” tuturnya.
Sosok besar tersebut ternyata sedang membicarakan tentang kristal milik sang Raja kerajaan Ragna yang kini sedang menghilang entah kemana.
Saat itu, sebuah suara tiba-tiba terdengar dari kejauhan. Suaranya seperti derap langkah seseorang yang sedang berjalan–dari depan–menuju ke bagian belakang rumah tua itu. Semakin lama suaranya semakin jelas terdengar. Hal itu membuat sosok besar yang kini sedang berada di belakang rumah tua itu terlihat mulai bersiaga.
Sosok besar tersebut terlihat menarik sesuatu dari punggungnya. Dilihat dari siluetnya, sesuatu tersebut sepertinya adalah sebuah pedang besar yang selama ini tergantung rapi dipunggungnya. Sosok tersebut kemudian menghunuskan pedang besar tepat ke arah datangnya suara yang kini semakin jelas menyentuh gendang telinganya.
Beberapa saat kemudian, seberkas cahaya mulai terlihat dari arah datangnya suara tersebut. Dari sana, sesosok perempuan mulai menunjukkan wujudnya. Sosoknya diliputi oleh cahaya dari dua bola api yang senantiasa bergerak mengitari tubuhnya.
“Simon?” Perempuan tersebut menyapa sosok besar yang ada dihadapannya. “Ternyata benar kau sedang berada di tempat ini.” ujarnya.
Kini, wujud sosok besar–yang dari tadi berada di belakang rumah tua tersebut–dapat dilihat dengan jelas berkat paparan cahaya yang dibawa oleh perempuan tersebut. Sosok besar tersebut ternyata adalah Simon Rowley–sang komandan pasukan kerajaan Ragna–yang sepertinya sedang mengunjungi makam ayahnya.
Disana–di atas makam yang kini berada di samping Simon–tertulis sebuah nama yang sepertinya adalah nama ayahnya. “Sebastian Reeve”. Nama itulah yang tertulis pada batu nisan yang terletak di atas makam tersebut.
“Angelina Springfield?” Simon–yang sepertinya juga mengenali sosok perempuan yang muncul dihadapannya itu–mulai menurunkan kewaspadaannya. Dia bahkan terlihat menyarungkan kembali pedang besarnya ke punggungnya.
“Apa yang sedang dilakukan oleh penyihir kerajaan di tempat ini?” tanya Simon kepada Angelina yang ternyata adalah penyihir kerajaan Ragna.
“Tenanglah. Aku hanya ingin mengunjungi makam sahabat lamaku.” jawab Angelina sambil mendekati Simon yang dari tadi berdiri di samping makam ayahnya.
Beberapa langkah kemudian, Angelina terlihat meletakkan sebuah rangkaian bunga–yang telah dibawanya–di atas makam yang kini berada tepat dihadapannya. Angelina meletakkan rangkaian bunga tersebut tepat di sebelah rangkaian bunga yang sepertinya telah diletakkan oleh Simon sebelumnya. Angelina kemudian terlihat menautkan kedua tangannya dan mulai berdo’a untuk Sebastian yang merupakan sahabat lamanya.
Melihat hal itu, Simon pun terdiam. Dia hanya bisa memperhatikan Angelina hingga dia selesai mendo’akan jasad ayahnya yang dimakamkan disana.
“Jadi, apa yang sedang kau lakukan disini?” Angelina kembali membuka pembicaraan diantara mereka tepat setelah dia menyelesaikan do’anya.
Simon terdiam sejenak sebelum kemudian menjawab pertanyaan Angelina kepadanya.
“Aku ingin mencari sesuatu di ruang bawah tanah Ayahku.” jawabnya.
“Baiklah. Kalau begitu aku akan membantumu.” ujar Angelina seraya memutar tubuhnya dan mulai beranjak menuju ke sebuah pohon besar yang tumbuh tidak jauh dari belakang rumah tua tersebut. Simon yang melihat hal itu pun segera mengikuti langkah Angelina dari belakangnya.
Disana–tepat di bawah pohon besar itu–Simon terlihat membuka sebuah pintu yang sudah tersamarkan oleh lebatnya rerumputan yang tumbuh di bawah pohon itu. Pintu tersebut sepertinya adalah pintu ruang bawah tanah milik ayahnya.
“Sudah lama aku tidak masuk ke tempat ini.” Angelina tersenyum saat melihat ke dalam ruang bawah tanah yang kini terlihat gelap gulita karena tidak ada cahaya yang menyinarinya.
Melihat hal itu, Angelina pun segera mengayunkan tongkat sihirnya ke depan. Seketika itu pula, kedua bola api yang selama ini mengitari tubuhnya bergerak ke depan dan menyalakan semua obor yang terpasang di dinding ruang bawah tanah tersebut.
Simon–yang sepertinya sudah terbiasa melihat sihir Angelina–tidak terkejut sama sekali saat melihat apa yang baru saja terjadi dihadapannya. Dia bahkan mengabaikan Angelina yang masih tertahan di depan pintu masuk ruangan tersebut dan mulai beranjak memasuki ruang bawah tanah milik mendiang ayahnya.
Di dalam ruangan tersebut, Simon terlihat mulai mencari barang yang diinginkannya. Dia melihat ke setiap bagian ruangan–untuk memastikan dimana mendiang ayahnya menyimpan barang yang diinginkannya–sebelum kemudian mulai mencarinya.
Sementara itu, Angelina sepertinya sedang bernostalgia dengan suasana ruang bawah tanah tersebut. Dia terlihat berjalan mengitari seluruh ruangan. Tangannya menyentuh setiap benda yang dihampirinya. Mulai dari toples-toples kecil hingga buku-buku tua yang sudah tertutup debu tebal, namun masih tersusun di setiap rak yang ada di dalam ruangan tersebut. Dia bahkan menyentuh beberapa lembar kertas yang terletak di atas sebuah meja yang sepertinya adalah meja kerja sahabat lamanya di masa lalu. Entah apa yang sedang dipikirkan Angelina saat itu, akan tetapi matanya terlihat mulai berkaca-kaca saat mengingat semua kenangan yang pernah terjadi di dalam ruangan itu.
“BRUUKK!”
Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari salah satu sudut ruangan. Suara tersebut membuat Angelina tersadar dari lamunannya dan mulai mengusap kelopak matanya yang mulai meneteskan air mata.
Sementara itu–di tempat timbulnya suara itu–Simon terlihat sedang membersihkan sebuah buku tebal yang baru saja dikeluarkan dari dalam kotak yang ada disampingnya. Buku tersebut ditutupi oleh sampul yang sepertinya terbuat dari kulit binatang. Ada bekas seperti bekas terbakar yang melingkupi hampir setengah bagian buku tersebut. Hal itu menyebabkan beberapa kata yang tertulis di sampul buku tersebut tidak dapat lagi dibaca.
“Jadi, buku itu yang sedang kau cari?” Angelina terlihat mendekati Simon yang masih mencoba membersihkan buku tersebut dari tebalnya debu yang melingkupinya.
“Iya. Ini adalah buku catatan ayahku yang berisi tentang sejarah benua ini.” jawab Simon sambil mulai membuka buku yang baru saja dibersihkannya.
“Aku tahu. Buku itu adalah salah satu bukti perjalanan yang telah kami lakukan bersama Sebastian lima belas tahun yang lalu.” tutur Angelina menjelaskan arti buku itu kepada Simon yang sepertinya tidak mengetahui akan hal itu.
“Benarkah?” Simon melihat ke arah Angelina dengan tatapan tidak percaya. Dia bahkan terlihat mengerutkan dahinya. “Kenapa kau tidak pernah menceritakan hal itu padaku sebelumnya?” tuturnya.
“Itu benar. Kau lihat bekas terbakar ini?” Angelina menunjuk bekas terbakar yang ada pada buku tersebut. “Akulah yang telah membakarnya.” lanjutnya.
“Saat itu, Edmond–pemimpin kami–memintaku untuk membakar buku itu karena dia tidak ingin semua yang tertulis di dalam buku itu diketahui oleh orang lain. Tetapi, aku tidak bisa melakukannya. Aku tidak mampu menghancurkan sebuah buku yang telah ditulis sepenuh hati oleh Sebastian–ayahmu. Meskipun pada saat itu dia juga menyetujui permintaan Edmond akan hal itu.” jelas Angelina kepada Simon yang terlihat serius mendengarkan ceritanya.
“Akhirnya, aku pun memalsukan proses pembakaran buku itu dan mengembalikan buku itu kepada Sebastian saat dia pergi meninggalkan istana.” tambahnya.
“Aku tidak menceritakan hal ini padamu karena aku tidak mau menambah kebencian di dalam hatimu.” Angelina terlihat menepuk tangan kanan Simon sebelum kemudian melanjutkan penjelasannya. “Tetapi, saat ini adalah saat yang tepat untuk memberitahumu sisa kebenaran yang belum ku ceritakan padamu. Oleh karena itu, aku akan menceritakan hal ini padamu.”
Simon terdiam sejenak sebelum membalas ucapan Angelina padanya.
“Kau benar. Bagaimanapun caranya aku harus melampiaskan dendam ini pada Raja bodoh itu.” ujar Simon yang kini terlihat menggenggam kuat tangan kanannya di samping buku catatan milik ayahnya itu. “Dia telah mengasingkan ayahku yang merupakan kakak kandungnya sendiri ke rumah tua ini. Aku harus membuatnya merasakan penderitaan yang telah dialami oleh ayahku hingga akhir hayatnya.”
Saat itu, Simon terlihat sangat marah. Dia terlihat seperti binatang buas yang siap memangsa apapun yang ada dihadapannya. Meskipun begitu, ada pula kesedihan yang terselip dalam ekspresi yang ditunjukannya. Hal itu membuat orang yang melihatnya juga dapat merasakan amarah sekaligus kesedihan yang sedang dirasakannya.
“Tapi, sebelum itu aku harus merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milik ayahku.” tambahnya.
Simon kemudian membuka buku yang ada dihadapannya. Dia membalik setiap halaman yang ada di dalam buku itu. Dia juga membaca cepat setiap tulisan yang tertulis di dalam buku itu hingga dia menemukan apa yang diinginkannya.
Saat itu, mata Simon terpaku pada sebuah halaman yang menjelaskan tentang cara menggunakan kekuatan yang dimiliki oleh roh penjaga melalui Kristalia yang dimiliki oleh pemegang kontraknya.
Pada halaman itu tertulis bahwa kekuatan roh penjaga hanya dapat digunakan oleh si pemegang kontrak atau seseorang yang dipilih oleh Kristalia untuk menggunakan kekuatannya. Jika orang yang tidak memiliki hubungan dengan kedua orang yang disyaratkan memegang Kristalia, maka kristal tersebut akan melindungi dirinya–dengan kekuatan yang dimilikinya–sehingga orang tersebut tidak akan bisa menggunakan kekuatan roh penjaga yang ditanamkan pada kristal tersebut.
Tetapi, ada alternatif lain yang dapat dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi kedua syarat tersebut jika dia tetap ingin menggunakan kekuatan yang tersimpan di dalam Kristalia. Yaitu: orang tersebut harus meneteskan darah murni dari pemegang kontrak yang dipilih oleh roh penjaga ke atas Kristalia. Darah tersebut akan dianggap sebagai tanda persetujuan. Dengan kata lain, melalui darah tersebut si pemegang kontrak dianggap telah memberikan izin kepada orang tersebut untuk menggunakan kekuatan yang tersimpan di dalam Kristalia. Cara ini merupakan cara terakhir yang dapat digunakan untuk mengaktifkan kekuatan yang dimiliki oleh roh penjaga melalui Kristalia apabila si pemegang kontrak atau orang yang terpilih sudah tidak mampu bertahan hidup atau meninggal dunia.
“Jadi, itu yang sedang kau cari?” Angelina terlihat ikut memperhatikan halaman buku yang sedang dibaca oleh Simon.
“Bukannya kau harus menemukan kristal itu terlebih dahulu sebelum mencari tahu tentang cara mengaktifkan kekuatannya?” Angelina mengomentari keputusan Simon yang memilih untuk mencari tahu tentang cara menggunakan kekuatan roh penjaga melalui Kristalia terlebih dahulu dibandingkan menemukan kristalnya.
“Tenang saja.” Simon menghentikan bacaannya. “Suatu saat, aku pasti akan mendapatkan kristal itu bagaimanapun caranya.” tegas Simon sambil menutup buku catatan ayahnya yang baru saja selesai dibacanya. “Oleh karena itu, aku harus tahu bagaimana cara mengaktifkan kekuatannya sebelum mendapatkan kristal itu.” tambahnya.
Simon kemudian mengembalikan buku tersebut ke tempat semula sebelum beranjak meninggalkan ruang bawah tanah milik ayahnya. Sedangkan Angelina terlihat mengekor dibelakangnya.
“Izinkan aku memberikan saran padamu.” ujar Angelina saat mereka telah berada di luar ruang bawah tanah yang tadi dimasukinya. “Pergilah ke desa Auderia. Aku yakin kau pasti akan menemukan sesuatu yang menarik disana!” sarannya.
Mendengar hal itu, Simon pun menganggukkan kepalanya. Dia segera kembali ke tempat perkemahan para prajurit kerajaan Ragna tepat setelah menutup pintu ruang bawah tanah milik ayahnya. Sementara Angelina kembali ke istana untuk melakukan tugasnya.
Butuh waktu yang cukup lama untuk sampai ke desa Auderia dari tempat perkemahan Simon dan para prajuritnya dengan menggunakan kuda. Setelah sampai disana, Simon langsung memerintahkan prajuritnya untuk memeriksa seluruh penduduk desa Auderia. Tetapi tetap saja, setelah tiga hari mencari ke seluruh desa, Simon tidak memperoleh apa-apa. Tidak ada satu pun hal menarik yang ditemukannya seperti yang telah dikatakan oleh Angelina kepadanya.
Saat itu, Simon yang sudah mulai berputus asa dengan hasil pencariannya memerintahkan prajuritnya untuk segera meninggalkan desa Auderia sebelum matahari mulai menghilangkan cahayanya.
Pada perjalanan keluar dari desa Auderia, Simon berpapasan dengan Rasiel dan Melnar yang baru saja selesai melakukan pemeriksaan dan sedang melanjutkan perjalanan mereka untuk memasuki gerbang desa Auderia. Saat itu, mata Simon seakan-akan tertarik pada sebuah kantong yang menggantung tepat di leher Rasiel. Simon yang merasa penasaran dengan isi kantong tersebut pun segera menghentikan langkah kuda hitamnya.
“Berhenti!” Simon menghentikan Rasiel dan Melnar dari atas kuda hitam miliknya.
“Apa itu?” Simon menunjuk tepat ke arah kantong kecil yang menggantung tepat di dada Rasiel.
“Ini?” Rasiel memegang kantong kecil yang selama ini menggantung di lehernya. “Ini hanya barang peninggalan dari orang tuaku!” jelasnya.
“Berikan padaku!” Simon mengulurkan tangannya. Dia meminta Rasiel untuk menyerahkan kantong kecil yang tadi ditunjuknya.
Mendengar hal itu, Rasiel hanya bisa terdiam. Dia terlihat seperti sedang kebingungan. Begitu pula dengan Melnar yang berada tepat di sampingnya. Melihat hal itu, Simon mulai merasa curiga dengan reaksi yang ditunjukkan oleh kedua orang yang ada dihadapannya itu.
Saat itu, Simon tiba-tiba teringat dengan ucapan Angelina yang menyarankannya agar pergi dan memeriksa desa Auderia.
“Apa ini hal menarik yang dimaksud oleh Angelina saat itu?” Simon mulai memikirkan kemungkinan terbaik yang bisa diperolehnya saat ini. Akhirnya, simon pun kembali mencoba meminta kantong milik Rasiel tersebut.
“Cepat berikan padaku!” ujarnya.
Akhirnya Rasiel pun terlihat akan menyerahkan kantong kecil tersebut kepada Simon. Namun pada saat yang sama, Melnar yang berada tepat disampingnya tiba-tiba menarik baju Rasiel dan mencoba menghentikan Rasiel yang ingin menyerahkan kantong tersebut kepada Simon.
Melihat hal itu, Simon pun merasa semakin curiga dengan keanehan tingkah laku dua orang yang ada dihadapannya. Dia merasa semakin yakin bahwa kantong tersebut kemungkinan besar berisi kristal milik sang Raja yang sedang dicarinya. Tidak ingin gagal untuk yang ke sekian kalinya, Simon pun mulai menunjukkan keseriusannya.
“Diamlah kerdil!” ujar Simon sambil menatap tajam ke arah Melnar.
Melnar yang melihat tatapan Simon pun hanya bisa terdiam dan melepaskan genggaman tangannya dari baju Rasiel. Saat itu, Simon kembali memberikan perintahnya kepada Rasiel.
“Cepatlah, berikan padaku!” ujar Simon dengan nada yang sedikit lebih tinggi daripada sebelumnya.
Hal itu ternyata berhasil membuat Rasiel menyerahkan kantong kecil miliknya kepada Simon. Melihat hal itu, Simon pun segera mengambil kantong tersebut dari tangan Rasiel dengan paksa.
“Akhirnya, aku mendapatkannya.” pikir Simon sambil perlahan membuka kantong yang kini telah berada di kedua tangannya.
“Apa ini? Ternyata hanya sebuah batu.” ujar Simon.
Simon terlihat sedikit kecewa saat mengetahui isi kantong yang sudah susah payah dimintanya itu. Kantong itu ternyata hanya berisi sebuah batu seukuran ibu jari manusia. Setelah itu, Simon pun segera mengembalikan kantong tersebut kepada Rasiel yang masih berdiri tegak dihadapannya.
Namun, pada saat itu, Melnar yang juga sedang berdiri dihadapannya tiba-tiba menyambar kantong yang akan dikembalikannya. Melnar terlihat seakan tidak percaya dengan apa yang telah disampaikan oleh Simon mengenai isi kantong tersebut. Melnar bahkan terlihat memeriksa kembali isi kantong tersebut. Hal itu membuat Simon kembali merasa curiga dengan tingkah anehnya.
“Mereka pasti sedang menyembunyikan sesuatu dariku.” pikir Simon saat melihat tingkah aneh dari dua orang yang sedang berdiri dihadapannya.
Akhirnya, Simon pun memutuskan untuk segera meninggalkan mereka di gerbang desa Auderia dan mulai bergerak melanjutkan perjalanannya. Namun, beberapa puluh meter di depan gerbang desa Auderia, Simon kembali menghentikan kudanya. Dia memutar kudanya dan melihat kembali ke arah Rasiel dan Melnar yang kini telah melintasi gerbang desa Auderia. Saat itu, Simon segera memanggil salah satu prajuritnya.
“Fynn, kemarilah!” ujar Simon memanggil Fynn Hale, salah satu prajurit yang ada di dalam pasukannya.
“Ada apa Komandan?” tanya Fynn tepat setelah berada di samping Simon.
“Apa kau memperhatikan tingkah mereka saat aku berbicara kepada mereka tadi?” Simon menatap tajam ke arah Rasiel dan Melnar yang terus saja melanjutkan langkahnya.
“Tentu saja, Komandan!” jawab Fynn tegas.
“Menurutku, mereka sedang menyembunyikan sesuatu dariku.” lanjut Simon.
“Selidiki mereka untukku! Aku yakin mereka mengetahui sesuatu yang berhubungan dengan kristal milik sang Raja!” Simon memberikan perintahnya kepada Fynn yang dari tadi duduk di atas kuda cokelatnya.
“Baik, Komandan!” Fynn pun segera memacu kudanya kembali ke gerbang desa Auderia untuk melaksanakan tugas yang baru saja diterimanya.
Sementara itu, Simon dan beberapa prajurit lainnya kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju desa atau kota yang menjadi tujuan pemeriksaan mereka selanjutnya.
* * * * *
Setelah hampir satu bulan mengelilingi seluruh pemukiman manusia yang ada di bagian timur benua Arda, akhirnya Simon sampai di kota terakhir yang menjadi target pemeriksaannya, yaitu kota Crocus. Disana, Simon memerintahkan para prajurit yang selama ini mengikutinya untuk berpencar dan memeriksa seluruh penduduk yang ada di kota itu. Namun, setelah beberapa hari melakukan pemeriksaan, mereka masih saja tidak menemukan petunjuk apapun tentang pencuri yang telah mencuri kristal milik sang Raja. Hal itu tentu saja membuat Simon merasa semakin frustasi atas hasil pencariannya selama ini.
Akhirnya, di hari terakhir misi pencarian mereka di kota Crocus, Simon mengumpulkan prajuritnya dan kembali mendengarkan laporan akhir mereka tentang hasil pencarian mereka di kota tersebut.
“Bagaimana?” Simon bertanya kepada lima orang prajurit yang hari ini melapor kepadanya. “Apa kalian berhasil menemukannya?” tanyanya.
“Maaf, Komandan! Kami juga tidak menemukannya di kota ini!” Salah satu prajurit menyampaikan hasil pencarian mereka dengan kepala tertunduk menahan malu sekaligus takut karena gagal memenuhi tugasnya.
“Sial!” Simon yang merasa geram dengan laporan yang di dengarnya tiba-tiba memukul dinding yang ada disampingnya. “Kemana perginya pencuri kecil itu?” tuturnya.
Hal itu tentu saja membuat para prajurit yang berada di hadapannya merasa semakin takut untuk berbicara kepadanya.
“Ini adalah kota terakhir yang ada di kerajaan ini. Tapi, kenapa masih saja tidak ditemukan?” ujar Simon sambil kembali memukul dinding yang kini dihadapinya. Dia benar-benar frustasi dengan hasil pencariannya.
Disaat seperti itu, Hulbert Clare, salah satu prajurit yang juga melapor kepadanya terlihat memberanikan diri untuk menyampaikan pendapatnya kepada Simon–komandan pasukannya.
“Ma-Maaf, Komandan!” ujarnya terbata-bata. “I-Ini hanya pendapatku, tapi apa mungkin jika pencuri tersebut telah meninggalkan pemukiman ras manusia dan sedang bersembunyi di pemukiman ras lain yang ada di benua ini?” tanyanya.
Saat itu, Simon terdiam. Dia sepertinya mulai memikirkan kemungkinan yang baru saja disampaikan oleh Hulbert kepadanya.
“Benar juga!” ujar Simon sambil menganggukkan kepalanya.
“Kalau begitu, kenapa kita tidak mulai mencari di pemukiman ras lain?” Hulbert kembali menyampaikan pendapatnya.
Saat itu, Simon menggelengkan kepalanya.
“Kita tidak bisa seenaknya memeriksa pemukiman ras lain tanpa perintah langsung dari Raja.” ujar Simon menanggapi pertanyaan Hulbert padanya.
“Kalau begitu, kenapa kita tidak kembali ke istana dan meminta izin kepada Raja untuk memeriksa pemukiman ras lain yang ada di benua ini, Komandan?” Hulbert kembali memberikan saran kepada komandan pasukannya.
Mendengar hal itu, Simon terdiam sejenak. Dia terlihat seperti sedang mempertimbangkan saran yang diberikan Hulbert kepdanya.
“Baiklah!” Simon berdiri dari tempat duduknya. “Kalau begitu, sekarang kita kembali ke kerajaan untuk membicarakan kemungkinan ini kepada sang Raja!” lanjutnya.
“Baik, Komandan!” ujar prajurit yang ada di ruang pertemuan itu serentak.
* * * * *
Setelah menempuh satu hari perjalanan dengan berkuda, Simon dan pasukannya pun sampai di depan istana kerajaan Ragna. Dari sana, Simon segera mencari keberadaan sang Raja untuk melaporkan hasil pencariannya. Dia bahkan meminta sang Raja untuk mengirimkan pasukannya untuk memeriksa pemukiman ras lain yang ada di benua Arda seperti yang telah disarankan Hulbert kepadanya. Namun, permintaan Simon ditolak mentah-mentah oleh sang Raja. Beliau bahkan memerintahkan Simon untuk memeriksa kembali daerah yang ada di sekitar kerajaan Ragna.
Setelah menerima perintah langsung dari sang Raja, Simon pun keluar dari ruang takhta dan mulai berjalan menuju ke halaman istana dimana para prajurit kerajaan sedang menunggu kedatangannya. Ditengah-tengah perjalanan, Simon terdengar mengumpat kesal terhadap sang Raja yang telah menolak sarannya.
“Sial. Apa dia pikir mencari kristal itu semudah membalikkan telapak tangan, huh? Seenaknya saja memberikanku perintah seperti itu!” umpatnya.
Simon juga terlihat memukul tiang yang menjaga pintu masuk istana.
“Jika memang semudah itu, aku pasti tidak akan bersusah payah bersikap patuh dihadapanmu. Dasar Raja sialan!” lanjutnya.
Sementara itu, para prajurit di halaman istana terlihat sedang berkumpul menunggu kedatangan Simon dari dalam istana. Disana, Hulbert terlihat sedang menanti balasan dari saran yang sudah diajukannya kepada komandannya.
“Bagaimana, Komandan? Apa yang terjadi di dalam?” Huberlt terlihat menyapa Simon yang kini tengah berada di hadapan mereka.
“Apa Yang Mulia mengizinkan kita untuk memeriksa pemukiman ras lain yang ada di benua ini?” tanyanya.
Simon terdiam sejenak. Dia terlihat menarik napas panjang–lalu menghembuskannya perlahan–sebelum menjawab pertanyaan yang diajukan Hulbert kepadanya. Dia sepertinya sedang mencoba mengendalikan dirinya agar tidak meluapkan amarahnya kepada para prajuritnya.
“Yang Mulia tidak memberikan izinnya kepada kita. Beliau meminta kita untuk memeriksa kembali pemukiman yang ada di sekitar kerajaan ini.” ujar Simon menjelaskan perintah yang baru saja diterimanya dari sang Raja.
“Untuk itu, kembalilah ke pos kalian! Aku akan segera menemui kalian disana!” ujarnya sambil beranjak meninggalkan para prajurit yang terlihat kecewa dengan keputusan sang Raja.
Saat itu, Fynn Hale, prajurit yang pernah diperintahkan oleh Simon untuk mengawasi Rasiel dan Melnar di desa Auderia tiba-tiba datang menghadapnya.
“Komandan! Komandan Simon!” Fynn terlihat berlari mendekati Simon–yang tadinya hendak meninggalkan para prajuritnya di depan istana–dari arah gerbang istana.
“Fynn? Apa yang kau lakukan disini?” Simon mempertanyakan keberadaan Fynn yang kini sedang berusaha mengatur napasnya.
“Anda benar, Komandan!” ujar Fynn dengan napasnya yang masih sedikit tersengal-sengal. “Merekalah yang telah mencuri kristal milik sang Raja!” lanjutnya.
“Benarkah?” Simon terlihat mendekati Fynn yang berlutut dihadapannya. Dia menepuk pundak Fynn seraya melanjutkan pertanyaannya. “Dimana mereka sekarang?”.
“Mereka sedang menuju ke sini, Komandan!” jawabnya.
Laporan Fynn bak sebuah sambaran petir kebahagian bagi Simon. Bagaimana tidak? Setelah semua upaya yang telah dilakukannya, akhirnya dia mulai mendapatkan titik terang dari misi yang selama ini diembannya. Hasil pencarian yang selama ini sia-sia, kini akhirnya mulai menunjukkan wujudnya. Ditambah lagi, target yang selama ini dicarinya justru sedang berjalan menuju kearahnya untuk menyerahkan diri kepadanya. Hal itu tentu saja membuat Simon merasa bahagia. Sebuah senyuman kini terlihat mulai terukir kembali di wajah masamnya.
“Kerja bagus, Fynn! Sekarang, istirahatlah!” Simon menepuk bahu Fynn yang dari tadi berlutut dihadapannya. Simon memuji Fynn yang dianggapnya telah berhasil melaksanakan tugasnya.
Hal itu tentu saja membuat Fynn merasa senang.
“Baik, komandan!” jawabnya.
“Kalian dengar yang telah dilaporkannya?” Simon bertanya kepada beberapa prajurit yang dari tadi berada di halaman istana kerajaan. Para prajurit pun terlihat menganggukkan kepala mereka sebagai jawaban dari pertanyaan komandannya.
“Sekarang, kumpulkan seluruh prajurit yang ada di sekitar istana, kita akan segera melakukan penyergapan!” perintah Simon kepada semua prajurit yang ada dihadapannya.
Setelah beberapa menit, Simon dan para prajuritnya terlihat bersiap di gerbang istana kerajaan Ragna untuk melakukan penyergapan terhadap Rasiel, Melnar, dan Sylda yang kini tengah menuju ke arah mereka.
“Berhenti!” Hulbert terlihat menghentikan langkah Rasiel, Melnar, dan Sylda tepat setelah mereka memasuki gerbang istana. “Jangan bergerak!” lanjutnya.
Perbuatan Hulbert kemudian diikuti oleh beberapa prajurit yang ada di sekitarnya. Kini, mereka telah berhasil mengepung Rasiel dan kedua rekannya.
“Ada apa ini?” Sylda yang terlihat kebingungan dengan sergapan tiba-tiba tersebut mulai melemparkan pertanyaan beruntunnya kepada para prajurit yang mulai menghunuskan pedang mereka. “Apa yang kalian lakukan?” lanjutnya.
“Kami disini untuk menangkap kalian, karena kalian telah mencuri kristal milik sang Raja!” Hulbert menjelaskan alasan dibalik penyergapan yang telah dilakukannya.
“Tidak, tidak! Itu tidak benar!” Sylda membantah tuduhan yang baru saja didengarnya.
Sementara itu, Rasiel dan Melnar terlihat berusaha untuk menghentikan Sylda agar tidak menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Namun, hal itu sepertinya sia-sia. Rasa takut rupanya telah menyelimuti Sylda dan memaksanya untuk memberitahukan kebenarannya.
“Kami tidak mencurinya! Kami hanya ingin mengembalikannya!” ujar Sylda sambil terus mengangkat kedua tangannya. Rasiel dan Melnar yang mendengar ucapan Sylda hanya bisa terdiam dan menatapnya dengan tatapan tajam.
“Ada apa? Aku hanya mengatakan yang sebenarnya!” Sylda yang tidak menyadari kesalahan yang baru saja dilakukannya, hanya bisa menunjukkan wajah polosnya kepada dua orang yang kini sedang berdiri disampingnya.
“Jadi benar, kalianlah yang telah mencuri kristal milik sang Raja?” Simon tiba-tiba muncul dari balik kerumunan pasukannya tepat setelah mendengar jawaban Sylda.
“Kalau begitu, cepat serahkan kristal itu padaku sekarang!” perintah Simon dengan nada yang sedikit memaksa.
“Tidak. Aku tidak akan menyerahkannya padamu!” Rasiel menolak mentah-mentah permintaan Simon pada mereka.
“Pertemukan aku dengan sang Raja agar aku bisa menyerahkan kristal itu padanya!” lanjutnya.
Hal itu tentu saja bertentangan dengan keinginan Simon yang ingin mendapatkan kristal tersebut sebelum sang Raja.
“Sepertinya kau tidak menyadari posisimu saat ini ya?” Simon mendekati Rasiel.
“Biar ku jelaskan padamu!” Simon memegang kerah baju Rasiel dengan tangan kanannya sebelum kemudian melanjutkan perkataannya. “Saat ini, kau tidak punya hak untuk meminta apapun dariku, dasar pencuri sialan!” lanjutnya.
“Aku tidak peduli!” Rasiel tetap kukuh dengan keinginannya untuk bertemu sang Raja. Dia bahkan berani menantang Simon untuk memberitahu sang Raja tentang keberadaannya. “Katakan pada sang Raja, aku membawa kristal miliknya. Aku yakin beliau pasti akan mengizinkanku untuk menemuinya!” tegasnya.
Simon terdiam. Dia tidak bisa membalas perkataan Rasiel padanya. Namun, tiba-tiba sebuah ide cemerlang melintas di otaknya.
“Tunggu sebentar.” pikirnya. “Ini akan menjadi sebuah kesempatan besar untukku. Aku bisa mengambil kristal sekaligus darah milik Raja bodoh itu jika mereka berada di tempat yang sama pada waktu yang sama pula. Dengan begitu, aku tidak perlu bersusah payah untuk bersandiwara lagi di hadapannya!”.
Dengan keuntungan sebesar itu, Simon pun memutuskan untuk menerima permintaan Rasiel dan mempertemukan mereka dengan sang Raja.
“Baiklah. Bawa mereka ke istana. Kita akan membawa mereka kehadapan sang Raja!” Simon memberikan perintah kepada prajuritnya untuk segera membawa Rasiel dan dua rekannya ke dalam istana, tempat Raja kerajaan Ragna berada.
Disana, Simon melaporkan hasil temuannya kepada sang Raja dan melaksanakan rencananya. Setelah perjuangan yang cukup keras, akhirnya Simon berhasi mengambil kristal milik sang Raja sekaligus dengan potongan tangan kanannya. Simon bahkan mampu memperdaya para prajurit kerajaan Ragna dan melemparkan semua kesalahan yang telah dilakukannya kepada Rasiel, Melnar, dan Sylda yang kini tengah berusaha menyelamatkan sang Raja dari genggamannya.