Read More >>"> THE LIGHT OF TEARS (BAB 6 : Hujan Membawa Arti Ketulusan) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - THE LIGHT OF TEARS
MENU
About Us  

BAB 6

Hujan Membawa Arti Ketulusan

 

Usiaku tepat memasuki angka 6 tahun. Angka 6 itu bisa kugambarkan seperti seorang ibu yang sedang mengayun bayi di lengannya sambil setengah menunduk. Menemui usia 6  tahun harusnya aku sudah dapat menginjakkan kaki di bangku SD. Namun, karena keluarga sedang berduka, Mama sampai lupa mendaftarkan namaku ke SD Negeri tempat ke-3 kakakku bersekolah. Syukur saja tanteku, adik dari Bapak membantu proses pendaftaran namaku. Akhirnya, bisa bersekolah seperti anak lainnya, menjadi kebahagiaan tersendiri untukku. Menginjakkan kaki di bangku sekolah adalah impianku sejak dulu. Walau tidak sehebat dan sepintar kakakku yang sebelum masuk sekolah sudah bisa membaca, menghitung dan, menulis, aku tidak merasa minder.

Aku memang telat membaca dan menulis karena sebelumnya tidak pernah diajari oleh Bapak. Berbeda dengan ketiga kakakku. Mereka sudah bisa membaca, menghitung, dan menulis sebelum masuk sekolah karena sempat mendapat didikan dari Bapak sebelum Almarhum menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tidak bisa seperti kakakku yang mendapat banyak bekal ilmu sebelum masuk sekolah karena Bapak sudah sakit parah dan sering dirawat di RS. Tidak sempat mencicipi ilmu yang diberikannya, belum sempat merasakan les private yang diajarkan Bapak seperti ketiga kakakku. Ternyata saat aku diantarkan pertama kali ke TK bersama Bapak, itu adalah saat pertama dan terakhir Bapak membawaku untuk belajar menggapai cita-citaku kelak. Aku berharap bisa didaftarkan SD oleh Bapak dan ternyata itu tidak mungkin lagi terjadi, karena Bapak meninggalkanku sebelum aku bisa duduk di bangku SD. Walau singkat pertemuan kami, namun ia akan selalu hidup dalam hatiku.

Senin pagi di tahun 1995. Aku resmi menjadi bagian dari SD Negeri 1 Lamangga. Hari pertamaku masuk sekolah dan menjadi siswi. Dengan bangganya memikul titel sebagai seorang murid di salah satu SD Negeri di Baubau. Hari yang selalu aku rindukan dan aku nantikan sebagai seorang anak yang memiliki angan untuk menimbah ilmu di sekolah. Hari-hari kujalani penuh kobaran semangat layaknya sang pahlawan yang rela berkorban untuk bangsa dan negaranya demi mempertahankan kemerdekaan. Semangat 45 yang aku tanamkan dalam jiwaku untuk mencari ilmu di tempat anak-anak seusiaku berkumpul dalam satu kelas dengan tujuan yang sama.

Pagi itu aku diantar Mama ke sekolah.Pertama kali kuinjakkan kakiku di bangunan sekolah yang lumayan cukup tua di kawasan Betoambari, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Sekolah yang memiliki 6 ruang kelas, 1 ruang guru, 1 gudang, dan 2 toilet yang baunya menyengat sekali, lebih dari sekedar bau amis. Sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku itu memakan waktu beberapa menit dengan berjalan kaki. Kupandangi tiap sisi bangunan yang tidak memiliki pohon sama sekali di sekitar sekolah itu. Keadaan yang cukup gersang membuat bangunan itu sangat panas ketika matahari mulai memancarkan cahaya teriknya. Tidak bisa berlindung di rindangan pepohonan. Tidak bisa merasakan dinginnya angin sepoi-sepoi yang meniupkan ke sekujur tubuh. Tapi walau keadaan seperti itu, tidak menurunkan semangatku untuk tetap berjuang bersaing dengan anak-anak yang lain dalam meraih ilmu. “Penghargaan terbaik bagi manusia adalah ilmu yang bermanfaat,” kata Almarhum bapakku demikian.

Hari pertama di sekolah kujalani dengan sangat baik dan penuh keceriaan. Banyak bertemu teman-teman baru yang kala itu belum kukenali namanya satu per satu. Hari keduapun demikian. Berjalan dengan sangat baik. Namun, sangat berbeda dengan hari ketiga. Hari itu kami disambut hujan deras. Pagi sudah menyambut, namun sinar mentari belum kunjung menampakkan dirinya. Pagi itu hanya ada gemuruh guntur, angin kencang, serta awan yang menghitam. Hujan tak kunjung reda. Menunggu sampai pukul 06.50, namun hujan masih tetap sangat nyaman membasahi bumi. Aku tidak ingin hujan menjadi penghalangku untuk tidak bersekolah hari itu. Aku dan ketiga kakakku sudah siap berseragam lengkap untuk ke sekolah. Bingung harus bagaimana. Kebetulan di rumah kami hanya ada rongsokan payung rusak yang kini sudah berubah fungsi menjadi tongkat pengusir bebek kalau si bebek ingin masuk ke dalam rumah. Saat Bapak tak ada lagi, bebek Bapak sudah tak terurus, hingga akhirnya hilang satu persatu.

Tidak mungkin pergi ke sekolah dengan seragam basah kuyup. Pikir kami demikian. Namun, kami pun tak mau kalau harus bolos sekolah. Mama yang hari itu sudah siap dengan seragam berwarna coklat kebangsaan PNS yang biasa dipakainya, menjadi ikutan terjebak karena hujan. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.04. Kami mulai panik karena jam masuk kelas sudah lewat. Zura, Salim, dan Iman pun mulai tidak bersemangat karena hujan menghalangi perjalanan kami untuk bisa sampai ke sekolah. Melihat muka kami sudah patah semangat, Mama langsung masuk kamar, mengganti seragam kantornya dengan baju rumah biasa. Ia mengambil sebuah parang yang sedikit berkarat di dapur. Aku mengikuti Mama dari belakang.

“Mama tidak jadi mengajar?” tanyaku menghampiri Mama di dapur.

“Jadi, Nak,” jawab Mama yang di tangannya sudah menggenggam parang yang biasa dipakai Bapak saat memotong ranting pohon mangga yang sudah mulai lebat yang berada tepat di belakang rumah kami. Di belakang rumah kami memang ditumbuhi pohon mangga yang subur serta pohon pisang yang ditanam oleh Almarhum bapakku.

“Kenapa Mama sudah ganti baju? Parang itu untuk apakah, Ma?” aku keheranan melihat lagak mamaku seperti preman kampung.

“Ini buat potong daun pisang untuk kalian ke sekolah. Lumayan bisa untuk neduh dari hujan,” kata mama yang kemudian membuka pintu belakang dapur dan langsung menuju arah pohon pisang di belakang rumahku.

Kuperhatikan pengorbanan yang ditampilkan oleh Mama. Rasa bangga dan salutku makin besar padanya. Hujan yang begitu deras beserta angin yang menghadang tidak menggoyahkan Mama untuk tetap menebang batangan daun pisang itu. Menerobos derasnya hujan dengan butiran air yang jatuh dari langit tidak membuat Mama gentar. Kusaksikan dengan cermat Mama memotong tangkai demi tangkai dedaunan pisang dengan menengadahkan wajahnya ke atas karena pohon pisang itu lumayan cukup tinggi. Postur tubuh Mama yang hanya setinggi 150cm sangat jomplang dengan tinggi pohon pisang yang mengharuskannya lebih keras untuk dapat memotong tangkai dedaunan pisang yang ditanam tepat di halaman belakang rumahku. Basah kuyup dengan baju kaos serta celana selutut yang dikenakan Mama. Terus berusaha memotong batangan daun pisang yang menjulang tinggi itu. Dengan semangat yang berkobar, akhirnya 4 batang daun pisang itu bisa Mama dapatkan. Tinggal kurang satu lagi daun pisang yang harus Mama tebang. Namun, ternyata hanya 4 daun pisang yang layak pakai untuk berteduh. Selebihnya daunnya masih sangat kecil.

Mama tersenyum menoleh ke arahku dan berkata.

“Semoga ini bisa bermanfaat untuk kalian ke sekolah,” dengan baju basah kuyup dan tetesan air yang jatuh dari wajah Mama ke bajunya. Kutatap dalam-dalam wajah malaikat berwujud manusia itu. Tersirat harapan besar untuk kami anak-anaknya. Harapan yang diinginkan semua ibu untuk tetap melihat keceriaan di wajah anaknya. Harapan besar dari seorang ibu yang sedang berjuang sendiri menghidupi dan membesarkan anak-anaknya hingga mencapai titik kesuksesan. Mulai hari itu aku berniat dalam hatiku bahwa semua pengorbanan Mama ini tidak akan sia-sia. Suatu saat nanti aku akan membuat Mama tersenyum bangga melihat kesuksesan kami.

Dengan baju kuyupnya, Mama memberikan kami satu per satu daun pisang yang dipotongnya di belakang rumah.

“Ambillah ini, Nak. Anggap saja seperti payung,” dengan senyum ketulusan Mama memberikan daun pisangnya pada kami satu per satu.

“Saya tidak usah, Ma. Saya bisa pake daun pisang ini berdua sama wa Zura. Ini buat Mama saja,” Kuberikan daun itu ke tangan Mama, namun Mama tak ingin menerimanya.

“Mama tidak apa-apa. Yang terpenting bagi Mama adalah kalian. Kalau Mama yang sakit, Mama gak masalah. Tapi, kalau kalian yang sakit, Mama akan sangat berdosa. Kewajiban Mama adalah menjaga dan merawat kalian,” mendengar jawaban Mama seperti itu, aku tak tau lagi harus membalas seperti apa perjuangannya, ketulusannya, serta kebaikan dari seorang wanita luar biasa ini.

Kami yang tadinya sudah putus asa dan pasrah kalau hari ini tidak ke sekolah, akhirnya bisa dibangkitkan dengan daun pisang pemberian Mama. Dengan sergap kamipun siap-siap ke sekolah dengan berlindung pada helaan daun pisang.

“Ide Mama ini cemerlang sekali. Daun pisang bisa jadi payung ajaib,” kata kakakku, Salim. Kami pun tertawa mencairkan suasana dan  berpamit mencium tangan Mama.

Di tengah derasnya hujan kami berjalan beriringan dengan memegang daun pisang yang berada tepat di atas kepala kami masing-masing. Berjalan menuju sekolah di tengah derasnya hujan dan angin yang bertiup kencang tidak memudarkan keinginan kami untuk ke sekolah. Terus melangkahkan kaki dengan mengikuti arah jalan. Berjalan beriringan dengan sangat rapi seperti para Paskibraka yang membawa bendera sang saka merah putih dengan sangat mengagumkan.

Hujan yang tak kunjung reda. Angin yang makin bertiup kencang seakan-akan tiap butiran airnya menampar wajah kecil kami, membuat kami berhati-hati sepanjang jalan menuju sekolah. Melambatkan tiap langkah kaki agar daun pisangnya tidak tertiup angin. Biasanya hanya ±5-10 menit dengan berjalan kaki kami bisa tempuh untuk ke sekolah. Namun, karena hujan 15 menit perjalanan kami butuhkan untuk bisa sampai ke sekolah walau dengan sedikit basah pada seragam sekolah kami.

Pengalaman yang tidak akan pernah bisa tergantikan dengan apapun juga. Pengorbanan ke sekolah di tengah derasnya hujan tidak meruntuhkan semangat kami untuk berjuang melewati badai. Setibanya di sekolah, aku dan ketiga kakakku berpencar. Kami memasuki kelas masing-masing. Aku masuk di ruangan kelas 1, Salim masuk di ruangan kelas 3, Zura masuk di ruangan kelas 4, dan Iman masuk di ruangan kelas 5. Saat masuk kelas aku kaget melihat kelas yang hanya dihuni oleh 4 orang siswa dan 1 guru. Harusnya jumlah murid kelas 1 ada 30 orang. Namun, hari itu hanya 5 orang siswa termasuk aku yang datang memenuhi kewajiban dan menuntut hakku untuk mendapat ilmu dari sekolah. Walaupun hanya 5 orang yang hadir, namun Ibu Guru tetap semangat membagikan ilmunya kepada kami.

Di rumah, Mama yang basah kuyup bergegas mengenakan kembali seragam kantor berwarna coklat yang dikenakannya tadi untuk pergi mengajar. Dengan bermodalkan tenaga untuk lari sampai depan jalan raya, Mama berhasil menaiki angkot untuk sampai ke sekolah. Mama tetap bersemangat. Tidak menggunakan payung maupun daun pisang, Mama tetap pergi memenuhi kewajibannya untuk mengajar. Hujan sederas apapun tidak akan membuat Mama mundur kebelakang. Bagi mama, kewajiban tetap harus dijalankan apapun penghalangnya, karena ia percaya bahwa kewajiban itu pertanggung jawabannya sama Tuhan. Sosok ibu yang seperti inilah yang selalu membuat kami selalu bangga memanggilnya “Mama”.

Saat tiba di sekolah tempat ia mengajar, Mama disapa oleh temannya yang sama-sama berprofesi sebagai seorang guru. Namanya Sina. Kami biasa memanggilnya Ibu Sina. Kami juga sering bertemu dengannya karena Ibu Sina sering berkunjung ke rumah kami setelah Bapak meninggal. Ibu Sina sangat baik pada kami. Kami sering dibawakan buku bacaan maupun mainan. Ibu Sina adalah guru Sejarah di SMK Negeri 1 Baubau, namun beda usia Mama dan Bu Sina cukup jauh. Diusia 33 tahun Mama sudah menyandang status single parent dan Ibu Sina baru berusia 26 tahun. Dia masih single dan belum punya pacar. Bu Sina adalah wanita yang sangat lembut. Dia keturunan Jawa campur Buton. Wajahnya sudah pasti cantik dan body bagai gitar Spanyol. Siapapun yang mendapatkannya pasti sangat beruntung.

“Mba Sari, kok basah-basahan? Ntar sakit, loh,” kata Bu Sina pada Mama.

“Gak apa-apa, Sin. Kalau masih hujan air, masih aman. Kalau hujan batu, tuh, baru deh sakit,” jawab Mama sembari bergurau. Bu Sina pun menawarkan diri untuk membuatkan secangkir teh hangat manis untuk Mama. Walaupun Mama sudah menolak karena tak ingin merepotkannya, Bu Sina tetap membuatkannya.

Tidak sampai 3 menit, sampailah teh manis hangat buatan Bu Sina untuk Mama.

“Ini diminum dulu. Lagian Mba kan masuk dijam ke-2, kan? Masih setengah jam lagi untuk mengajar,” Bu Sina menyodorkan teh buatannya untuk Mama. Mama pun menerimanya dengan ucapan terima kasih. Sekitar 20 detik Mama memandangi cangkir berisi teh itu.

“Heiii, Mba… Kok, malah ngelamun? Mikirin apa, sih?” suara Bu Sina mengagetkan Mama dari lamunannya.

“Mikirin Almarhum bapaknya anak-anak. Tidak terasa sudah 2 bulan kepergiannya. Dulu bapaknya anak-anak sangat suka dengan teh yang saya buat. Tapi, kalau teh buatan orang lain malah dia gak mau. Padahal, harusnya sama aja, ya, rasanya? Dia laki-laki teraneh namun saya cinta tanpa syarat padanya,” Mama mulai terbawa suasana lamunannya. Ia memang sangat susah move on dari suami yang takkan pernah digantikan posisinya oleh siapapun juga.

“Mungkin rasa sama, tapi kenikmatan buatan teh yang suami Mba rasakan kan beda,” kata Bu Sina.

“Sepertinya begitu. Ehh, kamu kapan nikahnya? Sudah ada pasangannya belum? Lama kamu gak cerita. Terakhir kan sama mantan SMA kamu yang mulai dekatin lagi, kan, ya? Terus gimana kelanjutannya,” kata Mama penasaran dengan calon Bu Sina. Bu Sina memang wanita yang cantik. Jadi, wajar saja kalau banyak laki-laki yang menyukainya tak terkecuali mantan SMA-nya yang ingin kembali merajut kasih dengannya. Namun, wanita bermata indah itu tak ingin lagi kembali pada mantannya.

Bu Sina dan Mama memang berteman dengan baik. Ia sudah menganggap mamaku sebagai kakaknya begitupun sebaliknya. Mama menganggap Bu Sina sudah seperti adiknya sendiri. Tiap minggu sekali Bu Sina datang mengunjungi kami di rumah. Jadi, kamipun sudah akrab dengannya, sahabat baik mamaku.

“Tung…Tung…” pentungan bel pergantian jam ke-2 sudah berbunyi.

Mamapun bergegas sambil membawa tasnya dan menuju ke kelas 2 untuk menunaikan tugasnya.

Mama adalah salah satu guru Sastra Bahasa Indonesia yang sangat disenangi oleh murid-muridnya. Mama sangat sabar dalam mendidik. Begitu juga yang diterapkan pada anak-anaknya di rumah. Hari itu Mama mengajar tentang materi “Deklamasi Puisi”. Tujuan pembelajarannya tak lain agar murid dapat mendeklamasikan puisi dengan menggunakan volume suara dan irama yang sesuai. Mama memang jagonya dalam membuat puisi indah dengan irama yang begitu menjiwai. Menafsirkan puisi harus tepat. Apakah berunsur kepahlawanan, keberanian, kesedihan, kemarahan, kesenangan, atau yang lainnya. Kalau puisi yang kita pilih itu mengandung kepahlawanan, maka kitapun harus mendeklamasikan puisi tersebut dengan perasaan yang menunjukkan seorang pahlawan, seorang yang gagah berani. Sebaliknya, kalau puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang sedih, bahkan harus bisa membuat orang lain terbawa dalam suasana puisi yang kita bacakan. Begitu pula sebaliknya. Ketika dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, maka harus bisa membawa orang lain yang mendengarnya juga harus bahagia. Karena itu, harus berhati-hati, teliti, tenang, dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi. Begitulah penjelasan Mama kepada semua murid-muridnya yang hadir pada saat itu. Anak-anak murid kelas 2 SMK Baubau itu diajak untuk mendeklamasikan puisi pahlawan.

“Pahlawan Tak Dikenal” karya Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring

Tetapi bukan tidur, sayang

Sebuah lubang peluru bundar di dadanya

Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

 

Dia tidak ingat bilamana dia datang

Kedua lengannya memeluk senapang

Dia tidak tahu untuk siapa dia datang

Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang


Wajah sunyi setengah tengadah

Menangkap sepi padang senja

Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu

Dia masih sangat muda


Hari itu 10 November, hujan pun mulai turun

Orang-orang ingin kembali memandangnya

Sambil merangkai karangan bunga

Tapi yang nampak, wajah-wajahnya sendiri yang tak dikenalnya

 

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring

Tetapi bukan tidur, sayang

Sebuah peluru bundar di dadanya

Senyum bekunya mau berkata: aku sangat muda.

 

Mama dengan lantang dan penuh penghayatan mencontohkan deklamasi puisi dari karangan sang sastrawan Toto Sudarto Bachtiar. Mama bagai narator yang sedang berpidato di depan muridnya, disambut tepukan tangan yang sangat gemuruh dari para murid.

Tidak berasa jam istirahat telah berbunyi. Menandakan Mama harus segera keluar dari ruang kelas 2.

“Habis ngajar di kelas 1, yah, Sin?” tanya Mama yang sedang melihat Bu Sina menata buku tugas yang bertumpuk di tangannya saat ingin memasuki ruang guru. 

“Ehh… Mbak. Iya, nih…” Bu Sina menoleh ke arah Mama sembari tetap fokus dengan pegangannya karena takut terjatuh.

Saat mereka masuk ruangan, semua guru sedang meeting karena kepala sekolah saat itu sedang memperkenalkan tenaga pengajar yang baru menyelesaikan pendidikannya di luar negeri. Ia sebelumnya mengajar di Makasar, namun sekarang dipindahtugaskan ke SMKN 1 Baubau.

“Silahkan langsung duduk, Bu Sina dan Bu Sari,” kata Pak Bowo, Kepala Sekolah SMKN 1 Baubau. Semua guru pun menoleh kearah mereka saat pak Bowo mempersilakannya untuk duduk, tak terkecuali staf pengajar yang baru saja dipindahtugaskan itu. Namanya pak Arman. Ia pun baru saja masuk ke ruangan untuk mengikuti meeting. Dia adalah guru Ekonomi Akuntansi yang telah berkesempatan mendapat beasiswa untuk melanjutkan di National University of Singapore (NUS). Selama 2 tahun ia tempuh untuk menyelesaikan pendidikannya. Ia berusia 30 tahun, memiliki postur bak atletis di TV-TV. Tingginya tak jauh berbeda dengan bapakku. Wajahnya sangat charming untuk dipandang, namun sayangnya diusianya yang sudah matang  ia belum menikah.

“Terimakasih, Pak Bowo,” sahut  Bu sina dan Mama. Mereka bergegas menduduki bangkunya masing-masing.

“Baiklah, sepertinya semua staf pengajar sudah lengkap. Pada kesempatan ini, saya sangat berterima kasih atas waktunya disela-sela jam istirahat, kita masih bisa berkumpul untuk menghadiri rapat dadakan ini dalam rangka memperkenalkan staf pengajar baru yang akan mulai bergabung hari ini. Di samping saya sudah ada Pak Arman. Dia akan mengajar Ilmu Ekonomi & Akuntansi untuk kelas 2 ditahun ini. Beliau baru pulang dari Singapura untuk belajar dan kini siap mengabdikan ilmu yang didapatkannya di sekolah kita. Sungguh, penghargaan yang sangat luar biasa untuk sekolah ini. Terima kasih untuk Pak Arman. Semoga kita semua bisa menjadi team yang solid untuk mengembangkan dan mendidik seluruh siswa siswi di sini hingga menjadi manusia yang cerdas serta berbudi pekerti. Mungkin cukup sekian dari saya. Mohon maaf karena waktu istirahatnya terpotong untuk rapat dadakan ini. Jika ada pertanyaan atau ingin mengenal lebih jauh tentang beliau, bisa diluar forum ini. Terimakasih,” Pak Bowo pun menutup rapatnya dan langsung kembali ke ruangannya.

***

Hujan masih betah bermanja ria. Aku dan ketiga kakakku di sekolah masih tetap mengikuti pelajaran di kelas kami masing-masing. Waktu terus berjalan hingga tak terasa jam pulang sudah tiba. Rintihan hujan tak kunjung reda. Kadang berhenti sejenak, terus mulai hujan lagi dan mulai lebat lagi. Hujan lebat yang sangat mengasyikkan ini membuat kami pun ingin bermain dengan kemanjaan air yang jatuh di badan mungil kami. Sepanjang jalan pulang ke rumah kami sudah membebaskan diri kami dari daun pisang. Kami hanya ingin bermain dengan hujan saat itu. Baju seragam sekolah kami basah kuyup. Setibanya di rumah, kami bergegas mengganti baju seragam sekolah kami yang basah dan menjemurnya. Kami pun siap beraksi dengan menggunakan baju main.

Mandi hujan sambil bermain merupakan hobi kami. Kami memang bersahabat dengan permainan yang berhubungan dengan air, mengunjungi tiap pancuran rumah tetangga dan bersenang-senang. Seakan-akan mandi menggunakan shower ala-ala orang kaya. Menantikan pelangi yang mucul ketika hujan mulai reda adalah salah satu yang kami tunggu-tunggu ketika selesai bermain hujan.

Dingin ditemani dengan butiran air yang jatuh dari langit membuat kami semakin lincah untuk menggunakan setiap detik waktu yang ada di tengah derasnya hujan. Air hujan yang jatuh membasahi sekujur tubuhku, membasahi baju yang sedang menempel di badanku, membasahi rambut pendekku yang kukucir menjulang keatas. Terus bermain di tengah derasnya hujan bersama teman-temanku serta ke-3 kakakku. Memperebutkan setiap melihat pancoran air, sesuatu yang sangat mengasikkan sekali. Saat-saat yang tidak akan pernah kami lupakan. Mandi hujan bersama anak-anak komplek Betoambari lorong taxi. Disebut sebagai lorong taxi karena saat itu taxi baru masuk ke Kota Baubau dan kantornya bermukim tepat di seberang rumahku yang berlorong. Maka, jadilah namanya Jln.Betoambari Lorong Taxi.

Dengan menggunakan sepeda ontel, Salim mengelilingi jalan raya di daerah rumah kami. Sepeda itu milik sepupu kami, anak dari adik bapak. Kebetulan ia menitipkan sepedanya saat bermain ke rumah beberapa hari yang lalu. Mengayuh roda dan menikmati keceriaannya bersepeda di tengah hujan yang cukup deras. Menikmati suasana hujan siang itu memang membuat dunia semakin indah. Menikmati air hujan yang turun karena karunia Allah membuat Salim semakin kegirangan menaiki sepeda yang sedang dibawanya itu. Tanpa diduga tiba-tiba ada motor yang datang dari arah depan dengan kecepatan yang sangat kencang. Salim yang asyik bermain di tengah hujan lebat bersama sepeda ontelnya itu langsung ditabrak dari depan oleh si pengendara motor yang diduga ngantuk saat berkendara. Terjatuh dari sepeda. Badan Salim terdampar beberapa meter dari sepedanya. Kecelakaan seperti di arena balap. Menjadi aksi kerumunan warga yang menyaksikan kejadian itu. Sempat beberapa detik tidak sadar akan kejadian yang barusan menimpanya. Mengembalikan kembali memori yang telah terjadi, Salim baru bangkit setelah hampir 1 menit berbaring jatuh yang mengharuskan badannya meniduri jalan raya beraspal itu. Beberapa menit setelah dikerumunin orang, Salim bangun dengan sendirinya. Laki-laki berseragam jas hitam yang menabrak Salim langsung dibawa ke RS oleh warga karena keadaannya parah dan tidak sadarkan diri. Malang sekali nasib laki-laki berkulit sawo matang yang menabrak Salim tersebut.

Merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Darah mengalir di siku dan di lututnya karena terbentur jalan membuat Salim hanya bisa diam dan langsung pergi meninggalkan lokasi kejadian itu dengan sepeda yang sudah sedikit agak peot di bagian depannya. Mengayuh sepeda sampai rumah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi kejadian kecelakaan yang menimpanya. TKP masih daerah komplek rumahku.

Dengan baju robek dan kotor, lutut dan siku yang penuh darah, serta lecet pada bagian tangan dan kaki karena keseret aspal jalan raya membuat perih saat terkena air hujan. Namun walaupun demikian, Salim masih tetap kuat menggayung sepeda sampai rumah. Salim memang anak yang kuat dari kami berempat. Dia jarang sekali menangis. Pertama kali kulihat tetesan air matanya mengalir pada saat bapak meninggal. Sejak kecil dia terlalu banyak makan minum asin pahitnya kehidupan. Sejak kecil pengalaman hidupnya lebih dari pengalaman kehidupan kami.

Aku, Zura, Iman, dan teman-teman tetangga komplek yang masih seru bermain dikejutkan dengan kedatangan Salim yang tiba-tiba tampak dari arah depan. Keadaan yang membuat kami speechless (tak bisa berkata-kata). Mata kami menyaksikan Salim dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Dengan muka lusuh yang berusaha menahan rasa sakit, Salim tetap mengayuh sepeda itu hingga tepat di depan rumah. Melihat Salim dengan kondisi baju robek dan badan seakan-akan bercat merah pada kaki dan tangannya membuat kami menghentikan permainan. Hujan yang tak kunjung reda, membuat darah pada luka Salim tersapu sedikit demi sedikit oleh tetesan hujan. Kami menghampiri Salim yang sedang mengstandarkan sepeda tepat di depan rumah.

“Kau kenapa, Bau?” sapa Iman dengan panik melihat keadaan adiknya.

“Iya, ko kenapa, Bau?” Zura menyerempet pertanyaan Iman yang tidak bisa menyembunyikan rasa paniknya juga. Aku yang hanya diam melihat kakakku itu jadi sangat takut. Aku memang fobia melihat darah yang keluar melimpah ruah. Sekujur tubuhku gemetar melihat darah dan muka Salim yang tidak berdaya.

Belum sempat menjawab pertanyaan Imam dan Zura, tubuh lemah Salim tiba-tiba ambruk. Salim jatuh pingsan.  Kami tambah panik dan bergegas membawa Salim ke dalam rumah. Aku tegang dan takut kalau terjadi apa-apa pada kakakku saat itu.

“Bau… Kau kenapa??..,” Zura menggerak gerakkan badan salim saat sudah di baringkan di atas kasur. Salim di gotong kedalam kamar oleh imam di bantu teman-temannya.

“Bau.. Bangun Bau… “ Aku menangis histeris sembari menggerak-gerakan tangannya yang sudah penuh luka baret dan darah. Aku begitu trauma dengan kepergian bapak. Aku takut sekali, saat ku bangunkan dia, namun ia tak akan pernah bangun lagi. Aku tak ingin kehilangan untuk ke dua kalinya dalam keluargaku. Kupukul-pukul tangannya agar ia bangun. Namun tak ada reaksi yang ia berikan.

“Bau….. cepat bangun Bau”.. aku teriak sekencang-kencangnya. Aku menangis menjerit. Zura dan Iman ikutan menangis. Teman-teman yang melihat diam tanpa kata. 

Imam keluar dengan gerakan kaki yang begitu cepat untuk menghampiri telepon rumah. Ia bermaksud menelepon Mama untuk mengabarkan kondisi Salim.

“Bu Sari, ada telepon dari anaknya, Iman,” kata Bu Rika ke Mama. Bu Rika adalah teman Mama yang mengajar Matematika kelas 2. Hari itu Mama sedang merapikan buku-buku tugas siswa di laci kerjanya sambil ngobrol dengan Bu Sina dan saat obrolan tersebut berlangsung, Pak Arman tiba-tiba menghampiri untuk sekedar menyapa.

“Oh, iya, Bu Rika. Makasih, ya. Permisi, saya angkat telepon dulu,” Mama meninggalkan percakapan dengan Bu Sina dan Pak Arman serta bangun dari tempat duduknya dan berjalan menghampiri tempat telepon yang berada di pojok kiri dinding ruang guru.

“Assalamualaikum, Nak. Ada apa?” kata Mama kepada Iman.

“Waalaikumsalam, Ma. Mama kapan pulang? Masih lama tidak?” Iman masih khawatir kalau Mama akan kaget mendengar berita tentang Salim.

“Bentar lagi pulang, Nak. Ada apa?” tanya Mama.

“Ma, La Bau.. Ma…..” Iman menahan tangisnya agar Mama tak begitu khawatir.

“Iya, La Bau kenapa?? “ Mama sudah mulai tak tenang. Ia begitu sangat peka terhadap anak-anaknya. Tanpa anaknya menjelaskannya pun.. ia sudah tau, bahwa pasti ada sesuatu yang telah terjadi.

“La Bau tabrakan Ma.. ,” Iman tak kuasa menahan tangis. Ia pun tak bisa menyembunyikan rasa panik dan sedihnya.

“Apaaa?Tabrakan?” Mama kaget sambil menekan omongannya dengan volume yang sedikit dinaikkan sehingga hampir semua orang yang ada di dalam ruangan itu menoleh ke arah Mama.

“Ya sudah, Mama pulang sekarang. Tunggu Mama,” Mama pun menutup teleponnya dan siap-siap untuk pulang. Mama buru-buru merapikan buku-buku yang tergeletak di meja kerjanya. Mama seakan hilang kendali. Ia sangat tergesa-gesa.

“Siapa yang tabrakan, Mba?” Bu Sina ikutan panik.

“Salim.. Sin,” Mama pun mengambil tasnya setelah merapikan seluruh buku dimejanya.

“Mau saya antar pulang, Bu?” Pak Arman menawarkan bantuan untuk mengantar mama agar bisa cepat sampai kerumah. Namun, Mama menolaknya.

“Makasih, Pak. Saya naik angkot saja. Pulang duluan, ya, Sin! Pak Arman!” Mama pun langsung meninggalkan mereka dengan tergesa-gesa.

Di rumah, kami masih tak bisa tenang. Kami bingung harus melakukan apa. Salim masih tak sadarkan diri. Sudah hampir 5 menit ia tak memberikan respon positif. Aku masih menangis terisak-isak. Aku sungguh tak ingin mengalami kehilangan untuk kesekian kalinya lagi.

“Bangun Bau………………. “ aku teriak sekencang-kencangnya. Badanku lemas melihat darah di tangan dan kakinya. Iman pun sudah kembali berkumpul bersama kami.

“Jangan teriak-teriak eee.. berisik sekali kasian” Salim berucap sembari membuka matanya dan tersenyum simpul. Betapa bahagianya kami mendengar ucapan nya. Untuk kesekian kalinya ia membuat kami begitu kebingungan. Iman dan Zura spontan memeluk Salim. Aku masih tetap menangis, namun kali ini menangis haru karena Salim sudah sadar.

Kondisi cuaca hari itu masih meninggalkan gerimis. Seperti biasa, angkot maupun ojek yang lalu lalang disaat hujan memang sepi. Entahlah apa penyebabnya. Mama menunggu hingga 7 menit, namun tak kunjung ada angkutan yang menghampirinya. Hari itu seperti jalanan kota mati. Rasa khawatir Mama sudah tidak terbendung lagi. Mama berlari dari sekolah sampai ke rumah. Jarak sekolah Mama dengan rumah kami, hampir 3 kali lipat dari sekolah kami kerumah. Jadi, bisa dibayangkan bagaimana perjuangan Mama hari itu. Kehawatiran yang dibuat Salim sering membuat Mama hampir pingsan. ± 30 menit setelah Iman menelpon Mama, Mama tiba di rumah.

“Assalamualalaikum,” salam Mama dari pintu ruang tamu. Mama masuk rumah dengan tergesa-gesa dan menghampiri kami. Mama terlihat ngos-ngosan. Baju Mama basah terkena gerimis yang masih begitu awet. Muka yang sangat panik terlihat dari wajah mamaku.

“Astagfirullah, Nak. Kamu kenapa lagi?” sambil menghampiri Salim yang masih bersandar duduk di atas tempat tidur. Air mata Mama menetes ke pipi, tidak kuasa melihat keadaan anaknya waktu itu.

“Tidak kenapa-kenapa, Ma. Cuman luka sedikit saja,” jawab Salim yang masih lemas dan tak berdaya.

“Apa yang sakit, Nak? Kasih tau Mama. Apa kita ke RS saja?” Mama meraba baju Salim yang kotor terkena aspal dan celana sedikit robek. Mama tak kuasa menahan tangisnya. Salim menolak untuk dibawa ke RS. Bukan karena ia takut untuk disuntik, namun ia trauma melihat RS setelah Bapak tiada. Mama yang tidak bisa memaksa Salim, dan memutuskan untuk memanggil mantri tetangga kami. Tidak ada luka yang begitu serius. Ia hanya butuh perawatan dan obat agar menghilangkan nyerinya.

Lagi-lagi karena ulah kami, Mama harus meneteskan air mata. Entah terbuat dari apa hati mamaku. Dia begitu sabar dalam menghadapi segala tantangan hidup yang menghampirinya. Almarhum Bapak benar-benar beruntung memperistri wanita yang hatinya begitu mulia seperti Mama.

***

 

Pak Arman dan Bu Sina masih ngobrol di dalam ruang guru. Mereka cukup akrab saat berinteraksi. Bu Sina memang wanita yang ramah, jadi dengan mudah akrab dengan orang lain. Satu persatu guru di sekolah bergegas untuk pulang. Tinggal beberapa guru yang masih bertahan. Di antaranya Pak Arman dan Bu Sina yang menunggu agar gerimisnya segera berakhir.

“Hujannya awet sekali, ya, Pak?” sapa Bu Sina ke Pak Arman sambil melihat kearah kaca.

“Iya, nih. Dari tadi pagi, ya,?” balas Pak Arman sambil ikut-ikutan menolehkan pandangannya ke arah kaca sembari melihat gerimis yang tak berkesudahan.

 “Oh, ya. Bu Sina dan Bu Sari sudah lama mengajar di sekolah ini, ya?” tanya Pak Arman.

“Saya sih baru 2 tahun di sini, Pak. Kalau Mba Sari senior di sekolah ini. Sudah hampir 10 tahun sepertinya beliau mengabdi di sekolah ini. Pak Arman ngajar ekonomi, kan, ya?” Bu Sina pun bertanya balik.

“Iya, benar. Ekonomi Akuntansi. Dulu sebelum saya dikirim untuk melanjutkan pendidikan di luar. Saya sempat mengajar di salah satu SMA Negeri di Makassar, Bu,” Pak Arman menjelaskan tempat ia mengajar dulunya.

“Ohh, berarti sama dengan almarhum suami Mba Sari, ya. Dulu suami Mba Sari juga mengajar Ekonomi Akuntasi di SMAN 2 Baubau,” kata Bu Sina.

“Almarhum? Maksudnya suami Bu Sari sudah meninggal?” Pak Arman sempat kaget

 “Iya,benar, Pak Arman. Suami Mba Sari baru meninggal beberapa bulan silam. Mba Sari termasuk wanita yang saya idolakan. Saya sangat senang berteman dengannya. Banyak hal yang buat saya bangga pada beliau. Dia wanita yang sangat baik, wanita yang sangat setia, wanita yang sangat menyayangi keluarganya, wanita sholehah, wanita yang sangat sabar, wanita yang tidak mau terlihat sedih di depan orang lain. Dia wanita yang luar biasa. Saya ingin menjadi wanita seperti beliau kelak,” Bu Sina menjelaskan kekagumannya terhadap sosok mamaku.

“Iya, dia memang tidak berubah,” kata Pak Arman sambil melamun.

 “Apa, Pak?” tanya Bu Sina yang kebingungan dengan jawaban Pak Arman.

“ Ohh, gak apa-apa, Bu Sina,” jawab Pak Arman gugup, namun tetap bersikap seperti tidak berkata apa-apa. “Bu Sari sudah punya anak, ya? Tadi yang telepon anaknya, kan?” tanya pak Arman penasaran.

 “Iya, Pak. Anak Mba Sari sudah 4. Maka dari itu, kadang saya suka kasihan. Dengan statusnya yang kini single parent, namun harus merawat dan membesarkan 4 orang anak sendirian, namun alhamdulillah anak-anak Mba Sari semua bisa diatur, kecuali Salim yang memang sedikit keras. Anak ke-3 dari Mba Sari ini dulu sangat dekat dengan bapaknya. Mungkin sekarang dia belum begitu paham apa itu takdir. Jadi, masih kecewa kalau bapaknya sudah tidak ada.” Bu Sina menjelaskan tentang keluarga kami pada Pak Arman. Salim memang masih sangat sensitif jika diingatkan sama kepergian Bapak. Apalagi ada yang membahas tentang Bapak di hadapannya. Mood Salim tak bisa diduga, selalu berubah-ubah.

 “Sepertinya Bu Sina tahu betul bagaimana keluarga Bu Sari?” tanya Pak Arman yang makin mengorek-ngorek info keluarga kami.

“Bagaimana tidak tahu, Pak. Kan saya sering main ke rumah Mba Sari. Saya main ke sana untuk sekadar ngobrol dan kadang membawakan mainan untuk anak-anaknya. Makanya sekali-kali kita mampir yuk, Pak, ke rumah Mba Sari. Tapi, kalau ke sana jangan sendiri, Pak. Sama saya saja. Hehe,” Bu sina menjelaskan sambil tersenyum.

 “Lah, kok harus sama Bu Sina?” Pak Arman makin tak paham.

 “Pak Arman jangan GR dulu. Terserah saja Pak Arman mau ke rumah Mba Sari dengan siapa. Namun, harus dengan wanita. Sebab Mba Sari tidak mau jika ada laki-laki yang bukan dari keluarganya datang berkunjung sendiri. Ia sangat takut kalau nanti malah timbul fitnah dari para tetangga. Seperti itu, Pak, maksud saya,”Bu Sina menjelaskan maksudnya.

 “Ohhh seperti itu, ya. Saya juga paham, kok, Bu Sina. Tadi saya hanya bercanda,” Pak Arman sambil tersenyum. Senyum Pak Arman memang sangat manis. Senyum yang dihiasi dengan lesung pipit yang menghiasi wajahnya. Ia bagai Afgan dimasa lalu. Pak Arman nampak awet muda, padahal usianya hanya beda 3 tahun dari Mama. Siapapun yang melihatnya pasti tak akan menyangka kalau usianya sudah menginjak kepala 3. Badannya yang sangat proporsional serta tingginya yang cukup atletis menjadi perhatian guru-guru yang belum punya ikatan status pernikahan, tanpa terkecuali Bu Sina. Senyum Pak Arman seakan menghipnotis Bu Sina. Ia tak bisa mengendalikan detakan jantungnya yang berdegup kencang. Mungkinkah ini pertanda Pak Arman sudah merebut hati Bu Sina?

 “Hujan sudah reda, Bu Sina. Ayo kita pulang. Rumah Bu Sina di mana? Biar saya antar sekalian. Kasihan kalau pulang sendirian,” kata Pak Arman sambil menengok ke arah luar. Bu Sina masih menatap Pak Arman sambil tersenyum. Ia larut dalam lamunannya.

“Bu Sina?” Pak Arman melambai-lambaikan tangannya ke depan mata Bu Sina.

“Ohh, iya, Pak,” Bu Sina kaget sekaligus malu. “Tadi Bapak bilang apa?” Bu Sina kembali bertanya sambil menutupi rasa malunya karena ketahuan melamun sambil menatap wajah tampan rekan kerja barunya itu. Pak Arman kembali mengulang pertanyaannya dan tanpa pikir panjang Bu Sina mengiyakan ajakan dari Pak Arman.

Ini Kesempatan besar untuk dekat dengan Pak Arman,” begitulah pikir Bu Sina. Bu Sina masih tinggal di daerah Betoambari. Tidak jauh dari SMAN 2 Baubau dan secara kebetulan rumah Pak Arman juga terusan dari SMAN 2.

 Hati Bu Sina makin gak karuan. Sepertinya Bu Sina benar-benar jatuh hati pada laki-laki cool yang sedang berada tepat di depannya itu.

“Boleh gak, Pak, manggil saya Sina saja? Saya ini guru termuda di sekolah ini. Guru-guru yang lain juga banyak yang panggil nama langsung. Biar kesannya saya gak tua-tua banget gitu, Pak,” pinta Bu Sina di sela-sela perbincangannya. Bu Sina sambil tersenyum lebar.

***

Tiga bulan setelah percakapan itu berlangsung. Mereka berdua semakin akrab. Namun, bukan sebagai pasangan kekasih. Walau Bu Sina memang sudah jelas memendam rasa untuk Pak Arman dan Pak Arman untuk saat ini hanya menganggap Bu Sina sebagai rekan kerja dan adik baginya. Pak Arman laki-laki yang baik dan care pada semua teman-temannya. Ia baik ke semua wanita. Tak terkecuali Mama. Sejauh ini memang Bu Sina yang terlihat mencolok mendekati Pak Arman, namun Pak Arman pun tak pernah berpikiran kalau Bu Sina mencintainya. Ia laki-laki yang kurang peka terhadap hati wanita. Jika disinggung masalah cinta, Pak Arman selalu menghindar. Sepertinya ada sesuatu yang dipendam pada masa lalunya. Seperti sebuah penyesalan yang mendalam. Namun, tak ada yang tahu tentang itu. Pak Arman laki-laki yang introvert untuk persoalan cinta.

Hari itu adalah Minggu sore. Pak Arman dan Bu Sina main ke rumah kami. Mama kebetulan ada di rumah bersama aku dan Salim. Zura dan Iman sedang berada di luar rumah untuk sekadar bermain.

Terdengar salam dari luar rumah. Mama menjawab salam sembari membuka pintu rumah.

 “Eh, ada tamu. Silahkan masuk, Sina dan Pak Arman,” kata Mama mempersilahkan tamunya masuk. Langkah Pak Arman kemudian berhenti saat ia memasuki rumah kami. Betapa kagetnya Pak Arman melihat foto keluarga yang bertengger di dinding rumah kami. Foto satu-satunya yang terbingkai rapi yang kami punya. Foto yang diambil hampir setahun silam atas keinginan Almarhum Bapak.

“Pak Adam? Jadi, Pak Adam adalah suami dari Bu Sari?” Pak Arman benar-benar terkejut melihat foto keluarga kami.

“Iya, Pak Adam adalah Almarhum suami saya. Pak Arman kenal sama suami saya?” tanya Mama penasaran. “Mari duduk dulu,” Mama mempersilahkan Pak Arman dan Bu Sina duduk. Mereka sampai lupa untuk duduk.

“Iya, Bu. Ia sahabat saya sekaligus guru buat saya. Kami selalu bertemu disaat ada pertemuan guru Ekonomi antar kota. Terakhir kali saya ketemu Almarhum saat penataran hampir 3 setengah tahun silam. Saya banyak belajar dari Almarhum. Dia banyak mengajari saya banyak hal. Harusnya saya dan Pak Adam berangkat bersama-sama untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Namun, Pak Adam tidak ingin jauh dari keluarganya. Dia bilang, dia tidak punya banyak waktu untuk tetap bersama orang-orang yang ia cintai. Untuk itu dia tidak ingin mengambil kesempatan itu,” Pak Arman menceritakan kepada kami saat ia bertemu bapak beberapa tahun silam.

 “Apa? Melanjutkan pendidikan di luar negeri?” mamaku tergaket-kaget mendengar cerita Pak Arman.

 “Emangnya Bu Sari tidak tahu kalau Pak Adam salah satu guru yang terpilih untuk disekolahkan ke National University of Singapore (NUS)?” tanya Pak Arman. Bu Sina hanya bisa menjadi penonton atas pembahasan hari itu di rumah kami. Aku pun ikut menyaksikan cerita mereka.

“Suami saya pernah cerita kalau dia ingin sekali melanjutkan pendidikannya. Namun, saya tidak tahu jika ia menolak kesempatan yang selalu menjadi mimpinya sejak dulu,” Mama mulai sedih. Matanya berkaca-kaca. Seperti ada penyesalan yang ia rasakan.

 “Almarhum pernah berkata, ‘Saya memang bercita-cita ingin melanjutkan sekolah di luar, namun cita-cita saya untuk selalu bersama keluarga saya lebih besar’. Sungguh saya tidak menyangka kalau pertemuan saya saat itu adalah pertemuan terakhir dengan Pak Adam,” Pak Arman pun benar-benar tidak menyangka kalau bapak kami sudah tak ada lagi. Ia sangat terkejut saat pertama kali menginjakkan kaki di rumah kami.

“Tapi, bapak saya tidak menepati janjinya. Dia sudah berjanji untuk selalu bersama kami. Namun, apa buktinya? Dia pergi dan takkan pernah kembali lagi. Jika Bapak memang sayang pada kami, dia tidak akan mungkin meninggalkan kami seperti ini,” suara Salim terdengar dari bilik horden ruang tamu.

Dia kembali menitikkan air matanya. Dia marah pada keadaan ini. Salim masih tetap tidak menerima kalau Bapak sudah tidak ada lagi, laki-laki yang dulu sangat ia cintai. Namun, kini hanya rasa kecewa yang ada di dalam hatinya. Salim pun langsung masuk ke dalam kamar dan menguncinya. Mama, aku, Pak Arman, serta Bu Sina menyusul ke kamar Salim. Mereka mengetuk pintu Salim.

 “Nak, tolong buka pintunya. Jangan seperti ini. Belajarlah menerima takdir yang Allah buat untuk kita. Tolong hadirkanlah hati yang peka untuk selalu berkhusnuzon nak” Mama mengetuk pintu Salim, namun tak ada sahutan apapun dari dalam kamar Salim. Salim tidak bisa menutupi rasa sedihnya lagi. Ia duduk menangis dengan kedua lutut ditekuk memangku kepala. Wajahnya tersembunyi di balik lipatan tangan. Ia tak bisa bersembunyi lagi dari rasa sedih yang tiap hari menghantuinya.

 “Sabar, Mba. Beri waktu pada Salim untuk menenangkan hatinya. Anak kecil sepertinya belum paham tentang takdir. Mereka butuh waktu untuk berfikir dan menyadari apa yang telah terjadi,” kata Bu Sina pada Mama.

Sejak itu Salim benar-benar seperti orang lain. Rasa kecewanya yang menumpuk di hati tidak bisa lagi menjadikannya sebagai anak yang manis diusianya yang masih menginjak bangku SD kelas 4. Dia sudah tidak peduli dengan apa yang telah Bapak pernah ajarkan pada kami. Kesabaran di hatinya seakan mati. Temperamentalnya yang tiap marah selalu menggebu-gebu. Ia bagai anak yang tak punya akal sehat. Saat dia marah, ia bagai manusia yang kesetanan. Dia seperti bukan terlahir dari rahim Mama yang sabarnya gak ketulungan.

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (9)
  • iinazlah

    Mantaap

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • enhaac

    @dede_pratiwi

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • dede_pratiwi

    Wah ceritanya keren. Setting dan penokohanya kuat. Fighting...

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • mubarok

    @Nhana nice

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • mubarok

    Mantap. its totally different.
    easy to read. easy too understanding
    enak di baca. alur cerita ok

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • yurriansan

    Suka ????

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • Kang_Isa

    Halo, Indy. Ceritanya cukup menarik. Cuma di narasi awal, kayaknya kepanjangan. Bisa dipadatakn lagi. Untuk tahap pengenalan awal tokoh, memang bagus dengan narasi seperti itu. Hanya alangkah baiknya enggak terlalu melebar dari awal pengenalan tokoh. Kalau dari segi tanda baca, sudah bagus. Alur dan plotnya juga dapet. Itu aja dariku, ya. Salam semangat.

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • desioctav

    Ceritanya oke, bisa ngebawa pembacanya masuk ke cerita tersebut jadi kaya ngebayangin situasinya hehehehe
    Bahasanya juga gampang di ngerti . Semoga bisa jadi penulis terkenal yaaa....

    Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life
  • Nhana

    So sad..
    Jdi inget teman kuliah aku dulu, yg dari kecil udh ditggal Bapakx pergi ke surga.
    Mamanya tegar bget besarin anak2x..
    Miss u teman seperjuangan, salam syg buat mama disana.

    Comment on chapter Surat untuk belahan jiwa ibuku
Similar Tags
Move On
208      174     0     
Romance
"Buat aku jatuh cinta padamu, dan lupain dia" Ucap Reina menantang yang di balas oleh seringai senang oleh Eza. "Oke, kalau kamu udah terperangkap. Kamu harus jadi milikku" Sebuah awal cerita tentang Reina yang ingin melupakan kisah masa lalu nya serta Eza yang dari dulu berjuang mendapat hati dari pujaannya itu.
Half Moon
985      529     1     
Mystery
Pada saat mata kita terpejam Pada saat cahaya mulai padam Apakah kita masih bisa melihat? Apakah kita masih bisa mengungkapkan misteri-misteri yang terus menghantui? Hantu itu terus mengusikku. Bahkan saat aku tidak mendengar apapun. Aku kambuh dan darah mengucur dari telingaku. Tapi hantu itu tidak mau berhenti menggangguku. Dalam buku paranormal dan film-film horor mereka akan mengatakan ...
November Night
335      234     3     
Fantasy
Aku ingin hidup seperti manusia biasa. Aku sudah berjuang sampai di titik ini. Aku bahkan menjauh darimu, dan semua yang kusayangi, hanya demi mencapai impianku yang sangat tidak mungkin ini. Tapi, mengapa? Sepertinya tuhan tidak mengijinkanku untuk hidup seperti ini.
Hujan Bulan Juni
324      217     1     
Romance
Hujan. Satu untaian kata, satu peristiwa. Yang lagi dan lagi entah kenapa slalu menjadi saksi bisu atas segala kejadian yang menimpa kita. Entah itu suka atau duka, tangis atau tawa yang pasti dia selalu jadi saksi bisunya. Asal dia tau juga sih. Dia itu kaya hujan. Hadir dengan serbuan rintiknya untuk menghilangkan dahaga sang alang-alang tapi saat perginya menyisakan luka karena serbuan rintikn...
Sang Penulis
8493      1930     4     
Mystery
Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat menggambarkan sebuah kejadian di masa depan. Tak ada yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat membuat kehidupan seseorang menjadi lebih baik. Dan tak ada juga yang menyangka bahwa sebuah tulisan dapat merusak kehidupan seseorang. Tapi, yang paling tak disangka-sangka adalah penulis tulisan itu sendiri dan alasan mengapa ia menuliskan tulisan i...
Sweet Sound of Love
476      314     2     
Romance
"Itu suaramu?" Budi terbelalak tak percaya. Wia membekap mulutnya tak kalah terkejut. "Kamu mendengarnya? Itu isi hatiku!" "Ya sudah, gak usah lebay." "Hei, siapa yang gak khawatir kalau ada orang yang bisa membaca isi hati?" Wia memanyunkan bibirnya. "Bilang saja kalau kamu juga senang." "Eh kok?" "Barusan aku mendengarnya, ap...
The War Galaxy
11253      2327     4     
Fan Fiction
Kisah sebuah Planet yang dikuasai oleh kerajaan Mozarky dengan penguasa yang bernama Czar Hedeon Karoleky. Penguasa kerajaan ini sungguh kejam, bahkan ia akan merencanakan untuk menguasai seluruh Galaxy tak terkecuali Bumi. Hanya para keturunan raja Lev dan klan Ksatrialah yang mampu menghentikannya, dari 12 Ksatria 3 diantaranya berkhianat dan 9 Ksatria telah mati bersama raja Lev. Siapakah y...
Perfect Love INTROVERT
9214      1723     2     
Fan Fiction
Kenangan Masa Muda
5727      1617     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...
THE WAY FOR MY LOVE
412      317     2     
Romance