Ruang kerja yang sunyi. Hanya terdengar bunyi detak jarum jam beradu keras dengan bunyi tangan yang sedang beradu dengan keyboard. Sesekali tarikan nafas panjang laki-laki 30 tahun ini menengahi, menciptakan harmonisasi ketegangan yang sulit digambarkan. Di dalam ruangan yang cukup besar itu hanya ada dia seorang. Semua rekannya telah pulang setengah jam yang lalu.
Ilham masih sibuk berkutat dengan laporan rencana program baru yang akan diuji coba minggu depan. Tanggungjawabnya sebagai pemimpin redaksi harus memastikan semua berjalan lancar sesuai koridor yang ditetapkan perusahaan. Ditatapnya jam dinding yang menggantung disudut ruangan. Sudah jam setengah 8 malam, saatnya ia berkemas walaupun pekerjaannya belum kelar semua. Persetan dengan semua ini, aku juga butuh waktu buat istirahat.
Ilham melangkah meninggalkan ruangan sambil menyangklong jas hitamnya. Wajahnya yang suntuk seketika cerah, ingat malam ini ia akan makan malam dengan tunangannya. Baru lima langkah berjalan tiba-tiba Hp dalam sakunya bergetar.
“Halo, bapak?”
“Iya, mbak Marni. Ada apa?”
“Ibu Pak, Ibu pingsan.”
Ilham tercengang. Untuk sepersekian detik otaknya seakan berhenti beroperasi, beku tak dapat berpikir.
“Halo. Pak?”
Suara diseberang menyadarkannya. Tidak, kamu tak boleh Panik Ilham. “Mbak Marni cepat telfon ambulan sekarang. Saya dalam perjalanan pulang.”
Secepat kilat Ilham berlari menuju lift menuju lantai paling bawah, parkiran. Memacu mobil dengan kecepatan penuh, tak peduli dengan sapaan si juru parkir yang selalu ia balas ramah setiap harinya. Honda Jazz hitam itu bergerak cepat melalui jalan di depan loby kantor. Ilham fokus ke depan, hanya satu di otaknya sekarang, segera sampai rumah tanpa ia sadari melewati seorang gadis yang telah menunggunya hampir satu jam.
***
Di lorong koridor sebuah rumah sakit yang hampir setiap minggu ia datangi. Ilham sampai hafal dengan wajah beberapa suster yang berlalu-lalang didepannya. Sebagian dari mereka tersenyum menyapa Iham, mungkin juga sama-sama hafal, atau sekedar tertarik dengan lelaki ganteng dengan setelan pakaian kantor yang masih lengkap.
Disampingnya selisih dua bangku, Mbak Marni asisten rumah tangga yang setia menjaga ibunya hampir enam tahun duduk dengan wajah gelisah. Ilham iba juga melihat wajahnya. Perempuan 35 tahun yang tak pernah sekalipun minta cuti pulang kampung itu sudah banyak membantu Ilham dan Ibunya.
“Mbak Marni sudah makan?”
“Belum Pak.” Marni menggelengkan kepala.
Ilham mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dompetnya, memberikan pada Marni. “Mbak Marni boleh beli makan di luar, biar saya yang jaga Ibu.”
Sang ART tersenyum senang menerima uang dari Ilham. Pamit keluar, wajahnya sumringah. Enak sekali punya majikan yang pengertian, sudah baik, sopan, ganteng pisan. Dikehidupan berikutnya mungkin marni akan memohon pada Tuhan supaya dijodohkan dengan Ilham saja.
Sudah hampir setengah jam namun belum ada tanda-tanda sang Ibu akan siuman. Ilham masih setia menunggu. Tiba-tiba ia teringat Andhin. Ia segera mengecek Hp dan benar saja puluhan panggilan dari tunangannya itu tak terjawab. Ilham menepuk jidatnya, bagaimana ia bisa lupa dengan janji makan malam dengan kekasihnya itu.
“Halo Andhin.”
“Ilham, kamu dimana aku nunggu kamu sudah hampir 2 jam di loby depan? Kamu dimana sih?” Suara disebrang terdengar lantang.
“Sayang, Im sorry. Ada urusan mendadak dan aku lupa gak ngasih kabar kamu.”
Hanya terdengar desahan diseberang.
“Andhin sayang, kita makan malam be-s,” belum selesai kalimatnya saat Andin memotong.
“Harusnya kamu bilang sejak tadi Ham, aku sudah menunggumu 2 jam lebih.”
Tuuutttt, tuuutttt, sambungan terputus.
Ilham tahu Andhin pasti marah dan kecewa. Ia hanya bisa mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Akhir-akhir ini pikirannya tepecah belah. Memikirkan pekerjaan yang tak ada habisnya dan memikirkan pengobatan sang Ibu yang sampai saat ini masih ia rahasiakan dari Ayah dan keluarganya. Ia sadar hubungannya dengan Andhin lah yang selalu menjadi korban. Apadaya mengenai Ibunya ia masih tak punya nyali untuk berbagi cerita dengan Andhin.
***
Konon kabarnya laki-laki memiliki sifat manja yang tak akan hilang sepanjang hidupnya. Sifat ini terkubur didalam kokoh dan perkasanya jiwa laki-laki, yang suatu saat akan ia perlihatkan pada perempuan yang ia cintai. Namun tidak bagi Ilham, mungkin sifat manja itu sudah lama terkubur atau bisa jadi sudah mati puluhan tahun silam dalam tubuhnya.
Ilham tumbuh besar dalam keluarga Ayahnya yang kaya raya. Meskipun ke empat kakak perempuannya menyayanginya, Ilham tak terlalau akrab dengan mereka. Apalagi semenjak ia tahu rahasia tentang asal-usulnya, Ilham memilih menurut dengan semua keputusan keluarganya. Ilham merasa ia tak punya hak apa-apa dalam keluarga itu, ia hanyalah anak haram hasil hubungan gelap sang Ayah dengan perempuan jalang.
Masa mudanya ia habiskan dengan tumpukan buku di perpustakaan. Sang Ayah tak pernah mengizinkan Ilham bergaul dengan teman-temannya. Saat SMA ia mulai sadar keberadaanya seakan ditutup-tutupi dalam keluarga itu. Tak pernah sekalipun Ia diajak dalam acara keluarga. Bahkan tak ada sosok dirinya dalam foto keluarga yang dipajang di ruang tamu. Saat lulus SMA sang Ayah mengirimnya berkuliah di Australia, tanpa protes Ilham mengiyakan.
Kehidupannya berubah drastis saat Ia bertemu Andhin di Media Raya Group. Gadis kurus dengan mata sayu dan bulu mata lentik itu mengalihkan dunianya. Entah mengapa Ilham menemukan kedamaian saat menatap juniornya itu. Bibirnya yang sudah lama lupa bagaimana cara tersenyum mulai pandai tertawa. Ada dag dig dug aneh saat mendengar Andhin berbicara. Ilham sadar ia tengah jatuh cinta untuk kedua kali dalam hudupnya.
Penantiannya selama dua tahun tidak sia-sia. Si gadis mata sayu itu menerima tunangannya. Hari pernikahan merekapun sudah ditentukan. Segala pernak-pernik pesta pernikahan mulai disiapkan. Sebagai seorang anak Ilham tentu ingin meminta restu dari Ibu kandungnya. Hatinya hancur tatkala menjumpai sang Ibu tengah sekarat menunggu kematian. Kanker hati telah menggerogoti tubuh perempuan tua itu hingga kurus tinggal tulang.
Perpisahan dengan sang Ibu puluhan tahun tak membuat hatinya dendam. Tabungannya selama bekerja di Media Raya sebagian ia gunakan demi mendapat kesembuhan untuk Ibunya. Sang Ayah marah besar mengetahuinya.
“Untuk apa kamu mengurusi perempuan itu? susah payah Ayah menyekolahkanmu ke luar negeri kini saat sudah kerja uangmu kau habiskan demi perempuan tak berguna itu. Biarkan dia menderita. Biarkan perempuan itu mati. Itu adalah karma yang pantas ia terima.”
Ilham memilih diam tak meladeni sang Ayah. Ilham sadar, ia tak akan pernah punya nyali melawan Ayahnya. Diam-diam ia tetap meneruskan pengobatan sang Ibu. Mana mungkin Ia tega membiarkan perempuan tua itu sendirian menghadapi kematian. Bagaimanapun juga darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah berkat air susu perempuan itu.
“Pak Ilham?”
Ilham segera tersadar dari lamunannya. “Iya Dok, bagaimana?” Penjelasan dokter tentang pengobatan Ibunya tak satupun ia mengerti.
“Begini Pak, tampaknya kemoterapi tidak berjalan baik pada tubuh Ibu, berdasarkan pengamatan kami sel kanker tidak bereaksi sama sekali.”
“Lalu apa yang harus saya lakukan Dok?”
“Kami akan mencoba terapi virus dengan menyuntikkan virus yang mampu melawan sel kanker langsung pada pusatnya. Kami akan mencoba besuk siang, jika tubuh Ibu tidak ada reaksi penolakan, pengobatan ini bisa dilanjutkan Pak.”
Ilham menggangguk, pasrah dengan segala keputusan dokter. Setelah meminta Marni untuk gantian menjaga Ibunya Ilham kembali ke kantor, masih ada setumpuk pekerjaan yang menunggunya disana.
Sudah hampir dua minggu kantor menjadi tempat kerja sekaligus tempat tidur bagi Ilham. Ia tak punya waktu untuk sekedar pulang ke rumah. Apalagi sejak sang Ayah mengetahui keterlibatannya dalam pengobatan sang Ibu. Pulang ke rumah hanya akan memancing amarah sang Ayah.
Ilham duduk termenung di kursi kerjanya. Menengadah wajah keatas menatap langit-langit. Malang, saat seperti ini pun Ilham tak tahu harus berbagi dengan siapa. Andhin? Tidak, Ilham tak ingin menyeret tunangannya itu kedalam masalah rumit keluarganya ini. Andhi sudah cukup menderita tak mendapatkan perhatiannya akhir-akhir ini.
Tiba-tiba ia teringat sebuah film yang sedang rilis saat itu. Andhin pernah cerita jika ia ingin sekali menontonnya. Mengingat tentang Andhin saja mampu mengembalikan tenaganya. Perempuan itu memang ajaib. Ilham tersenyum, mengeluarkan smartphone nya menelfon Andhin. mungkin besuk aku bisa luangkan waktu untuknya.
……
“Gimana sayang? Film kesukaanmu baru rilis lo, Bohemian Rhapsody,” Ilham bersemangat membujuk. Lama tak ada jawaban, mungkin Andhin sedang mempertimbangkan.
“Hmm. Aku ingin istirahat saja besuk dirumah Ham. Capek banget kerjaan seminggu dikantor banyak banget. Banyak deadline yang belum aku kerjain. Gimana kalau senin sepulang kantor?”
“Oke deh sayang, istirahat yang cukup. Jangan lupa makan yang banyak.”
“Iya Ham.”
“Ya udah, good night Andhin sayang.” Ilham mengakhiri pembicaraan. Meskipun sedikit kecewa Ia tak akan memaksa Andhin. Ia sendiri paham bagaimana sibuknya pekerjaan Andhin. Ditambah lagi kegiatan Andhin mencari keluarga pemulung yang hilang itu. Ia berjanji akan membantu Andhin, namun belum sekalipun janji itu ia tepati. Tunangan macam apa aku ini?
Ilham mengamati dua karcis bioskop yang terlanjur ia pesan. Sayang jika dibiarkan.
“To, mau nonton gratis gak? Pasti mau kan? Karna aku baik, aku kasih voucher nonton Bohemian Rhapsody gratis. Syaratnya cuma satu, cepet cari pasangan. Tiketnya untuk berdua soalnya.”
Pesannya segera terkirim ke Anto, balasan datang secepat kilat, sebuah emoticon love dan hug dari Anto. Ilham tersenyum. Anak ini, satu-satunya orang yang sering mengiriminya cinta melalui pesan yang bahkan tidak pernah dilakukan Andhin tunangannya.
***
Seperti biasa akhir bulan adalah waktu tersibuk bagi Ilham. Tugasnya mempersiapkan program baru untuk tayang awal bulan depan mau tak mau membuatnya bekerja extra keras. Benar kata Kamila kapan hari, badannya semakin hari semakin kurus saja. Kini ia harus lebih mengencangkan ikat pingggang agar celananya tak melorot saat berjalan. Gila, jangan sampai di hari pernikahan nanti aku kurus macam pengantin yang terlibat utang milyaran.
“Pak Ilham, calon Istri bapak sudah menunggu di luar. Apa boleh saya persilahkan masuk?”
Suara dari Irma sekertaris Ilham mengagetkannya. Ilham mengerutkan dahi. Calon istri? Andhin? Sejak kapan Andhin mau menemuiku di kantor secara pribadi. Tapi alhamdulilah artinya Andhin sudah berani menunjukkan statusnya pada orang kantor. Seketika senyumnya mengembang.
“Oke silahkan masuk.” Ilham mengiyakan. Terdengar langkah kaki perempuan memasuki ruangannya. Andhin, mungkin la sudah kangen karena lama tak dapat menemui Ilham meskipun berada dalam satu kantor.
“Andhin sayang, tumben mau kesini lang-sung,” Kalimatnya terhenti saat perempuan di hadapannya bukan Andhin tunangannya.
“Halo Ilham, kaget ya? Maaf harus ngaku dulu sebagai calon istrimu biar diizinkan masuk. Kalau gak gini susah banget ketemu orang penting kaya kamu. Gimana kabarnya Ham?”. Perempuan cantik dengan setelan jas hitam dan rok pendek selutut itu tersenyum lebar. Memeperlihatkan deretan giginya yang putih. Lipstik merah merona semakin menambah kesan dewasa pada wajahnya.
Ilham kaget, “Syabila?” Syabila adalah teman kuliah Ilham selama lebih dari 4 tahun di Australia. Perempuan yang usianya hanya berpaut dua bulan darinya ini adalah satu-satunya teman dekat yang Ia punya sebelum cerita tentang mereka berubah 5 tahun yang lalu.
Syabila adalah anak dari kolega sang Ayah. Mereka sama-sama dikirim ke Australia semenjak lulus dari SMA. Syabila adalah gadis cantik yang cukup popular di kalangan mahasiswa Indonesia di Australia. Ilham yang tak punya teman sama sekali merasa beruntung Shabila mau menerimanya sebagai teman. Membantunya mencari flat tempat tinggal sampai mengenalkannya dengan orang-oran baru.
Setelah lulus mereka sama-sama meniti karir di Media Raya. Belum genap 3 bulan bekerja sanga Ayah menawarkan perjodohan. Ilham setuju begitu juga Syabila. Mereka digadang gadang menjadi pasangan tercocok seantero kantor. Ilham bahagia, hidupnya yang sepi akan segera menjadi berwarna.
Namun tampaknya Tuhan hanya ingin bermain dengan Ilham saat itu. Tepat saat hari pernikahan mereka akan ditentukan, Syabila menghilang. Kabar yang berhembus mengatakan Syabila kabur ke Singapura. Perjodohan antara Ilham dan Syabila hanyalah trik bisnis antara sang Ayah dan koleganya. Ilham terpuruk. Pribadinya yang mulai ceria kembali dingin seperti semula sampai bidadari itu datang, ya bidadari tak bersayap itu bernama Andhin.
“Ilham, kamu tak berubah sama sekali. Masih saja bengong kalau ketemu aku.” Ujar Syabila yang langsung duduk tanpa dmenunggu dipersilahkan.
“Ada urusan apa Bil?”
“Tak ada, aku hanya ingin menengok tunangan yang lama ku tinggalkan.” Ucap perempuan cantik itu sambil tersenyum penuh arti. Melirik Ilham yang masih tak percaya akan kedatangannya. Tak ada yang berubah yang berarti dari laki-laki yang ditinggalkannya 5 tahun silam itu. Gaya rambutnya masih sama, wajahnya masih seteduh dahulu hanya saja badannya lebih kurus sekarang. Semua masih sama, kecuali cincin yang melingkar pada jari manisnya bukanlah cincin yang pernah mereka sepakati dulu.
sedih, tapi bagus kok
Comment on chapter Bagian 9 (End)