BAB 7
Roh Jahat yang Tak Berwujud
Kekecewaan yang belum sembuh di hati Salim menjadikannya pribadi yang tempramental. Ia belum bisa berdamai dengan dirinya sendiri. Apalagi dengan keadaan. Ia tak mampu mengontrol emosi yang datang menghadangnya. Salim yang begitu dekat dengan Bapak sangat terpukul ketika Bapak meninggal. Kini figur seorang ayah tidak bisa lagi kami rasakan. Kepergian Bapak membuat perubahan yang sangat amat drastis dalam rumah kami. Salim kini lebih betah berada di luar rumah. Ia menjadi liar seakan tak punya rumah. Kepergian Bapak menjadi cambuk batin untuknya. Ia bagai bangunan yang runtuh. Jiwanya hancur. Keonaran yang dibuatnya menjadikan tetangga resah dan sering mengeluh ke Mama karena anak-anak mereka sering dibuat sampai menangis karena Salim selalu menggangu mereka. Di rumah pun demikian adanya. Ia selalu marah-marah jika keinginannya tidak tercapai. Membanting barang-barang yang terlihat oleh matanya. Apapun yang dia katakan tidak bisa dibantah. Sifatnya yang arogan dan temperamental membuat semua orang yang mendekatinya jadi tidak betah. Ia bersikap seperti anjing pemangsa gila yang tak diberi makan. Ia lincah dan bertenaga. Saat ia sedang marah, para tetangga menduga kalau Salim kerasukan setan yang merasuk ke dalam raganya. Kentalnya kepercayaan warga daerah kami tentang roh jahat yang bersarang di raga manusia kala itu masih sangat kuat. Salim memang sangat sering mengamuk tanpa bisa mengontrol dirinya. Ia bagai granat aktif.
Para tetangga yang sering melihat kelakuannya makin menguatkan pikiran mereka masing-masing kalau Salim benar-benar sedang dipengaruhi oleh setan yang tinggal dalam tubuhnya. Desakan para tetangga yang menyarankan Mama untuk meminta orang pintar alias dukun agar mengusir roh jahat di tubuh Salim akhirnya disetujui Mama. Mama yang sebenarnya tidak percaya akan hal seperti itu kini pasrah juga mengikuti saran para tetangga.
Sore menjelang Magrib kala itu, mamanya Mail salah satu tetangga persis sebelah rumah kami ternyata punya kenalan dukun. Kebetulan saat itu Salim sedang bermain di luar. Kami menunggu hampir setengah jam di rumah. Yang ditunggu akhirnya muncul juga menampakkan batang hidungnya. Kaget melihat ramainya orang yang sedang menunggu kedatangannya membuat ia heran. Ada Mama, aku, Zura, Iman, tetangga 5 orang, serta seorang dukun. Dengan muka kebingungan, ia pun masuk dalam rumah.
“Nak duduk sini. Duduk samping Mama,” Mama memanggil Salim yang baru melepas sandalnya. Salim keheranan dan masih tetap berdiri seperti patung yang tak ingin beranjak dari depan pintu rumah. Mama tetap memanggil Salim. Mama berdiri seraya membujuk Salim untuk mengikuti ritual hari itu.
“Ahhh, ada apa ini, Mama? Tidak mau saya,” Salim menolak dan terlihat bingung serta masih tak beranjak dari tempatnya. Mama bangun dan memegang tangan Salim untuk ikut bersamanya. Salim pun pasrah untuk duduk di sebelah dukun tersebut, walau dengan muka yang benar-benar tak sedap untuk dipandang.
Salim hanya bisa diam mengerutkan muka dan dahinya seperti mentimun keriput yang sudah hampir busuk kemakan waktu. Dengan berbagai doa yang dilantunkan, dukun itu sesekali mengucapkan beberapa kalimat yang tidak kami pahami. Mulutnya komat kamit tak karuan dengan mantra mujarabnya. Entah apa yang diucapkannya. Hampir 20 menit ritual yang diniatkan untuk mengusir roh jahat itu berlangsung. Dengan berbagai bacaan yang dilantunkan oleh dukun, Salim malah makin kebingungan dan makin tidak betah berlama-lama duduk di sebelah sang dukun.
Salim masih tidak menyangka kalau pikiran-pikiran primitif seperti itu masih dilakukan dizaman ordebaru saat itu. Hingga akhirnya ritual pun selesai. Salim beranjak dari tempat duduknya.
“Apa-apaan ini? Kayak orang tidak punya Tuhan saja. Kenapa percaya sama beginian, hah? Sebenarnya saya yang gila apa orang-orang ini?” kata Salim dengan kesal dan langsung pergi. Mama berusaha menjelaskan ke Salim namun ia langsung pergi tanpa mempedulikan kami. Sebenarnya kami memiliki jalan pikiran yang sama. Keluargaku memang tidak percaya akan hal-hal seperti itu, karena kami memiliki keyakinan yang kuat akan sang Pencipta. Namun, untuk memuaskan keinginan dan rasa penasaran para tetangga dengan kenakalan Salim, sehingga terlaksanakanlah ritual itu.
Hari demi hari telah berlalu setelah ritual pengusiran roh jahat yang diduga bersarang di tubuh Salim terlaksana. Semua tetangga jadi penasaran, apakah ada perubahan yang terjadi pada Salim ketika sudah selesai dilakukan ritual yang dianggap pengusiran roh jahat itu?Apakah benar roh jahat di tubuh Salim sudah hilang apa masih ada? Demikianlah pikiran-pikiran yang bersarang di otak beberapa tetangga yang masih percaya akan hal gaib seperti itu. Alhasil, ternyata sifat dan kelakukan Salim sama sekali tidak berubah setelah dilakukannya ritual tersebut. Salim masih saja sering marah-marah dan mengamuk. Kenakalannya tidak ada yang berubah. Mulai hari itu tidak ada lagi yang mempercayai kalau dalam tubuh Salim bersarang roh jahat maupun jajaran setan lainnya. Salim nakal tidak ada hubungannya dengan pikiran primitif orang-orang yang mengatakan bahwa Salim kerasukan roh jahat.
Zaman yang serba canggih. Dengan ilmu pengetahuan dan teknologi yang serba maju, namun masih ada saja yang mempercayai hal-mistik seperti itu.
**********************************************
Beberapa minggu setelah malam ritual, Salim jadi jarang keluar kamar. Dia hanya mengurung dirinya dalam kamar. Masih banyak orang yang mengatakan kalau kenakalan Salim selalu berlebihan. Suka marah-marah, merusak barang, membanting barang jika marah, membentak, pulang malam hanya untuk kepentingan bermain, serta keingintahuan yang besar untuk mengotak atik barang terutama barang elektronik.
Takkk… takkk… tukkk… brukkk… hampir setiap malam kudengar suara itu yang berasal dari dalam kamar Salim. Aku benar-benar penasaran dengan apa yang terjadi. Aku hanya mengkhawatirkan keadaannya. Ya, walaupun kakakku yang satu ini sangat amat menyebalkan karena setiap hari ½ uang jajanku selalu dipalaknya. Uang jajan yang kudapatkan dari Mama Rp 400,00 Jadi, tiap hari yang ada di saku sekolahku hanya Rp 200,00. Sisanya raip sudah berpindah ke saku Salim. Rp 200,00? Cukup beli apa ini kalau dizaman sekarang? Bentuknya pun mungkin sudah jarang ditemui. Tapi jangan salah, 200 ini masih banyak manfaatnya saat aku SD. Aku bisa membeli coki-coki, es, dan tuli-tuli maupun ubi goreng.
Sikap Salim yang semena-mena padaku tidak pernah kuadukan pada Mama. Semuanya hanya bisa kupendam sendiri. Tahu sendiri kalau Salim sudah marah. Barang-barang yang tidak bisa terbang, jadi bisa melayang olehnya. Barang-barang yang masih bagus tertata jadi berantakan karenanya. Barang-barang yang masih berfungsi dengan baik, bisa rusak sekejap jika disentuhnya. Kadang kupikir, kayaknya dia anak pungut dari mamaku. Dia jauh berbeda dengan kami. Apa mungkin dulunya dia tertukar di RS, ya? Husss… pikiranku mulai mengada-ngada.
Brukkk… Brukkk… Suara itu lagi-lagi mengagetkanku. Hampir tiap malam aku mendengar suara seperti itu, seperti barang-barang yang berjatuhan di dalam kamarnya. Aku semakin penasaran, sebenarnya apa yang dia lakukan setiap malam di kamarnya. Besok kuniatkan untuk tahu apa yang sedang dia lakukan.
“Kukuruyuuu…”
Bunyi ayam berkokok Subuh itu. Seperti biasa, Mama membangunkan kami untuk sholat Subuh. Dan lagi-lagi Salim yang sangat sulit untuk dibangunkan. Dia kan seperti kelelawar yang disaat orang-orang tidur dia masih beraktifitas dan disaat orang bangun dia masih terlelap.
“Nak, bangun, Nak. Sholat dulu,” Mama mengetuk pintu kamar Salim.
“Iya, Ma… Nanti dulu,” suaranya terdengar seperti orang mabuk.
1 jam kemudian Mama kembali membangunkan Salim.
“Nak, bangun… ke sekolah. Kamu ga sekolah, ya, hari ini? 20 menit lagi jam 07.00,” seperti biasa Mama mengetuk pintu kamar Salim dengan sangat perlahan. Mama memang manusia tersabar dan terlembut yang pernah kutemui.
“Krekkk… Suara pintu Salim berbunyi. Ia membuka pintunya.
“Mama kenapa baru bangunkan saya jam segini?” Salim membuka pintunya dengan mendobrak lebar. Ia panik karena sudah telat ke sekolah. Aku pun mulai beraksi. Niatku pagi ini adalah disaat Salim keluar dari kamar, aku berniat melihat isi dalam kamarnya. Apa yang dia lakukan beberapa hari ini adalah pertanyaan besarku.
Surprice… Ada baskom berisi air. Baskom berisi air? Untuk apa ini? Airnya nampak keruh. Buku pelajaraannya pun berserahkan di lantai. Bukan cuman itu saja. Ada radio rusak milik keluarga kami di dalam kamarnya. Radio usang itu sudah lama tak terlihat. Kupikir telah lenyap, walaupun kini radio itu sudah tak berwujud layaknya radio. Radio yang telah berubah wujud menjadi puing-puing rongsokan. Kulihat di sekeliling radio itu ada tang serta obeng. Sepertinya Salim yang telah membedah radionya. Apa yang ingin ia lakukan dengan radio usang ini? Apa ia ingin menyaingi kepopuleran C.Marconi si penemu radio pertama? Radio ini tidak akan bisa berputar seperti sediakala. Radio ini sudah pernah dibawa Almarhum Bapak ke teknisi untuk di-service, tapi hasilnya nihil.
“Ada-ada saja tingkahmu, Bau e,” aku menggelengkan kepala.
“Ko lagi apa di depan kamarku?” suara Salim mengagetkanku dari belakang.
“Ti… tidak apa-apa. Tadi saya cari bukuku. Mungkin keserempet di tempatmu to,” aku mencari alasan sambil tersenyum gugup.
“Otakmu memang tidak pernah dipake. Mana bisa bukumu itu jalan sendiri ke kamarku. Sanaaa… sanaa!”Salim menyingkirkan aku dari depan kamarnya.
Aku pun pergi meninggalkannya sambil menggerutu tak jelas.
Mantaap
Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life