Read More >>"> Meta(for)Mosis (Acara Minum Teh) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Meta(for)Mosis
MENU
About Us  

“Kenapa? Jangan bilang kalian balikan?”

“Ih. Rana… gimana ya bilangnya.”

“Balikan?”

“Enggak gitu. Tapi Handi masih menghubungi Meta.”

“Tidak bisa didiamkan. Perlu ada acara minum teh ala keluarga Andri.”

“Iya. Makanya Meta kesini, mau bilang itu. Mama minta Meta untuk ngajak Rana. Lusa ada acara minum teh di Bandung. Membahas soal ini, entahlah mama berhasil menemukan Handi atau tidak.”

“Mama tahu Handi?”

“Selama ini si belum pernah aku bawa ke rumah. Makanya itu, aku juga nggak tahu. Besok akan ada apa. Entah mama juga menghadirkan Handi atau tidak. Kamu tahu kan, betapa menakutkannya acara itu. Kali ini yang dibahas adalah Meta, biasanya kalau mama sudah memutuskan acara minum teh, tidak akan ada rahasia yang tersembunyi.”

“Siapa saja yang Meta tahu, pasti akan ikut?”

“Aku, simbok, kamu, papa, mama, mang asep dan istrinya.”

“Baiklah, sepertinya lusa hari yang menegangkan. Tidak apa-apa Ta. Rana ikut dan akan menenangkan hati Meta.”

Sejenak kami terdiam dan Rana mendapatkan telfon dari Bundanya. Lalu ia melaporkan padaku mengenai percakapan telfon mereka.

“Ta, tadi Bunda aku telfon, katanya lusa dia bisa datang ke Bandung. Mau ikut acara minum teh sama kelurga Andri. Wah wah, kalau sudah begini. Rana tidak bisa banyak membantu. Kalau kamu disidang terlalu pedas, Rana mungkin hanya diam.” Kata Rana.

Aku kebingungan bagaimana menghadapi acara lusa. Ada Bunda Rana dan simbok, mungkin jika simbok saja tidak masalah. Simbok tahu semua kisahku dengan Handi, beliau pun juga tidak akan bercerita hal yang tidak akan membuat aku gelisah. Tapi Bunda Rana pasti akan bilang dan menjelaskan secara detail sekali. Simbok dan Bunda sama-sama dapat melihat masa depan kami. Bedanya, kalau simbok hanya bisa melihat masa depan saja, melalui permasalahan yang aku ceritakan padanya. Tapi kalau bunda, hanya melihat foto, dia sudah tahu bagaimana jalan pikiran si manusia itu. Hal-hal yang dahulu Meta lakukan dengan Handi, pasti bunda akan mengetahuinya.

“Bunda kamu akan ngomong detail soal masa lalu nggak ya Na?”

“Kalau mama Meta tanya, bunda akan jawab. Jika bunda menjawab, masalah itu pasti akan ketahuan juga.”

“Bunda akan ngomong semuanya sama mama?”

“Iya. Kalau mama tanya.”

“Kalau enggak? Meta takut kalau diintrogasi sampai situ.”

“Sepertinya begitu. Siap-siap saja, Meta dibuang dari rumah.”

“Ih… Rana gitu.”

“Iya. Biar Meta di rumah Rana saja. Hahaa”

“Meta serius ih! Rana.”

“Tidur yuk, kita sudah tidak bisa apa-apa lagi. Bunda besok siang perjalanan ke Indonesia. Mungkin akan langsung ke rumah Meta.” Ucap Rana. “Kata Bunda yang jemput mama Meta loh. Yuk ah, tidur.”

Rana mengajak ke kamar, awalnya aku tidak mau. Tapi karena dia mematikan lampu di ruang tv, aku pun mengikuti Rana untuk ke kamar dan bersiap untuk tidur. Menanti hari esok yang gelisah, dan lebih gelisah daripada memikirkan Rana kemarin.

Satu dua jam aku tidak bisa tidur. Sementara Rana sudah terpejam, entah hanya memejamkan mata atau sudah terlelap sampai mimpi. Meski pada persidangan tersebut, simbok akan netral, aku tidak bisa membayangkan reaksi mama. Jika ia tahu kalau aku pernah ke klub malam, seorang diri. Ketika disana itulah, aku pertama kali bertemu dengan Handi. Rana tidak ikut denganku, tapi ia tahu setelah aku curhat padanya mengenai Handi. Entah ada niat apa yang ada dalam benakku kala itu, sampai-sampai aku berani datang ke tempat seperti itu. Sudahlah, besok kan belum lusa. Aku masih bisa membangun benteng pertahananku dengan Rana. Kali ini, aku harus belajar menerima konsekuensi apapun yang nantinya akan di berikan pada mama. Andai Bunda tidak bisa melihat masa lalu seperti simbok, pasti aku tidak akan segelisah ini.

Aku memikirkan lusa, hingga aku terlelap dan hanya bisa tidur dua jam saja. Sambil menunggu Rana bangun, aku ke ruang tv dan disana sudah ada Bi Dara yang sedang mempersiapkan sarapan.

“Pagi non, mau bibi buatkan teh?” sapa Bi Dara.

“Tidak. Meta takut sama teh. Ada tidak yang manis tapi bukan teh?” kataku sambil memandang tv.

“Coklat panas. Mau non?”

“Boleh deh bi. Bibi sedang masak apa?”

“Biasa, nasi rebus. Kalau pagi non Rana suka minta dimasakin nasi rebus.”

“Apa itu bi?”

“Awalnya itu eksperimen non Rana. Saat bibi sedang sakit dan dia tidak bisa memasak bubur. Alhasil nasi direbus deh. Enak lho. Non Meta mau?”

“Boleh deh bi. Eh, tapi nanti aja ding. Nunggu Rana bangun. Coklat dulu saja bi.”

Bi Dara membuatkanku coklat panas dan mendekatiku. “Ini non, coklatnya. Non sebelum non Rana bangun. Saya ada yang pengen ditanyakan sama non.”

“Ada apa bi?”

“Emak kan di kampung lagi sakit. Saya khawatir sama emak,” sejenak Bi Dara terdiam.

“Bibi mau pulang kampung?”

“Iya non. Tapi saya bingung gimana bilangnya sama non Rana. Soalnya bibi nggak tega kalau non Rana sendirian di rumah ini.”

“Memangnya Rana takut kalau sendirian?”

“Kurang tahu non. Selama ini selalu dengan bibi. Tidak pernah saya tinggal pergi. Kalau bibi sedang libur pun, pasti ada orang di rumah ini atau dia juga keluar kota.”

“Oo, begitu. Rana sudah tahu kok, kalau bibi mau pamit.” Kataku singkat.

“Masa non?”

“Iya, kalau bibi nggak percaya. Tanya aja sama Rana. Bunda Rana juga sudah tahu. Bibi jangan khawatir, Rana akan baik-baik saja kok.”

“Oh, gitu ya non. Ya sudah, bibi lega kalau gitu. Minggu depan niatnya bibi mau bilang sama non Rana. Tapi bibi pengen pulang lusa non.”

“Nggak papa bi. Bibi mau pulang sore ini pun nggak masalah. Rana sudah siap semuanya. Nanti kalau Rana bangun, saya cerita deh.”

“Iya. Makasih ya non.” Kata Bi Dara, lalu melanjutkan memasak kembali. Setelah nasi rebus itu sudah matang, Rana muncul dengan rambut masih acak-acakan.

“Kamu kok udah bangun Ta? Masih jam lima ini loh.”

“Nggak bisa tidur. Kamu malah enak-enakan tidur.”

Setelah Rana membersihkan diri, dia duduk di sampingku dan kami ngobrol sebentar sebelum makan. Aku mengatakan pada Rana, percakapan bibi denganku tadi. Tepat sekali dugaan Rana, kalau bibi minta pulang kampung. Keputusan bibi untuk pulang kampung sudah lama direncanakannya, tapi belum berani mengutarakan maksudnya pada Rana. Setelah memikirkan dan berdiskusi, Rana sudah memutuskan jika bibi mau pulang menggunakan kereta sore ini, tidak apa-apa. Rana memiliki tabungan untuk upah bibi dan sedikit uang untuk bibi. Ia ke kamar Bi Dara untuk memberikan sedikit uang dan beberapa kata-kata terakhir pada bibi. Tak lupa dia juga mendoakan emak agar lekas sembuh.

Usai Rana mengurusi masalah bibi, kami makan pagi. Tapi Rana malah menyalakan kompor. “Kok nyalain kompor?” kataku.

“Cuma manasin kuahnya aja. Kamu mau meracik sendiri apa aku racikin?”

“Racikin. Aku nggak tahu gimana buatnya.”

“Ish ish ish. Jangan masak roti mulu makanya, jadi nggak bisa makan makanan kampung. Hhahaha. Sini Rana bantu racikin. Pedes apa enggak? Cabainya mau berapa?”

“Sedengan aja. Cabainya dua aja kali ya yang kecil-kecil itu.” Kataku.

Aku memperhatikan Rana meracik makanan yang katanya ia dapatkan ketika sedang di Magelang. Rana memang suka jalan-jalan untuk eksplore makanan, kali ini ia mempraktikan sego godok Mak Wal (nasi rebus Mak Wal) yang ia dapatkan ketika kuliner di Magelang. Sambil menunggu kuah yang telah diberi bumbu, beberapa sayuran hijau dan telur tersebut hangat, ia mengambil dua mangkuk untukku dan untuknya. Menghaluskan cabai yang sebelumnya dia rebus, kata Rana si kalau sudah ada sambal uleg bisa juga diganti dengan sambal. Selanjutnya dia menuang nasi putih, potongan tepung yang sudah di goreng, ayam suwir, tomat mentah, daun bawang, bawang goreng lalu disiram dengan kuah tadi. Masih hangat dan ternyata enak juga, masakan Rana. Eh, masakan Bi Dara resep Rana. Ketika eksplore ke Magelang dan di praktikan ketika Bi Dara sakit. Rasanya seperti soto tapi ini beda, lebih segar dan kuahnya lebih mantap.

Nasi rebus ini menjadi sarapan kami dan sekaligus menjadi makan siang. Karena siang hari kami harus siap-siap untuk mengantar Bi Dara ke stasiun, pulang kampung seperti yang sudah disepakati antara Rana dan bibi. Awanya si om satpam yang ingin mengantarkannya, tapi Rana tidak mau, takutnya malah bibi di culik sama si om itu.

Usai mengantar bibi ke stasiun, Rana aku culik ke rumah. Dia kusekap di kamar untuk membicarakan soal acara minum teh besok. Aku sungguh tidak bisa berfikir, membayangkan, dan juga memiliki jawaban apapun untuk esok hari. Namun Rana tidak pernah mau membuka mulut untuk masalahku satu ini. “Kamu katanya calon psikolog, masa iya nggak punya ide atau apa gitu untuk mengatasi esok hari.” Kataku padanya.

“Apapun yang terjadi besok, tetap akan terjadi kan Ta. Kita lihat saja, besok kamu akan diberi hukuman apa oleh mama. Aku benar-benar tidak bisa memberimu ide atau apapun kali ini. Kalau kabur, kita malah nanti kena sanki dobel. Kalau kita menyembunyikan bunda, malah triple. Mau bagaimana lagi? Besok sudah menjadi solusi terakhir. Memangnya kamu dengan Handi masih ada hubungan?”

“Ya... aku udah nggak ada hubungan sama Handi sekarang. Tapi kalau mama besok bawa Handi ke acara. Pasti deh, Handi akan memutar balikan fakta.”

“La, justru kalau ada Handi disana. Kamu bisa tanya dong. Alasan Handi memutuskan kamu itu apa, lalu teka-teki kamu soal perempuan yang manja itu, akan terjawab. Sudah deh, percaya sama Rana. Simbok pasti juga akan membantu kita.”

“Kalau Handi mengancam aku gimana?”

“Selesaikan besok juga. Masalah kamu dengan Handi. Selepas itu, tidak ada apapun. Oke? Percaya sama Rana.” Kata Rana mengakhiri diskusi kali ini.

Esok hari memang benar-benar menjadi misteri untukku. Aku tidak tahu, apa soal Rana dan pacarnya juga akan dibahas. Oh, bukan pacar. Tapi mantan lebih tepatnya. Setelah diam beberapa jam, Rana berkata lagi padaku, “Ta, pokoknya besok kamu harus menjawab jujur. Semuanya, hilangkan alasan yang bodoh. Pokoknya harus jujur sesuai dengan pikiran kamu, mengapa kamu melakukan ini dan itu. Sudah itu saja, saran dari Rana.”

Waktu semakin sore, aku sudah tidak dapat menghindar dan memikirkan apapun. Aku juga tidak tahu, darimana mama mendapatkan info mengenai aku dan Handi pernah berpacaran. Memang benar, aku tidak boleh memiliki pacar sebelum kuliah, jika tidak ingin nilaiku menurun. Tapi sampai detik ini, nilaiku tidak turun. Aku pun mengenal Handi ketika dia sudah mendekati ujian nasional, saat dia kelas tiga. Meski aku diputusin ketika aku sedang ujian. Hih, sebel. Pengen aku bom otaknya. Ah sudah, membenci dia atau memaki dia setajam apapun, tidak akan menuntaskan hari esok. Kini aku hanya bisa mandi sore, menyiapkan baju untuk besok, dan berangkat malam hari ini juga.

“Halo.. Mang Asep. Kita sebentar lagi sampai ke vila ya. Semuanya sudah siap kan?” kata mama menelfon Mang Asep. Perjalanan ini dimulai juga, sepertinya lebih cocok jika memiliki judul ‘kasus Meta berpacaran, melanggar pasal mama papa ayat satu poin satu’ dalam undang-undang rumah tangga keluarga Andri. Oh Rana, oh Simbok.

Sampai juga akhirnya, di Pondok Andri. Ketika aku kesini, biasanya menyenangkan, menghilangkan penat. Tapi kali ini, justru menegangkan dan memperoleh penat. Semoga hanya hari ini saja dan kali ini saja, diriku ini menjadi topik pembicaraan. Baiklah, sudah malam dan saatnya untuk tidur. Aku tentunya sekamar dengan Rana. Pada malam hari ini pun, tidak ada obrolan sama sekali. Hanya ada aroma teh di kamar ini. Teh selamat datang buatan istri Mang Asep.

Kukuruyuuuk... kukuruyuuuuk...

Pagi hari telah datang dan disambut dengan paduan suara ayam-ayam Cicemara. Jam delapan pagi harus sudah berkumpul di kebun belakang. Sebelum aku mandi, aku berjalan ke daerah belakang untuk melihat persiapan acara minum teh ini. Nampak disana Mang Asep dan istrinya sedang mempersiapkan untuk acara sakral kami, sebentar lagi. Mereka berdua menyiapkan camilan dan juga teh. Teh yang nantinya akan aku minum sebagai penebusan dosa. Mereka tidak menyiapkan gula atau pemanis apapun, hanya ada teh pahit.

Oh ya, aku lupa bilang kenapa acara ini disebut sebagai acara sakral. Sebenarnya acara minum teh menyenangkan dan dapat melepas stres, tentunya itu benar, jika tidak ada yang membuat kesalahan. Nah acara ini, diadakan secara insidental di keluarga Andri. Pertama memang akan nampak biasa saja, hanya duduk melingkari meja yang sudah diseduh teh selepas itu acara pemanis, yakni makan sepuasnya. Makan makanan yang sudah disediakan oleh Mang Asep dan istrinya, tentunya atas perintah mama. Ketika sedang di meja teh, ada satu orang yang menyiapkan minuman tersebut, dan itu adalah aku. Kerena ini adalah giliranku, jadi aku merasa senang campur takut. Ketika aku membuat teh, lalu menyeduhkan dan membagikannnya, akan ketahuan bagaimana pikrianku dari rasa teh yang aku buat. Kunci dari acara ini adalah bunda Rana, simbok, dan Rana. Mengapa demikian?

Pertama, bunda memiliki mata batin yang luar biasa. Melalui teh yang diminum dari buatan seseorang, ia akan tahu apa yang sedang dipikirkan oleh si pembuat itu. Kedua, simbok. Simbok dapat menebak masa depan seseorang yang membuat teh, tapi simbok tidak pernah menjawab dengan detail, hanya menjawab secara umum saja. Ketiga, Rana. Meskipun begitu, dia memiliki sedikit bakat yang diturunkan oleh Bunda. Saat ini, dia hanya bisa merasakan jujur atau bohong seseorang. Meskipun dia sudah dekat sekali denganku, dia tidak akan pernah berbohong jika ditanya oleh orang tua. Sementara aku si pembuat teh yang sedang bertugas, pasti nanti akan banyak ditanya oleh orang-orang yang ikut minum teh.

Tahukah kau? Mengapa Rana menanyakan hadirnya Handi atau tidak? Jawabannya sederhana. Jika Handi datang, maka aku kemungkinan akan diberi hujatan olehnya karena acara seperti ini. Jika Handi tidak datang, aku sedikit lega. Tidak akan ada orang yang membocorkan ritual kami yang sedikit aneh ini. Kalau keluarga lain mungkin arisan, mengobrol, dan piknik. Keluarga kami karena tidak ada bahan obrolan, maka dibuatlah acara minum teh yang sakral seperti ini. Baiklah, aku harus siap-siap. Sebentar lagi mulai.

Semua orang sudah duduk di kursinya masing-masing. Ada papa, mama, ayah, bunda, Rana, dan juga simbok. Sudah genap dan semuanya berhadap-hadapan. Hanya aku yang berhadapan dengan bangku kosong, memang tidak diisi oleh siapapum dan dibiarkan kosong. Mang Asep dan istrinya hanya membantu menyiapkan makanan saja, camilan dan beberapa makanan berat sudah disiapkan. Setelah persidangan ini, kami akan makan. Kali ini ada makanan kesukaanku dan kebencianku. Tidak apa asalkan makan, Meta senang.

Kembali lagi pada topik utama. Acara minum teh keluarga Andri, dimulai. Ketika semuanya sudah duduk, Meta datang, mengambil poci dan menyalakan bara api yang sudah disiapkan di meja teh. Mengambil beberapa daun teh yang baru dipetik lalu menuangkan air kedalam poci. Meta memejamkan mata sejenak demi jenak sambil menghirup aroma teh yang keluar dari poci, kadua tangan berada di atas meja dan ketiak sedikit dibuka. Meta merasakan aroma teh yang keluar dari poci, sungguh wangi dan menenangkan. Meta menarik nafas lalu menghembuskan beberapa kali secara perlahan-lahan. Tingkat kematangan teh tergantung pada si pembuat kala itu, jika kurang matang rasanya akan sepat, jika terlau matang rasanya akan pahit. Tidak boleh ada kecurangan disini karena poci harus diperlihatkan pada peminum jika itu kosong dan tidak ada rekayasa apapun.

Meta tidak tahu, apakah sudah waktunya untuk menuang atau belum. Tapi aku begitu takut untuk membuka mata. Rana tidak memberi tanda-tanda apapun tentang poci yang kini sedang aku panaskan itu. Karena ketika aku sudah membuka mata, aku harus langsung menuangkan pada gelas. Gelas dari tanah liat yang sudah aku tata di depanku kini. Setelah kurasa cukup, aku membuka mata dan segera menunagkan teh.

Aku mengambil poci dengan tangan kananku, menahan lengan kanan dengan tangan kiriku dan perlahan-lahan menuangkan teh ke dalam gelas kecil. Jika aku tidak menaruh perlahan, maka akan tumpah atau kelebihan (luber). Aku menuangkannya harus dengan tenang, lembut, dan sabar. Ketika berpindah pada gelas berikutnya aku harus menggerakannya perlahan, jika tumpah aku harus mengulanginya dari awal. Syukurlah, pada tahap ini, aku lulus. Tidak ada air yang berceceran di sekitar gelas. Perlahan aku memberikan pada seseorang yang ada di depan kananku lalu depan kiriku. Membagikannya pada semua orang dan terakhir adalah untukku.

Aku mengangkat gelas tehku dengan tangan kanan, hanya dengan ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah, sementara tangan kiriku memegang bagian bawah gelas. Aku mengangkat setinggi dada, memutarkan teh dengan tangan kananku sampai kembali lagi diatas tangan kiriku, berbalik arah dengan jarum jam. Aku melakukannya dengan tempo sedang, tidak boleh terlalu cepat dan tidak boleh terlalu lambat. Setiap sekali putaran, aku meminum teh buatanku sendiri itu dan harus langsung habis sekali teguk. Jika sudah semua meminum, percakapan dimulai. Sambil aku menuang kembali pada gelas mereka yang sudah kosong dengan air teh. 

Bunda mulai membuka pertanyaan, “Meta ingin lanjut kuliah dimana?”

“Meta mau ambil kedokteran tante. Universitas manapun, kalau bisa masih di Jakarta.” Jawabku pada Bunda Rana. Aku menjawabnya dengan tenang. Teh yang aku buat tadi ternyata sedikit sepat dan pahit. Entah apa yang ada di pikiran Bunda.

“Tidak mau ambil di Yogya?” kata Bunda. Ini adalah sesi tanya jawab Bunda dan Meta.

“Sepertinya belum ada bayangan, kalau di Jakarta Meta bisa tetap tinggal di rumah.”

“Bunda melihat Yogya lebih baik daripada di Jakarta ya. Menurut Bunda begitu, disana kamu akan lebih fokus untuk menjadi dokter. Forensik kan?”

“Eeee... mungkin, hehe, tidak tahu Bunda. Meta masih belum memiliki bayangan.”

“Sudah, Yogya saja. Kalau di Jakarta nanti kamu kehabisan akal.” Aku hanya terdiam mendengar pernyataan bunda seperti itu. Kehabisan akal seperti apa? Hmmm sepertinya bunda tahu, kalau Handi ada di Jakarta dan dia tidak ingin aku bertemu dengannya. Sesaat diam dan aku hanya mengulas senyum dan anggukan kecil pada bunda. Sesi pertanyaan berikutnya adalah dari Simbok. Kali ini pasti singkat karena simbok tahu apa yang aku pikirkan. “Simbok setuju dengan Bunda. Kamu ambil kuliah di Yogya saja, disana kamu akan belajar hidup mandiri. Sedikit jauh dari papa mama dan simbok, tidak apa kan?”

“Iya, simbok. Tapi apa Meta akan satu kota dengan Rana?” tanyaku.

“Kalau Rana mau dan Tuhan mengizinkan kalian bersama. Bisa saja.” Kata simbok singkat lalu mengulas senyum dan mengangguk kearahku. Baiklah, hanya singkat. Kemudian ini sesi papa mama. Mereka berdua hanya menyetujui pernyataan bunda untuk aku kuliah di Yogya saja. Ayah Rana pun sependapat dengan hal itu. Lalu ada apa ini sebenarnya? Jadi tidak akan mengorek Handi? Sungguh? Baiklah, kini giliran Rana.

“Ta... Rana tidak ingin meminta apapun atau berharap apapun pada masa depan kita berdua nanti. Rana hanya berharap, jika kita berpisah kota, masih tetap berkomunikasi. Jujur, untuk saat ini, Rana masih belum memiliki bayangan apapun mengenai kuliah. Rana akan ikut apa kata Bunda nanti. Rana hanya meminta satu hal pada Meta, yakni komunikasi. Sejauh apapun kita, Rana akan selalu ada untuk Meta. Ketika disana, ketika jauh dari kami, Rana berhadap Meta dapat menemukan orang-orang yang baik pada Meta. Baik dengan tulus, jangan sampai Meta dimanfaatkan.” Ucap Rana yang kemudaian disertai senyum dan anggukan kecil.

“Baiklah, untuk pertanyaan pada Meta. Apakah ada lagi?” ucapku.

“Mama nggak, tehnya sepet dan pait. Nggak jelas rasanya gimana. Mama mau makan makanan dari Mang Asep aja,” ucap mama.

“Lalu yang lain? Simbok, bunda, ayah, Rana?” tanyaku. Semuanya menggelengkan kepala yang berarti sesi ini selesai. Fiuh~ syukurlah, aku dapat bernafas lega. Aku tidak disidang tentang Handi. Aku pun tidak perlu untuk bersedih, tapi kenapa aku semalam gelisah sekali ya? Sementara Rana sangat senang dan tenang malam itu.

Penasaran. Sebenarnya ada apa ya? Atau ada sesuatu ketika aku sedang berjalan di halaman belakang tadi? Atau mereka tidak mempermasalahkan aku dengan Handi yang berpacaran dan kami bertemu di diskotik? Sudah ah, kini sudah selesai. Masalah soal Handi sudah selesai dan aku tidak akan membahas soal Handi lagi. Tapi aku tetap penasaran dengan apa yang terjadi dengan mereka. Ah, kudekati Rana saja, berhubung sesi kali ini singkat dan tidak masalah.

“Na.. mengapa Bunda hanya menanyakan soal kuliahku saja?” tanyaku.

“Kamu berharap ditanya soal Handi atau masalah diskotik?” kata Rana sambil mengambil menyuap sesendok nasi.

“Ya, nggak dua-duanya. Tapi kan itu kesalahan aku Na. Melanggar perintah papa mama. Karena aku pacaran.”

“Mereka memaklumi dan memaafkan, semua anak seumuran kita wajar kok, kalau jatuh cinta. Kalau masalah diskotik, Meta kan tidak mabuk. Hanya datang karena penasaran saja, Meta juga tidak main, meskipun saat itu Meta memakai baju yang belum jadi. Meta pakai kain seprei yang dililit lalu pahanya kelihatan itu. Kata bunda, nggak akan dipermasalahkan untuk minum teh kali ini.”

“Kenapa beralih pada kuliah?”

“Supayaaaa... Meta akan lebih fokus. Bunda kelelahan ketika terbang dari Singapura ke Indonesia dan pagi hari harus perjalanan lagi. Ia sempat ditelfon oleh pihak kantor jika lusa harus pergi ke Inggris. Sepertinya Bunda sedang hemat tenaga untuk menyidang Meta. Jadi Bunda hanya berkata masalah kuliah. Bunda juga tahu, Handi kuliah di Jakarta, makanya Meta harus dijauhkan. Awalnya mau disarankan di Surabaya, tapi akan lebih enak jika di Yogya saja. Itu kota yang nyaman untuk Meta. Baik untuk berlatih adaptasi atau berlatih mandiri. Bunda hanya bilang itu saja.”

“Kalau soal Handi, tidak bilang apapun? Simbok?”

No one, neng Meta. Mau kukasih tahu sesuatu?”

“Apa?”

“Kemarin, simbok bilang ‘Handi memutuskan Meta, itu sudah benar. Atau Meta mau tahu soal mengapa Handi mutusin Meta?”

“Keduanya.”

“Rakus. Jawabannya sama, hanya satu. Karena Handi tidak untuk Meta. Hahahaa”

“Hih.. kenapa gitu?”

“Hahaha.. ya iyakan.. Handi mutusin Meta karena memang harus putus. Sudah benar itu Handi. Meta mau, kalau punya suami playboy dan sukanya main perempuan? Nggak kan,”

“Enggak...”

“Atau Meta mau, nanti menikah lalu cerai?”

“Enggak...”

“Ya sudah, ayo kita berubah.. mencari Handi yang lebih sempurna, baik, dan tulus. Pokoknya mencari lelaki sejati.”

“Eh, tapi kan.. Handi mendekati Meta lagi. Gimana dong?”

“Makanya itu, harus dijauhkan. Selama dia masih jinak, nggak masalah. Tapi tidak akan bertahan lama. Handi itu orangnya nggak betah jarak jauh, dia kan perlu perempuan untuk bermanja ria. Jadi, kalau dia tahu Meta tidak dapat dijangkau. Pasti tidak akan mengejar Meta lagi. Percaya udah, sama calon psikolog. Candra Kirana, S.Psi. hahaa”

“Baiklah. Aku akan menjadi dokter forensik. Tapi aku nggak mau periksa si Handi, meski mayatnya. Ahhaa.. ayo mari kita bersulang untuk menajdi lebih baik lagi.”

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • Aziz

    Mantap Betul, ditunggu ini karyanya

    Comment on chapter Prolog
Similar Tags
Warna Jingga Senja
4396      1214     12     
Romance
Valerie kira ia sudah melakukan hal yang terbaik dalam menjalankan hubungan dengan Ian, namun sayangnya rasa sayang yang Valerie berikan kepada Ian tidaklah cukup. Lalu Bryan, sosok yang sudah sejak lama di kagumi oleh Valerie mendadak jadi super care dan super attentive. Hati Valerie bergetar. Mana yang akhirnya akan bersanding dengan Valerie? Ian yang Valerie kira adalah cinta sejatinya, atau...
kekasihku bukan milikku
1279      644     3     
Romance
About love
1137      534     3     
Romance
Suatu waktu kalian akan mengerti apa itu cinta. Cinta bukan hanya sebuah kata, bukan sebuah ungkapan, bukan sebuah perasaan, logika, dan keinginan saja. Tapi kalian akan mengerti cinta itu sebuah perjuangan, sebuah komitmen, dan sebuah kepercayaan. Dengan cinta, kalian belajar bagaimana cinta itu adalah sebuah proses pendewasaan ketika dihadapkan dalam sebuah masalah. Dan disaat itu pulalah kali...
Love Warning
1218      558     3     
Romance
Pacar1/pa·car/ n teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih; kekasih. Meskipun tercantum dalam KBBI, nyatanya kata itu tidak pernah tertulis di Kamus Besar Bahasa Tasha. Dia tidak tahu kenapa hal itu seperti wajib dimiliki oleh para remaja. But, the more she looks at him, the more she's annoyed every time. Untungnya, dia bukan tipe cewek yang mudah baper alias...
Persapa : Antara Cinta dan Janji
7259      1775     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Premium
Sakura di Bulan Juni (Complete)
9873      2043     1     
Romance
Margareta Auristlela Lisham Aku mencintainya, tapi dia menutup mata dan hatinya untukku.Aku memilih untuk melepaskannya dan menemukan cinta yang baru pada seseorang yang tak pernah beranjak pergi dariku barang hanya sekalipun.Seseorang yang masih saja mau bertahan bersamaku meski kesakitan selalu ku berikan untuknya.Namun kemudian seseorang dimasa laluku datang kembali dan mencipta dilemma di h...
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
ketika hati menentukan pilihan
331      253     0     
Romance
Adinda wanita tomboy,sombong, angkuh cuek dia menerima cinta seorang lelaki yang bernama dion ahmad.entah mengapa dinda menerima cinta dion ,satu tahun yang lalu saat dia putus dari aldo tidak pernah serius lagi menjalani cintanya bertemu lelaki yang bernama dion ahmad bisa mengubah segalanya. Setelah beberapa bulan menjalani hubungan bersama dion tantangan dalam hubungan mereka pun terjadi mula...
Save Me From Myself
1824      773     1     
Romance
"Kau tidak akan pernah mengerti bagaimana rasanya menjadi aku."
Bertemu di Akad
3617      1033     1     
Romance
Saat giliran kami berfoto bersama, aku berlari menuju fotografer untuk meminta tolong mendokumentasikan dengan menggunakan kameraku sendiri. Lalu aku kembali ke barisan mahasiswa Teknik Lingkungan yang siap untuk difoto, aku bingung berdiri dimana. Akhirnya kuputuskan berdiri di paling ujung barisan depan sebelah kanan. Lalu ada sosok laki-laki berdiri di sebelahku yang membuatnya menjadi paling ...