Read More >>"> Innocence (Bagian 4) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Innocence
MENU
About Us  

           Jam menunjukkan pukul 02.00 malam. Andhin masih sibuk didepan laptop mungil yang telah menjadi teman karibnya sejak awal kuliah. Cover belakangnya sudah tidak karuan bekas stiker yang diganti-ganti puluhan kali. Sama seperti manusia yang mulai sakit-sakitan di usia tua, laptop tua ini juga sering ngehang tanpa alasan. Laptop ini adalah hadiah ulang tahun dari Aldi kakaknya, karena itulah Andhin merasa si laptop tua ini sangat berharga.

            Andhin tampak serius mengetikkan beberapa naskah berita yang harus ia serahkan ke redaksi besuk pagi. Seperti biasa kerja sebagai jurnalis harus siap bergadang setiap malam. Tangannya lincah menari-nari di atas keyboard meskipun kepalanya dipenuhi beribu kegalauan. Berkali-kali ia pencet tombol delete, tak puas dengan tulisannya sendiri.

            “Ah, nyebelin banget. Jadi buntu gini.” Andhin menggerutu pada dirinya sendiri. Sejenak ia berhenti mengetik. Menatap langit-langi kamar, ada sarang laba-laba kecil disana. Pikirannya jauh menerawang mengingat perkataan Anto beberapa hari yang lau. Tak ayal hati kecilnya tersentak juga dengan ucapan Anto. Ia merasa bersalah dengan Ilham, disisi lain ia tidak bisa membohongi perasaannya terhadap Dito.

            Tanggannya kembali lincah bergerak bebas di atas keyboard si laptop tua. Berharap bisa menyelesaikan naskah berita untuk diterbitkan besuk pagi.

Ilham Wira Permadi

Usia 30 tahun. Baik, sopan, halus bahkan aku kalah kalem denganmu. Wajah lumayan ganteng, badan tinggi dan cukup atletis jabatan oke. Kamu selalu jadi bahan obrolan para cewek-cewek di kantor. Aku sih tak heran. Pesonamu luar biasa bagi sebagian perempuan.

Kamu cekatan, selalu ada saat aku butuh bantuan bahkan jauh sebelum kita bertunangan. Makan bareng selalu kamu yang bayar. Antar jemput aku dari awal kita kenal sebagai teman kantor. Sering ngirimi aku makanan saat aku malas pergi makan. Benar kata Anto, you treath me like a princess.

            Keluargaku sangat menyukaimu. Mungkin rasa suka mereka lebih besar dari pada aku. Entahlah. Ibu, mas Aldhi, Jasmine semua memujimu. Kamu adalah lelaki yang sangat sempurna untukku versi mereka. Keluargamu juga baik padaku, meskipun ku tak pernah nyaman berada diantara mereka.

            Orang-orang berkomentar aku sangat beruntung. Bisa bertunangan denganmu. Aku yang hanya karyawan biasa bisa dekat dengan anak salah satu pemegang saham terbesar di Media Raya Group. Aku sendiri bingung, kenapa kamu suka padaku Ham? Dari sekian banyak perempuan cantik di kantor kenapa pilihanmu adalah aku?

            Sampai hari pernikahan kita sudah ditentukan, aku masih bingung dengan perasaanku sendiri. Apa aku benar-benar mencintaimu? Apa aku benar sayang padamu Ham? Atau aku hanya terbawa oleh Anto dan Kamila yang selalu menjodoh-jodohkan kita? Aku bingung kenapa aku bisa menerima tunanganmu. Aku takut kalau ini hanya rasa kasian bukan rasa cinta.

            Akhir-alhir ini kamu sibuk sendiri Ham. Sering membatalkan janji sesukamu. Kita sekantor tapi bertemu pun jarang. Aku tahu jabatanmu sekarang banyak menguras waktu. Tapi aku juga butuh waktumu Ham.

           Ilham. Maafkan aku karena masih ragu. Aku berusaha menghadirkanmu di hatiku. Tapi itu sulit. Aku takut aku tak mampu.

            Andhin menarik nafas panjang. Jelas bukan naskah berita yang sedang ia tuliskan. Tapi tangannya masih terus mengetik.

Dito

Dito, bahkan aku tak tahu siapa nama lengkapmu. Aku tak tahu tentang keluargamu. Yang kutahu kamu adalah keponakan tertua almarhum Mbak Risma. Anak tertua dari saudara suaminya Mbak Risma. Aku sempat berburuk sangka padamu, sebelum kamu menjelaskan kesalahpahanan itu.

Kamu lucu, jahil, humoris, slengekan tidak jelas. Wajahmu tak setampan Ilham. Mungkin hanya lesung dipipi kananmu yang terlihat istimewa. Lesung pipi yang muncul saat kamu tersenyum, ditambah poni panjang yang sering menutup sebelah matamu. Entah kenapa aku sangat menikmatinya.

Tak seperti laki-laki yang memperlakukan perempuan dengan lembut. Kayaknya kamu tak peduli dengan gender. Kamu pernah menyuruhku mendorong si vespa tua saat mogok di siang bolong yang panas. Tak jarang aku yang bayar saat kita makan berdua. Mekipun begitu kamu perhatian. Meminjami jaket saat tiba-tiba hujan, menolongku membantu keluaraga Adi. Pesonamu beda dengan lelaki lain.

Aku bisa tertawa terbahak-bahak saat bersamamu. Mendengarkan setiap guyonan recehmu. Aku seperti bisa menjadi diriku sendiri saat bersamamu. Aku tak tahu ini perasaan apa, yang jelas aku nyaman denganmu.

            Andhin berhenti mengetik. Kepalanya pusing dipenuhi ratusan pertanyaan. Dilihatnya jam dinding yang menempel di tembok kamar. Sudah hampir jam 4 pagi. Ia baca ulang tulisannya. Sial, apa yang kutulis?  Ini jelas bukan berita yang layak terbit besuk pagi. Masa iya headline koran besuk pagi bejudul “Antara Ilham dan Dito”. Ah tidak lucu.

            Kembali ia mengumpulkan konsentrasinya untuk menulis. Berita harus selesai sebelum jam 7 pagi atau ia bermasalah kembali dengan tim redaksi. Andhin sekuat tenaga memusatkan pikirannya. Ia buang jauh-jauh semua tentang Ilham dan Dito. Namun beberapa paragraf kemudian, matanya sudah mirip lampu 5 watt. Tak kuat dengan kantuk yang tiba-tiba menyerang. Barisan berita yang belum selesai pun akhirnya tersenyum girang. Menyaksikan penulisnya terlelap kelelahan.

***

            Jam pulang kantor, loby gedung Media Raya Group ramai lalu-lalang karyawan yang seakan berebut pulang. Tak terkecuali 3 sahabat yang sudah tak pernah terpisah, Andhin, Anto dan Kamila. Wajah mereka berseri-seri karena semua pekerjaan berlajalan lancar hari ini. Naskah berita bertumpuk-tumpuk selesai mereka lahap, demi pulang tepat waktu tanpa harus lembur.

            Andhin berjalan gontai sambil bersandar pada tubuh Kamila. Matanya menghitam mirip panda, akibat tak tidur semalaman. Ia hanya sempat tidur kurang dari 2 jam ketika terbangun jam 6 pagi dan naskah beritanya sama sekali belum ia kerjakan. Andhin ngebut mengerjakan tugasnya hanya satu jam sebelum deadline jam 7 harus sudah diserahkan ke redaksi.

            Sampai kantor pun tak lantas bisa langsung istirahat. Pagi tadi Kamila sengaja menunggunya di loby dengan tangan penuh dengan berita mentah yang harus dia kerjakan. Jadilah sampai pulang kerja pun matanya masih layu. Kasur dan selimut adalah satu-satunya hal yang diinginkan saat ini.

            “Ndin taxinya udah datang, ayo naik?” Kamila menepuk bahu Andin yang bersender di tangannya sambil terlelap.

            “Oh ya, Lo jadi nginep di kontrakan gue kan Mil?” Tanya Andhin memastikan. Kamila berjanji menginap dirumah Andhin malam itu. Dulu saat masih awal-awal bekerja di kantor mereka sering saling menginap di kamar masing-masing. Saling cocok sama lain menjadikan mereka langsung akrab walau baru kenal.

            “Iya sip. Ayok ah. Anto kita duluan ya.”

            “He eh. Ati-ati ya. Ketemu besuk.” Anto melambaikan tangan ke kedua sahabatnya itu.

            Dibanding dengan rumah Kamila, jarak rumah Andhin dengan kantor terhitung lebih dekat. Kamila tinggal di Bekasi dengan orangtuanya. Setiap hari ia harus berangkat pagi-pagi untuk sampai di kantor. Sebenarnya ia ingin ngontrak rumah yang dekat dengan kantor tapi karena orang tuanya sudah berumur dan dia adalah anak tunggal, niatnya itu diurungkannya.

            Sesampainya di kamar kontrakan, Andhin langsung merebahkan tubuhnya dikasur. Tanpa melepas sepatunya terlebih dahulu. Kamila sudah hafal dengan kebiasaan sahabatnya itu saat ngantuk.

            “Ndhin Lo gak laper?” Tanya Kamila sambil memperhatikan seisi kamar Andhin. Tak ada satupun sesuatu yang bisa dimakan. Dan perutnya mulai keroncongan.

            “Pesen online aja yuk Mil, gue males banget nih mau keluar.” Andhin menjawab dengan malas-malasan. Matanya masih terpejam.

            “Oke gua pesen ya. Lo mau makan apa?”

            “Apa aja deh, yang pedes-pedes boleh juga. Gue mandi dulu ya?” Andhin dengan malas bangun dari kasur. Meraih handuk biru yang menggantung di tembok lalu masuk kamar mandi. Mungkin mandi bisa jadi solusi menghilangkan kantuknya.

            Kamila tersenyum menggangguk. Matanya sibuk mencari makanan yang lagi hits di Jakarta lewat HPnya. Modernisasi jaman menawarkan kemudahan yang luar bisa bagi manusia di era ini. Pengen makan tak perlu harus keluar kamar. Tak perlu juga berdesakan antree. Cukup gunakan app online dan makanan sudah diantar. Sayang sekali banyak yang menyalah gunakannya. Geram juga mendengar banyaknya berita tentang orderan fiktif di internet.

            Sejam kemudian ayam geprek yang dipesan Kamila datang. Kabarnya ini adalah ayam geprek milik salah satu artis yang sedang terkenal. Kamila sudah tidak sabar ingin menikmati. Gadis berkerung itu membangunkan Andhin yang kembali terlelap setelah mandi. Lalu keduanya dengan lahap menyantap ayam geprek dengan level pedas extra.

            “Ndin Lo capek gak sih kerja kaya gini?” Kamila memulai obrolan saat keduanya sudah berbaring berselimut di atas kasur.

            Andhin yang kantuknya hilang seusai makan menanggapi dengan malas-malasan. “Capek lah Mil, gue kerja keras bagai kuda tiap hari.” Jawabnya sedikit melucu.

            “Kalau gak ingat orangtua kadang gue pengen berhenti kerja aja Ndhin. Lo tahu kan gue anak tunggal.”

            Andhin mengangguk. Sama sepertinya, Kamila harus menjadi tulang punggung keluarga. Kedua orang tuanya pensiunan guru.

            “Gue udah bosan kerja penuh tekanan, dikejar target tiap hari, weekend pun kadang masih harus meliput. Rasanya gue udah kehilangan me time gue deh Ndin.”

“Lo berhenti dari Media Raya mau kerja apaan Mil? Andhin menggoda.

            “Apa ya, mungkin buka warung makan. Biar bisa icip-icip makanan setiap hari gratis. Hahahaha.”

            Keduanya tertawa terbahak-bahak bersama.

            “Kalao lo mau ngapain Ndin?”

            “Gue gak mau kerja Mil. Gue mau habisin tabungan gue buat jalan-jalan ke Eropa atau ke Korea selatan. Menikmati kemuning daun-daun yang jatuh di musim gugur. Melihat bunga sakura.  Tapi kayaknya itu Cuma mimpi buat gua.”

            “Siapa bilang mimpi, Lo bentar lagi nikah dengan Ilham. Dan gue yakin apapun yang lo minta akan dikabulkan sama Ilham. Termasuk jalan-jalan ke Korea Selatan.”

            Andhin terdiam. Bahkan aku lupa kalau punya Ilham.

            “Kamu beruntung Ndhin bisa sama Ilham. Ilham baik, ganteng, kaya pula. Banyak orang yang bermimpi ada di posisi Lo saat ini Ndin. Diperlakukan bak putri raja oleh pangeran Ilham.”

            Andhin masih terdiam, tertegun. Hati kecilnya membenarkan ucapan Kamila. Benar katamu Mil, aku beruntung memiliki Ilham. Aku sudah tidak tahu diri bermain-main dibelakang Ilham Mil.

            “Aku juga… Mil, Mil?” Andhin hanya tersenyum saat ternyata sahabatnya sudah terlelap. Meninggalkannya yang kini susah memejamkan mata. Pikirannya kembali dipenuhi tentang hubungannya dengan Ilham.

***

            Jalanan ibukota basah ditimpa hujan dari pagi hingga malam. Tampaknya musim hujan tahun ini datang lebih awal. Berita naiknya kapasitas air di beberapa sungai yang melewati Jakarta mulai sering didengar di TV. Warga Jakarta bersiap menyambut tamu tahunan mereka. Tamu yang kedatangannya selalu membawa kesedihan dan keresahan bagi si tuan rumah.

            Untungnya kontrakan Andhin berada di salah satu kawasan bebas banjir. Hujan deras yang mengguyur sejak pagi hanya menyisakan genangan kecil saja. Malam ini Andhin menghadiri acara pernikahan sepupu Ilham di salah satu Gedung mewah di Jakarta. Tak menunggu acara selesai ia minta Ilham untuk mengantarnya pulang.

            Dalam perjalan keduanya saling diam. Ilham konsentrasi menyetir sedangkan Andhin asik menikmati butiran hujan yang menimpa kaca depan mobil. Dengan sigap wiper bekerja mengelap setiap tetesan air langit itu. Hening, hanya terdengar suara tarikan nafas berat dari keduannya.

            “Ibu sehat Ndin?” Ilham memecah keheningan.

            “Kemarin baru cek asam urat, beliau mengeluh kakinya sakit setiap malam.”

            “Terus gimana?” wajah Ilham nampak kawatir mendengar kabar tentang calon ibu mertuanya itu.

            “Gak papa kok, butuh istirahat aja. Untung Jasmin sedang libur, jadi ada yang menjaga ibu.”

            “Mas Aldhi?’

            “Istrinya habis melahirkan anak keduanya, Mas Aldhi gak bisa ke Jogja.”

            Ilham mengangguk. “Aku dengar dari Anto katanya kamu sudah nemuin Adi dan kelurganya ya sayang?”

            Anto. Kamu gak cerita tentang Dito juga kan?

            “Iya, alhamdulilah. Rumah mereka yang dibelakang stasiun digusur. Mereka tidur di gerobak tua berhari-hari. Kasian sekali. Sebulan yang lalu aku nemuin mereka .” Andhin membuat suaranya sedatar mungkin, meskipun ada sedikit ketakutan dihatinya. “Kamu ingat rumah almarhum Mbak Risma kan?”

            Ilham kembali menganggukkan kepalanya.

            “Keluarga Adi tinggal disana sekarang. Rumah itu sudah dikontrak 2 selama dua tahun, sayang jika dibiarkan kosong. Aku ceritakan semua tentang Mbak Risma, untungnya keluarga Adi tak keberatan.” Andhin menjelaskan semuanya kecuali keterlibatan Dito.

            “Aku bangga padamu sayang, maaf aku tak ikut membantu. Kamu tahu kan aku sangat sibuk akhir-akhir ini?” ujar Ilham.

            Ilham menghentikan mobilnya di depan kontrakan Andhin. Hujan sudah berhenti rupanya. Andhin bergerak turun membuka pintu mobil. Tatkala tanggannya tiba-tiba disaut Ilham.

            “Sayang, ini untukmu.” Ilham memberikan sebuah paper bag imut berwarna merah muda.

            Andhin menerima dengan tersenyum. “Makasih Ham, aku turun ya. Kamu hati-hati dijalan.”

            “Iya sayang, tidur yang nyenyak. I love you.”

            Andhin tersenyum lebar, melambaikan tangan saat Ilham mulai menjalankan mobilnya. Tangannya menggenggam erat paper bag kecil yang ternyata isinya cukup berat. Andhin bergegas masuk kamar, udara malam sehabis hujan lumayan membuatnya menggigil.

            Meskipun itu bukan hadiah pertama dari Ilham tak ayal membuat Andhin penasaran juga. Selesai membersihkan diri ia duduk di kasur kesayangannya, mulai membuka hadiah dari Ilham. Andhin tersenyum mengetahui isi paper bag itu. Dua buah novel berjudul Diorama Sepasang Al-banna dan Dilatasai memori. Kamu masih ingat novel kesukaanku Ham.

            Andhin cukup senang mendapatkan novel itu. Novel karya Ari Nur yang telah lama ia inginkan tapi tak sempat terbeli. Dulu ia sempat bercerita tentang betapa ngefansnya ia dengan Ari Nur. Andhin heran bagaimana bisa Ilham masih ingat dengan keinginannya sedang ia sendiri sudah lama lupa.

            Dan yang mengejutkan Andhin terdapat sepucuk surat dan buku tabungan yang terselip. Dibukannya buku tabungan yang terlihat sudah agak lusuh itu. Angka didalamnya cukup fantastis, sembilan digit angka. Ia terheran-heran sebelum membaca sepucuk surat yang isinya cukup panjang.

Dear sayangku Andhin

Sayang, terimakasih untuk selalu ada untukku. Untuk mau menerima aku dan keluargaku. Terikasih untuk segalanya.

Maafkan aku sayangku, akhir-akhir ini aku sibuk sendiri. Aku jarang ada waktu untukmu. Aku tahu kamu kecewa tapi percayalah aku lakukan semua ini untuk kita berdua. Suatu saat kamu pasti akan mengerti sayangku.

Sengaja aku belikan novel kesukaanmu, agar saat membacanya kamu ingat aku Ndhin.

Tentang tabungan, jangan marah, jangan tersinggung. Aku telah mempersiapkannya sejak hari pertama kita bertunangan. Katamu kamu tak mau tinggal di rumah orang tuaku setelah menikah nanti. Meski masih kurang, kita bisa mencicil beli rumah sayangku. Atau kita tinggal di Jogja saja, dirumahmu, lalu uang itu kita gunakan jalan-jalan sepuasnya. Hehehe.

Bawalah, atau kamu mau nambahin biar cukup buat beli rumah? ???? I love u Andhin sayangku.

            Ada sesuatu yang hangat mengair deras di pipi Andhin. Ia terisak sesenggukan, tak menyangka Ilham sudah mempersiapkan sejauh ini. Ia sadar Ilhamlah satu-satunya orang yang rela berkorban banyak untuknya. Andhin merasa sangat egois, Ia melupakan tunangannya saat ternyata Ilham sedang sibuk bekerja demi masa depan mereka. Ia merasa bersalah pada Ilham.

            Andhin bergerak meraih Hp nya. Dengan air mata yang masih menetes ia mengirim sebuah pesan. Tanggannya gemetar, namun sekuat tenaga ia memantapkan hatinya.

Dit, aku ingin bicara denganmu. Besuk jam 8 malam, di Kemang.

Sedetik kemuadian ada balasan datang.

Ok, aku jemput di kantor. See u tomorrow Andhinku.

Andhin tak membalas. Ia hanya berharap semoga keputusannya benar.

***

            Disebuah caffe di daerah Kemang. Andhin nampak duduk sendiri dengan segelas Americano dingin didepannya. Berkali-kali ia tengok jam tangan lawas yang menempel ditangannya. Ia nampak gelisah, seseorang yang Ia tunggu tak kunjung datang. Jam makan siang kali ini Andhin sengaja kabur ke Kemang, bukan untuk makan melainkan untuk menyelesaikan kebimbangannya selama ini.

            Tiba-tiba seseorang menutup kedua mata Andhin dari belakang. Dari parfum yang tercium Andhin tahu Dito yang datang. Ia segera menarik tangan Dito, menghindar.

            “Sense mu bagus Ndhin, kok tahu aku dari belakang. Ha ha ha.” Dito tertawa renyah sembari duduk didepan Andhin. Menyaut gelas Americano milik Andhin dan dengan lahap meneguknya hingga tinggal setengah saja. “Ada apa, tumben banget ngajak ketemu pas hari kerja. Sudah kangen banget ya?” Dito menggoda.

            “Dit, …”

            “Kenapa? Serius banget.”

            “Aku, aku…” Andini merasa kata-katanya tercekal ditenggorokan. Ia kesulitan meneruskan kalimatnya.

            “Kenapa? Kamu sakit? Gak mungkin kamu bisa sakit, kamu kan wonder woman Ndin.” Dito menjawab dengan canda.

            Andhin menggeleng.

            “Kamu mau pinjem duit ke aku? Berapa sih? Jangan banyak-banyak duitku juga nipis.” Ujar Dito sembari tersenyum. Lesung di pipinya semakin kelihatan.

            Andhin yang biasanya langsung terbahak-bahak dengan segala jenaka Dito kini hanya diam. Ia menarik nafas panjang, mengumpulkan semua keberanian. “Dito, aku ingin kita berhenti sampai disini, aku ingin kita jangan ketemu lagi.”

            “Kenapa?” Dito mulai sadar ada yang salah dengan perempuan didepannya itu. “Aku salah apa?”

            Andhin menggeleng. “Bukan kamu yang salah Dit, tapi aku. Aku tak mau kita semakin jauh, sebelum aku benar-benar jatuh cinta padamu aku ingin mengakhiri semuanya sampai disini Dit.” Sekuat tenaga Andhin menahan air mata yang ingin keluar dari sudut matanya.

            “Kenapa Ndin? Aku salah apa?” tangannya meraih tangan Andhin namun Andhin menghindar. Dito masih tidak mengerti dengan kepusan Andhin.

            Andhin menunjukkan sebuah cincin permata yang menghiasi jari manisnya. “Aku sudah punya tunangan Dit, dan kami akan segera menikah.” Andhin menundukkan wajah, Ia tak punya nyali untuk menatap laki-laki didepannya. Air matanya deras mengalir tak terbendung lagi.

            Dito hanya bisa menetap pasrah perempuan yang mulai menghiasi hatinya itu.

            “Maafkan aku Dit. Harusnya aku berterus terang padamu dari awal. Maafkan aku. Aku harap ini pertemuan kita yang terakhir.” Andhin bergerak meninggalkan Dito yang masih terpaku di kursinya. Dengan air mata yang terus menetes Ia mempercepat langkah kakinya, tak peduli dengan beberapa orang yang menatap heran. Ada sakit yang teramat dalam menusuk tepat dihatinya.

            Dito maafkan aku. Meskipun berat aku harus pergi darimu. Maafkan Aku telah menjadikanmu korban. Aku tak mau jadi perempuan jahat yang mengecewakan keluarga dan tunanganku.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • antonvw

    sedih, tapi bagus kok

    Comment on chapter Bagian 9 (End)
Similar Tags
One Day.
505      331     1     
Short Story
It's all about One Day.
Trainmate
2385      1001     2     
Romance
Di dalam sebuah kereta yang sedang melaju kencang, seorang gadis duduk termangu memandangi pemandangan di luar sana. Takut, gelisah, bahagia, bebas, semua perasaan yang membuncah dari dalam dirinya saling bercampur menjadi satu, mendorong seorang Zoella Adisty untuk menemukan tempat hidupnya yang baru, dimana ia tidak akan merasakan lagi apa itu perasaan sedih dan ditinggalkan. Di dalam kereta in...
Langit Jingga
3280      935     2     
Romance
Mana yang lebih baik kau lakukan terhadap mantanmu? Melupakannya tapi tak bisa. Atau mengharapkannya kembali tapi seperti tak mungkin? Bagaimana kalau ada orang lain yang bahkan tak sengaja mengacaukan hubungan permantanan kalian?
Sendiri
428      284     1     
Short Story
Sendiri itu menyenangkan
Ghea
431      279     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Teman
1295      598     2     
Romance
Cinta itu tidak bisa ditebak kepada siapa dia akan datang, kapan dan dimana. Lalu mungkinkah cinta itu juga bisa datang dalam sebuah pertemanan?? Lalu apa yang akan terjadi jika teman berubah menjadi cinta?
Ingatan
7809      1886     2     
Romance
Kisah ini dimulai dari seorang gadis perempuan yang menemui takdirnya. Ia kecelakaan sebelum sempat bertemu seseorang. Hidupnya terombang-ambing diantara dua waktu. Jiwanya mencari sedang raganya terbujur kaku. Hingga suatu hari elektrokardiogram itu berbunyi sangat nyaring bentuknya sudah menjadi garis yang lurus. Beralih dari cerita tersebut, di masa depan seorang laki-laki berseragam SMA menj...
TAKSA
372      286     3     
Romance
[A] Mempunyai makna lebih dari satu;Kabur atau meragukan ; Ambigu. Kamu mau jadi pacarku? Dia menggeleng, Musuhan aja, Yok! Adelia Deolinda hanya Siswi perempuan gak bisa dikatakan good girl, gak bisa juga dikatakan bad girl. dia hanya tak tertebak, bahkan seorang Adnan Amzari pun tak bisa.
Iskanje
4843      1345     2     
Action
Dera adalah seorang mahasiswa pindahan dari Jakarta. Entah takdir atau kebetulan, ia beberapa kali bertemu dengan Arif, seorang Komandan Resimen Mahasiswa Kutara Manawa. Dera yang begitu mengagumi sosok lelaki yang berwibawa pada akhirnya jatuh cinta pada Arif. Ia pun menjadi anggota Resimen Mahasiswa. Pada mulanya, ia masuk menwa untuk mencari sesuatu. Pencariannya menemui jalan buntu, tetapi ia...
Meta(for)Mosis
9790      2098     4     
Romance
"Kenalilah makna sejati dalam dirimu sendiri dan engkau tidak akan binasa. Akal budi adalah cakrawala dan mercusuar adalah kebenaranmu...." penggalan kata yang dilontarkan oleh Kahlil Gibran, menjadi moto hidup Meta, gadis yang mencari jati dirinya. Meta terkenal sebagai gadis yang baik, berprestasi, dan berasal dari kalangan menengah keatas. Namun beberapa hal mengubahnya menjadi buru...