Daun-daun bergemerisik. Angin kencang berhembus mengibarkan rambut Geo. Rambut panjangnya yang terurai, menggantung berantakan di seluruh wajahnya. Berberapa saat yang lalu, Geo melewati jalan yang salah. Dia hampir terperosok kalau rambutnya tidak menyangkut di pohon yang penuh sulur. Kepalanya jadi mirip seperti medusa, dewi dalam mitologi Yunani yang rambutnya berupa kumpulan ular.
Geo setengah menjerit kesakitan karena mencoba melepas sulur-sulur itu dari kepalanya. Jepit rambutnya membuat sulur-sulur itu saling terkait. Sanggulnya lepas dan sulurnya masih membelit jepitnya. Akhirnya, Geo merelakan jepitnya. Mematahkannya menjadi dua agar sulur-sulur itu terlepas. Geo meringis saat menarik jepitnya keluar. Beberapa helai rambutnya ikut tercabut.
Angin kembali berhembus. Rambutnya kembali berkibaran. Geo merapikan rambutnya menggunakan tangannya dan memasukkannya ke celah kebaya. Geo hampir melanjutkan perjalanannya ketika mendengar suara rintihan seseorang. Tubuh Geo membeku. Di tengah hutan yang sepi begini, kemungkinan yang terlintas adalah salah satu tentara Belanda terluka. Geo berjalan mengendap-endap mendekati sumber suara. Mengintip dari balik pohon bambu.
Seorang gadis cantik dengan kebaya warna merah terjatuh di tanah. Di sekelilingnya terdapat bakul-bakul berisi sayuran yang berhamburan. Kemudian seorang pria berwajah lokal berdiri di depannya sambil menodongkan pisau. Pakaian pria itu tampak rapi seperti seorang tentara. Bedanya hanyalah wajahnya seperti warga lokal. Di sebelah saku pakaiannya terdapat sebuah rantai berwarna emas yang menggantung dengan bandul kecil yang tidak dapat dilihat Geo.
"Ampun, Kang! Kulo mboten salah." (Ampun, Mas! Saya tidak salah). Gadis yang terjatuh terlihat memohon-mohon. Tangannya saling bertautan seperti tengah berdoa.
"Persetan! Sampeyan bakulan tapi ra terimo duit Londo! Sampeyan ngremehke Londo?" (Persetan! Kamu jualan tapi tidak menerima uang Londo! Kamu meremehkan Londo?)
"Ampun, Kang! Kulo mboten ngremehipun. Arta Londo menika mboten pajeng wonten pasar." (Ampun, Mas! Saya tidak meremehkan. Uang Londo itu tidak laku di pasar.)
"Banyak omong!" Pria itu langsung menendang gadis itu tanpa ampun sambil mengumpat. Geo tidak tahu apa yang mereka bicarakan karena perbedaan bahasa. Namun, tangannya sudah terkepal. Seorang pria yang berani menyakiti wanita adalah orang yang buruk.
"Sampeyan ekstrimis! Sekarang beri tahu saya di mana konco-koncomu sembunyi!" Pisau di tangan pria itu semakin dekat ke leher gadis itu. Bahkan sudah sampai menggores kulit di leher gadis itu. Gadis itu kembali minta ampun. Wajahnya sudah berurai air mata dan rambutnya acak-acakan akibat di jambak pria itu.
"Berani tutup mulut? Mau sampai kapan kamu tutup mulut? Saya harus beri kamu hukuman!" Mata pria itu berubah. Mulutnya menyeringai seolah telah mendapatkan mangsanya. Gadis itu menggeleng dan menangis lebih keras sambil terus meminta ampun. Namun, pria itu tidak menggubris teriakan gadis itu. Pria itu tertawa, merasa senang dengan apa yang dia lakukan. Sekarang dia menahan kedua tangan gadis itu di atas kepalanya lalu membuka kancing kebaya gadis itu di mulai dari atas. Gadis itu semakin berteriak dan mencoba memberontak.
"Diam! Tidak ada gunanya! Kamu pikir di tengah hutan ada yang akan mendengarmu?"
"Oh! Ada!" Geo menimpali dengan setengah berteriak. Dia muncul dari balik pohon bambu. Sedari tadi, Geo berusaha menahan diri untuk tidak ikut campur karena dia pikir mereka hanyalah sepasang suami istri yang tengah ribut.
Pria itu terlonjak dan menoleh. Namun, setelah melihat Geo, senyumnya terkembang. Seolah mendapat satu lagi keberuntungan. Pria itu tidak tahu, sekarang Geo sudah bersiap memasang kuda-kuda. Rok jaritnya sudah dinaikan sepuluh senti di atas lutut. Dengan begitu, dia jadi lebih mudah untuk melakukan tendangan.
"Oh, dapat satu lagi. Betapa beruntungnya saya hari ini! Tunggu, ya, saya akan bermain denganmu setelah selesai dengan yang ini." Pria itu menjilati bibirnya seperti seorang maniak. Harga diri Geo seolah dilecehkan. Ketika pria itu kembali fokus pada mangsa awalnya, Geo berlari ke arahnya dan melakukan tendangan samping. Tendangannya tepat mengenai bagian kiri wajah pria mesum itu, membuatnya terbang ke sisi kanan dan berguling di tanah.
Si gadis yang terlepas dari genggaman pria mesum itu segera menutupi bagian dadanya yang terekspos dan beringsut ke belakang. Air matanya mengalir diiringi dengan tubuhnya yang bergetar hebat. Geo mengepalkan tangannya. Pria mesum itu harus diberi pelajaran.
"Keparat! Baru kali ini saya menemui seorang gadis melakukan hal begitu. Kamu beneran seorang gadis? Perlukah saya memeriksanya?" Pria itu menyeringai. Sepertinya pikirannya belum kembali waras setelah menerima tendangan.
Geo bersiap kembali berlari ke arah si pria mesum itu. Namun, sebelum Geo mendekat, pria itu sudah mengeluarkan pisaunya. Geo berhenti, dia lupa dengan senjata pria itu. Pria itu kembali tertawa melihat Geo yang berhenti. Mungkin menurutnya, Geo ketakutan karena dia memiliki senjata. Seolah merasa akan menang, pria itu menantang Geo. "Sebenarnya saya ini tidak suka melukai perempuan. Berlututlah dan turuti apa yang saya perintahkan. Setelah itu, saya akan melepaskanmu tanpa kekerasan. Saya juga bisa memberikan apa pun padamu. Bagaimana?"
Pria itu menyeringai. Tingkat kepercayaan dirinya melambung tinggi. Kemudian, dia mengeluarkan sebuah rantai emas dari sakunya. Bandul berbentuk huruf menggantung bertuliskan 'RM'. "Kamu hanya cukup memberitahu saya di mana para ekstrimis bersembunyi. Kemudian saya bisa memberikan kalian apa pun yang kalian mau. Tawaran yang bagus bukan?"
Sekarang Geo memahami satu hal. Pria itu seorang pengkhianat. Punggungnya jadi merinding. Dia hanya pernah melihat yang seperti ini di dalam film-film. Namun, kini dia melihatnya sendiri. Hatinya berdenyut seolah ada yang meremasnya. Orang seperti itulah yang benar-benar paling jahat. Berani melawan negaranya sendiri demi keuntungan dirinya. Menyengsarakan bangsanya demi kepuasan sendiri. Benar-benar jahat.
"Kamu pengkhianat!" Geo mengultimatum pria itu.
Pria itu terbahak. "Kasar sekali. Mereka memanggilku mata-mata."
"Kamu bodoh? Itu juga disebut pengkhianat!"
Rahang pria itu mengeras. Matanya melotot. Geo berhasil membuatnya emosi. "Kamu perempuan tapi bicaramu kasar sekali!"
"Yah, aku sering dengar yang begitu dari seseorang yang jauh lebih kasar darimu. Bedanya, dia bukan pengkhianat!" Geo menekankan kata 'Bukan Pengkhianat'.
"Dasar berengsek!" Pria itu murka. Berlari ke arah Geo sambil mengulurkan tangannya yang menggenggam pisau. Geo bersiap dan ketika jaraknya cukup, Geo menendang tangan pria itu yang memegang pisau dengan keras hingga membuat pisaunya terlempar. Kemudian tanpa berhenti, Geo melakukan tendangan berputar mengarah ke kepala pria itu. Pria itu jatuh ke tanah lagi.
Geo yakin, kepala pria itu pasti terasa berputar. Namun, tanpa diduga, dia bangkit lagi dengan sedikit sempoyongan lalu mengumpat-umpat. Kemudian, suara tembakan berdesing. Si pria itu kembali roboh dengan dada yang berlubang. Geo merasa ngilu karena pernah merasakan itu. Geo menoleh dan mendapati gadis itu menggengam pistol.
Gadis itu lalu terjatuh dan tangannya yang menggenggam pistol gemetaran. Air matanya kembali keluar. Geo segera berlari menghampirinya dan menenangkannya. Setelah memastikan gadis itu sudah tenang, mereka segera pergi dari sana meninggalkan mayat si pria mesum itu.
Gadis itu bernama Ambar. Dia bertugas mengantarkan senjata pada seorang pejuang gerilya yang tengah menyamar di pasar. Dia menyembunyikan senjata itu di balik jaritnya dan berpura-pura menjual sayuran di dalam bakulnya. Namun, dalam perjalanan dia bertemu dengan si pria mesum yang ingin membeli sayurnya dengan uang Belanda. Ambar menolak karena uang itu tidak laku di pasar. Pria itu marah dan kejadiannya seperti yang dilihat Geo.
"Kenapa kamu mau jadi pengantar senjata? Inikan tugas yang berbahaya." Geo bertanya dengan heran. Gadis secantik Ambar mau melakukan pekerjaan yang penuh resiko begini.
"Memang berbahaya tetapi tidak ada pilihan lain. Saya juga ingin berjuang."
Geo menatap gadis itu dengan takjub. Bagaimana gadis seperti dia sudah menanggung beban yang besar. Walau dia tahu nyawa yang akan jadi taruhan, mereka tetap tanpa gentar terus berjuang. Geo jadi merasa rendah diri. Selama ini dia tidak melakukan apa pun dan bersikeras ingin kembali. Hidup di zaman ini memang susah tapi berjuang seperti mereka itu sangat keren. Geo menyadari sesuatu. Dia juga ingin berguna di sini.
"Hmm, kamu berasal dari luar kota?
"Kenapa kamu tanya begitu?"
"Itu, kamu sangat cantik juga bahasamu rasanya sedikit berbeda dari kami."
"Benar. Saya dari luar kota."
"Lalu, apa di sana pakaiannya seperti itu? Kalau di sini, itu terlalu pendek."
"Hahaha, ini? Aku sengaja membuatnya begini. Terlihat lebih nyaman untuk menendang orang mesum seperti tadi."
Mereka tertawa bersama, lalu sebagai ucapan terimakasih dari Ambar, Ambar dengan suka rela menggelung kembali rambut Geo. Mereka berpisah di depan pasar Beringharjo. Ambar harus menyelesaikan tugasnya, sementara Geo melambai dan mulai berkeliling pasar.
Keributan terjadi di pasar ketika Geo baru mulai berkeliling pasar. Geo menyingkir ketika beberapa tentara Belanda mulai mengobrak abrik pasar. Geo berdiri di sebelah penjual pecel. Para tentara itu menendangi barang dagangan yang mereka lewati. Berbagai sayuran, ketela, dan beberapa kain berhamburan di jalanan. Kemudian salah seorang tentara menyeret seorang pedagang dan memukulinya di tengah jalan. Hati Geo mencelus. Beginilah kelakuan para tentara Belanda itu.
"Nduk, jangan dilihat." Ibu penjual pecel di samping Geo menutupi pandangan Geo dengan kain penutup dagangannya. Geo menoleh, matanya berkaca-kaca. "Tidak apa-apa. Jangan menangis! Mereka memang selalu begitu. Sepertinya ada yang membuat masalah dan mereka sedang melampiaskannya."
"Tapi ... Itu .... " Air mata Geo meleleh. Tidak sanggup melanjutkan kata-katanya.
"Sudah, sudah. Hapus air matamu. Nanti mereka bisa lihat!" Geo mengangguk dan mulai menghapus air matanya. "Mau pecel, nduk?"
"Boleh, Bu. Saya mau beli dua."
"Tidak usah beli. Saya kasih gratis."
"Ah, jangan begitu. Saya punya uang, kok. Bukan uang Belanda."
Ibu penjual pecel itu tersenyum dan mengangguk. Kemudian tangannya dengan cekatan mulai memasukkan berbagai sayuran ke dalam bungkusan, lalu tak lupa menyirami sayuran itu dengan bumbu kacang. Sayup-sayup keributan di bekakangnya sudah menghilang. Geo tidak berani menoleh untuk melihat apa yang ditinggalkan para tentara biadab itu.
"Nduk, ada yang berdiri di belakangmu."
Geo menoleh dan langsung menjerit, "Astaga!" Beni berdiri sambil berkacak pinggang sembari memelototi Geo.
"Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?" Beni menekankan pada kata sendirian. Geo mengambil sebungkus pecel yang sudah selesai dibuat.
"Beli pecel. Mau?" Geo menyodorkan bungkusan itu ke arah Beni. Beni mendengus frustasi.
"Maksudku ... Cepat berdiri!" Nada memerintah dari suara Beni terdengar marah. Geo buru-buru membayar ibu penjual pecel itu dan mengambil bungkusan pecelnya yang lain. Kemudian Beni menyeret Geo keluar dari pasar. Membawa Geo melewati sebuah persawahan dan berhenti di saung.
"Beraninya kamu jalan-jalan sendiri!" Beni mulai marah-marah.
"Nggak sendiri. Tadi ada seseorang bernama Ambar yang menemani. Daripada Mas Beni terus marah-marah begitu, mending pecelnya di makan dulu." Geo mengalihkan pembicaraan sambil menyodorkan pecelnya. Beni menerimanya walau masih bergumam-gumam kesal.
Mereka makan dalam diam. Bergelut dengan pikiran masing-masing sembari menikmati pecel yang enak itu. Walau sedikit pedas tetap tidak mengurangi rasa enaknya.
"Mas ..." Geo memulai pembicaraan.
"Hmm?"
"Mata-mata itu. Bagaimana kalian membedakan mereka dari orang-orang biasa?"
"Kenapa tiba-tiba ingin tahu? Kamu tahu sesuatu?"
"Nggak! Penasaran saja. Apa mereka punya tanda khusus yang menunjukkan kalau mereka itu mata-mata?" Geo sudah penasaran ingin menanyakan hal ini sedari tadi setelah bertemu dengan si pria mesum itu.
Beni berhenti mengunyah dan menatap Geo. "Menurut informasi, katanya, para mata-mata itu membentuk suatu kelompok yang dibuat oleh Londo. Kabarnya mereka memakai sebuah rantai berwarna emas dengan bandul berupa huruf 'RM' singkatan dari Rantai Mas."
Geo berdengap. Rantai warna emas yang diceritakan Beni sama seperti yang dia lihat dari pria mesum tadi. Berarti benar kalau dia juga termasuk mata-mata. Kemudian punggungnya mendingin. Kalau begitu, kekasih Beni juga punya satu. Geo ingin bertanya tentang itu tapi mulutnya menutup. Dia tidak tega harus mengatakan itu. Bisa-bisa Beni akan mengamuk lagi.
"Mas Beni belum menemui orang yang punya rantai emas di dalam pasukan?"
Beni menggeleng. "Menggeledah mereka artinya saya tidak mempercayai mereka dan itu akan membuat kesatuan pasukan akan terpecah. Mereka akan saling menuduh dan menyalahkan. Saya tidak mau itu terjadi. Daripada saling tuduh begitu, lebih baik membuat rencana bagaimana cara menangkap mereka."
Geo melongo. Beni terdengar sangat keren. Jantungnya tiba-tiba berdegup sendiri. Geo mengenyahkan pikiran gilanya dan kembali berbicara. "Tapi itu terlalu beresiko, Mas."
Beni melirik Geo. Seulas senyum muncul dari bibirnya. "Kamu mengkhawatirkan saya?"
Geo mendelik. Tidak percaya dengan balasan Beni. Gara-gara itu jantungnya kembali berdegup kencang. "Nggak! Siapa bilang?"
"Terus kenapa kamu menangis? Saya terharu, nih."
Jantung Geo semakin menggila. Wajahnya juga terasa panas. "Astaga! Ini karena pecelnya pedas!"
Beni tergelak. "Bilang saja kalau kamu diam-diam mengkhawatirkan saya."
Geo bangkit merasa kesal dan gila. "Sudah, ah! Aku nggak mau membicarakan ini lagi!" Geo lalu turun dari saung dan berjalan pergi.
"Kamu juga sudah bisa memanggil saya Mas dengan lancar."
Geo berbalik. Wajahnya merah dan kesal. "Mau kupanggil Pak lagi?"
"Tidak boleh! Ayo pulang!" Beni berjalan melewati Geo. Geo mencibir dan diam-diam mengikuti Beni.
Mereka berjalan dalam diam. Berkali-kali Geo harus melambatkan langkahnya agar tidak sejajar dengan Beni. Jantungnya juga terus berdegup kencang tanpa henti. Geo terus merutuki dirinya sendiri karena merasa berdebar oleh seorang pria yang sudah punya pasangan dan mungkin akan segera menikah. Sementara Geo tengah bergulat dengan pikirannya yang gila, Beni berjalan santai dengan seulas senyum di bibirnya.
Memasuki desa, Geo mendapatkan banyak lirikan dengan maksud tertentu. Geo sibuk menggeleng sambil berbisik menyangkal apa pun yang mereka pikirkan. Geo sampai merasa kesal ketika melihat Beni yang menahan tawanya.
"Kamu sengaja, ya? Ini semua salahmu, kan? Kamu sengaja menyebarkan berita bohong dan memfitnah aku!" Geo mensejajarkan langkahnya di samping Beni dan berkacang pinggang memelototinya.
"Bukan saya! Itu terjadi begitu saja!"
"Yang benar saja! Memangnya yang begitu bisa terjadi begitu saja?"
"Mas Beni?" Suara lembut seseorang membuat Geo berhenti berteriak. Di depan rumah, Sulistyowati duduk di lincak menunggu Beni.
"Kamu datang, Sulis? Kamu bisa langsung ke rumah Hasan dulu." Beni menghampiri Sulis dan membelai kepalanya. Melihat itu hati Geo seolah teriris. Geo mengalihkan tatapannya. Dia sadar kalau Beni sudah mempunyai kekasih tapi rasanya sangat menyakitkan. "Kamu! Marah-marah lain kali saja!"
Geo mencibir sementara Beni menepuk bahunya lalu masuk ke dalam rumah. Sikapnya yang seenaknya begitu entah kenapa berhasil membuat Geo terpesona. Geo benar-benar sudah gila. Sulistyowati mendekati Geo dan berdiri di depannya.
"Kamu punya hubungan apa sama Mas Beni?" Sulistyowati mulai menyelidiki Geo.
"Apa maksudmu? Aku dan dia nggak ada hubungan apa pun."
"Kalau begitu berhentilah bertingkah seperti wanita murahan."
"Apa?" Geo mendelik. Kata-kata Sulistyowati barusan terdengar sangat kasar.
"Kamu pura-pura menempel dengannya begitu sambil menimbulkan keributan. Begitukah caramu menjadi pusat perhatian?"
Geo tertawa hambar. Merasa kesal karena kata-kata itu muncul dari seorang mata-mata yang sedang menyamar. "Yang sedang mencoba jadi pusat perhatian itu siapa?"
"Sudahlah. Saya memaafkan kamu kali ini." Sulistyowati berbisik di depan Geo dengan tatapan yang tajam.
"Ho ... Aku jadi penasaran apa yang akan kamu lakukan selanjutnya."
"Apa maksudmu?"
"Nggak ada." Geo tersenyum penuh arti lalu berlalu.
"Aneh." Seruan Sulistyowati masih bisa didengar Geo. Wanita itu hebat juga. Merasa tidak tahu malu terus menampakkan dirinya di depan para pejuang.
Mbak Tutik pergi ke rumah Hasan dan menyuruh Geo menunggu rumah. Padahal Geo juga merengek ingin ikut mendengarkan rapat kali ini. Namun, Mbak Tutik langsung menolaknya. Mbak Tutik masih trauma melihat Geo yang kembali dengan terluka seperti waktu itu. Geo akhirnya menurut dan lebih memilih duduk di lincak belakang rumah sambil menatap langit malam. Tiba-tiba Beni muncul dan duduk di sebelah Geo. Geo melonjak karena mengira Beni adalah hantu.
"Ya ampun, Mas. Jangan mengagetkan begitu!" Geo mengomel sambil mengurut dadanya.
"Yang kamu bilang waktu itu benar?" Beni menatap langit. Ribuan bintang berkilauan di atas sana.
"Yang mana?"
"Sulistyowati sungguhan mata-mata?"
"Kalau yang itu, aku sangat yakin. Mataku ini tidak pernah salah. Wajahnya dan bentuk tubuhnya sangat terlihat jelas. Aku yakin itu Mbak Sulis, tapi Mas Beni, kan, nggak percaya sama aku. Kenapa tiba-tiba menanyakan itu?"
"Saya, sedang mencoba bertaruh. Kali ini kalau rencana gagal, maka saya tidak ada pilihan lain selain mempercayaimu."
Geo menarik tangan Beni agar dirinya menatap Geo. "Jangan! Terlalu berbahaya! Mas Beni harus percaya setelah melihatnya sendiri. Bukan terpaksa percaya karena aku!"
Beni meraih tangan Geo dan menggenggamnya. "Inilah kenapa saya terus bingung sama kamu. Rencana kali ini juga akan jadi ajang pembuktian bagi saya. Saya akan kembali setelah merasa yakin dengan apa yang saya yakini. Jadi, maukah kamu menunggu sampai saya merasa yakin?"
"Bukankah itu egois? Bagaimana pun, kamu punya Mbak Sulis. Aku nggak tahu apa yang sedang kamu coba untuk percayai, tapi aku nggak mau menunggu untuk sesuatu yang nggak pasti." Geo melepaskan genggaman tangan Beni. Dia sudah yakin Beni sedang mencoba mempercayai hal lain di luar kenyataan Sulis yang menurut Geo adalah seorang mata-mata.
Beni kembali menarik tangan Geo. "Tidak bisakah kamu berjanji padaku?"
"Kenapa? Aku nggak berhak berjanji sama Mas Beni. Aku bukan siapa-siapa."
"Bersamaan dengan rencana ini, saya akan membereskan semuanya. Tolong katakan kamu akan menunggu saya, dengan begitu saya jadi merasa pertaruhan kali ini tidak akan sia-sia."
Geo menatap Beni dalam diam. Semakin Geo mencoba memahami apa yang sedang Beni coba lakukan, dia semakin tidak paham. Namun, pada akhirnya, "Ah, baiklah. Terserah kamu saja."
"Kalau begitu saya akan kembali ke rapat. Terimakasih sudah mau menungguku. Saya janji akan membereskan semuanya."
Geo mengangguk. Genggaman tangan Beni terlepas. Geo menatap punggung Beni yang perlahan menghilang di balik pintu dapur. Apa sih yang sedang Beni rencanakan?