(Bimbang? Kalau kalian berpikir tentang bimbang, lagu apa yang ingin kalian setel? Setel ya sekarang sembari membaca ini ^^)
21 Januari 2002, pukul 12.30 WIB
“Cie!! Yang sudah jadian!”
“Ganteng bener pacar lo, Na! Ya ampun, beruntung banget sih hidup lo.”
“Dia Joe, ‘kan? Dari fakultas Seni? Pacar lo? Ya ampun, Na. Bener-bener beruntung hidup lo!”
Sepanjang perjalanan menuju kelas, Nana dan Joe hanya mendengar pujian selamat itu. Nana juga senang mendengarnya, itu dianggapnya sebagai doa. Kadang, Nana juga resah ketika ada cowok yang diam-diam suka kepadanya dari dulu melabraknya karena tidak terima Nana menjalin hubungan dengan cowok lain. Tetapi, Nana tidak memperdulikan komplain dari cowok-cowok itu.
Nana dan Joe saling bergandengan tangan dengan mesra. Meski belum terbiasa dan terlihat malu-malu menunjukkannya di hadapan umum, tetapi mereka tidak ada keberatan.
Nana dan Joe akan berpisah sekarang. Joe melepaskan tangan Nana dan melambaikan tangannya.
“Nanti, jangan lupa, temui aku di kantin, ya? Di tempat kita berdua yang biasa, meja nomor 12,” ingat Joe.
“Iya, aku gak bakalan lupa, kok. Tenang saja,” ujar Nana. Nana segera membalas lambaian itu. Perlahan, Joe semakin menjauh, namun Nana masih disana, melihat kepergian Joe.
000
Sewaktu Joe melewati kelas kakak tingkatnya, tanpa sengaja matanya menangkap sosok seseorang yang sangat tidak asing. Ia sedang berbaur dengan teman-temannya dan membicarakan sesuatu disekelilingnya. Joe benar-benar tidak percaya apa yang dia lihat.
“Mi...Mieke? Dia kembali?”
Joe benar, ia tidak salah lihat. Wanita itu jelas Mieke.
Kenapa wanita itu kembali lagi? Bukankah dia gak akan kembali lagi ke Indonesia?, batin Joe.
“Joe, lo kenapa?” tiba-tiba Andre muncul dan refleks membuat Joe berbalik dan menghalangi kaca jendela dari pandangan Andre.
“Enggak apa-apa. Beneran, enggak apa-apa. Ki...kita masuk sekarang, yuk?” ajak Joe dengan suara yang terbata-bata.
“Lo bersikap aneh. Apa tadi malam lo salah mikirin cewek lain sehingga otak lo jadi menggeser seperti itu?”
“Jangan becanda! Mana mungkin gue mikirin cewek lain selain Nana!” Joe tidak terima.
“Terserah, deh! Yuk, kita masuk!” ajak Andre.
Joe memastikan Andre jalan duluan ke kelas supaya dia tidak melihat pemandangan serupa yang barusan ia lihat. Joe tenang, Andre sudah jalan duluan, ia pun bisa berjalan di belakang Andre dengan santai. Tiba-tiba Andre berbalik arah dan berlari ke jendela yang tadi.
“Andre!!” teriak Joe.
Andre memandang ke dalam kelas kakak tingkatnya. Ande menangkap seseorang yang tidak asing dimatanya. Ia sungguh tak percaya. Andre mematung ditempatnya. Joe menenangkannya dari belakang, berharap Andre tidak pingsan setelah melihat orang itu.
“Apa gue salah lihat?” gumam Andre.
“Sayangnya, lo enggak salah lihat,” balas Joe.
“Mi...Mieke...?”
Mieke mengerlingkan matanya, dan tiba-tiba Mieke berhasil mendapatkan tatapan dari Andre. Tatapan mereka saling bertemu, bahkan membuahkan senyuman tipis di bibir Mieke.
000
Andre dan Mieke mengobrol empat mata disebuah ruang teater. Mieke bersikap santai, namun Andre lah yang nampaknya sangat tegang, seolah ini masih khayalannya saja. Jelas, dulu Mieke yang mengatakannya sendiri dia tidak akan pernah kembali lagi kesini, ke negara ini.
“Kamu terkejut dengan kemunculanku yang tiba-tiba?” tanya Mieke, memecah keheningan setelah beberapa menit berlalu dilalui tanpa kata-kata.
“Kapan kamu kembali?” Andre balik bertanya.
Mieke menunduk dalam-dalam, kemudian kembali mengumbar senyumnya.
“Aku kembali! Akhirnya aku tidak jadi pergi untuk selama-lamanya dari sini!! Hore!!” Mieke berteriak riang, sementara Andre hanya menatapnya dengan penuh kebingungan. Ini bukan lelucon. Andre sangat membutuhkan penjelasan saat ini juga. Andre juga tahu Mieke berpura-pura riang.
Menyadari tatapan serius itu, Mieke kembali menunduk dan diam tanpa berkata apapun lagi.
“Lalu, kenapa dulu kamu bilang akan pergi untuk selama-lamanya dari sini? Kenapa dulu kamu pergi mendadak tanpa mengkhawatirkan bagaimana perasaanku saat itu sewaktu aku tahu kamu akan pergi!? Jelaskan! Aku ingin mendengar alasanmu melakukannya!” pinta Andre.
“Apa itu penting untukmu? Bahkan untuk diriku saja masalahku itu tidaklah penting,” jawab Mieke santai.
“Karena itu penting sekali untukku!! Kamu tahu, seberapa besar aku ketakutan saat melihatmu pergi begitu saja tanpa kata apapun? Aku takut, aku khawatir, aku sakit hati!” teriak Andre sambil menunjuk dadanya.
Mieke tidak mengatakan apa-apa selain tersenyum tipis yang getir.
“Kamu mencemaskanku? Untuk apa kamu mencemaskanku? Bukankah aku tidak penting?” tanya Mieke.
“Kata siapa kamu tidak penting?! Kamu sangat penting untukku!” ujar Andre bersikeras.
“Aku memiliki alasan kenapa aku pergi tanpa mengatakannya kepadamu, tetapi, aku juga tidak bisa mengatakan alasan tersebut kepadamu. Jika kamu ingin tahu alasanku yang sebenarnya, kamu hanya buang-buang waktumu saja!”
“Oke, lupakan alasan itu!! Aku hanya ingin tahu satu hal saja. Kamu pergi, apakah ada hubungannya dengan kejadian saat di Taman itu?” tanya Andre pelan.
“Saat kamu menembakku? Oh, Ya Tuhan, sudah berapa kali aku katakan, aku tidak bisa mengatakan alasannya kepadamu! Kamu masih belum mengerti?!”
Andre memeluk Mieke dengan cepat dan erat. Sangat erat. Andre menangis bahagia dipundak Mieke.
“Iya, seharusnya aku tidak perlu tahu. Tapi, aku sangat senang kamu kembali lagi kepadaku, Mieke. Jangan pergi lagi, sekali lagi aku katakan, jangan pergi lagi meninggalkan aku. Aku kesepian tanpa ada kamu,” ujar Andre.
Diam-diam, Mieke tersenyum dan perlahan menerima pelukan dari Andre. Benar, ia tidak akan pernah pergi lagi dari pria ini. Selamanya tidak akan pernah. Ia menyesal karena sudah menyia-nyiakan pria yang mencintainya ini.
Tanpa mereka sadari, Donna berdiri di balik pintu masuk ke ruang teater dan mematung disana. Ia mendengar semuanya. Sungguh, hati Donna benar-benar retak dan hancur. Apakah kisah mereka akan dimulai kembali? Donna sangat tidak menginginkan hal itu.
000
Donna pergi bersama Erik ke sebuah wahana permainan. Erik sudah berjanji akan mengajak Donna pergi ke tempat itu. Semula Donna menolak karena tidak ingin main, tetapi Erik tetap memaksa karena Erik sangat ingin mengajak orang lain.
“Ya elah, wajah lo gak boleh cemberut gitu dong! Gue jadi gak enak hati kalo lo bersikap gitu!” Erik menegur Donna karena sedari tadi Donna bertingkah aneh. Tidak tertawa saat mendengar lelucon, tidak ingin diajak bicara dan sebagainya.
“Makanya jangan terlalu merhatiin gue. Ini salah lo karena terus merhatiin gue. Udah, kita jalan-jalan berpisah saja. Gue mau sendirian aja,” ujar Donna.
“Lo kayaknya punya masalah. Masalah apa? Ceritain sama gue,” ujar Erik menawakan diri.
“Rik, mending lo gak usah tahu. Maaf banget, gue gak bisa ceritain sama lo. Oke, kalau gitu gimana kalau kita main aja? Kita lupain masalah pada diri kita masing-masing dan bersenang-senang!” ujar Donna.
“Nah, itu yang pengen gue denger!” Erik setuju.
Donna dan Erik pun bermain berdua. Mereka naik biang lala yang sangat besar dan tinggi. Perlahan biang lala menuju puncak tertinggi. Donna terlihat ketakutan begitu dirinya sudah berada di puncak. Orang-orang di bawah sana sangat kecil seperti kelompok semut kala dilihat dari atas. Donna langsung menjerit ringan dan memeluk Erik yang berada disampingnya yang begitu enjoy bersama dengan Donna. Tanpa Donna sadari, Erik tersenyum senang.
Selepas bermain biang lala, mereka berdua kemudian naik ke atas roller coaster dan duduk di kursi paling depan. Dalam wahana ini, yang paling ketakutan adalah Erik. Begitu diajak oleh Donna untuk naik roller coaster, Erik berkali-kali menolak. Namun akhirnya Erik menyanggupi.
“Don, perasaan gue gak enak nih!” Erik berbisik pelan kepada Donna. Erik terlihat tegang dan kaku bahkan roller coaster pun belum bergerak.
Donna tertawa ringan dan mengejek Erik. “Kenapa? Lo takut naik beginian? Kalo begitu lo pake pamper aja biar gak ngompol karena takut!”
“Sialan lo! Gu...gue gak takut tuh!!” Erik tidak terima.
“Beneran gak takut? Lo lihat keringat lo tuh! Persis banget kayak orang yang habis dikejar-kejar anjing!!” Donna mengejek Erik lagi.
“Gue tunjukkin sama lo, gue berani naik beginian!” ujar Erik. Sebenarnya Erik ingin memukul dirinya sendiri karena berani mengatakan hal itu. Rasa takutnya dengan permainan ini tidaklah terbendung. Tapi, mau bagaimana lagi?
Roller coaster perlahan mulai bergerak menuju puncak dan Erik sudah siap menutup matanya. Donna sepertinya yang paling senang dengan permainan ini. Tetapi, bayangan masa lalu tentang ayahnya dengan dirinya menaiki wahana ini membuat Donna termenung dan sedih.
“Ayah, apa ayah ingat saat aku dan ayah naik ini?” gumam Donna.
Roller coaster sudah siap untuk meluncur dengan cepat. Erik memegang tangan Donna kuat-kuat dan itu membuat Donna tidak nyaman. Menyadari tatapan heran dari Donna, Erik melepaskan tangannya dari tangan Donna.
Roller coaster meluncur dengan sangat cepat. Erik berteriak sejadi-jadinya, bahkan sampai meneteskan air mata. Teriakan Erik perlahan berkurang, dan sepertinya ia ingin muntah. Lintasan masih panjang dan bergelombang. Erik sudah tidak tahan ingin muntah. Sedangkan Donna semakin lama semakin menikmati permainan itu dan melupakan kenangan bersama dengan ayahnya dulu.
Permainan berhenti, Erik dengan terburu-buru melepaskan sabuk pengamannya dan berlari secepat mungkin dari sana. Donna bingung dan lansung menyusul Erik. Ternyata Erik sudah mengeluarkan semua isi makanannya di bawah pohon.
Donna tertawa pelan dan geleng-geleng kepala. “Dasar anak itu!”
000
Matahari perlahan menuju ke pangkuannya di ufuk barat sana. Warna jingga bercampur putih sudah terlihat jelas dengan mata di atas langit itu. Namun saat ini Donna dan Erik masih berada di wahana permainan itu dan saat ini suasana disana tidak seramai sebelumnya.
Berkali-kali Erik melihat ke arah jam tangannya dengan perasaan gelisah. Donna yang duduk disampingnya menatap lurus ke atas langit dengan bibir yang membentuk ukiran senyum. Erik berkali-kali mengeruk-ngetuk sepatunya ke tanah. Sekarang sudah pukul 17.45, dan Erik sedang menunggu kesempatan. Dan saat ini adalah waktu yang tepat. Tepat si petugas kebersihan pergi dari hadapan mereka, Erik mulai melancarkan rencananya.
“Ehhmmm!” Erik berdehem ringan, untuk memberi kode kepada Donna agak melihat kepadanya.
“Ehhmmmm!!” Erik semakin keras memberikan kode deheman itu, karena Donna sama sekali tidak meliriknya.
Melihat Donna yang masih menatap ke atas langit, membuat Erik mengikuti jejaknya. Memangnya ada apa diatas langit itu? Bahkan diatas sana hanya ada langit yang semakin bergeser dan berubah menjadi gelap. Akan tetapi, meihatnya membuat hatinya tenang dan damai.
“Menatap langit itu membuat hati tenang,” ujar Erik membuka pembicaraan.
“Tentu. Langit itu sangat indah dan berwarna, sangat enak dilihat mata telanjang. Kalo lo sedang ada masalah atau apapun yang membuat lo resah, dengan menatap ke atas sana, maka hati lo akan tenang. Gue yakin itu,” ujar Donna.
“Apa masalah yang lo pikirin sejak tadi, perlahan hilang setelah melihat ke atas langit?” tanya Erik.
“Enggak, gue enggak mikirin tentang masalah gue. Gue sedang lihat Ayah gue. Gue yakin, saat ini beliau sedang melihat gue dari sana,” ujar Donna.
“Oh, begitu rupanya...” gumam Erik.
“Karena lo bawa gue ke tempat ini, gue jadi teringat Ayah gue. Dulu waktu gue kecil, Ayah selalu membawa gue ke tempat yang banyak permainannya. Bahkan setiap akhir pekan setelah Ayah sudah menerima gajinya, Ayah enggak akan pulang dulu ke rumah, tapi mengajak gue ke wahana permainan. Dan kenapa gue pengen naik roller coaster itu, karena gue dan Ayah paling suka dengan permainan itu. Permainan itu sangat memorable buat gue,” ujar Donna, masih menerawang ke atas langit.
“Ayah lo sangat baik. Meski gue sama sekali enggak akan lihat Ayah lo, tapi gue yakin sama ucapan gue. Ayah lo super baik di dunia ini,” ujar Erik.
“Iya, Ayah emang sangat keren dan terbaik di dunia ini!” ujar Donna seraya tersenyum.
“Makasih udah ngajak gue ke tempat ini. Meskipun gue gak tahu apa tujuan lo ngajak gue ke sini,” ujar Donna.
“Ah, Donna. Sebenernya, ada yang pengen gue bilang sama lo, sebelum gue terlambat buat mengatakannya sama lo.”
“Apa itu?” tanya Donna.
“Begini, jadi dengerin gue. Pokoknya lo jangan terkejut apalagi mati karena terkena serangan jantung, mengerti?”
“Iya! Dasar cerewet lo!”
“Begini.....”
“.....gue suka sama lo, Don.”
000
23 Januari 2002 pukul 23.50
Aku selalu terpikirkan satu hal ini. Apa yang disembunyikan oleh Ibu selama ini? Kenapa aku selalu merasa bahwa aku bukan anak kandung keluarga Yayan Sutaryana? Apa aku benar-benar anak yang dikeluarkan dari rahim Ibuku? Tanda tanya besar itu selalu menghiasi pikiranku sedari dulu, sejak aku mulai tumbuh menjadi remaja. Apa buktinya sehingga aku mengatakan hal itu? Buktinya, jarak kelahiranku dengan Donna, adikku, hanya berbeda 14 bulan.
Andre menulis sesuatu di Microsoft Word komputernya. Andre berhenti sejenak untuk meregangkan ototnya yang terasa kaku setelah selama empat jam berada di depan komputer. Andre memutuskan untuk berhenti mengetik dan mematikan komputernya.
Malam semakin larut. Bahkan sudah tak terdengar suara hewan malam ataupun orang yang berlalu lalang. Sudah tengah malam. Bahkan Andre sudah menghabiskan enam gelas kopi hitam. Ia tidak bisa tidur karena terlalu memikirkan tentang hal itu.
Terbesit dibenaknya, ia ingin melakukan tes DNA. Tes DNA adalah jalan satu-satunya. Ia bisa menggunakan sampel dari rambut atau darah Ibu. Saat Ibu merebut sebuh map ketika di kamar Ibu, itu membuatnya semakin resah dan penasaran. Andre kini membuat keputusan dan tekad yang kuat untuk menjawab rasa penasarannya.
“Benar, tes DNA!” gumam Andre.
000
Keesokan harinya, Andre diam-diam datang masuk ke kamar Ibu. Ia meraba bantal yang selalu di gunakan Ibu untuk mencaari sehelai rambut. Andre berhasil menemukan beberapa lembar rambut panjang. Kemudian Andre memasukkan lembaran rambut ke dalam kantong plastik bening.
Seperti biasa, di pagi hari Ibu pasti akan berada di dapur untuk memasak. Andre mengintip dari dalam ruang keluarga memperhatikan gerak-gerik Ibu ketika sedang memotong sayuran. Seperti bukan direncanakan olehnya, tangan Ibu tiba-tiba teriris pisau karena ketidak hati-hatiannya. Andre beranjak berdiri dan menghampiri Ibu yang mengaduh kesakitan.
“Ibu, Ibu tidak apa-apa? Ibu kenapa tidak hati-hati?”
“Ah, kamu sudah bangun? Aduh, sakit... Ambilkan obat luka dan plester di kotak obat, cepat!” suruh Ibu.
“Baik.”
Andre membuka lemari dekat televisi dan menemukan kotak putih dengan label P3K di bagian depannya. Andre mengambil beberpa lembar kain kapas, obat merah dan plester. Namun Andre tib-tiba mendapatkan sebuah ide. Ini seperti jalan menuju rencana yang ingin ia lakukan.
Andre kembali menemui ibu dan membersihkan darah di jari Ibu dengan kapas. Andre begitu hati-hati ketika menetesi obat luka di jari Ibu. Plester itu sukses melingkar di jari jempol kiri Ibu.
“Syukurlah. Ibu sudah tidak apa-apa. Untung ada kamu,” ujar Ibu.
“Eh, tapi, kamu kan biasa bangun agak siang kalau jadwal kuliah kamu siang. Tumben kamu bangun pagi-pagi buta seperti ini?” tanya Ibu.
“Oh....itu,” Andre yang gugup berpikir lama untuk menemukan jawaban Ibu. “Aku tidak bisa tidur lagi. Tapi nanti pagi-pagi sekali aku mau pergi ke suatu tempat,” jawab Andre tampak meyakinkan.
“Oh, begitu. Ngomong-ngomong, seminggu yang lalu ketika kamu nemu map kusam dari lemari Ibu, kamu penasaran apa isinya?” tanya Ibu tiba-tiba, membuat Andre tertarik ingin melihat keyakinan di wajah Ibu. Apakah Ibu menyembunyikan sebuah rahasia besar atau sebaliknya?
“Map kuning kusam itu? Ah, dulu sempat tertarik. Tapi sekarang tidak, mungkin itu tidak ada hubungannya denganku jadi itu tidak terlalu penting. Tapi, apa yang ku lihat waktu itu, Ibu terburu-buru saat aku hendak membuka isi map itu. Apa Ibu menyimpan rahasia dariku?” selidik Andre.
“Ra...rahasia apa maksud kamu? Ibu tidak menyembunyikan rahasia! Jangan ngawur kamu!” jawab Ibu. Wajah Ibu nampak tegang, sehingga Andre yakin Ibu pasti menyembunyikan sesuatu tentang isi map itu.
“Ah, begitu rupanya. Baguslah kalau begitu,” Andre berpura-pura mengerti dan pergi meninggalkan Ibu.
Andre kembali ke kamarnya dan menutup pintu kamarnya. Andre yakin Ibu menyembunyikan rahasia penting terkait map itu. Ya, ia yakin. Entah itu berhubungan dengan kecurigaan dirinya bukanlah bagian dari anggota keluarga ini atau hal lainnya. Tapi Andre yakin akan satu hal, asumsi Andre mengatakan Ibu sedang menyembunyikan status Andre di keluarga ini. Untungnya Andre sudah siap dengan rencana itu. Ia sekarang sudah punya sampel darah dan beberapa lembar rambut. Andre berencana akan melakukan tes DNA dari kedua sampel itu.
000
Seperti biasa, Andre akan menemui Sandi di rumah sakit jika membutuhkan sesuatu. Teman yang satu ini, Sandi, benar-benar sudah hafal betul tentang Andre. Saat menceritakan kepadanya bahwa Andre ingin mengecek golongan darah, Sandi sama sekali tidak terkejut.
“Oh, cek golongan darah. Ada keperluan apa lo tiba-tiba pengen cek golongan darah?” tanya Sandi.
“Itu... gue baru tahu dari artikel di majalah jika golongan darah manusia berhubungan dengan karakter manusia. Lo seorang dokter masa gak tahu itu?” ujar Andre berbohong.
“Haha. Gue bahkan baru denger tentang hal itu. Sini jari tangan lo. Kita keluarin bercak darah buat sampelnya,” ujar Sandi sambil mengeluarkan alatnya yang berupa jarum bermata runcing. Sandi mengusap jari telunjuk Andre dengan alkohol, kemudian menusuk jari telunjuk Andre, setelah itu mengambil bercak darahnya.
Tidak perlu menunggu waktu yang lama, hasil itu sudah keluar. Sandi menunjukkan kertas kecil berisi sampel darah yang sudah lengkap dengan informasi golongan darah.
“AB. Golongan darah AB. Spesies pemilik darah yang langka seluruh dunia,” ujar Sandi bercanda.
“AB rupanya,” gumam Andre.
Golongan darah Ibu adalah ‘A’, di KTP lama Ayah, Ayah bergolongan darah ‘O’, sama seperti golongan darah Donna. Golongan darahku ‘AB’. Aaah!! Aku tidak tahu apa-apa tentang genotip [1]darah!
Andre menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal sama sekali, dan itu membuat lawan bicaranya menjadi heran.
“Kenapa lo? Ada yang salah?” tanya Sandi.
“Enggak. Enggak apa-apa. Ya udah, thanks ya. Gue mau pulang. Oh iya, sesekali lo datang ke rumah gue, makan-makan. Jangan magang melulu!” ujar Andre.
“Hahaha! Iya, gue bakalan mampir sekalian ketemu sama adik lo.”
Adik. Mendadak Andre ragu jika Donna adalah adiknya. Adik dalam artian adik tiri maksudnya?
000
Andre pergi ke tempat pengecekan DNA diam-diam dari sepengetahuan Sandi. Andre menemui wanita yang menjaga di bagian administrasi.
“Ada yang bisa saya bantu, Tuan?” sapa wanita itu.
“Ini benar tempat tes DNA?” tanya Andre.
“Iya, benar. Anda mau melakukan tes DNA?”
“Iya, tapi ada yang ingin saya tanyakan sekali lagi. Apa ada pengaruh besar jika melakukan tes DNA dari sampel milik Ibu?” tanya Andre.
“Baik sampel dari Ibu atau dari Ayah itu bisa dilakukan, Tuan. Apa Anda mempunyai sampel dari salah satu anggota keluarga?”
Andre mengeluarkan plastik bening berisi beberapa helai rambut dan kain kapas bercak darah bekas tadi Ibu. Andre menyerahkannya kepada wanita itu.
“Ah, ya, terima kasih. Sekarang Tuan silahkan mengisi administrasinya. Tes ini memerlukan waktu yang lama. Mungkin besok Tuan akan mendapatkan hasilnya,” terang wanita itu.
“Ah, iya, terima kasih.”
000
“A....apa lo bilaaaanngg!? Lo....lo.... lo apa...? Gu...gue gak salah denger, ‘kan?” Sandi tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Donna.
“Iya, San. Gue juga gak percaya sama diri gue sendiri. Gue tahu itu salah besar. Salaaaah banget! Tapi kenapa perasaan gue lebih besar sama kakak gue sendiri? Gue suka banget sama Andre, dan semua tentang Andre,” ujar Donna.
“Iya, itu sangat salah dan sangat tidak wajar! Cinta terlarang sama kakak kandung sendiri. Kecuali kalau Andre sama sekali bukan kakak lo, gak apa-apa kalau lo suka sama dia,” ujar Sandi.
Donna mendesah kecewa. Ia sangat bingung harus bagaimana karena masalah ini. Ia tidak mungkin harus mencintai kakaknya sendiri. Itu sangat kurang ajar dan sangat salah. Bahkan akan banyak orang yang menentang.
“Dan akhir-akhir ini gue baru denger dari Erik, kalau dia juga suka sama gue. Gue semakin bingung, San...! Gue harus bagaimana?” Donna mengeluh.
“Apa lo bilang? Erik ngomong dia suka sama lo? Lalu, lo jawab apa sama dia?” tanya Sandi tidak sabar.
“Begini....”
[ “Ah, Donna. Sebenernya, ada yang pengen gue katakan sama lo, sebelum gue terlambat buat mengatakannya sama lo.”
“Apa itu?” tanya Donna.
“Begini, jadi dengerin gue. Pokoknya lo jangan terkejut apalagi mati karena terkena serangan jantung, mengerti?”
“Iya! Dasar cerewet lo!”
“Begini.....”
“.....gue suka sama lo, Don.”
Donna menatap Erik tidak percaya. Donna pasti salah dengar.
“Lo bercanda, ‘kan?”
Raut wajah Erik berubah menjadi lesu dan sedih. Erik mengalihkan tatapannya dari Donna. Ucapan dirinya hanya dianggap perkataan lelucon oleh Donna, dan itu sungguh membuat hati kecewa.
“E..Erik, gue gak maksud buat lo sakit hati. Gue cuma kaget. Jangan masukin ke dalam hati begitu, dong!” pinta Donna merasa bersalah.
“Apa ucapan gue barusan cuma sebatas omong kosong dan lelucon? Apa itu lucu di telinga lo?”
“Erik, gue enggak berpikiran seperti itu! Gue enggak anggep ucapan itu sebatas omong kosong atau lelucon,” ujar Donna.
“Gue sejak dulu suka sama lo dan Joe juga bilang sama gue bahwa dia juga suka sama lo. Itu yang bikin hubungan gue berantakan sama dia. Gue sangat ketakutan kalau sampai Joe akhirnya ngomongin perasaannya sama lo. Gue sangat takut saat itu. Akhirnya gue tahu, Joe menyerah sama perasaannya sendiri dan mercayain gue untuk selalu bersama dengan lo. Jadi, hari inilah saatnya buat gue ngungkapin perasaan gue sama lo,” ujar Erik.
Setelah mengatakan penjelesan itu, tak ada satupun dari mereka yang kembali berbicara. Ada hening yang cukup lama. Matahari sudah hilang dan masuk ke dalam pangkuannya, bahkan sudah berkali-kali petugas kembali kesana untuk menyuruh mereka berdua pergi.
“Rik, apa gue harus jawab pernyataan itu sekarang juga?” tanya Donna.
“Terserah lo, Don. Tapi, gue saranin buat lo mikir-mikir dengan matang. Buatlah keputusan yang benar, jangan sampai salah pilih. Gue akan terima apapun jawaban dari lo. Gue juga sudah siap kalau lo nolak perasaan gue,” ujar Erik. ]
“Terus, lo udah mikirin keputusan yang tepat? Gue sebenernya udah tahu perasaan Erik sama lo sejak dulu,” ujar Sandi.
“Gimana lo bisa tahu kalo Erik suka sama gue?” tanya Donna pelan.
“Itulah diri lo. Lo itu gak peka sama perasaan orang lain. Bahkan dibanding Andre, Erik jauh lebih merhatiin lo. Bukan merhatiin yang sangat biasa, tetapi luar biasa, sampai ke detilnya. Don, lo itu sangat kurang peka sama perasaan orang lain. Lo itu hanya mentingin perasaan lo saja,” ujar Sandi.
Donna mendengar dengan rinci semua kalimat yang diucapkan oleh Sandi. Ternyata ia baru tahu jika dirinyalah yang terlalu bodoh dalam urusan perasaan, bahkan terlalu bodoh untuk melihat perasaan orang lain. Donna semakin bingung, harus siapa yang ia pilih. Erik atau Andre?
“Gue masih belum sadar sama perasaan gue, San. Hati gue bimbang, harus milih siapa,” Donna kembali mengeluh.
“Hati lo yang sudah terlanjur terpikat oleh sosok Andre, jadi lo gak mungkin cepet sadar dan luluh sama perasaan orang lain. Pantas kalau lo semakin bimbang. Begini aja, gimana kalo gue juga suka sama lo? Apa perasaan yang lo rasain?”
“Hah? Lo juga suka sama gue?! Lo bercanda, ‘kan?” Donna terbelalak sempurna.
Sandi tertawa pelan dan menepuk jidatnya. “Sudah gue duga, lo itu gak bakalan pernah peka sama perasaan orang yang disekitar lo,”
“Terus gue harus ngapain, San? Jangan bikin gue makin bingung gini, dong!” Donna semakin frustasi.
“Untuk saat ini, lo harus ubah sifat kebiasaan lo itu. Saring perasaan yang amat besar dalam hati lo. Jangan termakan oleh keegoisan diri lo saja. Pikirin perasaan orang lain juga, biar nanti enggak akan ada orang yang sakit hati gara-gara keputusan lo. Mikirin mateng-mateng dalam hati lo. Pilih keputusan yang benar. Kalau gue jadi diri lo, dari pada Andre, gue pasti nerima Erik saat itu juga. Karena apa? Karena Andre adalah kakak kandung gue,” ujar Sandi.
“Kalau Andre bukan kakak kandung gue?” tanya Donna.
“Lo ngeharepin Andre bukan kakak kandung lo? Dasar jahat lo,” Sandi tersenyum bercanda dan menepuk punggung Donna.
“Apapun kata hati lo, jangan sia-siakan orang yang tulus cinta sama lo,” Sandi menasihati Donna sebelum ia pergi untuk kembali bekerja.
Donna masih disana, merenungkan setiap perkataan Sandi yang perlahan masuk ke dalam otaknya, kemudian mengalir ke dalam hatinya. Namun perasaannya masih saja bimbang. Ia sangat tidak suka klimaks cerita seperti ini. Donna sangat tidak suka.
000
Deg!!
Huruf bercetak tebal di atas selembar kertas bertuliskan ’99,9% TIDAK COCOK’. Hari ini hasil tes DNA sudah selesai dan Andre terburu-buru datang ke rumah sakit meski jadwalnya kuliah sudah dimulai. Andre semalaman ini tidak bisa tidur dengan nyenyak memikirkan hasil tes yang akan keluar. Dan sekarang Andre sudah jelas mendapatkan jawabannya. Sungguh, hatinya susah sekali mencerna apa yang terjadi. Andre teringat map kuning lusuh yang disembunyikan Ibu. Iya, itu pasti sudah ada hubungannya dengan dirinya. Sejak awal saja itu sudah membuatnya curiga.
Andre kembali ke rumah. Dirumah, Andre tergesa-gesa mencari map yang disembunyikan oleh Ibunya. Map itu masih ada di balik tempat tidur. Cepat-cepat Andre membuka isi map itu yang berupa lima lembar kertas. Andre perlahan membuka isi kertas itu.
SURAT ADOPSI ANAK
Deg!!
Andre membaca surat tersebut penuh ketelitian. Surat adopsi ini mengatas namakan dirinya yang telah diadopsi oleh keluarga ini. Keluarga Yayan Taryana!
“Adopsi? Itu berarti....aku....” Andre terbelalak membaca isi tulisan itu.
“A...Andre?” masuk Ibunya ke kamar.
Ibu mendapati Andre melihat isi map itu. Ibu segera merebut kertas itu dari tangan Andre yang mematung. Ibu merobek kertas itu sehingga berbentuk potongan kecil.
“I..ini bukan apa-apa. Kertas ini hanya kebohongan. Andre, kamu jangan percaya isi tulisan tadi, karena....”
“Karena aku memang terbukti bukan anak kandung Ibu, ‘kan?”
“Andre...kamu salah paham. Itu...”
“Ibu jangan membohongiku lagi!! Semua itu sudah jelas terbukti! Aku bukan anak kandung Ibu dan Ayah, ‘kan?!” Andre meninggikan suaranya.
Ibu benar-benar lemas, ia tak bisa menyembunyikan tangisnya yang sudah pecah. Andre juga menangis. Ia benar-benar tidak menyangka, selama ini ia tinggal dan hidup satu atap dengan orang yang jelas tidak ada hubungan darah dengannya. Andre frustasi dan menonjok cermin besar didepannya sehingga pecah. Tangan Andre terluka dan berdarah.
“Kenapa? Kenapa Ibu selama ini merahasiakannya? Ibu tahu betapa terkejutnya aku saat tahu kalau aku bukan anak kandung Ibu?! Pertanyaan yang tersimpan rapih di benakku sedari dulu sudah terjawab semuanya. Aku sudah mulai curiga saat usiaku 16 tahun, apa aku benar anak kandung keluarga ini?”
“Hentikan, Andre. Hentikan... Ibu bisa menjelaskannya. Ibu akan menjelaskannya kepada kamu, Dre...” pinta Ibu dengan air mata yang terus mengalir deras.
“Bu, apa Ibu tahu? Aku sangat menyayangi Ibu dan juga adikku, Donna. Sekarang, apa aku berhak menyayangi kalian berdua setelah semua ini?”
“Andre!! Ibu akan jelaskan sama kamu! Ibu akan jelaskan siapa orang tua kamu yang sebenarnya! Ibu sejak dulu menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya kepada kamu!”
“Kapan? Kapan Ibu akan memberitahu kenyataan ini kepadaku? Saat aku sudah mencari tahu dan telah terbukti kenyataannya seperti ini?” Andre menangis lebih keras dari sebelumnya. Hatinya sungguh kecewa dan sakit.
Andre menangis dilantai. Secepat mungkin Ibu memeluk Andre dan membiarkan Andre menangis dipelukannya. Mereka menangis bersama-sama.
“Ibu hanya belum siap, Dre. Ibu sungguh takut kalau kamu tahu kamu bukan anakku. Selama ini Ibu selalu merahasiakannya dari kamu....”
“Apa ayah juga tahu sejak dulu, bahkan sebelum beliau wafat?”
Ibu mengangguk lemah. Jadi ayahnya juga mengetahui kebenaran ini. Andre benar-benar frustasi dan nelangsa.
Tanpa mereka sadari, Donna mendengar semuanya, dan ia juga menangis di balik pintu di luar kamar. Ia juga tidak menyangka semua ini terjadi begitu saja.
“Andre...bukan kakakku...?”
Tetapi muncullah sebuah ukiran senyuman yang tipis itu. Donna merasakan hatinya tenang saat itu juga. Tahu kalau Andre bukan kakak kandungnya, bukankah kesempatan untuk memilikinya sangat mudah dan cepat?
000
17 September 2012
Pernikahan dua mempelan berlangsung sakral. Kedua pasangan bersalaman dengan tamu yang hadir ke acara pernikahan mereka. Mempelai wanita begitu cantik mengenakan pakaian Kebaya khas Sunda berwarna ungu muda, serasi dengan pakaian mempelai pria.
Di luar rumah, tergantung tulisan diantara janur kuning yang melambai inisial mereka berdua.
D & E
[1] Pewarisan gen dari orang tua yang menentukan golongan darah keturunannya.
Wow 4 kepribadian?
Comment on chapter BAB II : 4 KEPRIBADIAN YANG MENIMBULKAN MASALAHAku msh keep going syory nya. Knjgi story ku jga ya..