Disebuah cafe di salah satu sudut ruang tungggu bandara, Andhin nampak menikmati segelas americano dingin kesukaannya. Aneh memang, minuman yang tak ada rasa manisnya sedikitpun ini banyak digemari. Kehidupan manusia yang tak banyak manisnya mungkin menjadikan lidah ikut beradaptasi dengan rasa pahit.
Bandara yang sedang mempercantik diri ini terlihat ramai lalu-lalang manusia. Pembangunan Sky Bridge yang menghubungkan bandara dengan stasiun Light Rail Transit terlihat hampir rampung pengerjaannya. Tampaknya pemerintah sedang gencar me re-layout bandara Hasanuddin menjelang salah satu olimpiade international yang akan diselenggarakan di kota Palembang.
Bandara adalah salah satu tempat faforit Andhin setelah pantai. Bandara adalah tempat dimana ia bisa melihat kegembiraan dapat bersanding akur dengan kesedihan. Gembira menyambut orang-orang tercinta dan sebaliknya sedih melepaskan orang tercinta.
“Andhin?”
Suara bariton khas yang tak asing ditelinga Andhin. Ia menoleh, mendapati sosok lelaki yang hampir 6 bulan tak ia temui. Penampilannya tak banyak berubah, hanya poninya yang terlihat lebih rapi. Lesung pipi yang muncul saat ia tersenyum juga masih nampak menghiasi pipi kanannya.
Ingin sekali Andhin berlari berhamburan memeluk lelaki di depannya itu. Menceritakan segala gundah gulana hatinya. Nyatanya hanya senyum dan air mata yang mewakili perasaannya. Andhin menghampiri Dito, memperlihatkan jari manisnya yang kosong. Tak ada lagi cincin berlian yang bertengger disana. Dito tersenyum, memeluk Andhin erat.
Pulanglah Andhinku, Pulanglah kembali ke rumah terakhirmu yaitu aku. Ku sambut pulangmu wahai Andhinku.
***
Jembatan Ampera.
Ikon utama kota Palembang itu berdiri membentang memotong Sungai Musi. Bangunannya yang kokoh seakan memberi salam bagi para pendatang. Memperkenalkan diri, akulah si jembatan merah yang agung namanya di seluruh negeri. Tak banyak orang tahu kalau Ampera adalah singkatan dari amanat penderitaan rakyat, sebagai bukti penderitaan rakyat saat proses pembangunannya.
Andhin terpukau melihat megahnya jembatan Ampera dari pinngiran sungai Musi. Sesekali Dito mengambil gambarnya melalui kamera digital yang mengagantung di lehernya. Menyuruh Andhin berdiri dengan berbagai gaya sebagai obyek fotonya. Yang disuruh hanya bisa cekikikan. Tak ada jiwa fotogenic sedikitpun yang mengalir di darahnya.
“Yah payah, modelnya macam perempuan kelaparan gini.” Dito menggumam mengamati hasil jepretannya. Hampir semua foto Andhin melakukan pose yang sama. Berdiri kaku dengan kedua tangan sedekap di perut.
Andhin tertawa terbahak-bahak menyaksikan sang fotografer geleng-geleng kepala kecewa. Andhin hanya ingin menikmati semilir angin yang kencang menerpa wajahnya. Angin, bawalah pergi semua sakit hatiku.
“Ndhin tahu gak siapa orang paling bodoh didunia ini?” tanya Dito saat keduanya asik menyantap makanan khas Palembang, pempek.
“Ehm, siapa? Orang yang menyia-nyiakan waktunya.”
“Klise.”
“Terus? Siapa?” Andin penasaran.
“Penjual pempek Palembang.” Jawab Dito serius sambil melirik bapak tengah baya sang pemilik warung.
“Ha? Kok bisa?”
“Lihat aja, dia jual kapal selam cuma lima ribuan, lah Indonesia aja beli kapal selam buatan Amerika harganya ratusan juta kok.” Ujar Dito sambil memperlihatkan selembar daftar makanan di tangannya.
Andhin memukul keras pundak Dito. Ia tertawa cengengesan, hampir lupa kalau Dito adalah sumber kekonyolan. Dari jauh si jembatan merah ikut tersenyum menyaksikan sejoli yang kembali dalam kemesraan.
Bukit Siguntang.
Selanjutnya Andhin dibawa Dito ke sebuah bukit kecil yang tersohor di Palembang, Namanya Bukit Siguntang. Bukit yang terletak tak jauh dari Sungai Musi itu menawarkan pemandangan yang luar biasa. Lingkungan yang masih asri, ditambah udara segar bersih khas pegunungan menjadikan siapa saja betah berlama-lama disana.
Andhin terpukau, bukit ini menjadi bukti betapa besarnya Kerajaan Sriwijaya yang pernah mengusai seantero nusantara.
“Dit fotoin gue dong.”
“Males ah, Lo gak bakat jadi model. Gaya Lo monoton, kalau gak tangan di perut berarti tangan di pinggang. Gaya foto perempuan jaman old hahaha.” Dito berlari menghindari Andhin yang sudah ancang-ancang memukul pundaknya.
Pulau Kemaro.
Pulau yang terletak di Sungai Musi ini adalah tempat yang tak pernah sepi dikunjungi pasangan sejoli. Kabarnya di pulai ini terdapat pohon cinta dimana saat sepasang sejoli mengukir namanya di pohon tersebut maka hubungan mereka akan terus langgeng sampai pelaminan.
“Disinilah Putri Palembang yang terkenal jelita itu dimakamkan.” Dito menjelaskan. Gayanya sudah mirip seorang tour guide yang memandu wisata. “Lo tahu ceritanya?”
Adhin menggeleng. Ingatnya buruk tentang sejarah. Satu-satunya kisah yang ia tahu adalah Roro Jonggrang yang dikutuk oleh kekasihnya menjadi patung.
“Putri Palembang yang jelita menikah dengan seorang pangeran dari China. Sang pangeran mati tenggelam di sungai Musi, karena begitu cintanya Sang Putri memilih menyusul menenggelamkan diri di sungai Musi juga.”
“So sweet.”
Ilham mencibir. “Konyol itu namanya, kalau aku jadi Si Putri, ya nikah lagi lah, ngapain ikutan nyemplung sungai, mending nikah lagi kan masih cantik hehehe.” Dito berlari menjauh. Ia tak ingin bahunya biru menjadi korban tangan Andhin.
Air terjun Bidadari
Tempat berikutnya tak kalah eksotis. Sepanjang perjalanan Andhin dibonceng Dito menggunakan si vespa tua melewatiti perbukitan yang sangat Indah. Kanan-kiri mereka masih berupa perkebunan kopi milik warga. Udara bersih seketika menjernihkan otak Andhin yang sudah banyak terkontaminasi polusi di Jakarta.
Air terjun setinggi puluhan meter ini begitu menghipnotis mata Andhin. Sekililingnya ditumbuhi pepohonan lebat nan rindang. Suara sahut-sahutan burung liar semakin menambah romantis suasana.
Dito berdiri tepat dibawah air terjun yang mengalir deras, seluruh tubuhya basah kuyup. Andhin hanya tertawa melihat kekonyolan lelaki itu. Ia sendiri memilih menikmati indahnya air terjun dari jauh.
“Andhin I love u” teriakan Dito. Suaranya berbaur bersama suara air terjun yang terjun deras dari ketinggian.
“Apa? Aku gak dengar? Andhin tak kalah berteriak.
“I love Youuuuu.” Sengaj Dito mempertegas kata perkata.
“Apa?”
“Andhin, kamu kurus, jelek, hitam dan budek.” Sengaja Dito mengganti kalimatnya karena jengkel.
Andhin tertawa cekikikan dari kejauhan. Ia melangkah diantara bebatuan menuju Dito. Tak ia hiraukan lagi cipratan air terjun yang membasahi rambut dan seluruh tubuhnya.
Begitulah tatkala dua sejoli tengah dimadu cinta. Biarkan semua mengalir seperti adanya. Seperti aliran jernih air terjun bidadari yang menjadi saksi pertemuan kembali dua hati.
***
Dalam sebuah pesawat yang membawanya kembali ke tanah Jawa. Berbeda ketika ia berangkat penuh dengan keresahan, kali ini ia pulang dengan hati yang lebih tenang. Luka yang menganga di hatinya telah bertemu obat yang tepat. Dosisnya tak terlalu tinggi, tapi pas memusnahkan segala virus sakit hati. Dito kaulah obat segala sakit ku.
Si burung besi tujuan Jakarta itu mengangkasa dengan tenang. Beberapa kali pramugari menghampiri menawarkan minuman ringan kepada para penumpang. Andhin meminta segelas kopi panas, sekedar untuk mengusir kantuk yang mulai menghampirinya. Perjalanan kali ini sayang jika hanya dilewatkan dengaa mata terpejam.
Andhin memilih melihat beberapa film melalui monitor di depannya. Sengaja memilih genre romantic, film lawas berjudul AADC menjadi pilihannya. Monitor mulai mempelihatkan adegan dimana Cinta melepas kepergian kekasih hatinya di bandara. Namun bukan Rangga, mengapa tiba-tiba ada Dito ikut menjadi pemeran dalam film itu. Sejak kapan Rangga yang tampan berubah menjadi Dito yang penuh slengekan?
Perpisahannya tadi pagi di bandara Hasanuddin dengan Dito serasa adegan film. Dito menggenggam erat kedua tangannya seakan takut ia pergi dan tak kembali lagi. Begitupun Andhin, yang tiba-tiba melankolis. Berat rasanya meninggalkan Palembang. Di detik-detik sebelum masuk pesawat Dito memeluknya erat. Membisikkan lirih sebuah kalimat di telinga Andhin. “Andhinku, tunggu aku. Setelah urusan bisnis selesai di Palembang, aku akan segera datang padamu”
***
Disebuah caffe yang terletak tak jauh dari kantor Media Raya. Jam istirahat makan siang. Café berkonsep Eropa kuno itu lengang, hanya ada beberpa pengunjung yang sedang menikmati minuman. Musik klasik yang diputar lirih menambah nuansa Eropa semakin terasa. Hampir setengah jam berlalu namun tak ada suara dari dua manusia yang duduk berhadapan itu.
“Andhin, maafkan aku.”
“Maaf? Aku terlanjur sakit Ham”
“Apa kita akan membiarkan hubungan kita berakhir begitu saja?”
“Kamu yang membiarkan semuai ini berakhir sia-sia.”
Aneh. Seakan perdebatan bisa dilakukan lewat hati tanpa harus diucapkan.
Sesekali terdengar tarikan nafas berat dari keduannya. Andhin mendesah. Jelas tujuannya bertemu Ilham siang ini bukan untuk berdebat lewat hati. Berkali-kali diliriknya lelaki didepannya tak ada tanda-tanda ia akan mengawali perbincangan. Wajahnya datar, meski jelas ada raut kesakitan dimatanya.
“Aku ingin mengakiri semua diantara kita.” Andin akhirnya memecah kesunyian. Ia menyerahkan kotak perhiasan besar berisi cincin tunangan serta perhiasan yang pernah dibelikan Ilham dan tak lupa buku tabungan yang isinya masih sama. “Aku kembalikan semua. Cek lah mungkin ada yang kurang.”
Ilham menyisihkan kotak besar itu di samping meja.
“Tak ada hubungan apa-apa lagi diantara kita, aku harap kamu paham.” Tambah Andhin meyakinkan. Hatinya mantap melepas semua statusnya sebagai calon istri Ilham.
“Aku harus pamit ke ibumu Ndhin.” Ilham bersuara.
“Tak perlu, aku yang akan menjelaskan semua ke keluargaku, dan sebaliknya tugasmu menjelaskan pada keluargamu.”
Ilham menarik nafas panjang.
“Semua kerugian atas pesta pernikahan yang gagal aku bersedia tanggung, hitung saja berapa bagian yang harus aku bayar.” Andhin berlagak punya uang. Padahal jika Ilham mengiyakan tabungannya pasti akan ludes untuk mengganti biaya gedung yang terlanjur dipesan.
“Tidak usah, aku yang akan bertanggung jawab.”
Syukurlah. Tentu kamu yang harus tanggung jawab. Semua ini terjadi karena pengkhianatanmu Ham.
“Ndin, kamu tak perlu keluar dari Media Raya.” Ucap Ilham
Andhin mendongak, dari mana Ilham tahu mengenai surat pengunduran dirinya. Pasti diantara kamila atau Anto yang menceritakannya.
“Aku rasa itu bukan urusanmu lagi.” Andhin menjawab sinis. “Jika tidak ada lagi yang dibicarakan aku pergi.” Andhin melangkah pergi meninggalkan Ilham yang masih duduk terpaku.
Selamat tinggal Ilham, aku pergi. Benar kata pepatah, cinta akan menemukan jalannya sendiri untuk pulang. Dan ternyata kamu memang bukan rumah tempatku pulang. Selamat tinggal. Semoga kelak kau akan menemukan hati tepatmu kembali.
sedih, tapi bagus kok
Comment on chapter Bagian 9 (End)