Read More >>"> BALTIC (Lost in Adventure) (I. Leaving England) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - BALTIC (Lost in Adventure)
MENU
About Us  

"Kau gila!"

Sava sedang berteriak di ponsel miliknya yang diapit antara telinga kanan dan pundaknya. Tangannya sibuk mengemas pakaian dan perlengkapan mandi yang akan dibawanya selama perjalanan keliling negara Baltik.

"Kamu adalah manusia paling kurang kerjaan yang pernah aku temui! Ini masih pagi!"

"Hey! I'm jobless, remember!"

"Ya, terserah apa katamu. Aku tidak percaya kamu ada di sana lagi!"

"Kapan kamu akan kemari?"

"Aku selesai mengepak pakaianku sepuluh menit lagi."

"Baiklah, aku akan menunggumu. Bye."

Sava kembali melempar ponselnya ke atas ranjang. Diraihnya sebuah travel pocket, kemudian dia menjejalkan berbagai perlengkapan mandinya di sana. Dia harus memastikan tidak ada yang tertinggal, karena lusa dia harus berangkat ke Jerman dulu menjenguk tante kesayangannya. Dari sana, dia akan langsung terbang ke Lithuania.

Setelah yakin tidak ada lagi yang tertinggal, Sava bergegas mengambil ponsel dan dompetnya, memasukan ke tas selempang kesayangannya. Sebelum keluar flat, ditariknya sebuah syal abu-abu di kapstok, kemudian dilingkarkannya di leher untuk menghalau angin – cuaca di Inggris sedang berangin, memasuki musim semi.

Langkah cepatnya beriringan dengan rinai hujan yang langsung menyambutnya di luar bangunan flat. Dia mendengus sebal, namun juga tak repot-repot untuk kembali mengambil payung, Sava bergegas berlari menuju stasiun Westminster. Tak ada pilihan lain Tube Underground dan bus adalah moda transportasi paling murah dan efisien serta favorit bagi mahasiwa jelata seperti Sava selama di London. Selama satu setengah tahun menempuh pendidikan master, dia harus berjibaku mengelola keuangannya. Kerja part time? Sudah dia lakukan, namun lima bulan menjelang kelulusannya, dia terpaksa berhenti bekerja, karena terlalu sibuk dengan tesisnya – James, bos di bakery tempatnya bekerja sangat merasa kehilangan.

Sava memutuskan untuk turun di stasiun Notting Hill Gate, lebih baik berjalan kaki sejauh satu kilometer menuju café favorit Nina, daripada harus lebih lama berdesakan dengan warga lokal London untuk turun di stasiun Ladbroke Grove – yang hanya berjarak setengah kali lebih pendek menuju Mike's Café. Toh perjalanan sejauh satu kilometer itu tidak akan terasa, jika memilih menuju ke Mike's Café melalui Portobello Road yang di kanan kirinya penuh dengan toko barang antik berwarna warni, berikut dengan penjual yang menjajakan barang jualannya di stand-stand – apalagi gerimis tak lagi turun, digantikan sinar hangat mentari pagi. Beberapa kali Sava sempat berhenti di toko yang menjual tea set, ia ingin membawa seperangkat teko beserta cangkir the khas Inggris sebagai oleh-oleh untuk bundanya – kemarin saat berlibur kemari, beliau tidak sempat membelinya. Namun diurungkan niatnya, nanti saja mendekati kepulanganku ke Indonesia, begitu batinnya.

 

"Sorry...I'm Sorry." Ucapnya berulang kali, sedikit berjalan lebih cepat langkahnya membelah lautan manusia yang mulai memenuhi jalanan, tubuh mungilnya beberapa kali menyenggol tubuh bule pria maupun wanita Inggris yang berperawakan lebih dari 175 cm, sedangkan dirinya hanya 160 cm.

Dari belokan terakhir Portobello Road, tak jauh dari sana di sebelah kiri jalan tempat tujuan Sava berada

Dari belokan terakhir Portobello Road, tak jauh dari sana di sebelah kiri jalan tempat tujuan Sava berada. Terpampang jelas di bagian atas nama cafe, Mike's dengan warna emas. Sava mendorong pintu masuk, dan langsung ditemukannya Nina duduk sendiri di sisi kiri pintu masuk. Ini menjadi meja favoritnya, berada di antara perapian untuk menghangatkan diri di kala musim dingin ataupun gugur, dan jendela café yang menghadap langsung keluar – sehingga dirinya sesekali dapat langsung memandang keluar dan menebar pesona pada beberapa pria lokal.

 Ini menjadi meja favoritnya, berada di antara perapian untuk menghangatkan diri di kala musim dingin ataupun gugur, dan jendela café yang menghadap langsung keluar – sehingga dirinya sesekali dapat langsung memandang keluar dan menebar pesona pad...

"Aku tidak tahu kamu begitu terobsesi dengan café ini. Katakan dengan jujur, mengapa setelah lulus dirimu tiba-tiba menjadi orang yang paling sering pergi ke Notting Hill? Jelas film dan buku bukanlah hal favoritmu. Make-up dan fashion adalah passion yang selama ini kamu pamerkan."

"Ssstt...pelankan suaramu." Nina menempelkan telunjuknya yang lentik di bibir Sava.

"Hentikan." Sava menepis, dia menghela nafas kesal melihat tingkah sahabatnya. Meski kesal, Sava tidak pernah bisa benar-benar marah dengan Nina. Gadis asal Lithuania, dengan rambut panjangnya yang berwarna cokelat itu selalu berhasil membuatnya tersenyum kembali dan melupakan kekesalannya, cukup dengan permohonan maaf dan senyum yang manis – entah itu efek pesona Nina atau memang Sava yang terlalu baik.

"Apa ini? Kamu hanya memesan secangkir teh, untuk duduk di sini selama berjam-jam tanpa alasan yang jelas?" Mata Sava melebar melihat hanya ada dua benda di meja Nina, secangkir teh dan novel. Oh, ini mengingatkanku pada kebiasaanku saat masih kuliah sarjana, nongkrong di café, hanya memesan satu jenis minuman untuk menikmati wifi gratis selama berjam-jam, batin Sava geli. "Novel? Yang benar saja, kamu tidak suka membaca. Cepat katakan!" desis Sava.

"Ok...ok..." Nina mengalah, ditegakkannya tubuhnya, mengambil nafas panjang dan menghembuskannya sebelum mulai bercerita. "Kurasa aku sedang jatuh cinta."

"APA?!" beberapa pengunjung café kontan langsung memandang dua gadis yang berada di pojok ruangan. Sava dan Nina langsung meringis dan meminta maaf karena mengganggu waktu brunch mereka.

"Pria itu, yang sedang melayani pelanggan di café depan. Dia lucu ya?" Sava mengikuti arah pandang Nina, dilihatnya sesosok pria jangkung dengan kulit putih pucat – tinggal tambahkan saja jubah dan gigi taring, dia akan terlihat seperti Dracula – sedang sibuk mengelap meja. "Dia satu kampus dengan kita. Seminggu sebelum wisuda aku tidak sengaja menabraknya saat berada di taman kampus. Kurasa itu cinta pada pandangan pertama."

Sava memutar bola matanya jengah, "berapa kali dirimu akan 'falling in love at first sight'?" tanya Sava geli sambil mengangkat kedua tangannya membentuk tanpa petik ('...') di udara. Pasalnya ini bukan kali pertama Nina mengatakan hal yang sama – mungkin sudah ke dua puluh kalinya semenjak mereka bersahabat di awal kuliah."

"Berapapun, selama itu diperlukan."

"Ya terserah padamu." Jawab Sava kehabisan kata-kata, dia bangkit meninggalkan Nina dengan rasa cintanya untuk memesan minuman dan menu sarapan. Naga-naga di perutnya sudah mulai demo minta diberi makan.

"Kamu yakin tidak ingin aku temani?" tanya Nina, sambil menusukan garpu ke piring sarapan Sava dan mengambil potongan sosis ayam.

"Tidak usah, lagipula ini salah satu impianku sejak lama. Menjelajah Eropa sendirian."

"Aku tidak akan khawatir kalau kamu hanya pergi ke Paris, Spanyol, Swiss, Jerman, Italia, atau negara manapun di Eropa yang memang menjadi tujuan turis. Tapi apa? Lithuania? Latvia? Maksudku negara Baltik? Apa dirimu salah minum obat?"

"Kenapa bicaramu seperti itu tentang negaramu sendiri? Seharusnya kamu senang aku akan mengunjungi negaramu."

"Apa kamu lupa? Aku sudah menghabiskan seperempat abad umurku di sana. Aku juga ingin pergi ke tempat lain." Jawab Nina, sambil kembali menusukan garpunya, kali ini ke kentang goreng.

"Iya, kamu sudah sering cerita, makanya kamu ingin mencari pendamping hidup orang asing kan?"

"Itu kamu tahu!"

Nia memandang datar wajah sahabatnya yang mulai memotong kecil-kecil sebuah sosis di piringnya – yang belum diambil Nina, "apa perjalanan ini akan kamu gunakan untuk memenangkan taruhan dengan ayahmu?"

Sava tidak menjawab, tangannya masih sibuk dengan pisau dan garpu, serta sebuah sosis.

"Bukankah lebih baik menerima calon yang diberikan ayahmu? Daripada kamu harus mencari orang asing? Belum tentu dia akan baik padamu." Ujar Nina, kini tangannya ikut sibuk menusuk potongan sosis di piring Sava. "Aku sungguh tidak mengerti dengan pikiran keluargamu. Umurmu baru 25 tahun, apa yang perlu ditakutkan? Menikah nanti saja saat kamu sudah memiliki pekerjaan dengan gaji dua digit di depan serta angka nol yang banyak."

Sava menghela nafas, Nina tetap sibuk dengan sosis di piring Sava – ini sudah suapan ketiganya, "kamu tidak mengerti. Budaya Indonesia tidak seperti di sini. Umur 25 tahun, dan kamu belum memiliki pacar untuk dikenalkan kepada orang tuamu? Itu adalah saat tiang dan tali gantungan dipersiapkan untukmu."

Nina mengelus lehernya yang masih bergerak karena menelan sosis saat mendengar kalimat terakhir Sava.

"Jadi bagaimana nanti saat aku sampai di sana. Sungguh, aku tidak ingin merepotkan paman dan bibimu dengan kedatanganku ke sana." Sava mencoba mengalihkan topik pembicaraan tentang taruhan dengan ayahnya yang dia setujui dua minggu lalu saat mengantarkan ayah, bunda, dan kak Shaka ke bandara Heathrow untuk pulang ke Indonesia – selepas mengikuti acara wisuda Sava dan mejelajah Inggris Raya.

Nina mengibaskan garpu di tangan kanannya, sembari mencoba menelan kentang goreng yang masih dikunyahnya. "Sebaliknya, dėdė dan teta sangat mengharapkan kedatanganmu. Aku yakin dirimu akan disambut seperti presiden."

"Kenapa begitu?"

"Pusseserė ku sudah menikah dengan laki-laki Jerman, dan sekarang dia tinggal di Jerman. Mereka kesepian, makanya mendaftarkan rumah mereka di situs AirBnB untuk disewakan. Jangan khawatir, dėdė bisa berbahasa Inggris, hanya saja teta yang masih kesulitan."

"Tetap saja aku tidak bisa tinggal gratis begitu saja di sana. Aku merasa tidak enak hati."

"Aku sudah mengatakannya pada mereka kalau kamu tidak akan mau tinggal secara gratis. Akhirnya mereka setuju, dan mengijinkanmu membantu pekerjaan mereka mengurus rumah yang disewakan selama dirimu tinggal di sana."

"Benarkah?"

Nina mengangguk, garpunya kembali menusuk sisa sosis ayam terakhir di piring Sava.

"Lusa berangkat?" tanya Nina dengan mulut penuh sosis. "Langsung dari sini?"

Sava menggeleng, "aku akan ke Jerman dulu, menjenguk bibiku di sana. Kabarnya suaminya sedang sakit. Kemarin orang tuaku sudah keburu pulang saat aku mendengar kabar itu."

Nina menganggu-angguk mengerti. "Lalu?"

"Dari Jerman aku akan terbang ke Lithuania."

Nina menepuk dahinya sendiri, kemudian merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan ponsel. "Catatlah nomor telepon dėdė ku. Dia bilang akan menjemputmu sendiri di bandara. Aku hampir lupa." Kemudian Nina menyebutkan nomor ponsel pamannya setelah meneguk tehnya hingga tetes terakhir. "Sudah siap semua perlengkapanmu?"

"Ini kunci cadangan flatku. Kamu boleh menginap di sana. Jangan macam-macam selama aku pergi." Sava mengeluarkan sebuah anak kunci dari dalam tasnya, dan Nina menerimanya, kemudian memberi hormat pada Sava, "semua sudah siap. Rasanya aku sudah tidak sabar!" sambung Sava antusias.

"Aku harap kamu tidak tersesat." Goda Nina sambil tertawa, membuat Sava cemberut, namun kemudian ikut tertawa.

-----------------

Lusa...

"Jam berapa penerbanganmu? Kenapa kamu bisa bangun kesiangan?" gerutu Nina kesal! "Memangnya semalam kamu tidur jam berapa? Tidak pasang alarm? Are you Kebo?" Ejek Nina dengan logat yang aneh, menirukan Sava yang sering mengatainya 'kebo' karena susah bangun tidur.

Sava tidak mempedulikan ceramah Nina, dia memastikan kembali barang bawaannya. Koper. Tas selempang beserta isinya – termasuk paspor. Jaket. Yang paling penting uang tunai EURO dan kartu kredit.

"Ayo!" Sava langsung menarik kopernya keluar flat, diikuti Nina kemudian setelah mengunci flat. Mereka berjalan cepat menuju stasiun tube Westminster, kemudian naik subway menuju stasiun Victoria dan berganti jalur menggunakan kereta khusus Stansted Express yang langsung menuju bandara Stansted.

Awalnya Sava ingin berangkat ke Jerman menggunakan jalur darat, namun langsung diprotes oleh Nina, terlalu lama, begitu katanya. Atas saran Nina, Sava akhirnya memilih penerbangan murah melalui bandara Stansted.

"Huh! Untung tidak terlambat! Masih ada waktu satu jam!" Ujar Nina lemah sembari menyandarkan punggungnya di kursi.

"Terima kasih. Maaf merepotkanmu." Sesal Sava.

Seharusnya dia tidak terlambat bangun! Namun semalam dia terlalu senang menantikan perjalanan ini, sampai tidak bisa tidur hingga pukul 4 pagi. Perjalanan menjelajah negara di Eropa Timur yang sangat dia dambakan, meskipun Nina mencibirnya.

"Sudahlah, yang penting kamu tidak terlambat." Sahut Nina sembari menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Matanya kembali terpejam, sebenarnya dia sendiri juga masih mengantuk – ingin meneruskan kegiatan tidurnya sembari menunggu jam boarding Sava.

"Kamu mau sandwich? Aku ingin beli di sana." Sava menunjuk sebuah minimarket yang tak jauh, Nina mengangguk. Sava bangkit dan melangkah menuju minimarket, sekembalinya Nina segera menyuruh Sava untuk segera masuk ke ruang tunggu boarding.

Setelah mengucapkan salam perpisahan, akhirnya Sava masuk dan menunggu dengan hati berdebar. Menunggu panggilan untuk naik ke pesawat yang akan membawanya memulai petualangannya, dimulai di Jerman.

 

 

Bersambung...

 

Notes:

dėdė : Paman

teta: Bibi

Pusseserė: Sepupu

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • yurriansan

    Baru tau soal negaral baltic. :D

    Comment on chapter I. Leaving England
Similar Tags
Nina and The Rivanos
9161      2118     12     
Romance
"Apa yang lebih indah dari cinta? Jawabannya cuma satu: persaudaraan." Di tahun kedua SMA-nya, Nina harus mencari kerja untuk membayar biaya sekolah. Ia sempat kesulitan. Tapi kemudian Raka -cowok yang menyukainya sejak masuk SMA- menyarankannya bekerja di Starlit, start-up yang bergerak di bidang penulisan. Mengikuti saran Raka, Nina pun melamar posisi sebagai penulis part-time. ...
Lebih dari Cinta Rahwana kepada Sinta
1238      795     0     
Romance
Pernahkan mendengarkan kisah Ramayana? Jika pernah mendengarnya, cerita ini hampir memiliki kisah yang sama dengan romansa dua sejoli ini. Namun, bukan cerita Rama dan Sinta yang akan diceritakan. Namun keagungan cinta Rahwana kepada Sinta yang akan diulas dalam cerita ini. Betapa agung dan hormatnya Rahwana, raksasa yang merajai Alengka dengan segala kemewahan dan kekuasaannya yang luas. Raksas...
Memoreset (Sudah Terbit)
3290      1263     2     
Romance
Memoreset adalah sebuah cara agar seluruh ingatan buruk manusia dihilangkan. Melalui Memoreset inilah seorang gadis 15 tahun bernama Nita memberanikan diri untuk kabur dari masa-masa kelamnya, hingga ia tidak sadar melupakan sosok laki-laki bernama Fathir yang menyayanginya. Lalu, setelah sepuluh tahun berlalu dan mereka dipertemukan lagi, apakah yang akan dilakukan keduanya? Akankah Fathir t...
Nightmare
405      275     2     
Short Story
Malam itu adalah malam yang kuinginkan. Kami mengadakan pesta kecil-kecilan dan bernyanyi bersama di taman belakang rumahku. Namun semua berrubah menjadi mimpi buruk. Kebenaran telah terungkap, aku terluka, tetesan darah berceceran di atas lantai. Aku tidak bisa berlari. Andai waktu bisa diputar, aku tidak ingin mengadakan pesta malam itu.
House with No Mirror
349      261     0     
Fantasy
Rumah baru keluarga Spiegelman ternyata menyimpan harta karun. Anak kembar mereka, Margo dan Magdalena terlibat dalam petualangan panjang bersama William Jacobs untuk menemukan lebih banyak harta karun. Berhasilkah mereka menguak misteri Cornwall yang selama ini tersembunyi?
Berawal dari Hujan (the story of Arumi)
1000      539     1     
Inspirational
Kisah seorang gadis bernama Arumi Paradista, menurutnya hujan itu musibah bukan anugerah. Why? Karena berawal dari hujan dia kehilangan orang yang dia sayang. Namun siapa sangka, jika berawal dari hujan dia akan menemukan pendamping hidup serta kebahagiaan dalam proses memperbaiki diri. Semua ini adalah skenario Allah yang sudah tertulis. Semua sudah diatur, kita hanya perlu mengikuti alur. ...
My Doctor My Soulmate
69      62     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
Navia and Magical Planet
446      316     2     
Fantasy
Navia terbangun di tempat asing tak berpenghuni. Pikirnya sebelum dia dikejar oleh sekelompok orang bersenjata dan kemudian diselamatkan oleh pemuda kapal terbang tak terlihat bernama Wilton. Ah, jangan lupa juga burung kecil penuh warna yang mengikutinya dan amat berisik. Navia kaget ketika katanya dia adalah orang terpilih. Pasalnya Navia harus berurusan dengan raja kejam dan licik negeri ters...
Premium
Dunia Leonor
35      29     1     
Short Story
Kisah cinta yang tragis. Dua jiwa yang saling terhubung sepanjang masa. Memori aneh kerap menghantui Leonor. Seakan ia bukan dirinya. Seakan ia memiliki kekasih bayangan. Ataukah itu semua sekedar imaji gila? Realitasnya pun ia pertanyakan. Saat kisah dari masa lalu semakin mengusiknya, Leonor hanyut dalam dunia yang penuh misteri. Genre: Gothic Misteri, Romansa Buku cetak juga tersedia ...
Kenangan Masa Muda
6019      1682     3     
Romance
Semua berawal dari keluh kesal Romi si guru kesenian tentang perilaku anak jaman sekarang kepada kedua rekan sejawatnya. Curhatan itu berakhir candaan membuat mereka terbahak, mengundang perhatian Yuni, guru senior di SMA mereka mengajar yang juga guru mereka saat masih SMA dulu. Yuni mengeluarkan buku kenangan berisi foto muda mereka, memaksa mengenang masa muda mereka untuk membandingkan ti...