Hari Kamis, jadwal terapi Geo untuk ke sekian kalinya. Akhir-akhir ini Geo tidak mengalami histeria akibat penyakitnya. Tidurnya nyenyak setiap malam. Walaupun kadang masih sering melamun tetapi tidak pernah sehisteria dulu.
Ayahnya merasa sedikit lega. Setidaknya ada peningkatan untuk kesembuhan anaknya. Apalagi sekarang Geo bisa tersenyum sedikit.
Kali ini Vea dan ayahnya ikut menemani Geo berobat. Mereka duduk di depan ruang terapi sementara Geo cemberut di depan pintu.
"Kenapa datang rombongan sih?"
"Sudah cepat masuk!" Ayahnya mendorong Geo masuk setelah mengetuk pintunya. Geo berdecak dan masuk dengan kesal. Selama ini dia selalu malas terapi. Menurutnya dia tidak sakit.
Selama satu jam penuh Geo berkutat dengan dokter yang menerapinya. Katanya sudah ada perubahan dan Geo harus lebih sering datang. Dia bergumam di dalam hati karena dia tidak sakit tetapi dia hanya tersenyum simpul.
Kemudian dia keluar dari ruangan. Dilihatnya rombongannya bertambah satu orang. Seorang laki-laki yang tengah bicara serius dengan ayahnya. Vea menoleh dan tersenyum sambil melirik orang itu dan ayahnya.
Geo berjalan mendekat dan Vea menyambutnya. Dia berbisik, "Dia minta izin ayahmu tahu."
Mata Geo terbuka lebar. "Serius?" Vea mengangguk-angguk semangat.
Orang itu menoleh dan mendapati Geo berdiri tak jauh darinya. Dia tersenyum lalu berjalan mendekatinya. "Hmm ... Bagaimana? Aku sudah mempersiapkan diri jadi katakan apa pun jawabanmu."
"Oke. Baiklah. Ayo lakukan." Geo berucap dengan percaya diri. Dia yakin dengan kata hatinya.
"Apa?" Orang itu malah terlihat tidak percaya.
"Harus, ya, aku ulangi?" Geo mencibir. Sejujurnya dia malu mengulang kata itu di depan ayahnya dan Vea.
Orang itu tersenyum. Dia menoleh ke arah ayah Geo. "Benar, kan, Pak. Dia tidak akan menolak."
"Apa ini? Kalian taruhan?" Geo menatap mereka dengan curiga.
"Tidak, nak. Tadi ayah sangat ragu kamu akan menerimanya dan menyuruh dia untuk bersiap kecewa. Tapi dia tampak sangat percaya diri sekali dan bilang kamu bakal terima dia."
"Saya tahu, saya bisa merasakan itu." Beni terdengar sombong.
"Kamu paranormal, ya?"
"Aku calon dokter yang baru koas!"
Geo memutar matanya. Beni mengantarnya ke parkiran. Kemeja putihnya berkibar tertiup angin.Geo menghembuskan nafasnya. Dia merasa lega. Entah kenapa sesuatu di dalam hatinya yang terasa hilang, kini sudah kembali.
"Bye, bye. Nanti aku hubungi." Beni melambai sambil menahan pintu yang dilewati Geo.
"Apa? Aku kan belum kasih tahu kontakku."
"Aku sudah punya."
"Apa? Sejak kapan?"
"Sudah lama."
"Kenapa nggak pernah menghubungi?"
"Coba bayangkan, kalau aku tiba-tiba menghubungimu yang ada kamu langsung block nomorku. Ingat kan kita nggak pernah ketemu di kampus."
"Iya sih. Tapi aneh, kita nggak pernah ketemu tapi kamu tahu nomorku? Dari siapa?"
"Lupa? Kamu sendiri yang kasih ke aku waktu jadi couple dulu."
"Terus kenapa nggak hubungi?"
"Ah, sudahlah. Cepat masuk!"
Geo cemberut kesal. "Coba tes dulu. Siapa tahu nomorku ganti."
"Ya ampun. Kamu nggak pernah ganti nomor." Walau begitu Beni mengeluarkan ponselnya dan mengetik sesuatu.
Notif pesan chat muncul di ponsel Geo. Geo membukanya dan mendapat sebuah tulisan "Sayang, ini Beni."
"Oh, benar. Sudah muncul. Oke aku percaya."
Gantian Beni yang memutar matanya. Setelah itu Beni menutup pintu tempat Geo masuk dan melambai pada ayah Geo sambil membungkuk. Vea menahan senyumnya di bangku sebelah.
"Rasanya kalian seperti sudah kenal lama. Menyenangkan sekali melihatnya."
Geo memberikan tatapan kesal sementara ayah Geo menyetujui ucapan Vea. Geo menggeleng dan menatap keluar jendela.
***
Vea mengajak Geo ke sebuah rumah mewah bernomor 435. Rumah bercat cokelat dengan batu bata yang tersusun rapi sebagai dindingnya. Vea turun dari mobil dan mencet bel dari rumah besar tersebut. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluh tahun berlarian keluar.
Pakaiannya lusuh dan rambutnya berantakan. Seorang anak kecil ikut keluar mengikutinya. Pipi bocah itu tampak bulat mengemaskan.
Vea menggandeng tangan Geo seolah tak mau kalah dengan perempuan yang tengah menggandeng bocah berpipi gemuk itu. Vea sedang cemburu atau apa sih? Pikir Geo kesal.
Dia mengibaskan pegangan tangan Vea. Vea memelototinya. Si bocah kecil mengamati segala tingkah laku Geo sambil bersembunyi di belakang tubuh perempuan itu.
Geo tersenyum dan memanggil bocah itu. "Kemari, nak. Tante punya roti. Kamu suka roti?" Geo mengeluarkan sebuah bungkusan roti cokelat. Roti yang diberi Beni, katanya dari seorang penggemar yang menyebalkan. Bocah menggemaskan itu muncul dari balik punggung perempuan itu dan berjalan malu-malu mendekati Geo.
Bocah itu mengambil roti milik Geo dengan kedua tangan mungilnya. Geo mengelus kepala bocah itu sambil bergumam memuji kelucuan bocah itu. Matanya bulat berwarna hitam. Kalau tersenyum ada sedikit lesung pipit di sebelah kanan pipinya. Lucu sekali.
"Pak Wastu sudah menanti-nanti kedatangan kalian berdua." Perempuan itu memulai pembicaraan. Sesekali mengamati bocah lucu itu sambil tersenyum.
"Anu, bocah ini siapa ya?" Geo bertanya sambil mengelusnya.
"Oh, dia anaknya Pak Wastu. Namanya Ridho. Baru tiga tahun. Oh, ya saya tinggal ke belakang dulu, ya. Tirip Ridho sebentar ya Mbak, Pak Wastu sebentar lagi datang. Dia lagi ibadah."
"Iya, Bu. Silahkan." Vea menyahut sementara Geo bermain-main dengan bocah itu. Melihat itu, Vea mengambil ponselnya dan berinisiatif mengabadikan momen itu.
"Geo hadap sini!"
Geo seketika menoleh. "Ada apa?"
"Kekeke ... Aku mengirimnya ke Beni dan bilang kalian coba buat satu kayaknya Geo suka." Vea menunjukkan foto yang dia ambil. Foto Geo bersama si bocah menggemaskan itu.
"Heh! Dasar sialan! Dia nanti jadi tambah mesum tahu!" Geo memarahi Vea dan Vea tertawa terbahak-bahak. Si bocah yang tidak tahu apa-apa jadi ikutan tertawa.
Tak lama kemudian, muncullah Pak Wastu. Orang yang dicari. Bapak itu memakai sarung dan baju koko. Bahkan kopiah masih menempel di kepalanya. Setelah melihat Geo dia malah menatapinya lama. Geo sampai merasa risih.
"Pak, jangan ditatap lama-lama. Pacarnya itu sangat protektif lho, nanti dia ngamuk." Vea lagi-lagi membuat masalah. Geo memelototinya dan memperingatkannya untuk tutup mulut.
Pak Wastu tersadar. Dia tertawa dan tampak malu. "Ah, maaf, itu karena saya tidak percaya saja. Barang yang akan saya berikan padamu ini adalah barang yang sudah sangat tua dan saya tidak tahu kenapa bapak bersikeras memberikan benda ini pada nak Geo."
"Hoo, kamu beruntung nak." Vea menyikut lengan Geo.
Pak Wastu masuk kembali ke dalam dan keluar sambil membawa sebuah kotak tua. "Saya tidak tahu apa yang ada di dalamnya tetapi lebih baik Nak Geo saja yang buka. Mau dibuka di sini atau di rumah juga tidak masalah." Pak Wastu menyerahkan kotak tua itu pada Geo. Geo menerimanya. "Kata ayah, kamu akan mengenali ini."
"Benarkah?"
"Katanya. Saya tidak tahu tapi beliau bilang ini milik seseorang bernama Beni. Kamu kenal?"
Geo dan Vea saling berpandangan. Namanya yang mirip atau bagaimana?
"Ini bukan punya Beni pacar saya, kan, Pak?" Geo bertanya dengan hati-hati. Sekarang pikiran konyolnya mulai berkelana. Bagaimana kalau Beni pacarnya adalah seseorang berusia puluhan tahun? Geo menggeleng. Itu tidak mungkin. Beni masih muda dan sedang koas. Tidak mungkin dia seorang kakek tua yang menyamar.
"Itulah yang ganjil. Bapak bilang Beni yang ini pacarmu. Bapak kenal kamu tapi anehnya kamu tidak kenal. Bapak bilang benda ini harus dikembalikan padamu karena kamu berhak memilikinya tapi kamu saja tidak kenal siapa Beni."
"Hmm, kalau Beni yang lain saya kenal."
"Sepertinya ini bukan Beni yang lain itu."
"Katanya dia sudah kenal Geo saat Geo berumur dua puluh tahun."
Geo merinding. "Se ... Sekarang saya umur dua puluh, Pak."
"Sungguh?" Pak Wastu juga ikut terkejut. Geo tidak tahu apa pun dan merasa ganjil dengan apa pun benda aneh di dalam kotak itu. Geo sudah tidak mau membawa kotak itu tetapi Pak Wastu bersikeras bahwa Geo harus membawanya pulang. Katanya memenuhi permintaan ayahnya.
Akhirnya Vea dan Geo pulang sambil membawa kotak tua aneh itu. Geo sampai harus melemparkannya jauh-jauh supaya tidak merasa takut.
"Aneh, bukan? Apa menurutmu almarhum Pak Hasan itu orang yang aneh?"
"Mungkin saja, Ve. Aku takut jadinya."
"Mungkin saja itu beneran Beni yang sekarang."
"Maksudmu Beni yang sekarang itu temannya Almarhum Pak Hasan? Nggak mungkin lah."
Ponsel vea berbunyi. Lampu merah di depan sana tepat membuat Vea bisa leluasa memainkan ponselnya. Dia tertawa terbahak-bahak ketika melihat ponselnya.
"Beneran dibales. Wkwk ... Gila ... Pacarmu gila!"
"Apa lagi?"
"Dia bales yang foto tadi. Katanya, kalau Geo mau malam ini juga bakal buat."
"Eh, dasar gila! Sini aku balas! Si kurang ajar itu!"
Lampu hijau menyala. Vea menyembunyikan ponselnya di pantatnya. Selama perjalanan dia bahkan tidak berhenti tertawa.
***
Geo duduk di meja makan sembari memperhatikan ayahnya yang tengah sibuk menyiapkan barang-barang yang harus dia bawa. Ayahnya mengeluarkan satu koper besar dan jaket kulitnya. Dia masih mondar-mandir mengingat-ingat barang apa lagi yang harus dia bawa. Ayahnya itu akan pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan. Meninggalkannya sendiri di rumah selama seminggu ke depan.
"Tiketnya sudah?" Geo mengingatkan sambil memakan keripik.
"Sebentar. Oh, di mana, ya?" Ayahnya masuk ke kamar dan keluar lagi sambil membawa selembar tiket pesawat. Kebiasaan ayahnya selalu melupakan tiket kalau tidak diingatkan.
"Kamu yakin tidak apa-apa ditinggal sendiri? Jangan macam-macam sama Beni, ya."
"Tidak akan. Ayah, kan tahu aku bisa taekwondo."
"Taekwondo tidak akan berguna kalau kalian sama-sama mau."
"Apa sih yang ayah bicarakan? Aku akan menginap di rumah Vea besok. Lagipula Beni itu sibuk. Dia datang ke sini biasanya cuma buat numpang tidur."
"Benar juga. Ngomong-ngomong, kapan dia datang? Katanya mau ke sini?"
"Sebentar lagi." Geo melirik ke arah jam besar di sana dan melihat jarum jam berdetik pelan.
"Oke, nanti dia suruh makan dulu, ya."
Tak lama kemudian mobil jemputan ayah datang bersamaan dengan datangnya Beni. Matanya sayu dan terlihat sangat mengantuk. Kantung matanya sangat parah. Beni berlari membantu ayah membawa barang-barangnya. Walaupun tampak mengantuk, dia tetap tersenyum pada ayah Geo.
"Beni, kamu makan dulu, ya, sebelum tidur. Juga tolong jaga Geo. Jangan berbuat yang aneh-aneh. Awas saja kamu kalau berbuat yang aneh-aneh."
"Tidak, Pak. Saya nggak punya tenaga lagi buat mikirin hal aneh. Tugas saya sudah banyak dan bikin pusing."
"Yasudah. Kalian jaga diri baik-baik, ya."
"Ayah juga." Geo menyerobot lalu berpamitan dengan ayahnya. Ayahnya tersenyum simpul. Putrinya itu sudah mengalami perkembangan yang baik. Tidak lagi merasa histeris dan bahkan tidak minum obat pun tidak apa-apa.
Ayahnya mengangguk dan mobil jemputan itu berjalan pelan. Geo mengamati mobil itu sampai menghilang di ujung jalan.
"Ahhh, aku ngantuk!" Beni menyandarkan kepalanya di bahu Geo.
"Makan dulu sana! Biar aku yang masukkan motormu."
"Iya sayang." Kemudian Beni melangkah masuk ke dalam rumah dengan gontai. Geo menggeleng dan memarkir motot Beni di garasinya. Beni baru saja pulang dari jaga malamnya. Minggu ini dia bertugas jaga malam terus.
Geo masuk dan tidak mendapati Beni duduk di meja makan. Geo membuka bungkusan makanan yang disiapkan untuk Beni. Masih lengkap seperti bum disentuh. Geo menggeleng. Sepertinya Beni sudah keburu tidur sebelum sempat makan. Geo berjalan menuju kamarnya dan mengintip ke dalam.
Benar saja. Beni sudah terlelap di sana.
Gei tidak tahu kenapa Beni sangat suka tidur di kamarnya padahal ada kamar lain yang sudah di sediakan, tetapi Beni tidak mau memakainya. Geo menutup lagi pintunya dan berjalan mengambil kotak tua pemberian Pak Wastu yang belum sempat dia buka. Kotak tua yang katanya dari ayah Pak Wastu yang bernama Hasan.
Perlahan, dia membuka kotak itu dan tertegun melihat selembar kain putih yang terlihat tua. Kain itu terlihat seperti ikat kepala. Geo membolak-balik kain itu dan menemukan sebuah nama kecil yang tertulis di sudut kain. Beni. Mendadak, dia menoleh ke arah kamarnya. Beni yang sedang tidur di kamarnya? Geo mengerutkan keningnya lalu menggeleng. Tidak mungkin kakek tua bernama Hasan kenal dengan Beni ini.
Kemudian matanya tertumbuk pada sesuatu yang dikenalnya. Badge merah putih. Tangan Geo bergetar dan mengambil badge itu. Dia ingat, pernah memakai badge itu di sebuah acara karena badge itu adalah tanda bahwa dia bertugas sebagai ketua.
Tiba-tiba ingatannya mengalir seperti menonton adegan film. Ingatan ketika dia terjatuh dari benteng dan kemudian terjatuh di tempat aneh yang membuatnya harus hidup dengan dituduh sebagai mata-mata. Hampir mati tertembak. Melihat beberapa orang dipukuli. Lalu ingatannya memuncak saat dia melihat Beni di kepalanya. Beni yang tertembak berada di dekapannya. Sontak air mata mengalir dengan deras.
"Geo? Kamu menangis?" Beni keluar dari kamarnya dan berdiri dengan heran. Melihat Geo memegangi badge merah putih sambil meneteskan air mata.
Geo menoleh. Dilihatnya Beni yang ini masih hidup. Dia lalu berdiri dan berlari memeluk Beni. Sekarang dia tahu. Kenapa rasanya seperti kehilangan sesuatu yang penting. Dia kehilangan Beni di waktu itu. Dan sekarang dia sadar kenapa dia merasa sesuatu itu telah kembali. Karena Beni juga sudah kembali.
"Geo kenapa? Kamu kangen ayahmu?"
"Aku cinta kamu. Beni, aku cinta kamu." Geo terus mengulang-ulang kata itu sambil sesenggukan dalam pelukan Beni.
Beni menepuk-nepuk punggungnya. Berusaha menenangkannya. "Aku tahu."