Loading...
Logo TinLit
Read Story - Somehow 1949
MENU
About Us  

Geo membuka matanya. Merasa kesal pada sesuatu yang menggebrak pintu kamarnya. Suara ketukan pintu terdengar sangat keras dan intens. Geo bangkit sembari menggerutu. Matanya terlihat setengah terbuka. Rambut panjangnya dibiarkan terurai dan kusut. Merutuki siapa pun yang berusaha mendobrak pintu kamarnya. Lantai yang dingin menyentuh kulit kakinya yang telanjang. Sesuatu itu harus bertanggungjawab untuk kantung mata yang mungkin akan terbentuk nantinya.

Pintu terbuka. Geo hampir memaki-maki sesuatu atau seseorang lebih tepatnya yang berdiri di depan pintu kamarnya memakai kaos dengan sarung yang melingkar di lehernya. Di kepalanya terikat semacam potongan kain yang dibentuk seperti ikat kepala.

"Apa? Aku sedang berusaha tidur!" Mata Geo menatap tajam orang itu. Sebagian rambutnya menutupi wajahnya membuatnya terlihat mengerikan. Tangan orang itu bergerak, menyingkirkan sebagian rambut yang mengganggu itu. Menyibakkannya ke belakang kepala Geo. Wajah mengantuknya jadi terlihat jelas. Matanya memicing sambil berusaha menahan kantuk.

"Maaf membangunkanmu tapi entah kenapa saya harus berpamitan padamu. Rasanya seperti kita tidak akan bertemu untuk waktu yang lama."

"Ngomong apa sih? Aku bangun bukan untuk mendengar omong kosongmu tahu!"

Orang itu terkekeh kecil. "Kamu terlihat sangat manis."

Geo membeku di tempat. Entah dia sedang bermimpi atau bagaimana tapi orang itu terkekeh. Hal yang tidak mungkin dilakukan orang seperti dia. Kalau dipikirkan, ini pertama kalinya Geo melihat orang itu terkekeh. Bisa jadi itu suara tawanya yang pertama selama puluhan tahun. Mendadak Geo jadi merinding. Biasanya orang yang melakukan sesuatu tidak seperti biasanya akan mengalami nasib buruk.

"Saya pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik!"

Orang itu berbalik tetapi Geo menarik ujung kaosnya. Orang itu berhenti dan menoleh. Geo merasa tidak boleh membiarkan orang itu pergi. Geo merasa sesuatu akan terjadi pada orang itu kalau dia pergi. Orang itu meraih tangan Geo dan melepas cengkeraman tangannya di kaosnya.

"Mas Beni ... Tolong, kembali dalam keadaan baik-baik saja." Akhirnya setelah keheningan yang lama, Geo dapat mengeluarkan suaranya juga. "Berjanjilah padaku." Geo mengangkat wajahnya. Matanya berkaca-kaca. Tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada orang itu.

Orang itu tersenyum. "Saya janji." Dia menepuk punggung tangan Geo.

"Orang di zamanku berjanji seperti ini." Geo mencontohkan dengan melingkarkan kedua jari kelingkingnya. Kemudian Geo mengangkat jari kelingkingnya dan mengarahkannya ke depan orang itu. Orang itu sedikit bingung tetapi akhirnya ikut mengangkat jari kelingkingnya. Geo melingkarkan jarinya ke jari orang itu. "Kamu sudah berjanji jadi tolong ditepati."

Lagi-lagi orang itu tersenyum. Sangat mempesona sampai Geo merasa seharusnya dia tidak melepas orang itu pergi. Namun, orang itu harus pergi. Banyak orang yang menunggunya memberi perintah. Rencana penyerangan kali ini adalah sebuah pertaruhan sekaligus tantangan untuk si mata-mata. Akankah setelah ini si mata-mata akan mengacaukannya dan masih berani menampakkan wajahnya lagi.

Bersamaan dengan suara ayam yang berkokok bersahut-sahutan, orang itu menghilang. Angin dingin berhembus mengibarkan rambut Geo. Perasaannya semakin tidak enak. Seperti sesuatu yang buruk akan segera terjadi. Geo mendongak dan menatap langit malam yang penuh bintang. Matanya terpejam. Dia berdoa, memohon supaya keresahan hatinya segera berkurang. Juga memohon keselamatan orang itu.

***

Mbak Tutik terus menerus mengintip di balik jendela. Melihat jalanan dan mengawasi orang-orang yang lewat barangkali Beni berada di antara mereka. Namun, nihil. Ini sudah dua hari sejak rencana penyerangan itu. Beni belum juga kembali. Padahal Hasan sudah kembali. Geo ingat Mbak Tutik sampai menangis gila-gilaan. Dia khawatir kalau kejadian seperti yang dialami Geo akan terjadi pada Beni yaitu tertembak musuh. Mbak Tutik bahkan sudah membayangkan kejadian yang lebih buruk daripada tertembak.

Geo duduk di lincak ruang tamu dengan kepala menengadah menatap langit-langit. Pikirannya melayang. Beni harus kembali karena dia sudah berjanji. Perasaannya bercampur aduk. Dia ingin Beni kembali dengan selamat tetapi setelah itu apa yang akan terjadi? Beni sudah punya Sulistyowati dan kalau ternyata Sulistyowati bukan mata-matanya, apa yang akan Geo lakukan?

Dia tidak mungkin menjadi pelakor di zaman ini. Sangat tidak masuk akal kalau dia harus datang jauh-jauh ke zaman ini hanya untuk menjadi pelakor. Lebih baik kalau dia kembali ke zaman modern dan menikung Fian.

Hasan masuk ke dalam rumah dengan berisik. Mbak Tutik segera berlari menghampirinya. Selama ini Hasan juga tidak tinggal diam. Dia selalu pergi ke kota dan mencari informasi keberadaan Beni. Katanya terlalu sulit karena dia juga harus berhati-hati dengan kemungkinan adanya mata-mata lain yang mengawasi. Kejadian terbunuhnya seorang mata-mata di hutan membuat Belanda dan mata-mata lain jadi lebih waspada. Geo menyadari kalau dia juga ikut andil membuat situasi menegangkan seperti itu. Karena dia juga ikut terlibat dalam pembunuhan seorang mata-mata di hutan waktu itu.

Hasan duduk di sebelah Geo sambil memandangi Mbak Tutik yang sudah hampir menangis lagi. Beni adalah satu-satunya keluarganya yang tersisa setelah Belanda membunuh kedua orangtuanya. Tentu saja Mbak Tutik tidak ingin sebuah kejadian buruk menimpa salah satu keluarganya yang tersisa. Hasan mengambil nafas sebelum mulai bicara. Bulir-bulir peluh menetes dari dahinya. Terkadang Geo tidak menyangka kalau pemuda ini adalah seorang kakek tua yang pernah ditemuinya di zaman modern.

"Pak Beni terluka parah." Kalimat awal yang menyayat hati itu berhasil membuat Mbak Tutik menangis tersedu-sedu. Dia sudah mengira adiknya itu meninggal sampai Hasan menyampaikan kalimat berikutnya. "Dia ada di rumah salah satu masyarakat yang mau membantu kami. Dia masih belum sadar tetapi sudah dirawat dengan baik. Informasi ini sangat sulit di dapat. Saya sampai hampir kena masalah dengan salah satu mata-mata di pasar."

Mbak Tutik membelalakkan matanya. Air matanya masih mengalir tetapi ada senyum tipis di bibirnya. Geo menghela nafas lega. Beni sudah menepati janjinya walaupun tidak seratus persen dalam keadaan baik-baik saja. Setidaknya dia selamat.

"Kamu tahu, San di mana rumahnya?" Mbak Tutik mengguncang tubuh Hasan. Hasan mengangguk pelan. "Bawa saya ke sana!"

"Tunggu dulu, Mbak. Jangan sekarang. Bahaya! Londo selalu berpatroli. Sangat bahaya kalau Mbak Tutik jalan-jalan saat ini. Lebih baik nanti saja kalau sudah malam."

Tidak ada pilihan lain bagi Mbak Tutik untuk menurut. Belanda sedang memperketat keamanan untuk membasmi para pejuang gerilya. Mbak Tutik mengiyakan dan mulai menghapus air matanya. Dia merasa lega. Setidaknya Beni selamat.

Hasan sudah bersiap di ruang tamu menunggu Mbak Tutik. Geo menemaninya sembari menghidangkan teh hangat untuknya. Hasan menatapnya. Seperti ada sesuatu yang dia ingin katakan.

"Apa? Katakan saja kalau mau mengatakan sesuatu." Hasan menunduk mendengar Geo yang mengetahui pikirannya.

"Tidak ada, hanya saja apa kamu benar tidak apa-apa tidak ikut menengok Pak Beni?"

"Tidak apa-apa. Lagipula benar kata Mbak Tutik, berbahaya kalau beramai-ramai. Saya akan berkunjung kalau Pak Beni sudah siuman."

Hasan terdiam. Bukan itu yang ingin dia katakan. Namun, rasanya kata-kata tidak ingin keluar dari mulutnya jadi dia hanya bergumam di dalam pikirannya. "Apakah sekarang saya bisa terus bersama kamu?"

Mbak Tutik sudah siap. Dia membawa beberapa makanan sebagai ucapan terimakasih pada orang yang telah merawat Beni. Setelah Mbak Tutik berpesan pada Geo agar menjaga rumah, Mbak Tutik dan Hasan pergi menembus malam. Melakukan perjalanan rahasia untuk menemui Beni. Geo terus melambaikan tangannya sampai sosok mereka hilang dalam kegelapan. Bersamaan dengan lambaian tangannya, terdapat sebuah doa yang memohon agar Beni cepat siuman.

***

Katanya Beni sudah siuman. Mbak Tutik juga sering menengoknya. Beni belum bisa kembali ke desa karena lukanya masih belum sembuh. Dan juga terlalu berbahaya memindah dia selama Belanda masih terus memperketat pengawasan terhadap pejuang gerilya. Apalagi Beni itu termasuk orang yang sedang dicari Belanda.

"Kamu, kapan mau menengok Pak Beni? Dia selalu menyebut-nyebutmu, katanya dia mau menepati janji atau apa begitu."

Geo terdiam. Walaupun dia merasa lega Beni masih selamat dan bisa kembali sadar tetapi hatinya mulai ragu. Apakah Beni sudah benar-benar yakin dengan sesuatu yang dia ingin cari dari penyerangan itu?

"Bagaimana kabar Mbak Sulistyowati? Apa dia tahu keadaan Pak Beni?" Geo menoleh. Hasan berhenti mencabuti ketela. Disekanya keringat dari dahinya.

"Tidak tahu. Kami belum melihat Mbak Sulis lagi. Saya tidak terlalu dekat dengan Mbak Sulis jadi saya juga tidak tahu pasti."

"Sudah kuduga," gumam Geo.

"Apa?" Hasan memicing, merasa mendengar Geo mengatakan sesuatu.

"Ah, tidak. Semua ketela ini untuk apa? Sepertinya kita dapat banyak."

"Dijual. Apa lagi?"

"Boleh aku ikut menjualnya?"

"Boleh kalau kamu izin Pak Beni dulu."

"Aih, kenapa harus minta izin segala?"

"Percaya atau tidak, dia itu selalu menunggu kamu datang menjenguk."

Geo tertawa. "Sudahlah. Mas Hasan nggak usah ngomong yang enggak-enggak. Lanjutin aja nyabut ketelanya."

"Diberi tahu juga tidak percaya." Hasan bergumam sambil berusaha menarik batang ketela kuat-kuat. Menurut Geo, Hasan itu manis tetapi mengingat kalau sosoknya adalah seorang kakek tua membuatnya membuang jauh-jauh pikiran itu. Padahal kalau dipikir-pikir, Beni juga harusnya tidak jauh dari umur Hasan di zaman modern. Mengingat itu saja membuat Geo mual. Dia menyukai seseorang yang sangat tua. Bahkan lebih tua dari kakeknya.

Hasan menyudahi mencabuti ketela. Tubuhnya bermandikan keringat. Matahari bersinar terik tepat di atas kepala. Hasan menyuruh Geo mengumpulkan semua ketela yang berhasil di cabut ke dalam bakul dan segera membawanya pulang. Di depan rumah Mbak Tutik sudah menunggu dengan senyuman cerah.

"Sudah selesai? Sudah Mbak tunggu dari tadi. San, antarkan saya menjenguk Beni."

"Iya, Mbak. Sebentar saya mandi dulu." Hasan mengambil bakul yang dipegang Geo dan membawanya masuk ke rumahnya. Geo berjalan mendekati Mbak Tutik dan duduk di sebelahnya. "Kamu juga harus menjenguk Beni."

"Kenapa? Nanti juga kalau sudah sembuh, dia juga kembali."

"Masih pura-pura? Dikira saya tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian?"

"Memangnya ada apa? Tidak ada apa-apa juga."

"Pokoknya kamu juga harus menengoknya."

"Kata Mbak, kalau jalan rame-rame bahaya."

"Tidak perlu banyak alasan. Sekarang kamu masuk dan siap-siap. Setelah Hasan selesai mandi, kita berangkat!"

"Yah, Mbak, kok gitu?"

Dengan sekali dorong, Mbak Tutik membuat Geo masuk ke dalam rumah. Melotot menyuruhnya cepat bersiap-siap. Cuci kaki, cuci muka atau mandi sekalian. Geo berjalan lesu ke belakang rumah menuju kamarnya. Rasanya tidak siap untuk bertemu Beni. Jantungnya bahkan sudah berisik ketika Mbak Tutik memaksanya ikut.

"Ah, diamlah! Dia itu masih belum percaya kalau pacarnya itu mata-mata! Berhenti bertingkah!!" Geo bergumam memarahi jantungnya yang tidak berhenti berdebar.

Perjalanan menjenguk Beni diwarnai dengan adegan kucing-kucingan. Tanpa diduga banyak sekali tentara Belanda yang berkeliaran di jalanan. Juga terdapat beberapa orang lokal yang memakai rantai emas dengan bandul huruf 'RM' menatap setiap orang yang lewat dengan tatapan menyelidik. Sekalinya ada yang mencurigakan langsung dihajar tanpa bertanya lebih dulu. Tingkah laku para penghianat itu sangat melukai hati Geo. Mereka hanyalah seorang pengecut yang bersembunyi di balik kedok mata-mata untuk melarikan diri dari kekejaman Belanda.

Geo hampir saja menghampiri seorang mata-mata yang tengah menghajar pria paruh baya. Hasan buru-buru menyeretnya pergi dan memarahinya untuk diam saja. Katanya, kalau Geo membantu malah akan lebih memperumit keadaan. Bisa-bisa Geo jadi ditangkap karena tuduhan ekstrimis. Geo menghela nafas kasar dan selama perjalanan masih terus mengepalkan tangannya. Hatinya sakit melihat orang-orang tidak bersalah yang dianiaya di depan umum. Dipermalukan, disakiti, dan dilecehkan. Geo ingin membalas semua itu tetapi tidak punya kekuatan. Dia hanyalah orang asing yang terdampar di zaman yang kejam ini.

Rumah tempat di mana Beni dirawat tidak berbeda jauh dari rumah-rumah yang ada di desa Minggiran. Bentuknya dan jenisnya sama. Seorang perempuan cantik menyambut kedatangan mereka. Kemudian tatapan matanya berhenti ketika melihat Geo.

"Siapa gadis cantik ini? Saya belum pernah melihatnya."

"Kekasih Beni." Mbak Tutik menjawab dengan asal tapi berhasil membuat Geo tertegun. Mbak Tutik berani mengatakan itu pada orang yang tidak dikenal. Sekarang Geo menyadari siapa orang yang telah menyebarkan berita bohong ke seluruh desa kalau Geo adalah kekasih Beni.

"Jadi selama ini Mbak Tutik yang menyebarkan berita bohong itu?"

"Tidak sepenuhnya salah."

Geo merasa dikhianati. Ternyata selama ini pelakunya ada di depan matanya dan dia tidak sadar akan hal itu. Mbak Tutik masuk ke dalam rumah diikuti Hasan dan perempuan cantik itu. Di zaman ini, ada juga perempuan cantik seperti perempuan itu. Di dalam rumah, ada seorang pria paruh baya yang baru saja keluar dari sebuah kamar. Mbak Tutik dan Hasan masuk ke dalam kamar sementara langkah Geo terhenti karena perempuan cantik itu menyuruh Geo mencicipi makanan yang disebut gudangan.

"Saya dengar kalau banyak pemuda yang ditangkap Londo." Suara Beni terdengar dari dalam kamar itu. Namun, perhatian Geo sudah teralihkan oleh gudangan yang dibuat perempuan cantik itu. Rasanya sangat enak. Bumbunya tercampur dalam porsi yang pas.

"Bagaimana dengan Geo?" Merasa namanya disebut, Geo meninggalkan gudangannya dan mengintip dari balik pintu.

"Ya? Ada yang manggil aku?" Kepala Geo muncul dari balik pintu. Mulutnya masih mengunyah gudangan. Tatapan semua orang mengarah padanya termasuk Beni. Sebuah senyum tipis muncul di bibir Beni diiringi dengan helaan nafas lega.

"Kenapa berdiri di sana? Ayo masuk!" Mbak Tutik menyeret Geo masuk sementara Geo masih sibuk menelan gudangan yang tersisa di mulutnya.

Bukannya seruan gembira yang Geo dapat melainkan sebuah makian yang keluar dari mulut Beni. Padahal mereka sudah lama tidak bertemu dan makianlah yang didapat Geo sebagai ucapan penyambutan. Memang harusnya Geo tidak berharap lebih. Beni tetaplah Beni yang dulu. Si pemarah yang temperamental.

"Kamu jalan-jalan keluar dengan pakaian begitu?" Beni melotot di atas ranjangnya. Geo menatap pakaiannya. Biasanya juga dia memakai pakaian yang seperti ini. Kebaya motif berwarna biru dengan jarit yang dibuat seperti rok pendek selutut. Tidak ada yang salah.

"Kenapa? Ada yang salah?" Geo mendekati Beni sambil melipat tangannya di dada.

"Itu tidak sopan!" Beni menunjuk jarit Geo. Nada suara Beni yang meninggi membuat Geo yakin kalau terluka pun tidak akan menyembuhkan penyakit temperamental milik Beni.

"Ada apa sih sama kamu? Dulu kamu juga biasa aja, padahal dulu pernah lebih tinggi dari ini."

"Kapan kamu buat lebih tinggi?"

"Waktu makan pecel."

"Wah, berani, ya, kamu mengelabui saya!"

"Siapa yang mengelabui? Kamu yang nggak sadar!"

perempuan cantik yang menyambut mereka tadi berbisik pada Mbak Tutik, "Apa perlu dilerai? Sepertinya sebentar lagi akan ada yang mengamuk."

"Ah, tidak perlu. Itu cara mereka melampiaskan rindunya."

Geo menoleh karena mendengar sesuatu. "Mbak Tutik bilang apa barusan? Telingaku ini sensitif."

"Haha, gudangan Sri memang enak, bikin rindu." Mbak Tutik tertawa gugup sambil menepuk-nepuk bahu perempuan di sebelahnya yang dipanggil Sri. Geo memicingkan matanya curiga. Sepertinya bukan itu yang dia dengar tadi.

"Heh! Perbaiki jaritmu! Kamu harus buat itu seperti Sri. Sopan dan enak dilihat!"

"Kamu nggak ngerti sih kenapa aku suka membuat jaritku begini. Dengan begini kan aku jadi lebih mudah bergerak. Buat berjalan cepat, berlari bahkan menendang pun bisa." Geo memperagakan beberapa gerakan yang dia sebutkan.

"Heh! Turunkan kakimu! Hasan bisa lihat!"

"Lihat apa? Jaritku? Tentu saja dia bisa lihat, kan dia punya mata!"

"Keluar sana! Kamu bikin darah tinggi!"

"Kamunya aja yang pemarah!"

***

Sore hari, Mbak Tutik mengajak Geo keluar membeli obat-obatan. Geo langsung mengiyakan ajakan itu karena malas adu mulut lagi dengan Beni. Setiap bertemu entah kenapa Beni selalu mengajak berantem. Geo tidak menuruti permintaan Beni yang menyuruhnya mengganti cara memakai jaritnya jadi seperti milik Sri atau Mbak Tutik. Geo hanya memutar matanya malas dan keluar dari kamar Beni sementara Beni terus berteriak memanggilnya.

Sebelum pergi, Geo hanya berpamitan dengan ayahnya Mbak Sri, Mbak Sri dan Hasan. Sementara Mbak Tutik lah yang berpamitan dengan Beni. Geo masih merasa kesal pada Beni masalah jarit sehingga dia tidak mau repot-repot berpamitan padanya.

Selama perjalanan Mbak Tutik selalu menyebutkan nama jalan dan nama desa di sekitarnya. Geo jadi punya sedikit gambaran mengenai beberapa tempat itu dibandingkan dengan tempat yang berada di zaman modern. Geo mengapit bakul kosong di antara ketiaknya. Bakul itu akan digunakan sebagai tempat untuk meletakkan obat-obatan yang mereka beli nanti.

Mbak Tutik membawa Geo ke sebuah rumah dari bambu. Hanya dari mencium aroma yang keluar dari rumah itu saja sudah membuat Geo yakin kalau rumah itu memang rumah yang menjual obat-obatan. Mbak Tutik masuk ke dalam rumah itu dan Geo mengikuti di belakangnya. Aroma jamu menjadi lebih kuat di dalam rumah. Berbagai jenis obat ada di sana. Mbak Tutik berbicara dalam bahasa daerah dengan pemilik toko. Geo mengamati beberapa tumbuhan obat yang tampak aneh. Ini pertama kalinya dia mengamati tumbuhan obat tradisional dari dekat.

Mbak Tutik memanggil Geo dan mengambil bakul yang dipegangnya. Pemilik rumah jamu itu memasukkan beberapa tanaman obat ke dalam bakul. Kemudian seorang pelayan perempuan berlari terburu-buru masuk ke dalam rumah. Katanya Belanda sudah dekat. Mbak Tutik mulai panik. Atas saran pemilik rumah, Mbak Tutik akan lewat pintu belakang sambil membawa bakul berisi obat-obatan itu dan Geo akan keluar dari pintu depan sambil membawa bakul lain yang tidak berisi obat. Geo yang tidak tahu apa-apa hanya mengangguk mengiyakan.

Geo keluar dari rumah itu lewat pintu depan seperti biasa. Beberapa tentara Belanda menghadangnya dan merebut bakul yang dibawanya. Menumpahkan semua isinya ke tanah. Geo memekik ketika para tentara itu mulai menggeledahnya.

"Kamu keluar dari rumah itu? Apa yang kamu beli? Kamu beli obat untuk para ekstrimis, kan?" Mereka berbicara dalam aksen yang aneh.

"Tidak, Tuan. Saya menjual pepaya kepada mereka. Mereka tidak membeli jadi saya keluar lagi." Geo menjelaskan. Matanya bergerak-gerak karena berbohong. Sejenak tentara itu menatap Geo kemudian mendorongnya pergi. Menendang bakulnya dan menyuruh Geo cepat pergi. Geo merelakan bakul berisi pepaya itu tetap berserakan di tanah dan memilih untuk pergi menemui Mbak Tutik di tempat yang sudah mereka sepakati.

Mbak Tutik melambaikan tangannya ketika melihat Geo menoleh ke sana ke mari. Wajah Mbak Tutik terlihat khawatir. "Kamu baik-baik saja? Mereka tidak melukaimu?"

"Haha, enggak lah, Mbak."

"Kamu tidak bersikap kurang ajar seperti yang biasa kamu lakukan ke Beni, kan?"

Geo mencibir. Jadi selama ini dia bersikap kurang ajar. "Nggaklah, Mbak. Aku tahu siapa yang kuhadapi."

***

Tiga hari kemudian Beni sudah bisa dibawa pulang ke desa. Mereka membawanya saat malam hari dengan sembunyi-sembunyi. Kemudian Beni terus mendekam di dalam kamar sampai semua lukanya sembuh. Selama itu pula kekasih Beni, Sulistyowati tidak tampak kehadirannya.

Sebulan kemudian luka Beni benar-benar sembuh. Tidak ada yang berbeda dari Beni selain dia menjadi gila karena terus bertanya tentang Sulistyowati. Geo sudah menduganya. Sulistyowati tidak berani datang lagi karena menurut kabar tentara Belanda sudah membasmi ketua pasukan gerilya. Dan pengawasan ketat yang sempat berlangsung kemarin menandakan kalau Belanda serius untuk membasmi semua pejuang gerilya. Mungkin bagi Sulistyowati tidak ada gunanya kembali toh Beni pasti akan kena juga.

Namun, sepertinya Beni masih mengharapkannya datang. Geo merasa marah tapi setelah dipikirkan tidak ada alasan untuknya marah. Bagimana pun juga Sulistyowati itu masih kekasihnya Beni. Mungkin Geo hanya merasa tidak adil. Selama ini Beni bersikap seperti mendekatinya dan membuatnya menunggu tetapi semua itu hanyalah harapan semu. Beni mempermainkannya.

Ketika Beni sembuh dan mengajaknya ke kota mengawasi keadaan sambil tersenyum, Geo harus menahan diri untuk tidak memakinya. Dia ingin kembali ke kota hanya untuk mencari informasi keberadaan kekasihnya. Geo tahu itu tetapi dia tetap mengikutinya. Berjalan bertiga bersama Hasan.

Beni menyamar menjadi penjual kelapa bersama Hasan dan Geo. Memakai pakaian khas pedagang dan berangkat menuju kota dengan rute yang berbeda. Pasar Beringharjo adalah pasar kota yang paling ramai dan dekat dengan markas NICA. Beni menggelar dagangannya dibantu Hasan. Geo duduk di belakang Hasan berusaha menangkan hatinya yang terus menerus merasa marah.

"Mas Beni?" Seorang perempuan datang setelah beberapa menit Beni menggelar dagangannya. Beni mendongak dan mengangkat sedikit capingnya. perempuan itu adalah Sri, orang yang merawat Beni sebulan yang lalu.

"Oh, kamu Sri?"

Perempuan itu tersenyum dan mengangguk. "Sudah lama saya mencari kamu, Mas."

Beni mengerutkan keningnya. "Kenapa mencari saya?"

"Anu, saya mau memberitahumu sesuatu. Bapak saya ada di dalam penjara."

"Apa? Jadi tahanan? Sebabnya kenapa?" Beni nampak terkejut. Geo mendekat ke sisi Hasan dan ikut mendengarkan.

"Bapak ketahuan membantu kamu, Mas. Bapak tidak sanggup mengelak dan langsung ditahan."

Geo mengatupkan mulutnya. Bapak baik hati itu sekarang berada di dalam penjara Belanda. Hasan melirik ke arah Geo dan mengangguk untuk menenangkannya.

"Sudah lama?" Beni tercekat.

"Lumayan, Mas."

"Si ... Siapa yang melaporkan pada Belanda?"

Geo menyadarinya, mata Beni sedikit melirik ke arahnya. Rupanya benar dugaannya. Beni masih belum sepenuhnya percaya padanya.

"Saya tidak tahu. Namun, setelah Mas pergi dari rumah, selang empat hari ada mata-mata Londo yang datang."

"Siapa mata-mata itu?" Nada bicara Beni sudah menyiratkan kalau dia marah.

"Saya tidak tahu, tetapi saya melihat wajahnya. Dia cantik, masih muda dan rambutnya dikucir."

Kali ini Beni terang-terangan menatap Geo. Menuduh Geo lah si mata-mata. Matanya melotot dan merah menahan amarah yang sangat kuat. "Oh, jadi perempuan, ya, mata-matanya?"

"Iya. Saya juga masih ingat, perempuan itu bentuk wajahnya bulat." Geo menunjuk wajahnya dan melingkarkan jarinya ke wajahnya yang oval. "Hidungnya mancung." Geo tidak menunjuk hidungnya kali ini, karena hidungnya juga mancung. "Dan di dekat matanya ada tahilalat kecil." Geo kembali menunjuk wajahnya. Di dekat matanya tidak ada tahilalat. Dia tidak punya tahilalat di sekitar wajahnya. Sekarang wajah Beni jadi tampak sangat teguncang. Geo menyeringai, bukan dia kan mata-matanya. "Lalu di dada sebelah kiri ada lencana besar bertuliskan RM yang dikelilingi rantai berwarna emas."

Beni diam, terguncang dan marah. Sekarang Geo yakin bukan dia mata-matanya. Beni menatap Geo dengan tatapan nanar. Beni sudah menyadarinya. Geo masih tidak tahu siapa orang yang dimaksud Sri tetapi melihat wajah Beni yang sangat terguncang itu sepertinya orang yang dimaksud adalah orang yang dikenal Beni. Hasan mendekati Geo dan berbisik, "Mbak Sulistyowati." Kemudian semuanya menjadi jelas.

"Sudah kubilang, bukan?"

Tags: Twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Malaikat Hati
11547      2109     1     
Romance
Sebuah persinggahan dalam menjalin sebuah ikatan tidak lagi terasa dan bersemayam dihati. Malaikat hati yang mengajarkan betapa pentingnya sebuah senyuman dan pelukan. Mengenalkan arti bahagia dan arti kenyamanan hati. Disaat itu, aku sadar bahwa hidup bukan untuk menentukan sebuah pilihan tapi hidup untuk menjalin sebuah kepercayaan.
Dimensi Kupu-kupu
14099      2743     4     
Romance
Katakanlah Raras adalah remaja yang tidak punya cita-cita, memangnya hal apa yang akan dia lakukan ke depan selain mengikuti alur kehidupan? Usaha? Sudah. Tapi hanya gagal yang dia dapat. Hingga Raras bertemu Arja, laki-laki perfeksionis yang selalu mengaitkan tujuan hidup Raras dengan kematian.
My Soulmate Is My Idol
2644      1009     0     
Romance
Adeeva Afshen Myesha gadis cantik yang tak pernah mengenal cinta sampai dia menyukai salah satu penyanyi bernama Gafa Aileen, sebenarnya sebelum Gafa menjadi penyanyi terkenal Adeeva sudah menyukainya. "Gafa itu punya suara yang lembut, dia pembawa warna baru di hidup gue. Meskipun sekarang gue tau Gafa ga suka Gue tapi Gue yakin bakal bisa bikin Gafa jatuh cinta sama gue" ~Adeeva Af...
PENTAS
1191      701     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
Warna Untuk Pelangi
8353      1781     4     
Romance
Sebut saja Rain, cowok pecinta novel yang dinginnya beda dari yang lain. Ia merupakan penggemar berat Pelangi Putih, penulis best seller yang misterius. Kenyataan bahwa tidak seorang pun tahu identitas penulis tersebut, membuat Rain bahagia bukan main ketika ia bisa dekat dengan idolanya. Namun, semua ini bukan tentang cowok itu dan sang penulis, melainkan tentang Rain dan Revi. Revi tidak ...
Kamu&Dia
262      205     0     
Short Story
Ku kira judul kisahnya adalah aku dan kamu, tapi nyatanya adalah kamu dan dia.
Toget(her)
1492      704     4     
Romance
Cinta memang "segalanya" dan segalanya adalah tentang cinta. Khanza yang ceria menjadi murung karena cinta. Namun terus berusaha memperbaiki diri dengan cinta untuk menemukan cinta baru yang benar-benar cinta dan memeluknya dengan penuh cinta. Karena cinta pula, kisah-kisah cinta Khanza terus mengalir dengan cinta-cinta. Selamat menyelami CINTA
Violetta
616      365     2     
Fan Fiction
Sendiri mungkin lebih menyenangkan bagi seorang gadis yang bernama Violetta Harasya tetapi bagi seorang Gredo Damara sendiri itu membosankan. ketika Gredo pindah ke SMA Prima, ia tidak sengaja bertemu dengan Violetta--gadis aneh yang tidak ingin mempunyai teman-- rasa penasaran Gredo seketika muncul. mengapa gadis itu tidak mau memiliki teman ? apa ia juga tidak merasa bosan berada dikesendiri...
10 Reasons Why
2458      1069     0     
Romance
Bagi Keira, Andre adalah sahabat sekaligus pahlawannya. Di titik terendahnya, hanya Andrelah yang setia menemani di sampingnya. Wajar jika benih-benih cinta itu mulai muncul. Sayang, ada orang lain yang sudah mengisi hati Andre. Cowok itu pun tak pernah menganggap Keira lebih dari sekadar sahabat. Hingga suatu hari datanglah Gavin, cowok usil bin aneh yang penuh dengan kejutan. Gavin selalu pu...
BEST MISTAKE
12696      2228     3     
Romance
Tentang sebuah kisah cinta yang tak luput dari campur tangan Tuhan yang Maha Kuasa. Di mana Takdir sangat berperan besar dalam kisah mereka. "Bisakah kita terus berpura-pura? Setidaknya sampai aku yakin, kalau takdir memang tidak inginkan kita bersama." -K