Read More >>"> THE LIGHT OF TEARS (BAB 8 : Bandel vs Jenius) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - THE LIGHT OF TEARS
MENU
About Us  

BAB 8

Bandel vs Jenious

 

Waktu demi waktu telah berlalu. Kini 4 tahun sudah Bapak tidak bersama kami. Salim kini sudah menginjak kelas 6. Di sekolah, Salim dikenal sebagai anak yang nakal. Ia selalu mengganggu teman-temannya jika sedang bermain. Ia sering membuat teman-teman perempuan di sekolahnya menangis karena diledekin olehnya. Di rumah pun demikian. Ia sangat sulit diatur. Tiap Mama menasehatinya, selalu saja ada bantahan darinya. Walaupun sebenarnya dia adalah anak yang pintar. Sejak kelas 1 sampai kelas 2 SD Salim masih menduduki peringkat pertama di kelasnya. Namun, setelah Bapak tiada, prestasinya di sekolah menurun drastis. Hingga Guru-guru di sekolahnya kini meragukan kecerdasannya. Salim hampir tidak pernah terlihat belajar dan serius saat ibu guru mengajar. Jadi, tidak heran kalau guru-guru sering dibuat marah olehnya.

Salim memang tidak pernah terlihat belajar. Jika ada PR pun ia jarang sekali mengumpulkannya. Namun, saat ulangan tiba Salim selalu mendapat nilai terbaik. Semua guru yang mengajar Salim selalu berparsangka kalau Salim selalu mencontek dalam mengerjakan soal. Namun, ada 1 guru yang percaya kalau Salim memang anak yang cerdas. Dia adalah wali kelas Salim dari kelas 3-6 SD.

Tiap sekolah memang tidak terlepas dari Ibu Killer. Begitu juga sekolah kami. Kebetulan Salim adalah anak didik dari Bu Susan. Bu Susan merupakan sosok guru yang ditakuti oleh semua murid karena ia termasuk guru yang keras dan disiplin. Bu Susan sangat berteman akrab dengan lemak yang menggumpal padat di tubuhnya. Badan bu Susan memang sedikit obesitas di usianya yang tak begitu terlalu tua. 38 Tahun. Ia mengajar pelajaran Matematika di kelas Salim. Aku juga sempat merasakan bagaimana tegasnya Bu Susan dalam mengajar kami.

“Hari ini ulangan, ya. Di atas meja hanya ada pulpen dan kertas,” kata Bu Susan sambil menulis soal di papan tulis. Ibu kasih waktu kalian 45 menit. Jangan ada yang mencontek. Kalau ketahuan, kalian Ibu keluarkan dan tidak boleh ikut ulangan mata pelajaran Matematika lagi. Kalian mengerti?”

“Huhhh… uuu…” anak-anak kelas bersorak kompak layaknya paduan suara namun tidak merdu sama sekali.

“Yang tidak mau ikut ulangan silahkan keluar. Kalian tau to pintu keluarnya,” Bu Susan menaikkan nada suaranya sambil menunjuk pintu keluar yang masih terbuka lebar. Suasana kelas yang tadinya bersorak ria kini menjadi suasana upacara saat mengheningkan cipta berlangsung. Semua menunduk tanpa kata.

“Ibu hitung sampai 3, ya. Kalau tidak ada yang mau keluar, saya tutup pintunya.

1… 2… 3,” Bu Susan bergegas menutup pintu kelas. Ternyata tidak ada yang berani keluar satupun dari anak muridnya.

Bangku ternyaman untuk Salim adalah tempat duduk paling belakang. Dari kelas 1, ia memang hobi memilih bangku paling belakang. Baginya tempat duduk belakang tak berarti otak terbelakang.

“Silakan kalian jawab 10 soal ulangan ini. Ibu kasih waktu, 45 menit. Kalian sudah mengerti?” kata Bu Susan tegas.

“Sudah, Bu…” serempak seluruh murid menjawab dengan muka ala-ala jeruk purut. Mengkerut dan asam sekali. Waktu terus berjalan. 30 menit telah berlalu, Salim bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju meja Bu Susan.

Semua mata tertuju pada Salim.

“Cepat sekali kau kerjakan. Kau bisa jawabkah soal susah seperti ini? Atau, jangan-jangan kau mencotekkah?” terdengar keras suara Sam sambil tertawa meledek saat Salim melewati bangku Sam.

”Anak nakal kayak kamu itu tidak mungkin bisa kerjakan soal-soal ini dengan benar,” Sam makin meremehkan kemampuan Salim. Salim menoleh kearah Sam dengan muka kesel.

Semua anak-anak kelas serempak tertawa terbahak-bahak.

“Diam semuanya. Jawab tugas kalian dengan benar!” Bu Susan memperingati semua murid. Tertawa mereka semua tertahan di perut setelah mendengar suara Ibu Susan yang menggelegar. Semua murid kini berkonsentrasi kembali pada jawaban mereka masing-masing.

“Kau isi jawabanmu itu. Waktumu tinggal 15 menit. Jangan sampe kau isi cara permainan kelerengmu di situ. Saya memang nakal, tapi otakku encer. Kalau saya nakal sekarang wajar, tapi kalau saya nakal sampe tua, itu baru kurang ajar namanya,” Salim membalas perkataan Sam dan terus berjalan kemeja bu Susan.

“Hahahahahahaha…” semua malah berbalik menertawakan Sam. Sam tertunduk malu.

“Kamu sudah selesai, Salim?” tanya Bu Susan sambil melihat jawaban Salim yang baru saja diterimanya.

“Sudah, Bu. Coba ibu periksa saja,” Salim kembali duduk di bangkunya.

Ibu Susan mulai memeriksa lembar jawaban Salim. Ia tak menyangka kalau Salim bisa dengan sempurna mengerjakan soal yang diberikannya.

“Ini soal tersulit yang pernah saya kasih, tapi benar-benar bisa dilahap seorang anak yang terkenal nakal ini,” Ibu Susan menggerutu dalam hati.

“Sempurna. Hebat kamu, Salim. Kamu bisa menaklukan soal-soal yang Ibu kasih ini dengan sangat baik,” Ibu Susan takjub melihat jawaban Salim yang tanpa ada kesalahan sama sekali.

“Prokkk… prokk… prokkk…” tepuk tangan yang keras untuk Salim didapatkan hari itu dari teman-temannya kecuali Sam.

            “Waktunya sudah habis. Kumpulkan kertas ulangan kalian!”, seru Bu Susan.

Sam berusaha menolehkan kepalanya kiri, kanan, belakang mencari jawaban. Sam duduk di bangku paling depan. Sam panik karena semua teman-temannya sudah bergegas mengumpulkan jawabannya.

            “Sam, mana lembar jawabanmu? Selesai tidak selesai, sini dikumpul!” Bu Susan mulai mengeluarkan taringnya.

            “Iya, Bu. Sebentar lagi. Saya masih isi, kasihan ini, Bu,” sahut Sam mulai panik.

            Ibu hitung sampai 3. Kalau kamu tidak kumpulkan juga, Ibu anggap kamu tidak ikut ulangan.

            Satuuuuu… Duaaaaaa… Tii……..

            “Ihhh, Ibu ini da suka sekali menghitung. Heran saya,” sahut Sam dalam hati. Sam dengan terpaksa menyerahkan lembar jawabannya. Dari 10 soal tidak ada satu pun yang bisa Sam kerjakan. Hanya 3 soal yang terisi. Itu pun salah semua. Entahlah, angka-angka yang menjadi jawaban Sam ini berasal dari mana.

            “Apa yang ko isi ini, Sam? Masa hanya ini yang kamu bisa. Ini juga asal-asalan sekali jawabanmu e. Rajin-rajin belajarmu. Rumahmu dekat to dengan La Salim? Ko rajin-rajin belajar sama La Salim,” Ibu Susan kaget melihat hasil jawaban dari Sam. Sangat bertolak belakang dengan jawaban yang Salim kerjakan.

            “Ibu ini e, salah pilih orang. Masa Ibu suruh saya belajar sama anak paling nakal di sekolah ini. Anak yang tidak pernah kerjakan PR-nya. Syukur-syukur dia naik kelas itu anak. Saya liat dia belajar saja tidak pernah. Paling juga dia mencontek itu. Saya tidak percaya kalau dia bisa isi soal-soal yang Ibu kasih. Mustahil itu!!,” Sam mulai membantah.

            “Kamu ini terlalu banyak alasan,” kata Bu Susan.

“Anak-anak, kita ujian nasional tinggal 2 bulan lagi. Kalian sudah harus berjuang lebih keras lagi untuk belajar. Ibu tidak mau kalau ada anak murid Ibu yang tidak lulus nanti. 2 bulan lagi penentuan kalian bisa masuk SMP apa tidak. Kalian paham?” tanya Bu Susan.

            “Paham, Bu...” jawab murid kelas 6 serempak.

Waktu mengajar Bu Susan pun telah usai. Ia pun kembali ke ruang guru untuk memeriksa hasil ulangan anak kelas 6.

“Bagaimana murid kelas 6-nya, Bu?” tanya Bu Risa yang mengajar Bahasa Indonesia dan IPA di kelas 6.

“Nilai terbaik hari ini dipegang sama Salim, Bu,” kata Bu Susan sambil tetap memeriksa tiap jawaban anak muridnya.

“Apa? Salim? Tidak mungkin, Bu. Mata pelajaran yang saya ajarkan, dia malah nilai paling jelek. Tapi saya heran, kenapa dia masih saja bisa naik kelas? Dia juga tidak pernah mau dengar tiap saya mengajar. Anak itu nakal sekali. Suka bikin rusuh di dalam kelasnya. Guru-guru yang lain juga selalu mengadu karena ulahnya. Mamanya juga sudah sering, kan,kita panggil karena anaknya itu? Bisa jadi anak itu tidak lulus SD. Mau jadi apa dia nanti?” kata Bu Risa menggebu-gebu mengungkapkan ketidakpercayaannya pada Salim. Bu Susan pun menghentikan tangannya yang sedang mencoret-coret jawaban muridnya.

“Jangan suuzon dulu, Bu. Kita liat saja nanti, Salim bisa melewati kelulusan SD-nya dengan mulus atau harus tertahan di sini. Saya percaya kalau sebenarnya dia mampu dalam segala mata pelajaran,” kata Bu Susan sambil tersenyum. Bu Risa diam tanpa kata dan langsung keluar meninggalkan ruangan. Ia seakan menolak pernyataan dari bu Susan.

***

Teng… teng…. teng… Bunyi bel sekolah berbunyi 3 kali. Itu petanda pulang.

“Horeee… Horeee…” semua anak murid kegirangan.

“Bau, pulang ini kita main bulu tangkis?” Sam menantang Salim bermain. Namun, Salim tak menanggapi tantangan Sam. Salim malas berurusan dengan Sam, karena tiap main apapun Sam selalu kalah dari Salim. Sam tipe anak yang suka mengadu ke orangtuanya walaupun dia yang salah. Orangtuanya pun tipe manusia yang hanya menelan mentah-mentah informasi yang diberikan oleh anaknya, tanpa mencari tahu dulu kebenaran yang ada.

“Kau itu bukan lawanku, Sam. Kau cari saja orang lain yang bisa kau kalahkan?” Salim membalikkan badannya dan melangkahkan kakinya untuk pulang dan tidak menghiraukan Sam.

“Sombongmu, Bau e. Ko takutkah lawan saya? Kecil sekali nyalimu. Begitukah kalau orang sudah tidak punya bapak? Penakut kayak kau itu,” kata Sam mengolok Salim dengan muka nantangin. Mendengar ucapan itu dari Sam, Salim berhenti melangkahkan kakinya dan membalikkan badannya kembali kearah Sam. Hatinya sakit mendengar perkataan itu dari mulut Sam.

“Apa maumu sebenarnya? Kau jaga mulutmu e. Jangan pernah kau bawa-bawa almarhum bapakku dalam masalahmu yang tidak penting ini!” Salim melotot tajam ke Sam. Ia benar-benar marah.

“Saya kan sudah bilang dari tadi, mauku itu kita tanding main bulu tangkis!” Sam mulai menegaskan kembali keinginannya.

“Oke kalau begitu. Tapi, kalau sampe kau kalah lagi, jangan pernah mulut kotormu itu sebut-sebut bapakku. Saya tunggu kau di halaman depan rumahku jam 4 sore nanti.”

                                                ***

Sore persis pukul 16.00. Salim sudah menunggu Sam di temani racket yang sudah usang namun masih layak pakai. Raket yang bapak belikan untuk kami, saat beliau masih ada. Sam kebetulan tetangga selang 5 rumah dari kami. Sam selalu menganggap Salim sebagai rivalnya, di sekolah maupun di rumah. Di sekolah Salim selalu unggul dari Sam. Begitu juga di rumah. Keluarga Sam adalah keluarga yang introvert dari para tetangga. Mereka jarang bergaul dengan tetangga lainnya. Orangtua Sam memiliki kos-kosan yang berada tepat di samping rumahnya. Permainan bulu tangkis di laksanakan di depan halaman rumah kami yang memang sudah memiliki tiang bambu tertancap yang biasa kami gunakan untuk menyangkutkan net jaring yang kami buat manual menggunakan tali rafia. Sebelumnya Salim dan Sam menggaris batas permainan mereka. Di temani Mail yang menjadi juri dari pertandingan itu.

Pertandingan di mulai. Salim dan Sam mengambil posisi berseberangan pada kedua sisi jaring di lapangan yang mereka buat. Permainan di mulai dengan hompimpa terlebih dahulu untuk menentukan siapa pemain yang melakukan servis terlebih dahulu. Servis pertama adalah Salim. Muka Sam mulai kecewa. Namun ia berusaha untuk tetap mengalahkan Salim.

Set pertama berlangsung sekitar 30 menit. Poin unggul di menangkan oleh Salim dengan 15 : 9.

Saat Set kedua berlangsung, Sam tetap ambisius untuk memenangkan pertandingan bagaimanapun caranya. Ia berusaha lebih keras namun tetap saja Salim masih lebih unggul. Di detik-detik penghabisan Set, Sam mulai bertingkah. Saat ia yang servis, dan memasukkan bola ke wilayah Salim, bolanya keluar dari garis. Namun ia tetap kekeh kalau bola sempat masuk ke garis baru keluar dari garis batas.

“Curang… curang!” Sahut Salim pada Sam. Padahal Mail sebagai juri juga sudah mengatakan bahwa bola servis dari Sam “Keluar”, namun Sam tetap tidak terima.     

“Siapa yang curang? Saya tidak curang!” Sam mengelak dan mendorong badan Salim hingga terjatuh ke tanah. Mail melerai mereka.

“Kau ini kalau tidak bisa main dengan benar, tidak usah kau ajak saya main. Kalau kau tidak tau peraturan mainnya, mending jangan main!” Salim tidak terima dengan kecurangan yang dilakukan oleh Sam.

“Kalau kau tidak terima, kau mau apa? Mau pukul saya? Kau saja yang tidak lihat tadi bola itu sudah kena garis. Jelas-jelas itu masuk!!” jawab Sam dengan tegas. Salim pun bangun kembali karena terjatuh dari dorongan Sam.

“Oke kalau begitu.” Ucap Salim.

“Mail hitung poin untuk la Sam “ Kata Salim menahan amarahnya.

Mailpun memberikan poin pada Sam. 6 : 9. Sam pun mengambil servis kembali. Sam senyum kegirangan. Beberapa kali Sam menganggap bola yang ia servis masuk kedalam lapak Salim, namun Salim pun selalu mengalah.

Kini giliran Salim mengeluarkan kemampuannya. Ia memberi pukulan Smash dengan seluruh tenaganya yang mengenai jidat Sam. Ia tak bisa menghindar dari bola pukulan Smash Salim yang begitu dasyat. Jidat Sam seketika merah dan sidikit bengkak. Ia merengek kesakitan.  Sam kembali mengata-ngatai Salim dengan ucapan yang menyakitkan.

“Dasar anak yang tidak punya Bapak!!!!  Kelakuanmu memang seperti anak berandalan. Begitu kah yang Bapakmu ajarkan??" Sam begitu nyolot. Kesabaran Salim di uji untuk kesekian kalinya. Salim masih sabar dan diam. Ia tak ingin berurusan dengan Sam.

“Dasar anak Yatim !!!!” Sam memperolok Salim sambil mendorong badan Salim untuk kedua kalinya. Namun kali ini Salim menopang kakinya agar tak jatuh lagi. Salim membalas dorongan Sam, dan Sam terkapar jatuh. Tanpa diduga, Sam terkena duri tanaman bunga cactus yang di tanam di halaman rumah kami. Mereka cekcok di luar lapangan.

“Itu bayaran untuk mulutmu yang tidak pernah disekolahkan. Sudah saya bilang, kan, jangan pernah bawa-bawa Bapakku dalam masalahmu!” Salim pun pergi meninggalkan Sam yang masih duduk di tanah. Sam menangis berlari menuju rumahnya.

Beberapa menit kemudian, Ibu dari Sam menghampiri Salim yang sedang duduk di tangga depan rumah.

 “Bau…. Kenapa kau pukul La Sam? Dasar anak nakal! Pantas saja bapakmu mati! Mungkin dia sudah tidak tahan punya anak nakal seperti kau! Nanti saya bicara sama mamamu!” Ibu Sam pergi meninggalkan Salim sambil tetap komat kamit tak jelas apa yang ia bicarakan. Ia tak membiarkan Salim memberikan penjelasannya. Salim benar-benar dibuat marah besar hari itu. Tangannya membuat kepalan yang sangat kuat saat Ibu Sam melontarkan kata-kata menyakitkan itu. Lagi-lagi menyangkut Bapaknya.

Mama yang mendengar kejadian itu langsung pergi ke rumah Sam dan meminta maaf atas kejadian yang telah dilakukan oleh anak lelakinya. Mama sangat sedih melihat kelakuan anaknya itu. Ini pertama kalinya ia mencelakai temannya. Biasanya hanya mengganggu sampai menangis. Salim memang nakal, namun ia hampir tak pernah mengayunkan tangannya untuk menyakiti. Paling juga hanya sekedar mendorong kepalaku yang mungkin sudah dianggap seperti bola volly untuknya.

“Mana La Bau?” tanya mama pada Zura yang baru pulang dari rumah Sam. Zura menjelaskan bahwa tadi sempat melihat Salim saat ia duduk di depan rumah. Dengan muka merah seperti kepiting rebus Salim pergi dengan mengepalkan tangannya. Namun, Zura tak tahu tentang perkara Sam dan Salim.

Malam mulai larut. Matahari sudah nyaman berselimutkan langit. Mama masih tetap menanti kedatangan anak ketiganya itu. Kenakalannya kali ini sudah tidak bisa disepelekan. Ia sudah mencelakai temannya sendiri. Walaupun sebenarnya Sam yang memulai semua ini.

***

Mencuci mobil menjadi rutinitas tambahan yang dilakoni Salim dalam 3 bulan belakangan ini. Pangkalan pencucian mobil jaraknya lumayan jauh dari rumah. Tiap pulang sekolah Salim sering kumpul dengan teman-teman pangkalan pencucian mobil. Dari semua teman yang ditemuinya di sana, banyak yang sudah putus sekolah. Mendapatkan uang jajan tambahan dari pekerjaan itu menjadikannya sangat betah untuk menjalani pekerjaan barunya. Upah yang didapat sehari dari jam 4 sore sampai jam 8 malam Rp 500,00. Tiap hari waktu Salim terbuang di tempat pencucian mobil. Kami sekeluarga tidak ada yang tahu tentang kegiatan baru Salim.

Menghabiskan waktu di luar tanpa mengenal waktu. Biasanya jam 9 malam Salim sudah tiba di rumah. Namun, hingga jam sudah menunjukan pukul 23.45 WITA ia masih belum kunjung muncul. Malam itu jalanan sudah sepi. Pencucian mobil telah ditutup. Saat memasuki gang rumah yang masih cukup jauh dari rumah kami, tiba-tiba Salim dikagetkan dengan seorang laki-laki berbaju hitam yang hampir mirip dengan dandanan dirinya yang menggunakan topi berlari menyalip di depannya. Laki-laki itu berlari terbirit-birit seperti sedang dikejar oleh seseorang. Dugaan Salim ternyata benar adanya. Selang 30 detik dari sudut depan yang sama, terlihat laki-laki berbadan kekar memakai baju kaos coklat seperti seorang angkatan polisi.

“Druggg…” bunyi kencang pukulan tangan Pak Polisi itu tepat mengenai leher Salim. Salim terkapar jatuh. Tidak terima diperlakukan semena-mena oleh laki-laki yang memang berstatus sebagai polisi itu, Salim langsung marah-marah menengadahkan kepalanya melihat Pak Polisi dan meneriaki tepat di depannya.

Woiiii… Salah saya apa, Pak? Jangan main pukul sembarangan!” teriak Salim persis di depan muka polisi yang tingginya 180cm dan memiliki badan yang tinggi tegap itu. Tingginya sangat jauh berbeda dengan Salim yang hanya 147 cm. Salim memang pemberani.Ia tak pernah takut pada siapapun kecuali Almarhum Bapak. Tidak peduli seberapa besar dan kekarnya laki-laki di depan yang sedang dihadapinya itu. Tidak peduli seberapa tinggi jabatan orang yang sudah memukulnya. Tidak peduli seberapa tenarnya laki-laki yang dianggap sok jagoan di mata Salim ini. Yang ia tau adalah dirinya tidak bersalah, namun mendapat pukulan yang sangat kuat di leher kanannya.

Tanpa mengindahkan omongan Salim, polisi inipun langsung memegang tangan Salim dari belakang seakan-akan buronan teroris yang sedang disergap. Di dalam gelapnya malam dan hanya ada 1 penerangan lampu kecil berwarna merah ukuran 5watt, polisi itu tetap menganggap Salim sebagai pencuri. Salim berusaha memberontak, namun kekuatan Salim tak seberapa dibanding laki-laki berbadan besar itu.

Setelah di usut, ternyata telah terjadi kemalingan di tempat kos milik keluarga Sam. Pak Polisi ini adalah salah satu penghuni kosan yang baru pindah 2 hari yang lalu. Saat di perjalanan Salim menuju rumah, polisi ini sedang mengejar maling yang tadi melintasi Salim dengan ciri-ciri yang hampir sama dengannya. Bedanya cuman di postur tubuh. Badan Salim kecil dan pencuri itu memiliki badan yang tidak jauh berbeda dengan Salim. Polisi menduga kalau maling itu adalah Salim karena saat itu baju mereka sama-sama berwarna hitam dan memakai topi sehingga polisi pun tanpa pikir panjang dan langsung menghakimi Salim.

“Kau kan yang maling tadi?” Polisi pun mengeluarkan kata-kata tuduhan sehingga memojokkan Salim. Beradu argument di gang membuat percekcokan antara Salim dan polisi itu makin memanas.

“Bau, kau lagi apa di sini? Kau di cari Mamamu. " Terdengar suara Mail dari arah belakang. Syukur saja saat itu Mail melihat kalau Salim dan Polisi tanpa seragam itu sedang berdebat hebat. Mail menghampiri dan menjelaskan kalau Salim adalah tetangganya anak dari seorang Guru Bahasa Indonesia di sebelah rumahnya. Polisi pun sadar kalau anak yang dituduhnya ini bukan pencuri yang sesungguhnya. Sebelum kabur, polisi ini memang tak melihat wajah pencurinya, karena terlihat hanya dari belakang. Namun, ia sempat melihat tato naga di tangan sebelah kanan pencuri itu & saat dicek ternyata semua tuduhan itu salah. Saat ia menyadari kesalahannya, ia buru-buru untuk meminta maaf pada Salim. Salim pun tak mau memperpanjang masalah ini dan langsung pergi bersama Mail serta tak menghiraukan ucapan sang Polisi.

Setibanya di rumah, Salim yang tidak berniat menceritakan kejadian yang baru dialaminya, merintih kesakitan dileher bagian kanannya. Mama yang setia menunggu kepulangan anak lelakinya yang baru pulang larut malam pun bertanya.

“Dari mana saja, Nak? Baru pulang jam segini. Lehermu kenapa lagi dipegang seperti itu? Coba Mama lihat,” Mama menghampiri Salim dan melihat leher yang berusaha disembunyikannya. Salim tidak ingin membuat mama khwatir lagi karena ulahnya. Sebelum ia menjelaskan ke Mama, Mama sudah terkaget-kaget melihat memar biru di lehernya. Salim merintih kesakitan saat Mama memegang lehernya.

“Ahhh, sakit, Ma. Jangan dipegang, Ma!” Salim menarik lehernya dan menaikan nada bicaranya, berusaha menjauhkan lehernya dari tangan Mama.

“Kenapa lehermu? Kamu habis berkelahi sama siapa?” tanya Mama dengan tegas pada Salim.

“Mama ini negatif terus pikirannya sama saya! Tadi tetangga baru kita, polisi sebelah yang tinju leherku. Dia pikir saya pencuri,” jawab Salim sambil memegang dan berusaha menahan rasa sakit di leher bekas pukulan polisi berbadan besar itu. Mendengar penjelasan Salim, Mama malah menangis.

“Ya Allah, Nak. Masalah apa lagi ini?” Mama kembali menitihkan airmatanya. Aku, Iman, dan Zura spontan bangun karena kaget mendengar suara Salim yang menggelegar dan suara tangisan Mama.

Kenakalan Salim memang sudah benar-benar bikin kami sekeluarga gerah. Malam itu juga kami semua disidang bagai narapidana, terutama Salim. Ini sudah jam 00.35 pagi. Mama marah besar malam itu. Setelah kejadian Salim mendorong Sam, kemudian Salim dipukul oleh polisi itu. Sepertinya hukum karma sedang bermain padanya.

 “Kamu sudah bikin Mama kecewa, Nak. Sikapmu hari ini benar-benar bikin Mama malu. Kali ini kamu benar-benar buat muka Mama tidak ada harganya lagi di depan tetangga. Mama tahu kamu kecewa. Mama tahu kamu marah. Mama tahu kamu tidak bisa nerima kalau Bapakmu sudah tidak ada. Terus Mama bisa apa? Mama tidak bisa bangkitkan Bapakmu untuk sama-sama dengan kita lagi,” Mama menangis terisak-isak. Ia berhenti sejenak, menarik nafas panjang.

“Ini sudah takdir Allah. Kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menerima dengan ikhlas. Kamu pikir dengan melukai orang lain seperti itu bapakmu akan bangga sama kamu? Bapakmu itu hanya mau kalian semua jadi anak yang baik, jadi anak yang pintar, jadi anak yang bisa membanggakan kami. Bisa tidak kau contohi kakakmu Iman? Kakakmu ini tidak pernah buat masalah,” Mama menaikkan nada bicaranya. Terlihat jelas kekecewaan di wajah Mama. Aku tak pernah melihat Mama semarah itu.

“Jangan banding-bandingkan saya dengan La Iman!” Salim membanting kursi plastik yang bertengger sampai patah. Dia memang selalu seperti itu jika sedang marah. Semua barang rumah jadi taruhannya.

“Saya tahu saya sudah salah. Saya tahu, saya harusnya bisa terima takdir kalau Bapak sudah tidak ada. Tapi, saya ini capek, Mama. Selalu dianggap tidak berguna. Saya selalu dianggap biang kerok sama orang-orang. Orang-orang itu tidak tahu bagaimana saya. Hanya Bapak yang bisa paham bagaimana saya. Mereka hanya bisa menilai saya saja tanpa pedulikan perasaan saya. Saya cuman minta sama Mama, tolong percaya sama saya, kalau saya juga bisa bikin Mama bangga,” Salim menangis sambil menundukan kepalanya.

Mama memeluk Salim dengan erat. Mereka berdua menangis tersedu-sedu.

“Maafkan Mama. Mama tidak tahu kalau sampe seperti ini batinmu tersiksa, Nak. Mama selalu percaya sama kamu, walaupun di dunia ini tidak ada yang percaya sama kemampuan kamu. Walaupun di dunia ini tidak ada yang menginginkan keberadaanmu. Kamu harus selalu ingat, Mama akan selalu ada untuk kamu. Kamu adalah anak yang Allah titipkan untuk Mama jaga” Mama berusaha menyadarkan Salim agar berdamai dengan dirinya sendiri dan keadaan. Malam itu malam haru biru. Malam air mata kami akhirnya tumpah kembali setelah kepergian Bapak. Malam yang benar-benar buat kami termenung bahwa semuanya memang sudah berubah dan kami harus tetap maju untuk kebahagiaan keluarga kami.

“Sebenarnya kamu kemana tadi? Mama perhatikan beberapa bulan belakangan ini kamu selalu pulang malam. Sampai tidak ada waktumu untuk kumpul sama kita di rumah,” tanya Mama penasaran.

“Saya kerja di pencucian mobil, Ma. Upahnya lumayan untuk saya tabung beli sepatu sama tas. Tasku sudah putus talinya. Sepatuku sudah mengaga lebar.  Saya sudah lupa Mama bagaimana rasanya punya barang baru,” kata Salim dengan polosnya. Selama ini Salim selalu dapat barang bekas dari Iman. Yang paling sering adalah baju. Kalau bajunya Iman tidak muat lagi, baju itu akan diwariskan ke Salim. Kalau menjadi anak yang di atasnya punya kakak yang segender, barang turunan pasti berlaku. Salim dapat warisan baju dari Iman. Begitupula aku yang kena jatah warisan dari Zura.

"Ya Allah Nak.. Kalau ada apa-apa bilang ke Mama... Mama minta maaf kalau belum bisa kasih yang terbaik untuk kalian... Tapi kalian tidak usah khawatir, mama akan berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi semua kebutuhan kalian". Mama begitu sedih saat mendengar pengakuan Salim. Kami semua berpelukan dengan penuh haru. 

Malam itu malam yang penuh dengan air mata. Sepeninggalan Bapak, cobaan yang dihadapi keluarga kami beruntun. Namun, dengan kesabaran Mama semua bisa teratasi. 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • iinazlah

    Mantaap

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • enhaac

    @dede_pratiwi

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • dede_pratiwi

    Wah ceritanya keren. Setting dan penokohanya kuat. Fighting...

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • mubarok

    @Nhana nice

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • mubarok

    Mantap. its totally different.
    easy to read. easy too understanding
    enak di baca. alur cerita ok

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • yurriansan

    Suka ????

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • Kang_Isa

    Halo, Indy. Ceritanya cukup menarik. Cuma di narasi awal, kayaknya kepanjangan. Bisa dipadatakn lagi. Untuk tahap pengenalan awal tokoh, memang bagus dengan narasi seperti itu. Hanya alangkah baiknya enggak terlalu melebar dari awal pengenalan tokoh. Kalau dari segi tanda baca, sudah bagus. Alur dan plotnya juga dapet. Itu aja dariku, ya. Salam semangat.

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • desioctav

    Ceritanya oke, bisa ngebawa pembacanya masuk ke cerita tersebut jadi kaya ngebayangin situasinya hehehehe
    Bahasanya juga gampang di ngerti . Semoga bisa jadi penulis terkenal yaaa....

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • Nhana

    So sad..
    Jdi inget teman kuliah aku dulu, yg dari kecil udh ditggal Bapakx pergi ke surga.
    Mamanya tegar bget besarin anak2x..
    Miss u teman seperjuangan, salam syg buat mama disana.

    Comment on chapter Surat untuk belahan jiwa ibuku
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
537      361     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15883      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
803      452     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
JUST A DREAM
819      380     3     
Fantasy
Luna hanyalah seorang gadis periang biasa, ia sangat menyukai berbagai kisah romantis yang seringkali tersaji dalam berbagai dongeng seperti Cinderella, Putri Salju, Mermaid, Putri Tidur, Beauty and the Beast, dan berbagai cerita romantis lainnya. Namun alur dongeng tentunya tidaklah sama kenyataan, hal itu ia sadari tatkala mendapat kesempatan untuk berkunjung ke dunia dongeng seperti impiannya....
One Step Closer
1924      777     4     
Romance
Allenia Mesriana, seorang playgirl yang baru saja ditimpa musibah saat masuk kelas XI. Bagaimana tidak? Allen harus sekelas dengan ketiga mantannya, dan yang lebih parahnya lagi, ketiga mantan itu selalu menghalangi setiap langkah Allen untuk lebih dekat dengan Nirgi---target barunya, sekelas juga. Apakah Allen bisa mendapatkan Nirgi? Apakah Allen bisa melewati keusilan para mantannya?
Peringatan!!!
1913      819     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2376      835     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Apakah Kehidupan SMAku Akan Hancur Hanya Karena RomCom?
3185      931     1     
Romance
Kisaragi Yuuichi seorang murid SMA Kagamihara yang merupakan seseorang yang anti dengan hal-hal yang berbau masa muda karena ia selalu dikucilkan oleh orang-orang di sekitarnya akibat luka bakar yang dideritanya itu. Suatu hari di kelasnya kedatangan murid baru, saat Yuuichi melihat wajah murid pindahan itu, Yuuichi merasakan sakit di kepalanya dan tak lama kemudian dia pingsan. Ada apa dengan m...