Kalau kau mati, kau hanya akan menjadi kenangan,
yang cepat atau lambat akan menghilang dari
ingatan orang-orang yang pernah mengenalmu.
Angin malam dimusim semi berhembus kencang menerpa seorang gadis yang sedang berjalan santai di sisi Seongsu Bridge. suara kendaraan yang berlalu lalang menjadi musik yang menemani perjalanannya. Perlahan langkah gadis itu mulai memelan, semakin pelan, hingga akhirnya ia berhenti. Ia menyandarkan tubuhnya pada pembatas jembatan, matanya menatap pemandangan kota seoul dimalam hari, dimana kerlap kerlip lampu-lampu bertebaran mewarnai ibu kota Korea selatan itu. Ia membiarkan udara dingin malam itu semakin menusuk kulitnya.
“aku datang...”
Helaan nafas gadis itu terdengar berat, ia mengelurkan sekaleng cola dari dalam kantung hoodie hijau yang ia kenakan. Suara desisan khas minuman bersoda saat dibuka terdengar. Senyuman tipis, benar-benar tipis tersirat dari bibir kecilnya sebelum ia memiringkan kaleng minuman ditangannya sampai cairan bersoda berwarna coklat itu keluar dan menyatu dengan air sungai dibawah jembatan.
“untuk mu...” gumamnya lagi sambil terus membuang minuman cola itu hingga benar-benar habis.
Gadis itu kembali menghela nafasnya setelah kaleng cola itu sudah kosong, hazel-nya kembali melempar pandangan kesekelilingan. Kota seoul dimalam hari memang jauh terlihat lebih indah, kota yang tak pernah tidur itu selalu saja ramai, dipadati oleh mereka yang haus akan kenikmatan dunia.
Entah kenapa semua berbanding terbalik dengan gemerlapnya view kota seoul yang seakan-akan penuh kesenangan dan kebahagiaan itu, gadis itu malah merasa sendu. Suasana hati yang seperti ini kembali mengingatkannya pada seseorang yang dua bulan lalu telah merubah cara pandangnya tentang arti kehidupan.
22 maret 2017
“eugghh...”
Suara eluhan itu terdengar dari seorang gadis yang menggeliat tak nyaman diatas salah satu bangsal. Perlahan-lahan mata gadis itu terbuka, menerawang sekitarnya. Kerutan tercetak jelas dikeningnya saat melihat plafon, dan tirau hijau yang mengelilinginya, serta aroma kuat yang menusuk hidung. Perlu beberapa menit baginya untuk bisa menyimpulkan dimana ia berada saat ini.
“sial!”
Itu kata pertama yang keluar saat ia menyadari tempatnya berada. Gadis itu melirik gelang kertas yang entah sejak kapan melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Han Han Ni – Rumah Sakit Hanyang-
Lagi-lagi gadis itu kembali mendengus setelah membaca tulisan yang ada digelang kertas tersebut, dan wajahnya terlihat sangat kesal. Tebakannya seratus persen benar, ia sedang berada di rumah sakit sekarang. Tempat ini bukanlah yang diinginkan bagi gadis bernama Han Ni itu, ini bukan pertanda baik atau suatu keberuntungan baginya berada diatas bangsal dengan selang infus yang sudah tertancapkan ditangan kirinya dan semua perban-perban ditubuhnya untuk mengobati lukanya.
Han Ni tidak memerlukan semua ini, ia tidak ingin mendapatkan hal yang bisa menolong memperpanjang hidupnya seperti ini, karena satu-satunya yang ia inginkan hanyalah MATI!. Ya, itu mengapa ia bisa berada di rumah sakit sekarang, ini semua karena rencana bunuh dirinya pasti telah gagal. Untuk kesekian kalinya, ia tak bisa meninggalkan dunia ini.
Sreet...
Disaat yang bersamaan tirai hijau itu terbuka, menampilkan dua orang bersergam serba putih dari balik tirai. Han Ni memuar matanya malas melihat dua orang itu.
“kau lagi.. kau lagi..” ujar pria pembuka tirai.
“ya, aku lagi.. aku lagi.” balas Han Ni sinis.
“kasus percobaan bunuh diri yang gagal?”
“be, uisa-nim(dokter).” Seorang wanita yang berada dibelakang pria itu menjawab.
“sekarang apa lagi? tali yang ia gunakan putus?”
“bukan dok. Tapi tempatnya mendarat tidak tepat, kali ini ia mencoba lompat dari lantai empat dan jatuh diatas tanaman soka.” Jelas wanita itu lagi.
“kau harus berterima kasih pada tanaman itu, Han Ni-ssi.” Ucap pria Itu menggelengkan kepalanya lalu mendekati Han Ni, ia memegang pergelangan kaki kiri gadis itu hingga sang empunya berteriak kesakitan.
“lalu apa hasil x-ray nya?” tanya pria yang berprofesi sebagai dokter itu lagi.
“kakinya hanya terkilir ringan dok, dan beberapa luka ringan ditubuhnya. Tidak ada luka dalam atau pembengkakan.”
Dokter pria itu kembali menatap Han Ni, wajahnya dibuat sesedih mungkin, tapi Han Ni tau kalau manusia didepannya itu mencoba untuk mengejeknya. Sejak ia menjadi langganan dirumah sakit ini karena usaha bunuh dirinya yang selalu gagal, beberapa dokter dan perawat di tempat itu bahkan sudah sampai hafal dan jenuh dengan kasusnya.
“kenapa kalian tidak membiarkanku mati saja?!”
“Sebaiknya kau menyerah saja, dunia tidak menginginkanmu pergi Han Han Ni-ssi.” Ucap dokter itu lagi sebelum berbalik pergi meninggalkan Han Ni diikuti si perawat dibelakangnya.
Han Ni terdiam ditempatnya setelah kepergian dua orang tadi, ia menunduk meratapi nasib yang ia anggap buruk itu.
Dreett...
Getaran yang berasal dari benda persegi diatas nakas samping bangsal mengalihkan perhatiannya. Ia mengambil benda berwarna silver dengan stiker kartun gudetama yang tertempel dibelakang benda itu. ‘Bae Jin Ah baru saja memperbaharui status yang menandai anda’ - Satu notifikasi dari akun facebooknya terpampang di layar benda tipis itu, jarinya segera menyentuk ikon berhuruf F tersebut.
‘Han Han Ni, si wanita gila lagi-lagi ingin mengakhiri hidupnya, tapi gagal. Aku sedih mengapa ia masih diberi kesempatan menghirup udara, tapi aku juga senang karena ia tidak jadi mengotori sekolah dengan jasadnya.’
Han Ni meremas kuat ponsel yang berada digenggamannya, seakan-akan benda tersebut dapat hancur ditangannya. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca, rahangnya terlihat mengeras seperti ia sedang menahan suaranya untuk keluar. Hatinya kembali hancur membaca kalimat-kalimat keji yang ditujukan untuknya, ditambah komentar-komentar menyakitkan lainnya dalam status itu. Inilah salah satu alasan mengapa ia sangat ingin mengakhiri hidupnya.
Hidup sebagai gadis yang tidak diinginkan dilingkungan sekitarnya bukanlah hal yang mudah untuknya. Ia sudah menjadi korban bully sejak tiga tahun yang lalu, tak ada yang perduli dengannya disekolah, bahkan pihak sekolah juga seolah tutup mata. Miris bukan? Tapi hal yang lebih miris lagi adalah orang yang selalu membully-nya adalah sahabat kecilnya sendiri. Bagaimana rasanya saat orang yang dulu sangat dekat dengan mu, berbalik menjadi orang yang selalu menyakitimu.
Ya, Bae Jin Ah adalah sahabat Han Ni sejak kecil, mereka sangat dekat dan selalu bersama bahkan keduanya sampai sering disebut anak kembar, karena mereka memiliki selera yang sama, terutama untuk masalah fashion. Awalnya hubungan persahabatan keduanya berjalan dengan baik selayaknya seorang sahabat, Han Ni dan Jin ah saling mengerti, dan sudah saling menganggap seperti saudara kandung sendiri, dan tak pernah ada pertengkaran yang berarti diantara dua gadis tersebut.
Tapi sesuatu hari semuanya berubah, persahabatan sejak kecil itu hancur begitu saja. tak ada lagi keakraban yang terlihat diantara keduanya, yang ada hanya tatapan tajam penuh kebencian dari Jin Ah setiap kali melihat Han Ni.
Han Ni menarik jarum infus yang tertancap di punggung tangannya, tak memperdulikan rasa nyeri yang mendera serta cairan merah kental yang keluar dari sobekan kecil dikulitnya akibat ia terlalu kasar saat melepas jarum infusnya tadi. Gadis itu turun dari bangsalnya, dengan langkah tertatih ia berusaha pergi dari tempat itu.
*********
Hembusan angin meniup surai maroon Han Ni, suara kendaraan dan deru air sungai Han terdengar bersahut-sahutan ditelingannya.
`Eomma... maaf aku gagal menemui, mereka menyelamatkanku lagi.
Tapi, tenang saja akau akan segera pergi menemuimu. Kita akan bertemu lagi.~
Goresan pena yang beradu diatas lembaran putih, membentuk sebuah kalimat penuh arti yang berasal dari lubuk hati Han Ni. Jari-jari gadis itu berhenti, ia menutup kembali diary kecil yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. Kini pandangannya ia alihkan pada cahaya jingga yang menghiasi langit sore ini.
“harusnya aku memikirkan tempat ini sejak dulu..” ujar Han Ni entah pada siapa. “mereka takkan bisa menolongku lagi.” sudut kanan bibir gadis itu tertarik keatas. Han Ni menyeringai.
“mungkin ini waktu yang tepat untuk pergi.”
Tekad Han Ni sudah bulat, mungkin tadi ia gagal bunuh diri, tapi kali ini ia percaya seratus persen ia akan berhasil. Ia akan melepas semua penderitaannya, tak akan ada lagi orang yang akan menyakitinya, ia akan meninggalkan dunia yang kejam ini, dan ia akan menebus dosa terbesar yang pernah ia lakukan.
Han Ni mengeratkan pegangannya pada besi pembatas jembatan, matanya tertutup menikmati tiupan angin untuk terakhir kalinya, tubuhnya perlahan terangkat.
‘ini saatnya...’
“langitnya indah, tapi kenapa masih ada yang tidak bisa menikmatinya?”
Mata Han Ni yang semula tertutup reflek terbuka saat mendengar suara seseorang yang tiba-tiba muncul. Ia menoleh dan menemukan seorang pemuda dengan hoodie coklat dan topi kupluk hitam yang entah sejak kapan berdiri dibelakangnya
Pemuda itu juga balas menatap Han Ni dari ujung kepala sampai ujung kaki. Baju seragam yang terlihat kotor, kaki diperban dan beberapa luka kecil yang menghiasi betis gadis itu, serta darah yang telah mengering dipunggung tangannya. Kepala pemuda itu terlihat menggeleng pelan.
“anak sekolah jaman sekarang memang ekstrim ya.” ujar pemuda itu lagi.
“siapa kau?” tanya Han Ni ketus.
“aku?” pemuda itu menunjuk dirinya sendiri.
“menurutmu aku berbicara dengan siapa lagi kalau bukan kau? Hanya ada kau dan aku disini.” Jawab Han Ni masih ketus. Jujur ia merasa kesal dengan kehadiran pemuda itu karena menghambat kematiannya.
Pemuda itu terkekeh pelan. “baiklah. Aku Kim Ji Won, dan kau...”
Han Ni tak menjawab dia hanya menatap pemuda itu dengan pandangan yang tak bisa dijelaskan.
“Han Han Ni?” pemuda itu tiba-tiba mengeja namanya Han Ni.
“eo?! Dari mana kau ta..”
“ituu..” Pemuda itu memotong ucapan Han Ni. Dagunya menunjuk kearah seragam Han Ni dimana papan nama gadis itu masih tertempel, dan secara tak langsung menjawab pertanyaannya.
“seharusnya kau tidak berada disini. Ini masih jam sekolah, kan?”
“bukan urusanmu.” Ketus Han Ni lagi.
Pemuda itu terdiam, ia membuka sekaleng cola yang sejak tadi berada ditangannya lalu meneguk cairan bersoda itu.
“anak-anak jaman sekarang galak-galak ya.”
Han Ni berdecih kasar, “yakh, ahjusshi(paman) sebaiknya anda pergi saja dari sini, anda menghambatku untuk menjemput ajalku.” Ketus Han Ni.
“ahjussi? Kau memanggilku ahjussi?” Ji Woon kembali tertawa, “hey, Han Ni-sii aku ini masih terlalu muda untuk dipanggil ajjushi. Usia kita paling hanya terpaut beda tiga tahun saja, jadi jangan memanggilku seperti itu, kau cukup memanggilku Ji Woon saja.”
Han Ni memutar matanya malas, tidak perduli dengan ucapan Ji Woon. menurutnya laki-laki didepannya itu terlalu banyak bicara dan membuang-buang waktunya.
“atau kau bisa memanggilku oppa saja. itu pati terdengar lucu.” Sambung Ji Woon.
Ekspresi Han Ni berubah drastis setelah mendengar kata ‘Oppa’ keluar dari mulut laki-laki yang baru beberapa menit ditemuinya itu. Demi kucing beranak yang pernah menggagalkan kematiannya, kata itu sangat menjijikkan.
“wae? ada yang salah dengan panggilan Oppa untukku?” tanya Ji Woon setelah melihat ekspresi Han Ni.
“eo! Kau tidak cocok dipanggil seperti itu.”
“wae? menurutku Oppa lebih pantas dari pada sebutan ajjushi. Lagi pula aku ini kan masih muda, tampan pula.”
Sekarang Han Ni benar-benar merasa jijik dan ingin muntah mendengar Ji Woon yang terlalu kepede-an menyebut dirinya sendiri tampan.
‘tampan pantatmu’ batin Han Ni.
“dasar gila! Sudahlah lebih baik sekarang kau pergi, atau kau mau jadi saksi kematianku? Jika polisi tau, kau bisa-bisa dijadikan tersangka dari kematianku karena kau adalah orang terakhir yang bersamaku sebelum aku mati. “
Ji Woon Kembali meneguk minumannya. “aku heran mengapa masih ada orang yang memiliki pemikiran yang pendek, seakan-akan hidupnya sudah tak ada artinya lagi. Padahal diluar sana ada banyak orang yang ingin hidupnya lebih panjang namun tak diberi kesempatan.” Laki-laki itu mengambil langkah maju, mendekati Han Ni. Refleks gadis itu mundur.
“orang-orang yang berpikiran pendek adalah orang-orang yang sangat rugi, menganggap kematian adalah jalan pintas bagi masalahnya. Padahal, masih ada cara lainnya yang bisa membantunya tanpa harus membuang nyawanya sia-sia.”
“tidak akan ada masalah yang benar-benar teratasi dengan kematian. Biasanya orang yang melarikan diri dari masalah dengan cara bunuh diri, malah akan membuat orang lain harus tersiksa menanggung masalah itu. Tidakkah itu terdengar terlalu kejam membuat orang lain harus memikul beban dari kesalahan kita sendiri? Lagipula kalau kau mati, kau hanya akan menjadi kenangan, yang cepat atau lambat akan menghilang dari ingatan orang-orang yang pernah mengenalmu.”
“cih, berhentilah bicara omong kosong...” ujar Han Ni yang mulai jenuh dengan semua kata-kata panjang nan lebar dari Ji Woon.
“yakh, kau harusnya lebih sopan berbicara denganku, aku ini lebih tua darimu.” Protes Ji Woon lagi.
“ck, arraseo (baiklah). Ahjussi, bisakah anda berhenti berbicara? Anda membuang-buang waktuku.”
“aish,” Ji Woon berdecak jengkel karena lagi-lagi dipanggil ‘ajjushi’ oleh Han Ni. “sudah kubilang aku tidak setua itu.”
“terserah kau saja. kau membuat mood ku untuk mati jadi buruk sekarang.”
“itu bagus.” Kata Ji Woon, dengan nada senang.
Han Ni mendesah kasar, sakarang ia jadi sangat-sangat kesal dengan laki-laki didepannya itu. ingin rasanya ia melayangkan sebuah pukulan diwajah menyebalkan Ji Woon, tapi itu akan menambah waktunya lebih lama dengan laki-laki itu. Sekarang lebih baik jika ia pergi dari tempat itu.
Tanpa berkata lagi, Han Ni langsung saja mengambil langkah besar-besar meninggalkan Ji Woon
“hoi, kau mau kemana?” panggilan Ji Woon masih terdengar jelas, namun Han Ni tak ingin memperdulikannya, ia tetap melanjutkan langkahnya.