Kini aku sudah lulus kuliah, aku sudah bekerja pula di rumah sakit. Lebih bagus, gaji lebih tinggi, dan tidak ada kabar Boby lagi. Sementara Rana, sebentar lagi akan kembali ke Indonesia. Aku menceritakan semua keluh kesah mengenai hubunganku dengan Boby dan ternyata Rana juga bercerita mengenai masalahnya dengan Wiji, jadi mereka pacaran? Syukurlah kalau begitu. Semoga Wiji baik dan terbaik untukmu Na!
Berhubung aku sedang bertemu dengan master psikolog, aku meminta bantuan Rana untuk menyelidiki fakta tentang Boby yang sesungguhnya. Sekarang aku sudah tidak bisa mencari tahu lewat Caca, adik Boby karena ia sekolah di luar kota dan aku tidak tahu ada dimana. Aku ikuti saja apa yang diinginkan oleh Boby dan mami sebenarnya, aku mengikuti alur yang mereka inginkan. Atas kekuatan dari Rana, aku berani mengambil apapun resiko dan jawaban atas teka-teki ini.
Hari yang ditunggu datang pula, mami meminta aku untuk menemuinya. Aku menolak dulu dong awalnya. Maaf mi, aku lagi sama sepupu aku ini, sedang di toko buku. Tapi mami tetap kekeh untuk aku ke rumahnya. Ternyata dia tidak habis akal untuk menyuruhku datang kesana, dia menelfonku.
“Ta.. buruan datang ke rumah. Sepupu kamu diajak aja.. kita makan bareng ya di rumah. Ini mami sudah belikan kamu sate kambing. Kamu suka kan? Sini. Mami nggak mau tahu kamu lagi dimana sekarang. Pokoknya buruan kesini, mami udah beliin buat kalian.” Kata mami lalu ia menutup telfonnya.
Setelah berdiskusi dengan Rana, aku menuju rumah mami. Ketika disana, tidak ada bau makanan pun. Lalu mami berkata, “Kamu kesini dengan tangan kosong? Aduh bocah ini bener-bener ya. Udah berapa kali mami bilang, kalau kemari itu bawa makanan. Martabak kek atau apa. Nyenengin maminya gitu dong.” Katanya sambil teriak. Saat itu Rana masih di dalam mobil. Kemudian dia keluar dan membawa es kelapa untuk kami.
“Eh, ini siapa?” kata mami melihat dan memegang Rana penuh perhatian.
“Rana. Saudaranya Meta mih. Oh iya, ini tadi kami mampir ke es kelapa dulu, buat menemani sate kambing dari mami. Makanya kami tadi sedikit lama dijalan. Inih mi,” katanya sopan sambil memberikan es kelapa pada mami.
“Oh iya, makasih ya.” Kata mami sambil mengambil es kelapa itu, lalu memberikan padaku, “Eh, bocah. Ini kamu ambil gelas sana lalu kita minum bareng-bareng.” Katanya padaku dengan nada yang tinggi. Ketika berbicara pad Rana, dia sedikit lembut, “Eh, anak cantik. Ya ampun, Meta kok nggak pernah bilang sih kalau punya saudara kaya kamu. Mana sopan pisan sama orang tua. Kita ngobrol yuk.”
Mami mengajak Rana ke ruang tengah, sementara aku ke dapur untuk mempersiapkan minuman itu. Aku pun menyelidiki, di dapur tidak ada apapun, tidak ada sate kambing yang mami bilang. Lalu aku menyusul, menemui mereka, aku seperti pembantu.
“Mana mi, satenya?” kataku.
“Nanti kita makan di luar aja. Iya nggak Na? Rana lapar kan?”
Rana sudah aku ceritakan mengenai mami dan sifatnya. Dia menjawab, “Hehe, maaf mi. Tapi Rana vegetarian. Rana tidak makan daging. Maaf ya. Kalau mami mau makan, nggak papa. Tapi Rana pesan minum saja nanti. Kan ini sudah dibawakan es kelapa, masa enggak diminum.” Katanya menggoda mami.
“Walah, kamu nggak makan daging dong. Lalu gimana? Mau makan apa kita?” kata mami lagi.
“Rana masak aja ya mi, mami punya bahan makanan apa di kulkas?”
“E... itu, Cuma ada wortel sama bayam. Rana mau masak? Aduh kasihan, masa tamu disuruh masak.”
“Nggak papa mi, daripada beli kan mending masak sendiri. Kita masak bareng yuk mi, biar jadi lebih dekat.”
Aku tahu banget, ini siasat Rana untuk menyelamatkan uangku. Bukannya aku pelit, tapi mami kalau mau makan diluar kadang se-RT diajakin. Jadi aku rada nggak ikhlas kalau njajanin mami. Lebih baik uangnya aku simpan buat nikah.
“Aku ngapain nih mi? Meta kan nggak bisa masak.” Tanyaku.
“Ya udah. Kamu liatin kita aja di dapur. Atau mau ke atas, ada Boby.”
“Yah, tadi mami bilang nggak ada dia. Gimana sih mi.”
“Ya kan tadi. Barusan aja dia pulang. Udah ah, ayuk kamu mau ikut ke dapur apa enggak?” kata mami sambil menarik lengan Rana.
Kami bertiga kemudian menuju dapur. Ketika sedang mencari panci, Rana bingung karena dapurnya tidak tertata dengan rapi dan beberapa piring kotor masih ada disana, hal itu mengundang Boby turun kebawah. Mendengar suara ada beberapa barang yang bersenggolan dan mami hampir memecahkan piring. “Rana cuci dulu ya piringnya. Mami pasti capek kan, dari tadi mengurus rumah. Sekarang mami duduk aja ya, biar Rana yang cuci piring dulu. Biar tempatnya lumayan lega. Mami minum kelapa dulu aja ya,” kata Rana.
“Ini suara apa sih, berisik amat!” kata Boby. “Lha, kenapa ada kamu disini?”
“Kenapa emangnya?” kata Meta.
“Ta. Ada hal yang mau aku bicarakan sama kamu. Aku tunggu kamu diatas ya.” Katanya sambil megacungkan jari telunjuk ke mukaku.
“Aku kan lagi makan es, sama mami. Iya nggak mi?”
“Iya. Apaan si ini anak. Datang-datang langsung marah, sinilah makan dulu.” Mami menyahut. Sementara Rana tetap pada pekerjaannya.
Ditambah dengan Boby, kami minum es kelapa. Lalu ia baru melihat Rana ketika sudah berada di dapur. Ia berkata, “Lha, ini siapa disini?” tanyanya. Aku menjelaskan tentang Rana dan alasan aku membawanya juga. Seperti yang aku katakan pada mami tadi. Setelah minuman kami habis, Rana pun sudah menyelesaikan mencuci piringnya. Es habis, tanpa sisa. Rana hanya minum air putih untuk menghilangkan dahaganya. Sementara aku naik keatas bersama Boby untuk membicarakan, entah apa. Pekerjaan Rana selanjutnya adalah memasak dan mendekati mami.
Kami berdua memiliki misi masing-masing untuk mencari tahu fakta Boby dan Anis. Aku tidak mau telalu lama berada dalam lingakran seperti ini. Aku ingin segera menyelesaikannya. Sudah aku duga sebelumnya, Boby memanggilku dan dia menuduhku selingkuh. Padahal aku lihat sendiri dia yang selingkuh. Lalu kami berdebat mengenai Anis, siapa sosok perempuan itu. Boby tidak menjawab pertanyaanku dengan tuduhan, “Aku tu deket sama Anis gara-gara kamu. Karena kamu ke kuliah nggak ngabarin aku. Kamu menghilang ketika kuliah, buat apa sih? Gitu aja sombong! Asal kamu tahu ya. Dulu aku menghilang, juga karena kamu. Demi kamu. Aku tidak mau ada gosip tentang kita di rumah sakit, apalagi ada tambahan mengenai si Anis itu. Bohong itu semuanya. Aku itu sengaja menghilang dulu, biar kamu fokus kerja. Biar nanti kita bisa jadi satu lagi. Emang kamu, selingkuh. Udah tiga kali ya, kamu selingkuhin aku.” Katanya.
Di ruangan lain, Rana sudah selesai memasak dan meminta mami untuk memanggilku dan Boby makan bersama. “Eh, bocah. Udah berduaannya. Sini, kita makan dulu. Ini Rana udah selese masaknya nih. Ayo kita makan bareng.” Katanya berteriak.
Rana menyiapkan sayur bayam, bakwan, kerupuk, dan sambal terasi. Semuanya sudah siap dan terhidang di meja. Kami makan bersama kala itu juga. Rana pun membuat infus water dari lemon dan madu, seadanya bahan di kulkas mami. “Nih, ayo kita coba masakan Rana.” Kata mami.
“Mih, sini Rana ambilin nasinya,” ucap Rana sambil menjulurkan tangan untuk mengambil piring mami.
“Ya ampun, aduh anak ini. Emang mantu idaman deh, coba ya kalau mami punya anak laki satu lagi, pasti bakal mami jodohin sama kamu. Sayang adiknya Boby perempuan.”
“Hahaha, aduh mami, jangan gitu ngomongnya. Nggak enak saya sama mas Boby, nanti kalau malah jadi suka sama Rana gimana, masa meninggalkan Meta.” Ucap Rana.
“Eh, Rana! Bilang ya kamu sama om Andri. Kalau saya masih cinta sama Meta.” Kata Boby memutus percakapanku dengan mami.
“Mih, gimana nih. Masa Rana jadi alat penghubung. Gimana nih? Kita tarikin bayaran aja giman mi? Hihhi” canda Rana.
“Awas ya, jangan lupa! Pokoknya kamu sudah janji.” Kata Boby.
“Mih, anaknya kok galak amat si. Mami sering dibentak dong sama dia, huhuhu... mami yang sabar ya.” Ucap Rana sambil menepuk pundak mami.
“Hahahaaa. Mereka tu sebenarnya sama-sama masih saling cinta. Tapi pada nggak mau ngalah. Sama aja, yang satu bilang selingkuh yang satu lagi bilang nggak ada kabar.” Kata mami sambil mengambil beberapa sendok sayur bayam.
“Wahm terus gimana dong kalau gitu mih?” tanya Rana.
“Au ah. Itu urusan mereka. Udah ah, yuk kita makan aja. Mami udah lapar.”
Singkat cerita, kami makan bersama sambil aku sedikit bertengkar dengan Boby. Aku tidak mau lama-lama berada disini. Usai makan, aku memereskan meja makan dan Rana yang mencuci piring. Biarin deh, Rana nggak protes kok. Hahahaa.
Setelah semua selesai, kami pamit pulang. Mami sebenarnya masih ingin ngobrol sama Rana. Sepertinya nanti bakal ada yang seru nih. Mami kekeh meminta kami menginap, aku sudah metolak dengan berbagai cara. Mami masih memaksa, alhasil langkah terakhir yakni Rana mengambil tindakan.
“Mami, kami pulang dulu ya. Nggak enak kalau kami menginap disini. Kecuali nggak ada mas Boby. Takut, soalnya Rana trauma gitu. Waktu menginap di rumah temen Rana. Lalu pulang-pulang, Rana dimarahin sama bunda. Kata bunda, nggak sopan kalau menginap di rumah laki-laki, takut fitnah. Maafkan Rana ya mi.”
“Iya Na. Ya udah, tapi kamu nggak papa, pulang jam segini?”
“Aman mi. Kami bisa kok. Doakan kami dijalan ya mi.”
“Iya iya.. ya sudah kalau begitu. Kalian hati-hati ya.”
Akhirnya kami dapat pulang dengan hati ingin segera membahas pertemuan tadi. Kalau sambil membahas di jalan, aku tidak mau karena pasti akan bingung. Kami ingin segera ke rumah, rumahku tepatnya. Sebelum pulang, kami jadi ingin martabak. Karena mami selalu ingin dibelikan martabak ketika aku mengunjunginya. Kaya orang sakit aja. Sebelum sampai ke rumah, kami mampir ke tempat martabak dulu, baru lanjur perjalanan.
Sampai juga di rumah, dikamarku. Setelah menyantap martabak, kami membahas hal tadi. “Gimana tadi Na?” tanyaku.
“Aku nggak terlau over acting kan? Hahhaa”
“Kayaknya kamu emang selalu begitu deh, kalau sama orang tua. Kamu emang baiknya kebangeten. Boby cakep kan?”
“Hahahaaa... kasihan kalau orang tua dibentak. Jadi aku rada jutek tadi sama si Bob. Ngeselin amat, masa bertengkar di depan aku. Udah tahu aku sepupu kamu. Bukannya baik-baikin kamu, biar aku merekomendasikan dirinya untukmu. Malah diginiin.”
Jadi mala itu, kami membahas fakta Boby, pertemuan pertama ini tidak menghasilkan banyak jawaban atas misteri Boby. Kami memutuskan untuk menyelidikinya sampai benar-benar data sudah terkumpul dan siap di godok. Kami melakukan dengan cara yang sama, sleama tiga hari. Rana mendekati mami dan aku dekat dengan Boby, masalah Anis, nanti saja.
Pada hari ketiga, dengan cara yang sama dan teknik rayuan Rana yang luar biasa, akhirnya kami mendapatkan jawaban. Jika Boby dan Anis sedang dekat, mami sayang dengan Meta dan juga Rana. Analisisku, mungkin sayang aku karena uang ya? Sepertinya kalau sayang Rana karena baik sama mami. Data yang terkumpul mengatakan bahwa mami tidak begitu suka dengan Anis karena tidak pernah menuruti kata mami. Tidak pernah mengajak mami keluar atau ngobrol bercanda seperti dengan Rana. Mami justru malah ingin menjodohkan Boby dengan Rana. Tapi Rana sudah ada benteng, dia bilang sudah bertunangan dengan lelaki, sekarang dia sedang kuliah doktor di Jerman. Kalau sudah seprti itu, tahu jika lelaki pilihan Rana lebih baik dari anaknya, dia tidak memaksakan lagi. Mami hanya berharap masih bisa bertemu dengan Rana, meski sudah menikah. Seprtinya mami memang ingin lebih dekat dengan Rana, mami meminta nomor Rana tapi aku tidak memberinya. Karena aku harus menyelamatkan orang terdekatku.
Anis memang mendekati Boby, tapi mami tidak suka. Caca juga tidak suka dengan Anis. Dia bilang, hanya memanfaatkan Anis jika mami ada urusan dengan rumah sakit karena Anis itu perawat. Ketika mami sakit Anis merawat mami, tapi kalau soal jajan dan membelikan apaun, Anis tidak mau. Mami bilang, kalau Anis orangnya kaku. Mami butuh anak perempuan yang juga dapat bercanda dengannya. Mami memang memiliki sakit asma yang sering kambuh, jika stres sedikit. Hal itulah yang mungkin membuat Rana sopan pada mami dan memberikan beberapa lelucon pada mami. Jadi intinya, Anis tidak diterima di hati mami. Lalu mami berkata, “Boby menikah dengan siapapun, kamu masih jadi anak mami. Meta tetap anak mami. Ya.” Katanya padaku.
Teka-teki ini hampir sempurna, mereka berdua tidak akan bersatu. Namun hal itu dibanting oleh kata-kata mami. Ia keceplosan berkata padaku, ketika aku bertanya mengapa mami sekarang jarang meminta Meta main ke rumah. Dia mengirimkan pesan padaku, “Ta, mami minta uang dong. Sepuluh juta, buat nikahannya Boby sama Anis.”
“What???? Apa iniiii?” kabar ini aku dapatkan ketika Rana sudah tidak di Indonesia. Dia pergi ke China tiba-tiba. Aku tidak tahu ada apa dengan Rana. Aku pusing, depresi. Aku tidak percaya, jika Boby melakukan hal ini padaku. Aku sungguh kaget, sungguh ingin mengirim ayam mati di pernikahannya.
Mantap Betul, ditunggu ini karyanya
Comment on chapter Prolog