Read More >>"> Mahar Seribu Nadhom (2. Lucyd Dream) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mahar Seribu Nadhom
MENU
About Us  

Hanya kegelapan yang bisa kulihat. Napasku sesak, seperti ditimpa beban ribuan ton. Udara seakan lenyap, tubuhku berputar-putar. Lalu ada kekuatan maha dahsyat melemparkanku pada ruangan yang sangat kelam. Tepat di depan gerbang hitam yang diselimuti kabut pekat.

Sekonyong-konyong kaki ini melangkah, memasuki pintu yang berdiri megah di hadapanku. Dan dalam sekejap, tubuhku seperti tersedot masuk ke lubang cacing.

Kilat cahaya yang terlalu terang menerobos retina. Mataku mengerjap berulang-ulang, untuk menyesuaikan cahaya yang masuk. Ada banyak hal yang mampu ditangkap indrawi, tapi semua masih terlalu buram.

Pohon-pohon pinus menjulang tinggi, tanah yang kupijak ditumbuhi ilalang, suara burung bersahutan dengan kera liar. Angin yang berhembus kencang, menerbangkan tawa subang yang menggelegar.

"Ada perlu apa datang ke sini, manusia lancang!"

Suara itu menggema dari langit kelam. Diikuti tawa iblis yang membuatku merinding. Tidak, aku tidak boleh takut dengan mahluk itu.

"Siapa kamu!" Tanganku menarik anak panah dari punggung, dan berancang-ancang untuk memanah apa saja. "Tunjukkan dirimu, mahluk laknat!" Napasku berganti api yang mendenam. Tapi yang kudengar hanyalah tawa yang semakin menciutkan nyali. Saat penglihatanku berfungsi sempurna, aku sadar, bahwa ini adalah Hutan Banawasa. Tempat yang menjadi pusat konsentrasiku sebelum membaringkan tubuh.

Sekawanan burung terbang ke arahku, aku mundur selangkah, tapi sial, ternyata dibelakangku ada jurang yang sangat dalam.

"Kenapa aku berada di tempat seperti ini? Apa mungkin, bapak jatuh ke jurang?" Aku mulai menduga-duga, barang kali ini sebuah petunjuk, dan tanyaku masih belum terjawab, sampai burung-burung itu semakin mendekat. Anak panah yang kulesatkan, tak satupun mengenai mereka. Sepertinya aku harus lebih sering mengasah kemampuan memanahku.

Tak ada pilihan kecuali lompat. Aku tidak akan mampu melawan burung-burung itu, mereka terlalu banyak, sementara anak panahku sudah habis.

"Ini hanya mimpi," ucapku, lalu memejamkan mata dan melompat ke dalam jurang.

Aku terbangun dengan napas terengah. Tubuhku terasa lemah, dan keringat dingin memenuhi dahi.

Aku gagal lagi.

***

"Mbah, aku kan udah bilang ini nggak ada hubungannya sama mahluk halus." Di luar, Asrul lagi manjat pohon sawo sambil mengomel panjang pendek membawa seutas tali. Sepertinya dia berdebat lagi dengan simbah. Asrul memang paling suka beradu pendapat, dengan siapa saja, termasuk aku. Kadang aku juga berdebat dengannya karena masalah sepele, sering malah. Saking seringnya, aku sampai bingung dengan anak itu. Ada saja kosa katanya buat ngeyel.

"Nggak ada gimana? Kamu lihat sendiri, kan? Di cabang yang itu," Mbah Kasmaji menunjuk cabang pohon sawo yang menjulur ke arah barat. "di sana buahnya lebih banyak, itu karena penghuninya seneng kita kasih mainan. Kita ini kan hidup di dunia yang isinya bukan cuma kita saja. Ada mahluk lain yang juga hidup walaupun nggak kelihatan sama kita. Biar keharmonisan di bumi ini tetep terjaga, ya kita harus mau saling menghargai."

Ayas yang sedang memegangi papan kecil di samping simbah hanya tersenyum ganteng, entah apa yang dia pikirkan. Mungkin dia juga heran dengan Simbah dan Asrul yang akurnya hanya hitungan detik. Dan di sini, aku gagal fokus karena melihat senyum itu, hatiku kembali berdebar. Ya Allah, padahal senyumnya barusan bukan khususon buat aku, loh. Dia saja tidak melihatku, tapi kenapa rasanya seperti ini? Bedug maghrib masih lama, kan?

Astagfirullah, kenapa perasaanku selalu begini, dia sudah berubah menjadi pria dewasa yang berwibawa, tapi sekarang malah aku yang kekanakkan. Dunia sudah jungkir balik, ya?

"Begini, Mbah." Asrul melompat setelah mengikatkan tali pada batang pohon yang cukup besar. "Kenapa batang itu buahnya lebih banyak, itu emang karena ada ayunannya. Tapi sama sekali nggak ada hubungannya sama mahluk halus yang selalu Simbah ceritakan." Anak itu mulai bicara. Dan kalau ngomong, tangannya nggak pernah bisa diam. Ekspresif.

"Tumbuhan membuat makanannya sendiri melalui proses fotosintesis yang terjadi pada daun. Zat makanan itu, digunakan untuk menunjang pertumbuhan seperti tumbuh, berbunga dan berbuah. Zat makanan diedarkan melalui pembuluh floem. Kalau kulit pohon terluka, dan terjadi kerusakan jaringan floem, maka penyaluran zat makanan akan terhenti, sehingga terjadi penumpukan zat makanan di atas bagian yang terluka. Nah, penumpukan zat makanan itu yang memicu tumbuhnya bunga dan terjadinya buah. Jadi sama sekali nggak ada hubungannya sama mitos Mbak Kunti yang tinggal di pohon ini, apalagi karena dia suka main ayunan. Nggak ada teorinya! Ngawur!" Asrul memang gila sains sejak masih SMP. Menurutnya semua hal di dunia ini memiliki penjelasan ilmiah. Tapi menurutku, menceramahi Simbah dengan dalil-dalil ilmu biologi, sama saja menyuruh orang tuna rungu untuk mendengarkan musik.

"Ngomong apa kowe? Kalau ngomong sama orang tua yang jelas, ploem-ploem aparane? Wong kamu percaya sama Gusti Allah, ya harus percaya juga sama semua mahluk-Nya. Allah kan juga menciptakan jin dan setan. Kita manusia, walau nggak bisa lihat mereka, sbisa mungkin tetep harus menghargai keberadaannya." Simbah masih mendebat. Kayaknya nggak afdol banget buat Simbah kalau nggak menang debat sama Asrul.

"Udah. Nggak usah ribut, pagi-pagi juga! Nggak malu apa sama tetangga?" ucapku menengahi perdebatan yang makin nggak jelas. Ayas melihat ke arahku saat berjalan menghampiri mereka.

Begini saja, di sini kan ada Mas Da'i, kenapa nggak tanya aja, gimana pandangan islam tentang apa yang diyakini simbah? Apa iya, ada kaitan antara mahluk halus dan buah sawo? Apa boleh, kita meyakini kalau pohon sawo ini berbuah lebih banyak karena adanya campur tangan mahluk yang suka main ayunan itu?" 

 

Ayas sempat melihat ke arahku sebelum bicara, anehnya kepalaku mengangguk seolah memberi persetujuan untuk menjelaskan.

Sejak kapan aku mengerti bahasa isyarat? Bahkan dia hanya menatap mataku beberapa detik. Tapi dengan bodohnya, otakku mengartikan hal itu sebagai permintaan izin. Aku jadi salah tingkah, apalagi saat Ayas tersenyum puas. Pasti dia sedang mengejekku, yang sejak dia datang selalu berusaha menghindar, dan sok nggak peduli lagi sama dia, tapi sekarang karena kecerobohanku sendiri, malah menunjukkan bahwa aku masih Jea yang dulu.

"Ngapunten, Mbah." Ayas meminta maaf terlebih dahulu, dan simbah mempersilakan dengan senyum khas yang penuh kewibawaan. "Benda atau hal apa pun, kalau kita meyakini bahwa dia mempunyai kekuatan tertentu, maka kita akan melihat dan merasa seolah hal itu benar-benar memiliki kekuatan yang kita yakini. Ayunan ini," Ayas memegang tali yang terjulur dari atas pohon. "kasusnya hampir mirip seperti jimat. Kalau seseorang meyakini, adanya jimat yang memiliki kekuatan, misalnya, ada batu yang dipercaya bisa menjadi jimat pelaris dagangan, maka batu itu akan bekerja seolah bisa membuat dagangan jadi laris. Dalam hal ini, setan mempunyai hak untuk memberikan kekuatan pada benda tersebut. Tujuannya, tidak lain untuk menyesatkan manusia agar bisa dijadikan teman di neraka," lanjutnya hati-hati. Mungkin dia takut kalau simbahku akan tersinggung.

"Tuh kan, Mbah, dengerin kata Mas Ustadz! Katanya mau tobat, tapi masih percaya sama gituan, gimana sih? Sekali-kali yang muda yang berbicara. Jangan cuma maunya maksain kita buat ngikutin kepercayaan kolot simbah."

Lagi-lagi Ayas tersenyum dengan kadar gula berlebih. Ia memaksaku mengingat saat-saat masih di pesantren, di mana senyum itu dulu juga selalu berhasil menyihirku. 

'Tundukkan pandanganmu, Jea!' salah satu sel otakku yang masih cukup waras mengingatkan. Dan untuk ke sekian kalinya, aku salah tingkah di depan Ayas. Kenapa aku jadi mirip abege labil gini, sih? Apa memang aku masih labil?

"Gimana, Mbah? Udah jelas, kan?" tanyaku mengalihkan pikiran yang mulai dikelilingi oleh Ayas, Ayas, dan Ayas.

"Iya. Tapi bukan berarti, ayunannya nggak jadi dibuat." Tangan kiri simbah menarik kerah baju Asrul yang bersiap melipir.

"Apaan lagi si, Mbah! Kan tadi udah denger sendiri. Kita nggak boleh percaya kalau ayunan bisa bikin sawonya jadi banyak. Emangnya simbah mau, jadi temennya setan?"

"Siapa yang mau jadi temen setan? Kan tadi kamu sendiri yang bilang. Kalau ploem-ploem itu rusak, jadi ada zat makanan yang menumpuk. Sama aja, kan? Intinya, sawo banyak, bisa dijual, terus dapet duit banyak."

"Ploem-ploem! 'ef' bukan 'pe'. Ngomong aja udah susah, masih mikirin duit. Ibadah aja diurusin, jangan duit mulu. Mati juga nggak bakalan dibawa." Asrul kalau ngomong sama simbah sudah tidak peduli tata krama. Mereka seperti anak seumuran. Dan kalau sama Asrul, simbah jadi lebih mirip anak muda yang terjebak di dalam tubuh renta. Jiwa debatnya selalu berkobar, dan hubungan mereka lebih mirip brothership ketimbang seorang anak dengan ayah angkat. Simbah juga selalu bisa menerima sikap Asrul, yang masa bodoh dengan sopan santun ketika berbicara dengannya. Yang jelas, dalam keadaan tertentu, mereka bisa membuat iri anak kandung simbah, yang tidak semuanya bisa berbicara santai dengan ayah mereka. Termasuk bapakku.

 

Mau ke mana?" Ayas menahanku yang berniat meninggalkan mereka.

Aku hanya melihat ke arah tangan yang memegangi lenganku. Dia langsung melepaskannya sambil nyengir tahu diri, yang menurutku sudah terlambat.

Sebenarnya di sini yang santri siapa, sih? Kenapa dia seenaknya menyentuh wanita yang bukan mahram, dan aku yang harus selalu memperingatkan? Dasar berandal, tetap saja suka melanggar peraturan.

"Kenapa, sih? Kayaknya sekarang kamu alergi banget sama aku? Lagian aku cuma megang tangan, yang penting kan nggak aneh-aneh," protesnya menggunakan bahasa santai, mengabaikan keberadaan Simbah dan Asrul yang masih sibuk dengan ayunan mereka. Untunglah mereka tidak terlalu memperhatikan.

Aku mengembuskan napas kasar, jengah dengan sikapnya. Juga dengan perasaanku sendiri yang selalu takluk pada pesonanya. "Kalau pandangan mata saja merupakan panah beracun iblis, apa menurut Mas Ustadz, pegangan tangan bukan masalah?" Aku sengaja bertingkah sok kasar padanya. Semoga dengan begini, dia akan bosan dan menyerah.

Dia malah melangkah lebih dekat. "Berhenti!" Aku fokus pada apa yang berada di dekat kakinya. 

Dia malah tersenyum saat mengikuti pandanganku, langkahnya melebar untuk menghindari pisau yang tadi digunakan simbah untuk membuat tali dari bambu.

Dengan sok iyess, dia menaikan sebelah ujung bibir seolah mengatakan, aku selamat. Selanjutnya dia tersenyum meremehkan, tapi seketika senyum itu raib, begitu bau tidak sedap mengepul menghampiri indra penciuman.

Aku langsung tertawa saat melihat ekspresinya. Anehnya, dia tetap terlihat imut sekaligus ganteng walau sedang nelangsa begitu. Asrul yang mendengar tawaku, langsung menoleh dan ikut mentertawakan kesialan Ayas.

Kadang manusia memang sok tahu, berpikir kalau dirinya yang paling tahu tentang apa yang terbaik, lalu dengan santainya mengabaikan apa yang sudah jelas-jelas Allah peringatkan. Ya seperti Ayas itu. Dia pikir bisa selamat dari pisau, dan ngeyel tetep maju, walau aku sudah melarangnya. Padahal dari awal memang itu tujuanku mengingatkan. Agar kakinya yang tidak dialas terompah tidak menginjak kotoran ayam. Tapi dia malah nekat, ya bukan salahku kalau dia harus menerima nasib buruk.

"Aku suka kalau kamu ketawa, cantik. Walau orang lain mungkin akan menganggapmu mirip mak lampir." Detik itu juga aku mingkem otomatis. Ini salah. Pipiku jadi merah gara-gara ucapannya itu. Bisa nggak si, dia nggak usah pakai acara ngegombal?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (3)
  • MandisParawansa

    @ReonA Makasih, Kak. Baca semuanyaa, yaaa. Bantu krisannya jugaaaa.

    Comment on chapter Prolog
  • MandisParawansa

    @ReonA Makasih, Kak. Baca semuanyaa, yaaa. Bantu krisannya jugaaaa.

    Comment on chapter Prolog
  • ReonA

    Keren kak. hanya kurang tepat meletakkan tanda baca di bbrp bagian aja

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Gloomy
528      337     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
LOVE, HIDE & SEEK
455      302     4     
Romance
Kisah cinta antara Grace, seorang agen rahasia negara yang bertemu dengan Deva yang merupakan seorang model tidak selalu berjalan mulus. Grace sangat terpesona pada pria yang ia temui ketika ia menjalankan misi di Brazil. Sebuah rasa cinta yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Namun, takdir mempertemukan mereka kembali saat Grace mulai berusaha menyingkirkan pria itu dari ingatannya. Akankah me...
Pemeran Utama Dzul
339      224     4     
Short Story
Siapa pemeran utama dalam kisahmu? Bagiku dia adalah "Dzul" -Dayu-
Under a Falling Star
657      399     7     
Romance
William dan Marianne. Dua sahabat baik yang selalu bersama setiap waktu. Anne mengenal William sejak ia menduduki bangku sekolah dasar. William satu tahun lebih tua dari Anne. Bagi Anne, William sudah ia anggap seperti kakak kandung nya sendiri, begitupun sebaliknya. Dimana ada Anne, pasti akan ada William yang selalu berdiri di sampingnya. William selalu ada untuk Anne. Baik senang maupun duka, ...
LINN
11309      1686     2     
Romance
“Mungkin benar adanya kita disatukan oleh emosi, senjata dan darah. Tapi karena itulah aku sadar jika aku benar-benar mencintaimu? Aku tidak menyesakarena kita harus dipertemukan tapi aku menyesal kenapa kita pernah besama. Meski begitu, kenangan itu menjadi senjata ampuh untuk banggkit” Sara menyakinkan hatinya. Sara merasa terpuruk karena Adrin harus memilih Tahtanya. Padahal ia rela unt...
Kamu
221      179     0     
Short Story
Untuk kalian semua yang mempunyai seorang kamu.
Kisah yang Kita Tahu
5015      1441     2     
Romance
Dia selalu duduk di tempat yang sama, dengan posisi yang sama, begitu diam seperti patung, sampai-sampai awalnya kupikir dia cuma dekorasi kolam di pojok taman itu. Tapi hari itu angin kencang, rambutnya yang panjang berkibar-kibar ditiup angin, dan poninya yang selalu merumbai ke depan wajahnya, tersibak saat itu, sehingga aku bisa melihatnya dari samping. Sebuah senyuman. * Selama lima...
Aku & Sahabatku
15715      2153     4     
Inspirational
Bercerita tentang Briana, remaja perempuan yang terkenal sangat nakal se-SMA, sampai ia berkenalan dengan Sari, sifatnya mengubah hidupnya.
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
6966      1974     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
Baret,Karena Ialah Kita Bersatu
675      395     0     
Short Story
Ini adalah sebuah kisah yang menceritakan perjuangan Kartika dan Damar untuk menjadi abdi negara yang memberi mereka kesempatan untuk mengenakan baret kebanggaan dan idaman banyak orang.Setelah memutuskan untuk menjalani kehidupan masing - masing,mereka kembali di pertemukan oleh takdir melalui kesatuan yang kemudian juga menyatukan mereka kembali.Karena baret itulah,mereka bersatu.