Simbok sempat terdiam sejenak, mengingat kembali pada saat Rana bercerita dengannya. “Rana… kala itu,” simbok tidak melanjutkan ceritanya lagi.
“Mbok?” aku ikut sedih melihat simbok hampir meneteskan air mata.
“Sekarang hari apa? Simbok lupa.”
“Sabtu, ayo cerita. Simbok jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Rana… Rana…” simbok hanya menyebut nama Rana. Sesaat kemudian kami hanya terdiam. Sampai ada suara langkah kaki, mendekat kamar simbok. Ah, aroma apa ini. Aroma AB, sudah lama sekali aku tidak makan rotiku sendiri. Itu pasti mama, datang kemari untuk memberi simbok kue. Hmm, semoga ada kegemaranku yang berisi kacang hijau. Eh, tapi tunggu dulu. Mama saat ini sedang di Bandung dengan papa. Tidak mungkin ini suara kaki mama. Keheningan semakin menemani aku dan simbok. Munculah, gadis yang mengenakan hijab, tidak panjang namun menutup dada. “Itu siapa? Anak simbok?” tanyaku pelan.
Gadis itu kemudian masuk dan menaruh minuman serta beberapa roti diatas meja simbok, lalu mendekat dan duduk di sebalah simbok. “Simbok sehat kan? Ini Rana bawakan kue untuk simbok. Tadi Rana habis bantu-bantu di pabrik AB.” Kata gadis itu.
“Rana?” tanyaku. Aku sungguh tidak bisa mengenali gadis itu, ternyata adalah Rana. Dia kini berhijab, perilakunya lebih santun dan ketika berucap, menjadi lebih pelan. Baju yang dikenakannya sopan, dia semakin cantik mengenakan gamis hijau yang dipadu dengan hijab warna hijau seperti itu.
“Hai, Meta? Kamu pulang?” tanyanya.
“Iya. Lama kita tidak berjumpa. Kamu baik-baik aja kan?”
“Alhamdulillah. Kamu juga baik kan?”
“Baik. Kata simbok, kamu sedang kuliah di China. Apa benar?”
“Iya, ini aku sedang libur. Lusa aku terbang lagi ke China.”
Kami sempat bercakap-cakap ringan mengenai diri Rana. Termasuk juga mengapa dia menghilang kala itu. Rana menjelaskan, bahwa bunda membuangnya di sebuah desa kecil. Tanpa apa pun, termasuk alat komunikasi. Ketika aku sudah berada di atas daun, Rana justru sedang terpuruk. Rana belum mendaptkan universitas, ia awalnya tidak mau jika ikut bunda ke Singapura. Rana ingin kuliah di Indonesia saja, tapi bunda ingin sekali membawanya ke Singapura karena bunda sedang ditugaskan di Singapura. Setelah lama berdebat dengan bunda, akhirnya Rana dibawa ke sebuah desa kecil. Disana Rana tinggal bersama petani sayur. Selama hampir satu tahun, sementara itu, bunda mengurus untuk menyekolahkan Rana di luar negeri. Bunda mengambil nilai rapor dan memasukan ke beberapa perguruan tinggi.
Perdebatan Rana ingin kuliah di Indonesia, sementara bunda ingin Rana kuliah di Singapura menjadi kendala Rana untuk mengikuti ujian masuk universitas. Petani sayur, tempat Rana dibuang masih saudara dengan Bi Dara, namun mereka berbeda provinsi. Alhasil Rana tidak akan mengenal siapapun di desa itu. Bunda yang meminta bantuan Bi Dara untuk menitipkan Rana di tempat saudaranya itu, untuk menjadi gadis desa dan membantu apapun yang dilakukan Pak Yadi (saudara Bi Dara). Berkebun, kepasar, memasak, berjualan, apapun Rana harus ikut membantu, sampai Bunda menjemputnya kembali. Bunda berpesan pada Pak Yadi, agar tidak memberitahu pada siapapun, termasuk isterinya jika Rana adalah anak majikan saudaranya. Bunda tidak mau Rana dianak emaskan disana. Karena Pak Yadi belum dikaruniai anak, maka dari itu mereka menerima dengan senang hati dan memperlakukan Rana seperti anaknya sendiri.
“Lalu Na, kamu selama setahun itu tidak menggunakan alat komunikasi apapun? Apa kamu betah?” tanyaku penasaran.
“Awalnya memang aku sedih dan sebal pada bunda. Tapi setelah satu minggu aku sudah terbiasa. Aku bisa ngobrol kesana kemai sengan Pak Yadi dan istrinya, disana aku juga bereksperimen berbagai macam makanan. Ikut berjualan, dan syukurlah banyak yang suka. Aku mencatat semua resep yang aku coba. Selain aku membantu keluarga mereka dalam berjualan, aku juga membantu diriku untuk mencari ide dalam memasak.” Kata Rana.
“Hebat kamu Na… lalu setelah setahun, apa yang terjadi?” tanyaku lagi.
“Setelah masa pembuanganku selesai, bunda menjemputku. Ia kekeh sekali untuk membawaku ke Singapura. Alhasil aku kuliah disana, aku ambil Psikologi.”
“Keren… terus lanjut magister ya?”
“Iya Ta. Mumpung masih muda. Aku mau kejar dulu magisterku, tapi aku kerja juga kok. Aku buka warung makan disana, pegawaiku orang Indonesia yang masak dan pembelinya beberapa orang Indonsia juga. Kalau orang Chinanya ya jelas ada. Syukurlah, itu tidak menganggu aktivitasku sama sekali. Selain membuka toko, aku pun menerima curhatan via online, siapa yang ingin berkonsultasi dengan aku.” Jawab Rana.
“Terus, warung makanmu yang disana, apa kabar sekarang? Kata simbok kamu juga buka cabang di berbagai kota ya? Dimana aja?”
“Warungku yang di China, udah diurus sama temenku. Orang China juga kok. Jadi aman untuk sekarang, aku hanya membantu memikirkan ide awal saja, lalu dilanjutkan sama temenku. Baik deh orangnya, namanya Xiao Feng. Selanjutnya, modal dan apapun yang terjadi di warung, lelaki itu yang mengurusnya. Aku buka beberapa cabang, tapi masih kaki lima sih. Ehehe.. masih gerobakan, di pinggir jalan, belum mewah kok. Ada di sini, Surabaya, sama Semarang.”
“Kamu kok bisa sampai memikirkan mencari usaha?”
“Hehehe, karena Rana suka masak dan waktu itu belum dapat universitas juga. Awalnya ditolak sama bunda dan nggak dikasih modal. Lalu Rana ikut jadi koki, mula-mula di rumah makan sederhana ya warung kaya simbok gitu. Jadi kalau pagi aku ke tempat simbok untuk membantu memasak, siang sampai malam aku kerja di tempat lain untuk membantu memasak juga, ya kadang kalau sudah full Rana memantu jadi kasir juga pramusaji. Pokoknya demi mengumpulkan modal deh. Itu sebelum Rana dibuang ya. Ketika Rana dibuang hanya mencari eksperimen saja.”
Kami bercakap mengenai diri Rana yang sempat hilang kontak denganku. Aku pun menceritakan mengenai diriku dan beberapa permasalahanku ketika aku di Yogya. Ia pun kaget dengan perubahan diriku yang menjadi tampil lebih berani saja, sementara Rana kini tertutup. Ketika aku bertanya padanya, katanya si karena semua keinginannya sudah terkabul, jadi ia ingin menutup dirinya, ingin berhijab. Rana juga sudah pergi ke tembok besar China, seperti apa yang ia inginkan dulu. Wah, kupikir dia sebantar lagi akan menikah. Ternyata tidak, dia masih ingin lulus dan menggai Karir. Xiao Feng, teman Chinanya itu, bukan pacar tetapi sangat dekat dengan Rana. Dia berhasil menemukan teman yang bisa diajak bertukar pikiran dan mengerti hatinya.
“Rana ke sini ada acara apa?” tanyaku penasaran.
“Hanya ingin bantu mama di pabrik. Tapi mama lagi pergi, ya udah. Rana bantu aja pekerja pabrik. Bikin kue, itu resep baru dari Rana. Hehee coba deh, itu krimnya diluar. Terus Rana juga kalau ke sini, pasti ketemu simbok, ngobrol sebentar sambil minta wejangan samaa simbok.”
“Aaaa… Rana mau nikah ya?”
“Ah, paling Meta dulu. Meta kesini mau curhat tentang Boby kan? Hahaha”
“Kamu tahu Boby dari mana?”
“Sosial media Meta. Si Boby itu selalu chek in di sebuah tempat makan dengan Meta.”
“Ah, masak? Ya ampun. Meta malah nggak tahu. Ah dasar, orang itu. Apa sih. Terus kalau Rana ada yang disuka nggak hayo sekarang?”
“Rahasia dong…”
“Ada, namanya Wiji. Orang Yogya.” Kata simbok kemudian.
“Ah, simbok. Ih kenapa buka resep.” Muka Rana sedikit memerah.
“Serius Na?”
“Nggak. Cuma lagi deket aja kok. Masih proses mendaki gunung.” Jawabnya.
Mendengar pernyataan Rana kalau akus sedang dekat dengan Boby, aku jadi ingin cerita Boby sama simbok. Eh, tapi kan tujuan utamaku karena aku ingin curhat dengan simbok mengenai diriku ini yang ingin kembali berubah. Jadi pribadi yang baik, tapi berhubung mereka mengetahui tanpa aku kasih kode, sekalian aja deh.
“Meta cerita dong, tentang Boby. Itu gimana dan bisa ketemu gimana ceritaaaa” Rana memaksa aku untuk bercerita mengenai Boby. Aduh, ini kan temanya tentang Rana karena Rana yang menghilang dan aku sudah mengintrogasinya, sekarang justru aku yang disidang balik oleh dia.
Mantap Betul, ditunggu ini karyanya
Comment on chapter Prolog