Read More >>"> Innocence (Bagian 5) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Innocence
MENU
About Us  

Minggu yang cerah. Tak seperti hari-hari sebelumnya yang dihiasi langit berawan hitam, hari ini tampaknya Jakarta lebih bersabat. Sedari mentari menampakkan diri di ufuk timur, langit cerah, biru bersih tak ada awan sedikitpun menutupinya. Angin behembus sepoi-sepoi seakan ingin menyapa semua orang, mengabarkan jangan gundah karena akan selalu ada harapan dalam setiap setiap hembusan nafas.

Dijalan depan kontrakannya Andhin berdiri menunggu sang pangeran datang menjemputnya. Hari ini penampilannya sedikit berbeda. Ia memakai rok coklat dipadukan dengan kemeja putih panjang bermotif bunga sakura. Wedges dengan warna senada juga tampak menghiasi kakinya. Wajah yang biasa ia biarkan polos kali ini sengaja ia timpa dengan make up ringan. Membuatnya begitu terlihat anggun dari biasanya.

Hari ini tepat dua minggu setelah pertemuan terakhir Andhin dengan Dito. Meskipun sakit, ia berusaha setengah mati menghapus Dito dari hatinya. Seperti halnya gadis SMA yang sedang patah hati, Andhin selalu terisak ditengah malam. Rasanya seperti menyiram air garam pada luka yang sedang menganga. Benar kata pepatah, patah hati tak kenal usia. Buktinya patah hati mampu membuat seorang Andhin yang tangguh menjadi rapuh.

Dua minggu terakhir Dito tak pernah berhenti menghubungi Andhin. Tak menyerah, laki-laki lesung pipi itu bahkan rela menunggu didepan kontrakan layaknya sales yang sedang mencari pelanggan. Andhin memang sengaja mengabaikan Dito, tekadnya sudah bulat. Ia tak ingin menyakiti Ilham. Meskipun kini Ia harus menyakiti hatinya sendiri dan terutama Dito. Ia sadar cintanya dengan Dito adalah suatu kesalahan.

Satu kalimat perpisahan dari Dito yang tak pernah bisa Andin lupakan yang ia terima melalui sebuah pesan.

 Andhinku, meskipun sampai sekarang aku tak pernah bisa menerima keputusanmu tapi aku hargai semua keinginanmu. Diantara kita bukan cinta yang salah, tapi waktu yang kurang tepat. Aku datang terlambat saat kamu sudah ada yang memiliki. Andhinku jika kamu merasa keputusanmu salah, datanglah kembali padaku. Ini alamatku di Palembang. Dito.

Pesan perpisahan yang membuat Andhin menangis semalaman. Sejak saat itu Dito tak pernah menghubunginya. Dito memutuskan pulang kembali ke Palembang, untuk mengurusi bisnis keluarganya.

“Andhin.”

Suara Ilham dari balik mobil menyadarkan lamunan Andhin. Ia segera masuk ke dalam mobil. Hari ini berdua dengan Ilham ia akan mengahadiri sebuah wedding exhibition yang diselenggarakan di salah satu moll di Jakarta.

 Andhin sebenarnya enggan ikut acara semacam itu, ia ingin kelak pernikahannya dilakukan secara sederhana saja. Mengundang keluarga terdekat dan teman dekat saja. Apadaya keluarga Ilham tergolong keluarga terhormat. Rekan bisnis ayahnya banyak dan juga Ilham satu-satunya anak laki-laki dikeluarganya. Tentu mereka ingin pesta yang cukup meriah untuk merayakan pernikahan si anak bungsu kesayangan mereka. Andhin hanya bisa pasrah.

Sesampainya di tempat acara Andhin dan Ilham disuguhi puluhan stand yang menawarkan berbagai paket wedding. Ada yang hanya menyewakan baju pengantinnya saja ada pula yang full service dari make up, gedung, undangan sampai ketering. Semua dipatok dengan harga yang cukup fantastis. Andhin hanya bisa menelan ludah melirik harga yang ditawarkan. Gila, mahal amat. Uang segini banyak bisa buat ngasih makan ratusan pemulung nih.

Miris memang melihat mahalnya biaya sebuah pesta pernikahan sekarang. Baju pengantin yang bisa mencapai ratusan juta, belum undangan, belum lagi sewa gedung dan ketering. Atas nama gengsi masyarakat kita seakan-akan berlomba-lomba membuat pesta pernikahan semewah mungkin.  Uang ratusan bahkan milyaran juta bisa hilang hanya untuk sebuah pesta dalam hitungan jam.

Bukan masalah jika si pengantin dan keluarganya memang sanggup untuk semua itu. Namun tak sedikit pasangan pengantin yang hanya termakan gengsi belaka. Membuat pesta pernikahan mereka serba mewah, sekali seumur hidup katanya. Dana habis untuk pesta pernikahan, malangnya setelah pesta usai mereka tinggal dikontrakan. Ironi bukan.

Lagi-lagi Andhin menarik nafas panjang. Tak ada satu stand pun yang nyantol dihatinya. Ilham sangat paham apa yang dirasakan Andhin. Kalau tidak dipaksa kakak pertamanya belum tentu Andhin mau diajak ke wedding exhibition seperti ini.

“Sayang, kita makan dulu yuk?” Ilham menarik tangan Andhin agak menjauh dari mbak-mbak cantik yang tiada henti memberi penawaran. Ia paham Andhin pasti sudah sangat bosan sekarang.

Andhin mengangguk mengiyakan. Tak lupa tangannya menyaut beberapa brosur yang tersedia dimeja, berharap ada satu yang sesuai dengan hatinya.

Ilham membawanya ke sebuah restoran klasik yang menawarkan masakan Eropa. Lagi-lagi makanan yang ditawarkan harganya selangit. Andhin menelan ludah. Ilham memang berkepribadain luar biasa. Di kantor saat masih bekerja di tim kriminal ia tak segan makan sob buntut atau mie ayam di pingiran jalan. Sekarang makan makanan mewahpun tampaknya juga terbiasa. Maklum Ilham tumbuh besar dalam keluarga yang cukup berada.

“Sayang mau makan apa?”

“Samain aja.” Andhin memilih makanan yang sama dengan Ilham, dari pada lidahnya kelu mengeja nama makanan yang sulit dibaca itu.

Mereka berdua menikmati makan siang dengan lahap. Rasanya enak, tentunya sesuai dengan harga yang harus dibayar. Selesai makan siang Andhin memutuskan untuk mampir ke sebuah toko peralatan sekolah. Membelikan peralatan sekolah lengkap untuk Adi, tak lupa beberapa buku gambar dan pensil warna untuk Randi adik Adi. Minggu depan Adi sudah bisa masuk SD. Dengan sabar Ilham menemani gadis pujaanya itu.

Sekitar jam 4 sore Andhin dan Ilham menuju rumah Adi. Tak lupa dalam perjalanan mereka membeli 4 bungkus bakso, makanan kesukaan Ilham. Sesampainya di depan rumah, Adi dan adiknya berhamburan menyambut Andhin.

“Kak Andin, kakak lama sekali gak kesini.” ujar Adi. Rambutnya kini sudah dipotong rapi. “Mas Dito mana Kak?” tambahnya polos tatkala mengetahui lelaki yang besama Andhin bukan lagi DIto yang selama ini mereka kenal.

“Ssst, kak Dito sudah pulang ke Palembang. Ini kakak bawain bakso.” Jawab Andhin pelan. Untung Ilham sedang sibuk mengeluarkan barang-barang lain sehingga tak mendengar pertanyaan Adi.

Pak Basuki dan istrinya ikut sumringah menyambut Andhin. Apalagi mereka kali ini Andhin datang dengan setumpuk peralatan sekolah untuk Adi.

“Pak Basuki kenalkan ini Ilham tunangan saya.” Sengaja Andhin menekankan kata tunangan dalam kalimatnya, berharap Pak Basuki mengerti isi hatinya. Please jangan ada yang nanyain Dito.

Ajaibnya kata hati Andhin seakan dimengerti pak Basuki dan Istrinya, sepanjang obrolan tak satupun dari mereka yang membahas tentang Dito. Obrolan mengair lancar, walaupun itu pertemuan pertama kali mereka dengan Ilham. Dengan semangat Andhin menjelaskan surat-surat apa saja yang harus disiapkan Pak Basuki untuk pendaftaran sekolah Adi.

Satu keinginan Andhin akhirnya terlaksana. Ia puas memandang senyum bahagia Adi dan keluarganya. Andhin tersenyum bangga melihat Adi teman kecilnya menjajal seragam SD yang ia belikan. Tampak tawa renyah dari mulut si bocah kecil itu. Andhin ikut tertawa. Tanpa ia sadari lelaki disampingnya memandangnya dengan takjub.

Ini pertama kalinya sejak pertunangan kita aku bisa melihatmu tertawa selepas ini Ndin

***

Andin resah, puluhan kali ia menelpon Ilham tapi hanya suara operator yang mengalihkan ke kotak suara yang ia terima. Padahal mereka sudah janjian sebelumnya untuk mengantar Adi di hari pertama sekolah. Berkali kali Andhin melihat jam tangan di tanggannya. Sudah hampir jam 7 tapi tak ada tanda-tanda kemunculan Ilham.

Andhin menatap Adi yang berdiri disampingnya. Wajahnya cerah, terlihat bahagia dihari pertamanya sekolah. Andhin melihat kembali Hp yang sedari tadi digenggamannya, pesannya juga belum dibalas. Dulu saat seperti ini Dito selalu bisa diandalkan. Ah, lupakan tentang Dito.

“Kak Andhin, masih lama ya?” Adi ikut gelisah.

“Bentar ya, Adi gak sabar ya pengen cepet sampai sekolah?” jawab Andhin sambil mengelus kepala bocah itu. Ia mencoba kembali menelpon Ilham.

Tuuut tuuttt tutttt

“Halo?”

“Halo Ilham, sudah dimana? Aku sudah siap sama Adi di depan kotrakan, kamu sudah dekat kan? Ini sudah hampir jam 7 lo Ham.” Seketika Andhin langsung memberondongi Ilham dengan pertanyaan.

“Andhin, sorry aku mendadak ada urusan.”

Tutuutt…tuttt. Panggilan terputus.

“Hallo Ilham, hallo?” Andhin menarik nafas panjang. Kesal. Bagaimana mungkin Ilham lupa janjinya hari ini. Atau paling tidak mengabari kalau memang tak bisa. Tidak dengan membiarkannya menunggu tanpa kejelasan seperti ini.

“Kenapa Kak?” tanya Adi dengan wajah polos

“Gak papa kok, berangkat yuk kita naik taxi aja ya.” Jawab Andhin sambil menuntun Adi berjalan menuju jalan besar. Ia memendam amarahnya pada Ilham. Ia tak ingin merusak kebahagiaan Adi di hari pertamanya sekolah.

***

Jam istirahat makan siang di kantor. Seperti biasa Andhin bersama Kamila dan Anto menghabiskan waktu istirahat mereka bersama. Kali ini mereka memilih makan siang di kantin kantor. Mulut rasanya sudah bosan tiap hari dijejali sob buntut, untuk itu mereka memilih makan di kantin, siapa tahu ada menu baru yang menggoda lidah.

Tak seperti biasanya Andhin tampak gelisah. Bagaimana tidak, Ilham sama sekali tak memeberi kabar sejak pagi. Bahkan Ilham belum meminta maaf kerena membatalkan janji menemaninya mengantar Adi dui hari pertama sekolah. Dan sampai jam makan siangpun tak ada tanda-tanda Ilham akan menemuinya.

Lo kenapa sih Ndin, dari tadi wajah ditekuk mulu?” kata Anto.

“Biasa balada calon pengantin baru To, gak ada kabar dari pujaan hati sejam aja ya gini deh jadinya.” celetuk Kamila. Ia tahu penyebab kegelisahan sahabatnya itu. “Udah, makan dulu gih. Paling si Ilham juga lagi sibuk. Biasa, akhir bulan lagi nyiapin program baru buat bulan depan Ndin.”

Andhin mengangguk pelan. Benar juga ucapan Kamila. Pasti Ilham lagi sibuk nyiapin program. Andhin mengubur kegelisahannya. Ia tak boleh egois, marah-marah hanya karena Ilham tidak menemaninya pagi tadi. Andhin mulai menyantap makanan yang sudah mulai dingin didepannya.

“Sttt, siapa sih itu, kayaknya baru lihat deh.” Anto menyenggol tangan Andhin sambil melirik seorang perempuan cantik yang lewat tepat didepan meja mereka bertiga. Seketika Andhin dan kamila yang sedang asik makan tertarik untuk ikut memperhatikan.

Seorang perempuan yang sepertinya baru pertama kali ini Andhin melihatnya. Perempuan cantik berambut panjang sepinggang. Tubuhnya ramping dengan setelan jas hitam yang press body semakin menambah kesan elegan. Make upnya cukup tebal, dengan lipstick warna merah menyala. Tak ayal membuat Anto dan Andhin terpana juga.

“Wau, aku baru tahu ada bidadari tanpa sayap.” Ujar Anto masih dalam keadan melongo, kaca matanya sedikit turun ke hidung, membuatnya tampak linglung. Seketika Kamila memukul kepalanya dengan keras.

“Aduh, sakit tahu Mil.” Anto meringis kesakitan.

“Siapa sih dia? Karyawan baru ya? Kayaknya baru pertama kali lihat deh.” kata Andhin.

“Kalian gak tahu?” tampaknya hanya Kamila yang sudah biasa melihat peermpuan tersebut. “Namanya Shabila. Dia dulu karyawan disini bagian advertising. Tapi udah lama keluar, sudah 2 tahun yang lalu sebelum kalian masuk. Entahlah lupa.” Terang Kamila. Kamila yang memang lebih lama kerja di Media Raya dibanding dengan Anto dan Andhin.

“Oh, cantik ya?”

“Iya cantik banget, sumpah. Mirip bidadari. Aku bersedia jadi pendampingnya.”

“Dia yang gak mau sama Lo To, hahaha.” Andin dan Kamila serempak menertawai Anto.

“Ilham gak pernah cerita Ndhin?” tiba-tiba Kamila menyeletuk.

“Cerita apa? enggak pernah, emang kenapa?”

“Dulu, dulu banget sempet ada kabar tentang perjodohan Ilham dan Syabila. Tapi kayaknya kabar burung aja deh, buktinya sekarang Ilham mau nikah sama Lo.”

Andhin hanya tertawa lirih menanggapi ucapan Kamila. Ia tak tahu sama sekali tentang kehidupan percintaan Ilham di masa lalu apalagi tentang Syabila. Ilham juga tak pernah cerita tentang itu. Jauh di dalam hatinya ada sedikit rasa aneh yang tiba-tiba muncul.

 Ah perempuan itu cantik sekali, aku kalah jauh dibandingkan dengannya. Tubuhnya tinggi ramping, rambutnya sepinggah menambah kesan feminim pada wajahnya. Btw untuk apa ia datang ke Media Raya? Jangan-jangan Ilham masih berhubungan dengan perempuan itu. Tapi tak mungkin, kata Kamila perjodohan mereka dulu hanya kabar burung saja. Ihh, kenapa sih aku ini, jangan bilang kamu sedang cemburu Ndin.

***

Hari pernikahan Andhin dan Ilham tinggal hitungan bulan. Andhin yang semula santai kini mulai ikut repot juga. Ijab kabul rencananya akan dilakukan di Jogja, di kampung halaman Andhin sedangkan resepsi akan dilaksanakan dua hari kemudian di Jakarta dengan pertimbangan banyaknya saudara Ilham di Jakarta. Gedung dan segala pernak-pernik pernikahan, sepakat mereka serahkan pada salah satu wedding organizer.

Untuk acara ijab kabul di Jogja Andhin sengaja minta tolong Aldi sang kakak untuk mengurusinya. Pekerjaannya di Jakarta tak mungkin ditinggalkan untuk waktu dekat ini. Toh acara di Jogja nanti hanya akan mengundang keluarga inti Andhin dan beberapa teman dekat saja, jadi tidak terlalu repot.

Malam itu sepulang kantor Andhin dan Ilham berencana membeli cincin dan beberapa perhiasan sebagai mas kawin. Andhin menolak sebenarnya, cincin yang diberikan Ilham saat tunangan sudah cukup menurutnya. Tinggal copot saja. Lalu dijadikan mas kawin pas ijab kabul nanti. Apadaya keinginan konyolnya ini ditolak Ilham, Ilham bersikeras membelikan sepaket perhiasan baru lagi sebagai mas kawin. Pemborosan.

“Sayang, ini gimana? Kamu suka?” kata Ilham sambil menunjukkan sepasang cincin bermata belian. Semburat biru muda tampak bercaya memantulkan sinar lampu, indah sekali.

“Hmm, agak berlebihan deh kayaknya.” Andhin yang suka kesederhannan menolak. Cincin itu lebih mirip dipakai di pameran dari pada dijadikan cincin kawin.

Mereka berdua kembali mengamati beberapa cincin dibalik kaca etalase. Penjaga toko perhiasan itu dengan sabar memberi penjelasan. Akhirnya pilihan Andhin jatuh pada sepasang cincin polos dengan bandrol harga paling murah. Ilham setuju. Sisanya, kalung gelang dan anting Ilham memilih harga yang cukup mahal. Andhin hanya bisa menggurutu.

“Gak papa, toh nanti bisa dijual kalau kita kehabisan uang Ndin.” Ujar Ilham menenangkan.

Tak berhenti disitu, malam ini acara berikutnya adalah menemui wedding organizer untuk membahas tentang surat undangan. Mereka janjian disalah satu restoran yang masih satu gedung dengan toko perhiasan yang mereka datangi. Hemat waktu.

“Mereka kan dibayar buat ngurusin ginian, lah kalau kita masih disuruh mikir juga terus kerja mereka apa dong.” Gerutu Andhin.

Ilham yang berjalan disampingnya tersenyum geli. “Ya buat mastiin, kiat setuju apa enggak dengan ide mereka sayangku.”

“Aku sih setuju-setuju aja, toh undangan gak perlu mahal-mahal, nanti juga dibuang. Sekarang kan jaman udah maju, harusnya undangan pakai email juga bisa. Lebih murah.”

“Lebih murah lagi, jadiin headline diberitamu besuk pagi Ndhin, biar seantero Jakarta tahu kita akan menikah. Hahaha.”

Andhin tertawa. Sejak kapan kamu belajar melucu Ham.

Tiba-tiba Hp Ilham berbunyi, tangannya melepaskan gandengan Andhin. Berjalan agak minggir menjauhi Andhin. Tampaknya masalah serius.

“Andhin sayang, kamu temui orang WO sendirian ya, ada yang mendadak harus kuselesaikan sekarang.”

“Sekarang?”

Ilham menganguk pasrah, tampaknya masalah kantor. Membuat Andhin tak tega jika tak mengiyakan.

“Ya udah, hati-hati. Aku nanti pulang bisa naik taxi.” Andhin mengiyakan meskipun sedikit tak ilkas.

Malam itu akhirnya Andhin menemui orang WO seorang diri. Pertemuan yang singkat tak sampai setengah jam. Dalam diskusi tentang undangan pernikahan itu Andhin lebih banyak diam. Ia menyetujui semua yang diusulkan orang WO. Pulangnya Andhin memilih naik ojek online. Sudah lama sekali rasanya ia tidak merasakan angin malam Jakarta. Ia jadi ingat Dito dan sepeda vespa tuanya. Ah sudahlah.

***

Senin pagi, menjadi jam paling sibuk di kantor Media Raya Group. Semua orang berlalu-lalang dengan kesibukannya masing-masing. Ada yang bersiap melakukan liputan diluar kota. Ada yang sibuk dengan laporan harian dan ada pula yang sibuk mempersiapkan acara live. Inilah kenapa senin menjadi hari paling dibenci karyawan.

Begitu pula Andhin, ia berjalan tergesa-gesa dengan tangan penuh dengan setumpuk bahan berita. Naskah-naskah yang belum lulus tahap editing ini nantinya akan menjadi teman baiknya selama seminggu kedepan. Ia berjalan cepat agar segera sampai ke ruang kerjanya. Namun tiba-tiba tubuhnya menabrak seseorang.

“Aw sorry,” spontan Andhin meminta maaf. Tumpukan kertas dalam genggamannya berhamburan dilantai. Tangannya bergerak cepat mengumpulkannya kembali.

“Maaf, aku sedang buru-buru.”

Perempuan yang ia tabrak ikut membantunya memunguti kertas naskah itu satu persatu. Andhin tersenyum. Namun tatkala matanya beradu pandang dengan perempuan tersebut, ia kaget bukan kepalang. Syabila, perempuan cantuk yang ia temui di kantin kantor beberapa hari yang lalu.

Andhin hanya melonggo saat perempuan cantik didepannya itu menyerahkan beberapa lembar naskahnya. Bahkan saat perempuan itu tersenyum padanya dan berlalu, Andhin masih berdiri terpaku ditempat. Memandangi pungung perempuan cantik itu sampai menghilang di belokan.

“Mil, perempuan itu karyawan disini?” Andhin langsung menghujani Kamila dengan pertanyaan, ketik sudah sampai di ruang tim kriminal.

“Perempuan siapa?” pandangan Kamila tidak teralihkan dari laptop didepanya,

“Itu, Syabila. Perempuan cantik yang kita temui di kanrtin.”

“Ngapain kamu nanyain tentang Syabila?” Kamila mendelikkan mata ke arah Andhin.

“Aku ketemu dia di loby depan”

“Paling ada urusan. Gak mungkin kalau dia kerja disini. Kabarnya dia sudah kerja enak di luar negeri kok. Hayo kenapa? Lo takut Ilham balik sama Syabila ya? Hahaha.” Kamila menggoda.

Andhin mencibir menanggapi godaan sahabatnya itu. Ia kembali ke tempat duduknya. Merapikan tumpukan naskah yang tak beraturan, sama sepertinya yang kini mulai berdegup tak beraturan juga.

***

   Meskipun belum sah menjadi istri Ilham, Andhin mulai belajar bermetamorfose menjadi isti seorang eksekutif muda. Andhin yang biasanya acuh dalam hal penampilan kini mulai repot dengan sekotak make up saat akan bepergian. Bagaimapun juga ia tak ingin membuat Ilham malu saat bertemu dengan koleganya. Masa iya Ilham yang ganteng gandeng tunangannya yang amburadul.

Andhin belajar make up, bahkan sempat ikut beberapa kelas make up online. Ia juga bersikap lebih feminim dari biasanya. Kebiasaannya kelayapan di jalanan mencari pemulung dan anak jalanan juga sudah mulai ia tinggalkan. Kini hari minggunya lebih banyak dihabiskan dengan Ilham. Mengurusi segala tetek bengek pesta pernikahan mereka.

Disisi lain hati kecilnya berontak. Ini bukan pribadi Andhin yang biasanya. Andhin yang cuek, yang tak terlalu peduli dengan omongan orang. Tapi ia sadar, keputusannya menikah dengan Ilham sudah bulat. Ia siap dengan semua resiko termasuk menyesuiakan dengan kehidupan Ilham. Ada banyak hati yang harus ia jaga. Ilham dan keluarganya dan tentu saja kekuarga Andhin sendiri.

Sedikit demi sedikit hatinya dapat menerima Ilham. Ia sudah terbiasa saat Ilham memperlakukannya bak puteri raja. Sudah biasa dengan ucapan selamat tidur di malam hari. Biasa dengan Ilham yang sedikit pendiam tapi luar biasa perhatian. Bahkan terkadang ia khawatir saat Ilham tak kunjung mengiriminya pesan. Jangan-jangan cinta itu mulai datang, ah entahlah.

Seperti halnya dengan malam itu. Andhin menemani Ilham dalam sebuah jamuan makan bersama kolega bisnis sang Ayah. Kikuk juga rasanya duduk semeja bersama beberapa orang yang notabene adalah para petinggi perusahaan. Sepanjang acara Andhin memilih diam, mendengarakan khusuk perbincangan yang sama sekali tak ia mengerti. Untungnya Ilham selalu menggenggam erat tangannya, menguatkan.

Seperti kata orang-orang, ujian pasangan yang akan menikah akan datang pada hari-hari menjelang pernikahan. Dan sepertinya hujan ujian itu ingin singgah juga pada Andhin dan Ilham. Namun sepertinya bukan hujan biasa, melainkan badai besar kehidupan.

Malam itu dalam perjalanan pulang selepas acara jamuan makan. Seperti biasa Ilham mengantar calon permaisurinya pulang. Ditengah jalan Andhin melihat sebuah warung bakso yang ramai oelh pengunjung.

“Ham beli bakso yuk, buat Adi. Sekalian kita nanti mampir sebentar ke rumah mereka.”

“Apa gak kemalaman sayangku? Itu baksonya juga antree.” Ilham menengok jam tangannya. Sudah hampir jam 9 malam.

“Gak papa, aku lama gak nengokin mereka Ham.”

“Ya udah, tunggu di mobil aja. Bia raku yang antree, diluar dingin.”

Ilham bergerak keluar mobil. Andhin mengangguk mengiyakan. Udara malam Jakarta akhir-akhir ini memang dingin. Mungkin kareana musim hujan.

Sudah limabelas menit Andhin menunggu didalam mobil namun Ilham belum kembali juga. Ia mulai bosan. Hp buntut yang sedari tadi ia gunakan untuk menjelajah dunia maya juga mulai lowbat. Andhin mendesah, ia membuka dashboar tempat dimana Ilham biasa menyimpan charger Hp.

Andhin mengosrak-asrik isi dashboard yang penuh dengan kartu tanda parkir, namun tak juga menemukan charger yang ia cari. Sampai matanya menemukan dua lembar karcis bioskop di antara puluhan kertas parkir itu. Diambilnya karcis bioskop dengan judul film horror yang sedang tranding saat itu.

“Sorry lama sayangku, antree banget didalam.”

Tiba-tiba Ilham datang dengan sekantong plastic bakso yang masih panas. Andhin terkejut, buru-buru ia masukkan karcis bioskop temuannya kedalam tas.

“Aku nyari charger, Hp ku lowbat.”

“Oh, gak ada sayang, chargernya ketinggalan dimeja kantor. Ndhin, aku gak bisa nemenin ke rumah Adi, aku langsung pulang ya? Ada yang harus kerjain dirumah. Gak papa kan?

“Iya gak papa.” Jawab Andhin singkat.

“Aku antar samapi rumah Adi ya, aku beliin lebih baksonya biar kamu bisa ikut makan juga.”

Mobil hitam itu melaju pesat. Andhin memilih diam sepanjang perjalanan. Entah mengapa tiba-tiba hatinya kacau. Dipenuhi ribuan pertanyaan yang tak mampu ia ucapkan. Dua lembar karcis ditasnya tersenyum girang, tugasnya berhasil, membuat siapapun yang menemukannya menjadi penasaran.

***

              Semakin dekat dengan hari pernikahan Andhin semakin disibukkan dengan meeting bersama wedding organizer yang menangani pernikahannya. Hampir setiap minggu ia harus meeting mulai dari mmbahas undangan, gedung sampai hari ini meeting untuk menentukan catering. Ilham ada acara diluar kota minggu ini sehingga Andhin meminta Kamila untuk menemaninya.

              Seperti biasa ia hanya mengangguk-angguk setuju dengan usulan WO. Andhin sendiri tak punya banyak pengetahuan tentang catering pernikahan. Meeting di sebuah restoran hotel terkenal di Jakarta itu selesai tak sampai satu jam karena Andhin pasrah saja dengan pilihan yang ditawarkan WO. Selebihnya ia menghabiskan waktu makan malam mentraktir Kamila.

              “Gila, banyak juga ya budget pernikahan Ndhin?” komentar Kamila saat selesai meeting.

              Andin hanya mengangguk mengiyakan. Kepalanya juga pusing menghitung pengeluaran untuk pesta pernikahannya, meskipun sebagian besar menggunakan uang Ilham dan keluarganya.

              “Gila gue bisa jadi jomblo selamanya kalau nikah butuh biaya segitu banyak, hahaha”

              Mereka berdua tertawa terbahak-bahak.

              “Eh, Dhin itu bukannya Ilham ya?” kata kamila sambil menunjuk ke arah loby hotel.

              Spontan Andhin membalikkan badannya. Tangannya berhenti menyendok makanan didepannya. Ilham? Ilham kan ke luar kota hari ini. Tapi benar sosok yang tengah berjalan menuju resepsionis hotel itu adalah Ilham tunangannya. Dan tunggu, ada sosok yang ia kenal mengikutinya dari belakang. Perempuan cantik dengan gaun putih elegan, Syabila.

              Andhin menarik nafas panjang, hatinya tiba-tiba tak karuan. Ilham berbohong padanya. Ia bilang sedang ada diluar kota untuk survei program terbaru Media Raya Group, tapi sekarang ia ada di hotel bersama Syabila, mantan kekasihnya.

              Andhin menatap tajam dari kejauhan, Ilham tampak akrab berbincang dengan Syabila. Sesekali Syabila tertawa lirih sambil memukul bahu Ilham. Mesrah sekali, Andhin tak tahan lagi. Ia berdiri berjalan cepat menuju ke arah Ilham tak peduli dengan panggilan Kamila.

              “Ilham,” suaranya tertahan, ada butiran air mata yang tak bisa terbendung lagi.

              “Andhin” Ilham tak kalah kaget.

              Untuk beberapa detik pertama mereka hanya saling menatap. Ribuan kata yang ingin Andhin ucapkan hanya tercekal di tenggorokannya. Ia tak pernah menyangka pengkhianatan itu mampir dalam hubungannya. Membuat dadanya sesak. Hanya air mata yang semakin deras yang mewakilinya.

              “Aku bisa jelasin Ndhin,”

              Andhin tak lagi mendengar kata-kata Ilham. Ia memilih pergi berjalan cepat sambil menahan air matanya yang tak mau berhenti menetes. Tak peduli dengan Kamila berlarian mengikutinya dari belakang.

***

              Sudah lewat tengah malam tapi Andhin belum juga berhenti menangis. Kamila yang memilih menginap malam itu hanya bisa mengelus lembut kepala sahabatnya. Mungkin sudah ada ratusan kali Ilham menelponnya tapi tak satu pun ia angkat. Pesan juga sudah menumpuk. Hatinya terlanjur sakit.

              “Ndin, kamu dengerin dulu penjelasan Ilham.” Bujuk Kamila saat Andhin sudah mulai tenang.

              “Apa yang harus aku dengarkan Mil, Aku sudah curiga beberapa minggu ini Mil. Dia sering gak ngasih kabar, puluhan kali dia membatalkan janji begitu saja,” Andhin mengusap air matanya. “Aku yang bolak-balik nemuin WO sendirian tapi apa yang ia lakukan Mil.”

              “Mungkin Ilham sibuk urusan kerjaan Ndhin”

              “Kerjaan? Tidak dengan pergi ke hotel dengan mantannya Mil,” Andhin sengaja meninggikan suaranya. “Aku sudah curiga Mil, sejak Syabila sering muncul di kantor Ilham berubah. Ia sering tiba-tiba pergi dengan alasan ada urusan mendadak lah, ada meeting lah bahkan saat jalan denganku,” Andhin mengambil sesuatu dari dalam tas nya. “Dan ini, aku temuin di mobil Ilham.” Andhin memperlihatkan dua lembar karcis bioskop.

              “Hari, tanggal bahkan jam nya persis saat Ilham tiba-tiba meninggalkanku dengan orang WO Mil, aku yakin orang itu pasti Syabila.”

              Kamila hanya bisa terdiam, ikut merasa bersalah karena ia juga yang ngotot menjodohkan Andhin dan Ilham. Kamila memandang iba pada sahabat setahun dibawahnya itu. Ia sendiri bingung harus memberi nasehat apa. Ia sendiri bahkan tak punya pengalaman sama sekali tentang dunia percintaan.

              Malam itu Andhin tidur menghadap tembok. Matanya sama sekali tak ingin terpejam. Kepalanya penuh dengan berbagai pertanyaan. Sama sekali tak pernah terbayangkan bahwa Ilham bisa menghianati kepercayaannya. Ilham yang selama ini penuh perhatian ternyata bermain api dibelakangnya. Sampai mentari pagi menyingsing Andhin tak sedetikpun memejamkan mata. Ia meminta cuti dari kantor. Andhin ingin menenangkan diri. Kamila memakluminya

***

Pesawat melaju tenang di atas awan, meninggalkan kota Jakarta. Sang pramugari tampak sibuk menjelaskan prosedur evakuasi saat terjadi hal yang tidak diinginkan, namun tampaknya sebagian besar penumpang mengacuhkan. Penumpang lebih asik mengobrol sendiri atau sekedar memejamkan mata menahan perut yang sedikit mual akibat turbulensi saat pesawat melewati awan tebal.

Andhin menatap tumpukan awan tebal berwarna putih dari balik cendela pesawat. Kaca mata hitam sengaja ia pakai untuk menutupi matanya yang sembab. Cincin permata indah yang biasanya menghiasi jari manisnya kini tak nampak lagi. Andhin sengaja melepasnya, melepas semuanya tentang Ilham, termasuk statusnya sebagai tunangan.

Andhin kabur dari rutinitas kantor. Meninggalkan sepucuk surat ijin cuti selama seminggu yang seharusnya ia ambil bulan depan saat pernikahan. Pulang ke kampung halaman menjadi alasan yang ia ajukan. Atasan menyetujuinya, tentu saja ada campur tangan Kamila yang ikut menjelaskan.

Pesawat semakin tinggi mengangkasa. Membawa hatinya yang penuh luka pulang ke rumah yang sesungguhnya. Pulang menemui sang pengobat lara. Penumpang mulai sibuk saat pramugari mengabarkan pesawat mereka akan segera mendarat di bandar udara Sutan Mahmud Hasanuddun II, Palembang. Cinta aku pulang.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • antonvw

    sedih, tapi bagus kok

    Comment on chapter Bagian 9 (End)
Similar Tags
PUBER
1868      787     1     
Romance
Putri, murid pindahan yang masih duduk di kelas 2 SMP. Kisah cinta dan kehidupan remaja yang baru memasuki jiwa gadis polos itu. Pertemanan, Perasaan yang bercampur aduk dalam hal cinta, serba - serbi kehidupan dan pilihan hatinya yang baru dituliskan dalam pengalaman barunya. Pengalaman yang akan membekas dan menjadikan pelajaran berharga untuknya. "Sejak lahir kita semua sudah punya ras...
Mencintaimu di Ujung Penantianku
4751      1286     1     
Romance
Perubahan berjalan perlahan tapi pasti... Seperti orang-orang yang satu persatu pergi meninggalkan jejak-jejak langkah mereka pada orang-orang yang ditinggal.. Jarum jam berputar detik demi detik...menit demi menit...jam demi jam... Tiada henti... Seperti silih bergantinya orang datang dan pergi... Tak ada yang menetap dalam keabadian... Dan aku...masih disini...
Simplicity
9334      2240     0     
Fan Fiction
Hwang Sinb adalah siswi pindahan dan harus bertahanan di sekolah barunya yang dipenuhi dengan herarki dan tingkatan sesuai kedudukan keluarga mereka. Menghadapi begitu banyak orang asing yang membuatnya nampak tak sederhana seperti hidupnya dulu.
Zona Erotis
731      476     7     
Romance
Z aman dimana O rang-orang merasakan N aik dan turunnya A kal sehat dan nafsu E ntah itu karena merasa muda R asa ingin tahu yang tiada tara O bat pelipur lara T anpa berfikir dua kali I ndra-indra yang lain dikelabui mata S ampai akhirnya menangislah lara Masa-masa putih abu menurut kebanyakan orang adalah masa yang paling indah dan masa dimana nafsu setiap insan memuncak....
Varian Lara Gretha
5143      1584     12     
Romance
Gretha harus mempertahankan persahabatannya dengan Noel. Gretha harus berusaha tidak mengacuUhkan ayahnya yang berselingkuh di belakang ibunya. Gretha harus membantu ibunya di bakery untuk menambah biaya hidup. Semua harus dilakukan oleh Gretha, cewek SMA yang jarang sekali berekspresi, tidak memiliki banyak teman, dan selalu mengubah moodnya tanpa disangka-sangka. Yang memberinya semangat setiap...
102
2091      852     3     
Mystery
DI suatu siang yang mendung, nona Soviet duduk meringkuh di sudut ruangan pasien 102 dengan raga bergetar, dan pikiran berkecamuk hebat. Tangisannya rendah, meninggalkan kesan sedih berlarut di balik awan gelap.. Dia menutup rapat-rapat pandangannya dengan menenggelamkan kepalanya di sela kedua lututnya. Ia membenci melihat pemandangan mengerikan di depan kedua bola matanya. Sebuah belati deng...
a Little Braver
239      193     0     
Romance
Ketika takdir yang datang di setiap kehidupan membawanya pada kejutan-kejutan tak terduga dari Sang Maha Penentu, Audi tidak pernah mengerti kenapa Dia memberikannya kehidupan penuh tanya seperti ini?
Premium
The Secret Of Bond (Complete)
5768      1305     1     
Romance
Hati kami saling terikat satu sama lain meskipun tak pernah saling mengucap cinta Kami juga tak pernah berharap bahwa hubungan ini akan berhasil Kami tak ingin menyakiti siapapun Entah itu keluarga kami ataukah orang-orang lain yang menyayangi kami Bagi kami sudah cukup untuk dapat melihat satu sama lain Sudah cukup untuk bisa saling berbagi kesedihan dan kebahagiaan Dan sudah cukup pul...
The Wire
9099      1874     3     
Fantasy
Vampire, witch, werewolf, dan guardian, keempat kaun hidup sebagai bayangan di antara manusia. Para guardian mengisi peran sebagai penjaga keseimbangan dunia. Hingga lahir anak yang memiliki kemampuan untuk mengendalikan hidup dan mati. Mereka menyebutnya-THE WIRE
Cinta Tau Kemana Ia Harus Pulang
7869      1458     7     
Fan Fiction
sejauh manapun cinta itu berlari, selalu percayalah bahwa cinta selalu tahu kemana ia harus pulang. cinta adalah rumah, kamu adalah cinta bagiku. maka kamu adalah rumah tempatku berpulang.