Mami masih sering mengajakku untuk keluar, bertemu, terlebih minta untuk dijajanin. Sementara Boby susah dihubungi, aku seperti menjadi pengganti Boby yang menjadi tulang punggung mereka. Aku beranikan diri untuk menemui simbok dan menceriakan mengenai teka-teki ini. Simbok berkata,
“Hm hm hm, sudah tahu jawabannya berarti? Simbok sudah bilang kan kalau cari tahu dulu tentang Boby, baru putuskan. Kenapa Meta mau dengan Boby?”
“Ya, tapi mbok. Meta juga suka. Dia baik dan juga pintar. Semua pekerjaan tidak ada yang dia tidak bisa selesaikan. Meskipun kalau masalah gaji, Meta masih lebih tinggi.”
“Dia bermasalah tidak, mengenai niatmu ingin lanjut kuliah?”
“Iya mbok,”
“Kenapa tidak diperbolehkan?”
“Katanya, perempuan itu nggak usah lah sekolah tinggi-tinggi. Untuk apa sih?”
“Terus sekarang dia dimana?”
“Sedang dipindah tugaskan di Bogor. Tapi waktu Meta telfon rumah sakit Bogor, orang sana tidak bilang kalau ada yang namanya Boby. Justru Anis yang menjadi perwakilan rumah sakit di Bogor. Siapa yang jujur siapa yang bohong ini mbok?” tanyaku penasaran.
“Tidak baik untukmu si Boby. Kalau simbok melarang kamu diawal, nanti kamu tambah penasaan dengan Boby. Makanya simbok membiarkan kamu untuk mengenalnya. Mama sudah kamu kenalkan dengan Boby belum? Sudah pernah dibawa ke rumah?”
“Sudah mbok. Tapi mama cuma mau ketemu sekali, pas diawal. Lalu mama bilang nggak suka sama Boby. Setelah itu, setiap Meta bawa ke rumah, mama nggak pernah mau ketemu sama Boby. Hanya papa yang mau melihat boby. Ketika pamit pun, mama tidak mau bertemu dengan Boby.”
Aku mencurahkan kekesalanku pada simbok. Sudah hampir satu tahun hubunganku dengan Boby. Sebenarnya aku bisa saja mencari lelaki lain, tapi hatiku masih ingin dekat dan sayang dengan Boby. Mami pun terkadang baik padaku, meski dia menyebalkan, suka minta uang. Simbok pun menerangkan padaku, jika Boby memang tidak baik. Saat simbok sedang membacakan hati Boby, melalui penerawangannya ada langkah kaki yang mendekai kamar simbok. Aku berharap itu adalah Rana, langkah kaki tersebut diiringi dengan aroma AB.
Seraya seorang perempuan masuk ke kamar simbok dan berkata, “Tuh, mama juga bilang apa. Dia itu nggak baik buat kamu. Tuh mbok, dinasihatin biar tahu masa depan dia kaya gimana kalau sama si babi itu. Kesel deh mama. Jangan sampek ya, mama adain acara minum teh lagi buat menggodok pikiran kamu!”
“Iya mah,” kataku singkat.
“Sudah sudah, nanti simbok buka mata batinnya, biar bisa melihat hati orang.” Kata simbok menenangkan kami.
“Udah, pokoknya kamu putus sama si babi. Jangan pernah ajak dia lagi ke rumah.” Kata mama seraya meninggalkan kamar simbok. Tak lama dari itu, handphoneku berbunyi, rupanya ada e-mail dari Rana. Dia mengirim pesan dan ada beberapa lampiran. Pesan terebut berbunyi :
Ta, ada beasiswa untuk magister di China dan Singapura. Meta coba ya, siapa tahu itu nanti keberuntungan Meta. Informasi selengkapnya Rana kirimkan melalui lampiran. Semoga membantu salah satu impian Meta.
Salam dari Beijing,
Rana
Wah, rupanya ini adalah kabar gembira dari Rana. Setidaknya aku bisa melupakan Boby sejenak, ketika dia masih tidak ada kabar. Menghilang begitu saja, simbok menyarankan aku utnuk mempelajari e-mail yang dikirimkan oleh Rana. Siapa tahu dengan ini aku bisa lebih fokus. Sepertinya Singapura lebih nyaman, aku sering berlibur kesana bersama AC3 ketika kuliah dulu. Disana lebih familiar dan transportasi sudah mudah. Jika aku diterima, aku sudah memutuskan untuk mengundurkan diri dari rumah sakit. Aku akan meninggalkan pekerjaanku sebentar beserta Boby dan gosip yang bertebaran tidak jelas.
Aku mempersiapkan diri untuk masuk universitas dan juga mengurus beberapa berkas terakhirku sebelum aku membuat surat pengunduran diri. Ketika semua sudah siap, aku sudah matang dan bulat-bulat memutuskan hal, aku tidak memberi tahu siapapun mengenai hal ini. Termasuk juga mami dan Boby.
Hari terakhir aku berada di rumah sakit, tepat setelah aku membereskan dan barang-barangku diruangan. Boby muncul dan ada di ruanganku sekarang. Aku ingin pura-pura tidak melihatnya dan hendak keluar pintu, tapi Boby menarik lenganku. Dia membisikan kata, “Mau kemana?”
“Mundur.” Jawabku singkat.
“Kenapa? Karena aku nggak ada kabar? Atau karena gosip aku dengan Anis?”
“Takdir.”
“Kamu kenapa jutek kaya gini sih? Aku tuh ke Bogor buat kamu. Aku cari uang buat kamu. Buat kita besok. Kamu mau kan nikah sama aku? Ha?”
Aku hanya meliriknya dan membuka kembali engsel pintu, “Maaf, saya sibuk,” kataku dengan jutek. Aku keluar ruangan dengan membawa barang-barangku dan meninggalkan Boby sendirian. Kenapa baru sekarang dia muncul? Takut kehilangan aku? Atau hubungannya dengan Anis sedang ada dalam masalah?
Rupanya Boby mengejarku dan menyegatku ketika hendak masuk ke mobil. “Tunggu! Kenapa sih kamu?”
“Harusnya aku yang tanya Mas. Kemana aja mas selama ini? Aku telfon rumah sakit Bogor, mereka bilang mas tidak ada disana. Tapi perwakilan dari rumah sakit ini adalah Anis. Perawat, bukan penerjemah.”
“Please, kasih tahu alasan. Kenapa kamu mundur?”
“Kuliah,” jawabku singkat sambil masuk ke mobil, meninggalkan Boby seroang diri.
Keputusanku ini sudah bulat. Semua sudah dipersiapkan dan siap, masalah Boby, aku singkirkan saja lah. Toh dia juga nggak masalah kalau tidak ada kabar, kenapa aku tidak boleh seperti itu? Boby menghilang tidak jelas, tidak ada kabar, dan aku tidak tahu bagaimana hubungan ini sebenarnya. Baiklah, ada keberanian memutuskan suatu hal tandanya juga ada keberanian untuk menerima konsekuensinya.
Waktu lama berjalan, Boby sering memberiku kabar akhir-akhir ini. Baik dari e-mail atau dari whatsapp, aku mengacuhkannya. Sangat mengacuhkan apapun hal yang dia kirimkan dari aku. Dia kadang mengirimiku paket, boneka, foto atau apapunlah. Dia mengirimkan ke rumahku. Aku terima barang itu, namun tidak dengan perlakuan Boby.
Usahaku untuk melupakan Boby tidak ada masalah, aku sibukan diri dengan belajar, mengaji, dan ke perpustakaan. Sesekali aku video call dengan Rana jika aku kesepian. Rana memberiku banyak tips agar aku lolos masuk Universitas Singapura, tempat Rana mengenyam pendidikan dahulu. Dia juga memberiku nomor salah satu temannya yang satu jurusan dengan aku, untuk sharing dan memberiku banyak informasi mengenai perkuliahan disana, namanya Henry. Berhubung lelaki itu sedang ada di Jakarta, aku pun kerap menemuinya untuk berdiskusi masalah kuliah.
Sudah beberapa kali aku dan Henry bertemu, dia banyak memberikan aku tips untuk masuk universitas, bertahan hidup disana, dan juga hal-hal lain yang mengasyikan. Suatu hari, aku sedang bertemu dengannya di Cofeeeku, tentu saja untuk berdiskusi. Kala itu, karena aku hanya ingin bertanya mengenai kehidupan di Singapura yang sesungguhnya, aku tidak membawa buku. Aku hanya membawa tas berisi uang dan handphone. Awalnya aku ingin berdiskusi di perpustakaan saja, tapi berhubung sudah malam dan hampir tutup, kami memutuskan untuk mencari tempat lain. Akhirnya, terpilihlah Cofeeeku sebagai tempat diskusi sekaligus makan malam bersama.
Ketika sedang menyantap makanan di suapan terakhir, aku melihat Boby sedang bersama Anis. Mereka duduk sedikit jauh dariku dan Henry, aku pura-pura tidak melihatnya. Aku sesekali melirik ke arah mereka, Boby memberinya bunga mawar. Ketika duduk, dia menarikan kursi untuk Anis, lalu mengecup keningnya. Samar-samar aku mendengar ia berkata, “Silakan dudukm bidadariku.” OMG! Apa-apaan ini. Sudahlah, toh mereka tidak melihatku. Beruntung aku berada di meja yang cukup jauh dan berada di dalam, kami terhalang kaca yang dari arah luar mereka tidak bisa melihat. Aku dapat melihatnya karena dari dalam nampak jelas.
Tiba-tiba Anis meninggalkan Boby, entah kemana. Mungkin hendak memesan makanan, sementara itu. Setelah Anis duduk kembali, Boby masuk kedalam untuk ke toilet. Dia melihatku dan melirik sinis, kemudian dia memberiku pesan singkat o, pantes. Selingkuh! Katanya singkat. Seharusnya aku kan yang mengirim pesan seperti itu, aneh-aneh aja si babi.
Semenjak kejadian itu, Boby seringkali mengecapku selingkuh. Beberapa kali dia melihatku dengan Henry dan beberapa temannya, kadang ia melihatku ketika aku sedang berdua dengan laki-laki, padahal itu adalah teman Henry. Kami berdiskusi dan membicarakan hal yang bermanfaat, memangnya dia. Apaan!
Disisi lain, mami masih menghubungiku dan meminta untuk main ke rumah. Aku selalu menolak dengan alasan ada Boby. Hubungan aku dan Boby sedang tidak baik, aku sungkan jika bertemu Boby di rumah. Itu alasanku pada mami, untuk menghindari bertemu lelaki itu. Lelaki yang selingkuh tapi menuduhku selingkuh.
Lupakan masalah Boby, aku sudah terbiasa dengan penuduhan seperti ini. Jika aku melawan kata-katanya, hanya ada cemooh yang aku dapatkan. Dia selalu merasa dirinya paling benar dan sedih. Selalu menyalahkanku dan menuduhku seenaknya sendiri, ia juga tidak menerima masukan dan penjelasanku. Jadi, untuk apa aku menerangkan hal yang sama pada permasalahan yang sama pula? Hasilnya akan tetap sama, nihil!
Kini aku sedang fokus pada tujuanku. Meraih gelar master!
Setelah perjalanan panjang, aku berhasil menembus universitas yang aku inginkan. Perjalanan panjang ini tidak ada Boby di benakku. Dia sudah menghilang, tapi mami masih. Dia tetap saja memintaku main ke rumah. Lalu aku terpaksa bilang Mi, Meta sedang kuliah di Singapura. Maafkan belum bisa main ya. Oh tidak, tidaaaak. Mengapa aku memberitahunya.
Mami membalas lagi, oh, kalau gitu kirimin mami itu dong. Ah apa namanya, coklat bubuk dari sana, atau bahan makanan apa gitu, nanti mami jual lagi disini. Kamu tinggal duduk diem aja, biar mami yang jualan. Kamu cukup modalin aja. Gampang kan?
Gila, sumpah gila. Lalu aku bilang, kenapa mami tidak minta mbak Anis saja untuk memberikan mami modal. Kan enak, sedang dekat dengan mas Boby juga kan dia? Lalu bisa ajak jualan juga. Kalau Meta mah jauh, Mbak Anis dekat.
Mami membalas mana ada uang dia.
Aku ingin nangis. Rana.. kamu dimana? Aku diporotin begini. Apa jadinya nanti kalau sudah menikah ya. Apa aku akan tambah kurus? Apa aku justru akan menjadi gemuk akibat gila seperti ini. Sebel deh!
Selama perjalanan terakhir aku kuliah, banyak sekali yang memberiku kabar lanjutan mengenai hubungan Boby dengan Anis. Mereka mau menikah, banyak orang juga yang memberiku kabar kalau Boby itu sudah bertunangan atau melamar Anis. Awlanya hanya kabar-kabur saja, mami pun ketika ditanya hanya menjawab ‘orang belum nikah juga. Kamu masih bisa ambil hatinya Boby lagi’ ish, orang gila, bener deh, gila!
Mantap Betul, ditunggu ini karyanya
Comment on chapter Prolog