BAB 4
Kesuraman Mulai Berhembus
Hari demi hari perubahan sangat terasa dalam keluarga kami. Suasana senyap kian menyapa rumah yang biasa dihiasi dengan canda tawa. Bapak mulai tidak bersemangat saat kumpul bersama kami. Tidak seceria seperti dulu. Beliau lebih sering diam dan mengurung diri di kamar. Mamapun selalu termenung seakan-akan banyak beban pikiran yang sedang dipikulnya.
“Tidak ada apa-apa. Tidak usah dipikirkan. Kalian fokus belajar saja,” itulah jawaban Mama dari setiap pertanyaan yang kami lontarkan saat menanyakan kondisi perubahan yang mulai tidak mengasyikkan itu.
Sangat jelas terlihat kepalsuan maupun kepura-puraan yang diperankan Mama dan Bapak. Mereka selalu bilang tak terjadi apa-apa, namun kenyataannya menjawab bahwa sudah terjadi apa-apa di rumah kami. Namun, kami tak tahu. Ada apa dengan ini semua?
Setiap hari kami jalani aktivitas seperti biasa, walau perubahan telah begitu sangat mengganggu, namun kami tidak ingin terlalu memikirkannya. Kami jalani seakan-akan tidak ada yang berubah pada kondisi keadaan keluargaku. Seperti biasa rutinitas pagi Mama dan Bapak pergi mengajar dan ketiga kakakku ke sekolah.
Kini usiaku sudah 5 setengah tahun. Aku sudah dimasukkan TK oleh Bapak. 6 bulan lagi harusnya aku sudah bisa mengubah statusku menjadi pelajar SD. Hari itu aku pergi ke TK Mutiara. Aku sudah tak diantar untuk ke TK Mutiara yang lokasinya dekat dari rumah kami, sebab aku sudah bisa menopang kakiku sendiri walau tanpa pengawasan. Aku tahu kesibukan orangtuaku. Kami di didik untuk mandiri sejak kecil.
Seperti biasa, aku yang selalu pulang lebih awal dari pada ke-3 kakakku. Aku pulang jam 10 pagi. Mama selalu menaruh kunci di tempat persembunyiannya. Di bawah pot bunga matahari, dekat dengan pintu ruang tamu. Jadi, saat aku pulang aku bisa langsung masuk rumah. Jika sudah berada sendirian dalam rumah, aku tidak berani membuka pintu. Ada rasa cemas dan was-was jika sendirian di dalam rumah. Entahlah, aku terlalu parno dengan pikiranku sendiri.
Berharap tidak ada tamu yang datang, berharap tidak ada seorangpun yang tak kukenali mengetuk pintu rumahku, sebelum kakakku dan orangtuaku datang. Waktu terus berjalan. Pukul 12.15 berdetak. Kecemasanku pun berakhir setelah ketiga kakakku pulang berbarengan. 10 menit kemudian disusul Mama yang pulang. Tidak biasanya Mama pulang cepat. Biasanya mama pulang jam 1 siang. Namun, hari ini entah kenapa lebih cepat dari biasanya. Keanehan mulai terjadi lagi setelah Mama pulang dengan muka yang cemas dan langsung menyuruh kami siap-siap ganti baju untuk ke rumah Nenek.
“Mama dan Bapak ada urusan di Kendari. Kalian Mama tinggal di rumah Nenek dulu. Besok kalian tidak usah sekolah dulu,” kata Mama yang sedang membereskan pakaian kami ke dalam 1 tas. Mama terlihat sangat tergesa-gesa, seperti ada orang yang memburunya.
“Ada apa ini, Mama? Masa kita tidak masuk sekolah besok? Kan tidak boleh bolos. Bukankah itu pesanmu, Ma?” Salim menyambar perkataan Mama dengan menekukkan wajahnya sambil melipat kedua lengannya ke dada. Mama tetap tak mengindahkan omongan Salim. Ia tetap membereskan pakaian kami dan memasukkannya ke dalam 1 tas. Ada kepanikan di wajah Mama yang berusaha ditutup-tutupi dari kami. Iman menawarkan diri untuk menjaga kami di rumah tanpa harus pergi ke rumah Nenek. Zura pun demikian. Ia berusaha merayu Mama agar kami di rumah saja. Mereka masih banyak PR yang harus dikumpulkan besok. Namun, Mama berjanji akan meminta izin ke guru-guru mereka sehingga mereka tak perlu risau lagi.
“Ikutin saja perintah Mama. Selama Mama di luar kota sama Bapak, kalian tetap di rumah Nenek. Kalian tenang saja. Nanti Mama hubungi guru sekolahmu,” Mama berusaha memberikan penjelasan kepada kami. Kebetulan besok adalah hari Sabtu dan Minggunya kami libur.
Kami pun mengangguk dengan wajah yang murung. Kami berusaha memahami keadaan yang terjadi. Namun, kami tak bisa berpura-pura kalau kami memang tak tau apa-apa dengan keadaan rumah kami yang sudah tidak asyik itu. Kami masih sangat belia. Jadi, otak kami belum nyampe untuk menduga-duga hal buruk apa yang telah terjadi. Setelah membereskan pakaian, rumah dikunci dan kami menaiki angkot yang mengarah ke rumah Nenek. Sesampainya di rumah Nenek, kami langsung menyerobot masuk kegirangan. Kebetulan pintu rumah Nenek kala itu terbuka lebar sehingga tanpa harus membuka pintu lagi kami bisa masuk dengan sangat leluasa. Anak kecil seperti kami memang sangat cepat merubah mood menjadi ceria kembali.
“Assalamualaikum,” salam kami kompak memasuki rumah Nenek sambil berlarian.
“Nenek, kami datang,” kata Salim yang mencari-cari nenek di kamarnya.
Nenek tinggal seorang diri setelah kakek kami tiada. Namun, setiap seminggu sekali kami mengunjunginya. Yang paling sering mengunjungi Nenek adalah tanteku serta anak-anaknya karena rumah mereka berdekatan. Walau usia nenek sudah menginjak angka 68 tahun, namun Nenek tak ingin tinggal di rumah anak-anaknya, karena dia merasa nyaman jika tinggal di rumahnya sendiri.
Nenek masih sangat kuat beraktifitas dan hobi masak. Jadi, saat kami ke rumahnya, Nenek selalu menyediakan makanan untuk kami cucunya. Nenek mengambil dua piring enamel ukuran besar (piring kaleng tebal berdiameter 26 cm yang dihiasi dengan gambar bunga berwarna orange) untuk kami. Piring ini paling aman untuk kami. Walau jatuh puluhan kali tak akan pecah. Palingan peot seperti wajah nenekku, namun sisa kecantikannya masa mudanya tetap tertinggal walau sedikit. Piring enamel ini jika sudah jatuh bunyinya sangat menggelegar hingga 1 rumah bisa bangun karena suara nyaringnya. Gelaspun demikian adanya. Semua terbuat dari kaleng tebal. Nenek memang suka benda-benda antik ini berada menghiasi rumahnya. Padahal, saat itu piring dan gelas kaca sudah masuk ke daerah kami. Entahlah kenapa orang tua zaman dulu masih saja mengoleksi barang-barang antik seperti itu. Seperti biasa, Nenek menyediakan dua piring yang akan kami gunakan berempat. Satu piring dipakai berdua. Biasanya aku dan Zura satu piring, Salim dan Iman satu piring. Ini tradisi atau memang nenekku tak ingin mengeluarkan piringnya yang lain karena takut musnah di tangan kami. Sampai saat ini pun aku tak pernah tahu jawabannya. Saat kami sedang menikmati santapan masakan Nenek, Mama dan Nenek masuk dalam kamar dengan tergesa-gesa. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Sepertinya masalah besar yang kami tidak boleh tahu. “Urusan orang dewasa,” demikianlah pikiranku saat itu. Tak ingin menduga-duga, aku dan ke tiga kakakku pun terus menyantap makanan yang ada di depan mata. Ada ikan pindang, sayur lode, nasi, dan sambal bikinan Nenek yang enaknya bikin ketagihan.
Mama dan Nenek keluar dari kamar dengan muka cemas dan sembab. Tidak ingin membuat kami makin banyak bertanya, Mama pun menebarkan senyumannya untuk kami yang telah selesai makan. Lagi-lagi senyum yang sangat bisa tertebak. Senyum kepura-puraan Mama.
“Kami memang masih anak kecil, tapi kami mengenalmu, Mama. Kami tahu raut wajah sedih dan bahagiamu,” ujarku dalam hati.
“Kalian baik-baik di sini, ya. Jangan nakal. Jangan bikin repot nenekmu. Nanti sore Mama balik ke sini lagi, sebelum Mama berangkat ke luar kota sama bapakmu,” kata mamaku seperti ada gumpalan rahasia besar yang disembunyikan dari kami.
“Iya, Mama,” jawab Zura diiringi sahutan “iya” oleh kami bertiga.
Nenek pun mengunci pintu rumah agar kami tidak main keluar. Nenek memang sangat takut kalau kami ke Laut Batulo lagi dan mengulang kejadian yang pernah menimpa Salim. Nenek mengunci pintu rumah dan masuk kamar. Sepertinya Nenek akan tidur karena tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamarnya.
***
Kejenuhan dan rasa bosan menghampiri. Kami yang biasanya berkeliaran bermain, kini tembok rumah menjadi penghalang terbesar kami. Bagai burung dalam sangkar. Itulah istilah yang tepat untuk kami kala itu. Memutar otak, mencari jalan keluar dari semua kegalauan kami. Salim tidak kehabisan akal untuk menghabiskan waktu di dalam kejenuhan yang menyerang.
“Kita ini tidak bisa keluar dari rumah untuk main di laut. Bagaimana kalau kita buat kolam renang saja di dalam kamar mandi? Kalian maukah? Nanti kita kerja sama,” tiba-tiba muncul ide dari kakak ketigaku itu. Entah ini ide cemerlang atau ide yang akan menjerumuskan kami lagi kedalam masalah. Ide sedikit bereksperimen yang ditawarkan kepada kami. Ide gila kocak yang muncul dalam pikiran anak usia 7 setengah tahun itu. Aku akui, ia emang punya berbagai macam cara untuk membuat rasa nyamannya timbul.
“Ah, kau ini ada-ada saja e. Bagaimana bisa kau buat kolam renang di kamar mandi? Bisa putus urat nadimu kalau sampe ketahuan Nenek,” jawab Iman, yang berpikiran kalau adiknya ini mulai mengada-ngada.
“Aiiihhh… kau ini benar-benar tidak keren sama sekali. Masa kau ragukan kemampuanku. Kau tidak taukah kalau saya dewasa nanti, saya bisa jadi professor?” Salim nyengir membanggakan dirinya.
“Masalah Nenek, itu bisa diatur. Yang penting kalian bisa jaga rahasia besar kita ini! Bagaimana? Setujukah?” Salim masih menunggu persetujuan kami.
“Tidak usah banyak tingkahmu, Bau e.. Ko tidak dengarkah tadi Mama bilang apa? Jangan nakal!” sahut Zura.
“Ini lagi mi satu perempuan yang tidak bisa bedakan nakal sama mau hilangkan suntuk. Kau ikuti saja makanya cara permainanku. Biar otakmu pintar sedikit,” jawab Salim yang tetap berharap ada salah satu di antara kami yang mengikuti tingkah konyolnya itu.
Zura, Iman, dan aku terdiam. Kami berpikir sejenak. Apa harus kami ikuti ide aneh dari Salim? Jika kami hanya berdiam diri,kejenuhan ini tak akan hilang bila kami tak segera meniadakannya. Kami tentu tak ingin menjadi mayat hidup di rumah Nenek.
“Eh... Bontot…” panggilan Salim padaku.
“Siapa yang kau panggil?” tanyaku menoleh kanan kini. Namun, tak ada yang merasa namanya Bontot.
“Kaulah… kan kau anak Bontot. Kau ikut saya e. Biarkan saja mereka kalo dia tidak mau ikut. Nanti saya ajarkan kamu eksperimenku ini. Kamu pasti senang to main air? Pokoknya kau harus ikut!!!” Salim mengajakku mengikuti permainannya. Tapi menurutku ini bukan ajakan, tapi paksaan.
“Iyo, atur mi saja,” jawabku pasrah. Ya, jelas saja. Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti perintahnya. Sekali kubantah omongannya, kepalaku bisa dijadikan bola volly untuknya. Aku sering berfikir, sebenarnya aku ini adiknya apa pembokat baginya. Dia seakan-akan majikan yang harus kuturutin semua keinginannya.
Salim melancarkan aksinya. Iman dan Zura hanya menjadi penonton saat aksi kami akan dilaksanakan. Bermain air di dalam kamar mandi yang lumayan cukup besar untuk kami manfaatkan sebagai kolam renang buatan kami sendiri yang dieksperimenkan oleh seorang anak berusia 7 setengah tahun. Memainkan imajinasinya, seakan-akan kami di dalam kolam renang yang sangat amat luas. Kamar mandi dengan ukuran lebar sekitar 4x3 meter, yang memang ukuran dan bentuknya berbeda dari kamar mandi biasa pada umumnya. Kamar mandi di rumah Nenek berbentuk segi empat menyerupai wadah kolam renang usia anak-anak.
Hanya bermodalkan kain pengangkat panci yang sudah berubah warna dari kuning menjadi hitam dekil. Salim menutup saluran air dengan kain pengangkat panci yang ada di dapur Nenek serta memasang air keran tanpa henti, kamipun siap bermain. Air setinggi lututku menggenangi kamar mandi. Airnya sedikit keruh karena mungkin bercampur sama kotoran bekas pengangkat panci gosong. Kami heboh bermain dengan teriakan-teriakan kecil agar tidak ketahuan Nenek. Keceriaan melepas penat seperti layaknya para pejabat yang ingin berleha-leha di puncak setelah disibukkan mengurus negara. Begitu juga kami yang hari itu tidak ingin terlarut dalam kejenuhan, hingga akhirnya kamar mandi didesain menjadi kolam renang.
Hari itu kuakui, Salim bak sang arsitektur yang mendesain kamar mandi rumah Nenek menjadi kolam renang yang bisa membuat kami leluasa bergerak bermain air.
“Kertas… mana kertas?” tanya Salim ke Iman.
“Kertas apa?” Iman tak paham maksud Salim.
“Ahhh, lamaaaa…” Salim keluar dari genangan air dan merobek tiga helai kertas hingga membasahi sisi ruang tamu Nenek. Ia mulai beraksi membuat kapal-kapalan dari kertas. Sepertinya Salim terinspirasi dari pembuatan film The Abyss garapan dari James Francis Cameron yang mempergunakan tanki air raksasa sebagai lokasi syutingnya untuk memuat kapal-kapal besar.
Walaupun hanya menggunakan kamar mandi sebagai wadah kami, namun itu sudah cukup buat kami melupakan segala keresahan yang ada. Kami bermain tak kenal waktu. Kami larut dalam keseruan bermain kapal-kapalan dalam kolam renang buatan Salim. Tidak bisa digambarkan betapa senangnya permainan kami hari itu. Keceriaan kami membuat Zura dan Iman ngiler. Mereka tak ada pillihan lain kecuali bergabung bersama kami.
“Horeee… Perahunya lagi berlayar,” kata Salim dengan bangganya. Rasa bangga ditampakkan bagai sang professor yang berhasil mendapatkan penemuan baru. Salim berhasil mendesain kamar mandi menjadi genangan air yang kami anggap sebagai kolam renang. Kami benar-benar terbuai, seakan tak ingin usai permainan ini. Kami tertawa lepas. Air sudah mulai meninggi melebihi porsi ukurannya. Air bak pun akhirnya menjalar ke luar kamar mandi. Namun, kami tidak mengindahkan sama sekali. Air mulai ikut menggenangi seluruh ruangan yang ada di dalam rumah. Semua sudut rumah basah karena kelakuan kami. Melihat kejadian itu kami malah makin senang karena bisa membuat satu rumah menjadi kolam renang bahkan seperti lautan dalam rumah.
“Tokkk...tokkk… tokkk…” bunyi ketukan pintu dari depan kamar tamu. Di sertai salam “Assalamualaikum…”
Suara yang tidak asing kudengar. Aku pun berlari membuka pintu dengan kondisi baju basah kuyup yang menempel di badan. Betapa kagetnya Mama melihat kehebohan yang kami lakukan. Genangan setumit sudah menggenangi rumah Nenek. Mama menghampiri ketiga saudaraku yang belum tahu kedatangannya.
“Astaga…Kalian lagi apa?” tanya Mama sambil membuka buntelan yang di gunakan Salim untuk menyumbat saluran pembuangan air. Mama pun mematikan air kran yang terus mengalir deras. Air genangan sudah merembes sampai ruang tamu menyebabkan celana mama basah walau telah di gulung keatas.
Permainan tiba-tiba berhenti. Tak ada kata yang terlontar dari ketiga kakakku. Mereka kaget karena Mama tiba-tiba datang.
“Main kolam renang, Ma,” jawabku dengan sangat bersemangat karena euforiaku saat itu.
“Keren, kan, Ma? Kita ada kolam renang. Seperti rumahnya orang di TV-TV itu, rumah-rumah gedongan, Ma. Rumah para orang kaya,” Salim menimpa jawabanku dengan penuh semangat.
Kami pun menyudahi permainan dan mengganti baju. Mama yang sibuk membersihkan rumah dan mengepel tidak marah kepada kami. Mama memang wanita yang sangat baik dan tidak pernah membentak kami jika salah. Mama cukup menasehati kami kalau kami salah. Sikap Mama dalam menyikapi kenakalan kami memang berbeda jauh dengan sikap bapak saat kami berbuat kesalahan. Memang benar, mereka selalu satu visi misi dalam menasehati kami, namun berbeda dalam penyampaian. Mama lebih calm dan Bapak lebih tegas.
“Kenapa ini rumah jadi basah seperti ini?” Nenek keluar dari tempat persembunyiannya yang tidak lain adalah kamarnya yang bertempat tidurkan kelambu.
Dug… dug… dug… Bunyi jantungku berdegup kencang. “Matilah kita semua hari ini. Apa iya kata Iman tadi? Bisa benar-benar putus nadi kita detik ini juga kalau Nenek marah”. Hatiku mulai bergejolak. Ya ampun! Aku tak kuasa membayangkan kalau Nenek sampai marah pada kami.
“Duuhhh, cucu-cucuku ini e! Ditinggal tidur sebentar saja, mereka sudah bikin ulah lagi,” sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Apaaa? Nenek tidak marah? Magic…Alhamdulillah, tidak sesuai ekspektasi kami. Padahal, kami sudah hampir pingsan dibuatnya karena takut dimarahi Nenek. Nenek dan Bapak 11:12 jika marah. Bedanya kalau Nenek versi perempuannya. Kami hanya bisa tersenyum lebar mendengar respon dari Nenek karena ulah kami yang sudah memporakporandakan rumahnya.
Mama membereskan rumah Nenek dibantu aku dan Zura. Mama begitu terlihat sangat buru-buru karena ia mengejar waktu keberangkatan ke Kendari bersama Bapak. Bapak tak bisa bersama Mama ke rumah Nenek karena ada yang harus diurusin terlebih dahulu. Begitulah pengakuan Mama saat kami menanyakan keberadaan Bapak. Setelah semuanya beres, kini terjadi perbincangan cukup serius lagi antara Mama dan Nenek. Kami seakan dilarang untuk mendengar perbincangan itu, hingga mereka harus ngobrol berdua di dalam kamar. Entah pembicaraan sengit apa yang telah mereka bicarakan hingga membuat mata keduanya kembali sembab. Kami yang melihat kejadian itu bingung. Menerka-nerka dan menelaah dengan sangat jeli. Pikiranku melayang-layang, bertanya dalam hati, “Apakah orang dewasa yang ingin ke luar kota cara berpamitannya dengan tangisan, ya?”
Aku tak paham dengan jalan pikiran orang dewasa. Dengan pipi yang masih basah dan area mata yang sembab, Mama berusaha mengusap airmatanya agar tidak terlihat oleh kami. Tapi, sebelumnya mata kami sudah merekam genangan air mata Mama yang telah tumpah. Namun, kami tak mengetahui apa penyebabnya.
Setelah berpamitan dengan Nenek, Mama menghampiri kami yang sudah duduk bersyaf seperti semut yang berderet.
“Doakan bapakmu, ya, Nak,” Mama mengucap kalimat itu, seakan ada sesuatu yang telah terjadi.
Memangnya Bapak kenapa? Bapak baik-baik saja kan, Ma?” pertanyaan beruntun dari Salim. Sebenarnya pertanyaan yang sama pun terucap di hati kami masing-masing, karena tentu saja itu merupakan pertanyaan besar kami pada Mama. “Apa yang terjadi pada Bapak?”
“Tidak apa-apa, Nak. Pokoknya kalian doakan terus Bapakmu, semoga Bapakmu selalu sehat,” Mama mendaratkan ciuman di kening kami masing-masing dan langsung pergi tanpa menoleh kembali ke belakang. Kami menyaksikan langkah Mama dengan seksama. Tampaknya Mama tak ingin membagi bebannya pada kami. Kini kami mulai menduga-duga, sebenarnya apa yang terjadi. Kenapa Mama tidak menyuruh kami untuk mendoakan mereka berdua? Yang berangkat ke luar kota kan Mama dan Bapak. Kok yang didoakan hanya Bapak saja? Lintasan pertanyaan ada dalam otak kami.
***
Tiga hari Bapak dan Mama di Kendari dan dua hari pula kami izin untuk tidak masuk sekolah, karena kebetulan ada hari Minggu yang membuat kami libur. Jarak dari rumah nenek ke SDN 1 Lamangga dan TK Mutiara memang lumayan jauh. Berhari-hari kami di rumah Nenek, diasuh dan dididik Nenek selama kami dititipkan. Didikan Nenek dan Bapak tidak jauh berbeda. Bedanya ini adalah versi nenek-nenek. Bergelut dengan rutinitas yang sangat membosankan, lagi dan lagi di dalam rumah. Sesekali kami dikunjungi tanteku (adik dari Bapak) dan ketiga anaknya yang rumahnya dekat dengan rumah nenek. Dihibur dengan permainan pekatende, bermain domikado, dan bermain ular tangga. Begitulah perputaran roda kehidupan kami selama 3 hari berada dalam rumah Nenek. Kadangkala Om (adik Bapak) juga datang bersama istri dan anaknya.
Mama dan Bapak kini menepati janjinya untuk kembali menjemput kami pulang ke Betoambari setelah urusan mereka di Kendari selesai. Saat kembali ke rumah, Bapak langsung menuju ke kamarnya. Muka Bapak terlihat sedikit pucat. Mungkin beliau terlalu lelah setelah perjalanan jauh. Menjelang sore, setelah Bapak beristirahat, mukanya kini sudah kembali segar dan ia kembali menebarkan senyum hangat yang sudah lama tak kami lihat. Belakangan ini Bapak memang lebih suka diam dan seakan-akan menghindar dari kami. Ia lebih sering mengurung diri dalam kamar. Wajar saja, kami sangat bahagia sekali setelah sekian lama akhirnya rumah kami kembali seperti dulu. Sudah lama kurindukan kehangatan kembali di tengah keluargaku seperti ini. Nonton bersama, cerita-cerita, makan bersama, dan menghabiskan waktu bersama. Tidak bosan-bosannya Bapak selalu menyegarkan pikiran kami dengan cerita kisah-kisah para Nabi. Hari itu kisah yang dibahas tentang kisah tauladan baginda Nabi Muhammad SAW.
“Ketahuilah, Nak, bahwa baginda Nabi Muhammad SAW memiliki hati yang sangat mulia. Ia tak pernah memendam benci dengan sesamanya walau ia selalu dihina oleh kaum kafir. Suatu ketika ada seorang wanita tua yang sangat membenci baginda Rasulullah. Dia tahu bahwa Rasulullah sering melewati rumahnya untuk melakukan ibadah di Masjidil Haram. Tiap kali Nabi Muhammad melewati rumahnya, ia selalu meludahinya, namun senyuman yang dibalas oleh Nabi Muhammad. Suatu ketika disaat Rasullullah kembali berjalan beberapa kali melewati rumah wanita tua itu, Rasulullah tak melihat wanita tua yang sering meludahinya itu. Saat itu pula ia menanyakan keberadaan wanita tua itu pada tetangga rumah wanita yang sering meludahinya. Ternyata wanita tua itu sudah beberapa hari sakit. Namun, alangkah luar biasanya hati seorang baginda Rasullullah. Ia langsung datang untuk menjenguknya. Wanita yang sering meludahinya itupun keheranan dan menangis akan kebaikan hati Rasulullah, padahal ia selalu berbuat jahat pada Nabi Muhammad dan mulai saat itu wanita itu memeluk agama Islam.” Bapak terdiam dan menunduk untuk beberapa detik. Ia memegang erat perutnya. Mama panik melihat Bapak seakan menahan sakit. Namun, Bapak melebarkan jari tangannya ke arah Mama, seakan bahasa isyarat untuk menenangkan Mama seraya berkata, “Aku tidak apa-apa Sayang.”
“Ingatlah, Nak, tetaplah berbaik hati pada orang lain, tetaplah membantu orang lain, dan tetaplah menjadi makhluk yang berguna untuk sesama,” lanjutnya memberi senyum terindahnya untuk kami. Mamapun tersenyum bangga melihat suaminya itu dalam mendidik kami.
“Satu lagi nak, belajarlah ilmu Agama agar mapan bekal dunia dan akhiratmu” kata bapak dengan sangat tenang. Ia punya banyak sekali nasehat pamungkas yang bikin kami berpikir lebih keras di usia kami yang masih belum begitu cepat mencerna setiap perkataannya. Walau demikian, tiap nasehat yang ia lontarkan, terekam jelas di memory ingatan kami.
Pelajaran yang kami petik dari cerita Bapak serta nasehatnya hari itu benar-benar merasuk ke hati. Ia teladan terbaik yang kami miliki. Cerita itu menutup malam kami dengan penuh rasa kekeluargaan yang sudah lama kami tak rasakan.
***
Hari berlalu begitu cepat. Tiga bulan setelah mama dan bapakku pulang dari Kendari. Malam itu tiba-tiba kondisi bapakku ngedrop. Badannya demam dan menggigil serta sakit pada daerah perutnya. Panas tubuh Bapak seperti jemuran yang baru diangkat dari terik matahari disiang bolong. Kepanikan dari Mama tidak bisa ditutup-tutupi lagi dari kami. Syukur saja, malam itu masih pukul 19.25 WITA, sehingga masih ada angkot yang berlalu lalang di jalan raya dekat rumahku. Masih ada ojek yang standby dan masih ada becak yang nangkring di daerah rumah. Untuk efisiensi waktu agar tidak terbuang begitu saja, Mama lebih memilih mencarter angkot yang sedang lalu lalang di jalan raya dekat rumah kami. Berlari sekencang mungkin tanpa alas kaki seperti dikejar anjing liar, Mama bagai pelari marathon.
Baju Bapak yang sudah disediakan di dalam tas untuk dibawa ke RS sudah tertata di depan pintu kamarnya. Mama membantu menggotong lengan kanan Bapak yang dilingkarkan ke lehernya untuk sampai naik ke dalam angkot. Iman pun ikut membantu menggotong tangan Bapak. Mama sudah tidak mempedulikan penampilannya. Ia sampai lupa menggunakan sendal. Namun, Salim memang sangat care. Ia menenteng sandal lucek Mama hingga menaiki angkot.
“Pakailah ini, Ma, agar kaki Mama tidak kena beling di jalan,” kata Salim sambil menaruh sandal jepit swallow biru tepat di depan kaki Mama. Saat itu kami lagi dalam perjalanan menuju RS menggunakan angkot reot. Sepertinya usia angkot itu lebih tua dariku. Bahkan, mungkin lebih tua dari usia kakakku Iman.
Angkot reot berwarna biru itu tiba-tiba berhenti di bangunan serba putih. Bangunan tua seperti di film horor.
“RS Bhayangkara,” Salim membaca tulisan plang di depan bangunan itu. Baru juga ingin menurunkan kaki dari angkotan yang membawa kami ke RS ini, Bapak langsung disambut dengan tempat tidur beroda dan para petugas medis yang ada di situ. Pertama kali menginjak tanah rumah sakit. Mataku dibuat terpana oleh banyaknya pengguna baju putih. Semua warna yang kulihat rata-rata warna putih. Instingku pun bermain, “Sepertinya di sini tempat kumpulan para hantu.” Angker sekali hingga membuat bulu kudukku merinding tak karuan. Otakku kala itu benar-benar dangkal. Mainset yang terbangun di otakku saat masih kecil adalah RS itu horor. Jadi, tentu saja saat berada di RS aku benar-benar ingin cepat pulang ke rumah. Aku yang tidak betah berlama-lama di RS, selalu mengikuti buntut kakakku. Hari itu aku menjadi ekor mereka. Aku selalu berada tepat di belakangnya, memegang baju mereka di manapun mereka berada.
Kulihat di sekitarku orang-orang yang sedang lalu lalang. Ada yang menangis. Ada yang mukanya panik kebingungan. Aroma RS yang sangat khas dengan obat-obatan membuat penciumanku menjadi sangat gatal. Tidak ada situasi yang menyenangkan di sini. Tidak ada orang yang kulihat sedang menyanyi kegirangan. Tidak ada orang yang tertawa lepas di sini. Yang kudapat hanya tangisan, muka cemas dan panik serta gesitnya para pengguna baju putih berjas, dan wanita-wanita cantik yang memakai topi seperti songko namun hanya separuh dari kepalanya yang tertutup songko kecil itu.
Hari itu bulu kudukku merinding. Sepertinya bulu ini tak bisa duduk dengan tenang. Mungkin bulu ini paham kalau akupun ingin buru-buru pulang dari tempat ini. Sungguh, aku tak ingin berlama-lama di tempat yang kuanggap angker ini.
Lincahnya gerakan para petugas berbaju putih menangani orang-orang yang sedang berbaring lemah membuat pandangan mataku tak bisa fokus ke satu arah. Mama yang sedang berada di dalam ruangan bertuliskan UGD (Unit Gawat Darurat) belum kunjung keluar. Aku dan ketiga kakakku menunggu di kursi panjang yang bertengger di depan UGD. Kupegangi baju kakakku, Zura. Serasa tak ingin kulepas. Rasa takutku mendatangi tempat yang penuh misteri ini membuat sekujur tubuhku gemetar. Badanku seakan kaku. Darah di sekujur tubuhku mengalir begitu cepat. Detak jantungku seakan memompa tanpa ritme. Ini pertama kalinya aku masuk dalam RS. Keadaan yang mencengkram seakan membuatku tak berdaya dengan melihat kondisi RS seperti ini. Kepanikan orang-orang membuatku ingin cepat-cepat angkat kaki dari tempat ini.
Cukup lama aku dan ketiga kakakku duduk di bangku panjang depan UGD. Beberapa menit kemudian, kudengar bunyi sirine ambulan. Bunyi yang terkadang menghiasi jalan raya. Bunyi mobil putih yang di atasnya ada lampu merah yang berputar-putar kelap kelip. Mobil yang selalu membuatku takut karena konon katanya setiap mobil itu berbunyi, berarti sedang ada orang sekarat maupun yang sudah tidak bernyawa berada di dalam mobil itu. Bulu kudukku tetap tak bisa diajak kompromi. Genggaman tanganku ke baju Zura semakin kuat. Rasa takut makin menyerang bertubi-tubi.
“Ahh... bajuku kenapa kau tarik-tarik begini. Dia robek nanti ini!” kata Zura melepas genggamanku dari bajunya.
Aku pun tidak peduli dengan omongan Zura. Kutarik kembali bajunya. Zura sudah tak bisa berkata-kata melihat tampangku seperti orang yang melihat hantu. Ketakutan sekali. Ia pasrah bajunya kupegang dengan sekuat tenagaku. Aku sudah tidak bisa konsentrasi berada di sini. Jelas terlihat di kedua mataku seorang laki-laki tua yang teriak kesakitan berlumuran darah segar yang masih menetes digotong menggunakan tempat tidur dorong setelah dikeluarkan dari mobil putih angker itu. Dengan sigap para petugas berbaju putih itu mendorong tempat tidur itu dan melintasi depan kami yang sedang duduk di depan UGD disambut tangisan dari orang-orang yang turun bersamanya dari dalam mobil ambulan itu. Aku berpikir, mungkin itu keluarga dari laki-laki tua yang beroleskan darah di sekujur tubuhnya. RS makin ramai dengan berbagai jenis suara tangisan keluarga yang menunggu kabar kerabatnya.
Selang 5 menit kemudian, bunyi sirine yang paling menakutkan itu datang lagi. Mobil diparkir tepat di depan RS. Dan setiap mobil itu datang, para perawat langsung dengan sangat cepat mendorong Brankar Ambulance. Setelah dewasa, aku baru tahu itu nama lain dari tempat tidur dorong.
Tiba-tiba seorang anak yang usianya sekitar 7 tahun dikeluarkan dari mobil ambulan dan digotong pindah ke brankar. Anak malang itu menggunakan sungkup hidung seperti selang bersama tabung berukuran besar yang disambungkan ke selang. Setelah kutelusuri, itu namanya tabung oksigen. Seperti biasa, semuanya disambut dengan tangisan dari keluarga yang membawa anak itu masuk ke dalam UGD.
Lengkap pengalamanku malam ini, pikirku. Semua jenis tangisan sudah kudengar. Mulai dari tangisan sendu, tangisan teriakan, tangisan cegukan, semuanya ada di sini. Aroma khas RS yang begitu menyengat hidungku, lintasan orang-orang yang panik mondar mandir di depanku, para petugas baju putih yang sangat terampil dan gesit dalam menangani pasien sungguh membuat panorama suasana RS begitu sangat berbeda. Pengunjung RS ini benar-benar ramai. Tak jauh berbeda dengan Pasar Wameo yang tak pernah sepi pengunjung.
“Kapan ya RS sepi?”celotehku dalam hati.
Waktu mulai larut. Sudah menunjukan pukul 21.45. Tante beserta suaminya dan om beserta istrinya (adik dari bapakku) datang menghampiri kami. Bapakku adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Malam itu nenek tidak ikut karena kondisi malam, hari itu kurang mendukung. Di luar gerimis. Aku dan ke tiga kakakku pun lega. Akhirnya, ada yang menemani kami setelah kedatangan tante dan omku. Kepanikan terpancar dari wajah om dan tanteku. Menunggu hasil dari dalam ruangan yang penuh dengan pasien. Harap-harap cemas. Itulah kondisi hati kami saat itu. Tanteku yang mondar mandir seperti setrikaan tidak bisa tenang. Sejam kemudian setelah om dan tanteku datang, akhirnya mamaku keluar dari ruang UGD dengan mata dan wajah yang sangat lelah.
“Bagaimana mi kasihan keadaannya Bapaknya Iman?” tanteku langsung menghampiri Mama yang baru keluar dari ruang UGD.
“Keadaannya sudah mulai stabil. Kata dokter, tunggu sebentar lagi. Kalau sudah benar-benar stabil, bisa mi dipindah ke ruang rawat,” Mama menjawab pertanyaan Tante sambil berusaha menenangkan keluarga yang pada saat itu.
“Alhamdulillah,” jawab tanteku dan mengusap tangan ke mukanya seraya ucapan syukurnya pada Allah, obat dari segala obat.
“Anak-anak dibawa ke rumah neneknya saja dulu. Malam ini biar saya saja yang jaga di Rumah Sakit,” kata mamaku yang tetap berusaha tegar di depan kami semua.
Tante dan suaminya pun menawarkan diri untuk menemani Bapak di RS. Salim pun tak mau ketinggalan untuk merekomendasikan dirinya untuk tetap di RS juga.
“Saya sama Mama juga. Saya tidak mau pulang. Saya mau bantu Mama untuk jaga Bapak di RS,” Salim ketika di suruh pulang oleh Mama, namun bersikeras ingin tetap berada di RS.
“La Bau kalau dia tidak mau pulang, tidak apa-apa mi sama mamanya di sini. Wa Dini, La Iman, sama Wa Zura saja kalau begitu yang ke rumah Nenek,” kata omku pada kami.
Aku, Iman, Zura, Om, dan istrinya pun akhirnya pulang ke rumah Nenek dengan menggunakan 2 becak. Karena malam sudah semakin larut, angkot sudah tidak beroperasi lagi. Malam itu sudah pukul 23.00 WITA. Hanya becak yang masih nangkring di depan jalan raya dekat RS Bhayangkara Batulo. Mataku tinggal 2 watt. Rasa ngantuk yang mendera menghampiriku. Tak terasa aku ketiduran di becak sepanjang jalan menuju rumah Nenek. Sesampainya di rumah Nenek, yang kami tempuh hampir 20 menit, aku dibangunkan oleh Om untuk turun dan masuk ke dalam rumah Nenek. Buyar semua mimpi tidurku yang baru mulai ku susun rapi dalam suasana dinginnya malam Kota Baubau yang baru diguyur rerintihan hujan.
Nenek malam itu belum tidur dan sudah menunggu kami di depan rumah. Ternyata beliau tak kalah paniknya menunggu kabar kesehatan putra pertamanya itu. Kami bertiga pun langsung masuk kamar dan tidur. Nenek, Om, dan istrinya masih ngobrol panjang di ruang tamu tentang kesehatan bapakku.
Pagi mulai menyapa. Bunyi keruyukan ayam dengan sangat teratur seakan menyapaku dipagi yang cerah. Namun, udara dingin pagi masih mendukung untuk tetap terlelap dalam tidurku bersama guling yang selalu menemaniku tidur. Hari ini adalah hari Sabtu. Tiga kakakku izin tidak masuk sekolah lagi untuk kesekian kalinya. Aroma sambal dan ikan buatan Nenek untuk sarapan kami menggugah rasa laparku. Aroma makanan itu membuatku bangun dan langsung duduk di karpet lesehan. Saatnya sarapan. Nikmat terasa masuk menyapa tenggorokanku, hingga masuk ke perut. Sepertinya cacing dalam perutku sudah mengamuk sebab tak tersentuh makanan sejak semalam. Kunikmati tiap kunyahan karena rasa laparku yang tidak tersalurkan semalam. Setelah menyantap makan, Iman dan Zura kembali murung. Kedua kakakku itu sepertinya sudah paham apa yang telah terjadi.
Mantaap
Comment on chapter BAB 1 : Colorful Life