Ngeri juga sebenarnya Andhin memasuki rumah bekas kontrakan almarhum Risma. Kondisinya masih sama saat terakhir kali Andhin memasukinya. Beberapa barang Risma masih ada yang tertinggal padahal setelah kejadian itu beberapa petugas dari Dinas Sosial telah membersihkan rumah itu. Bahkan mobil pemadam kebakaran mainan yang ia beli untuk Lazwar dan Bima masih tergeletak di meja dekat kasur.
Sengaja Andhin dan Dito datang untuk membersihkan rumah agar bisa ditempati Adi dan keluarganya. Sebenarnya Andhin berencana mencarikan kontrakan kecil untuk Adi dan kelurga, tapi Dito menawarkan kontrakan Risma. Risma telah membayar tunai biaya kontrak rumah selama 2 tahun kedepan. Sayang sekali jika rumah dibiarkan kosong.
Bulu kuduk Andhin berdiri juga saat memasuki rumah mungil itu. Ingatannya seperti kembali saat ia asik mengobrol dengan Risma sambil menimang si bayi mungil. Ia juga masih ingat riangnya wajah Lazwar dan Bima saat dibelikan mainan baru.
“Dorrr.”
Spontan Andhin memukul pundak Dito yang sengaja mengagetkannya. Anak ini kadang gak tahu tempat kalau bercanda.
“Sudah yuk kita beresin. Tante Risma pasti juga sangat senang disana kalau rumahnya bisa bermanfaat untuk orang lain.” Ucap Dito seakan tahu isi hati Andhin.
Dito bergerak membersihkan atas pintu yang mulai dihuni sarang laba-laba. Andhin mati-matian mengusir semua rasa takutnya. Ia mengeluarakan sarung bantal dan sprei baru bermotif polkadot biru muda, warna kesukaannya. Tak lupa mereka sedikit mengubah dekorasi ruangan agar terlihat lebih luas.
Meja dan kursi disamping kasur dipindah agak mendekati pintu utama difungsikan sebagai ruang tamu minimalis. Tak lupa meletakkan bunga kertas warna merah yang Andhin ambil dari hiasan di ruang kerjanya di kantor. Andhin juga membawakan lukisan pegunungan yang indah. Mereka berdua berhasil menyulap kamar kontrakan Risma.
“Bakat juga kita jadi desain interior Dit?”
“Iya, lumayan nanti kalau kamu sewaktu-waktu dipecat dari kantormu sudah ada pekerjaan cadangan.”
Andhin tertawa menanggapi perkataan Dito. Ia meyodorkan air mineral pada Dito. Menyandarkan punggungnya pada tembok kamar, sambil menikmati hasil karyanya dengan Dito. Hmmm lumayan juga. Entah mengapa tiba-tiba Andhin merasa Dito terlihat sangat manis saat keringat menetes di dahinya. Rambut berponi yang panjang itu basah oleh keringat.
“Bayangin kalau kita bisa mendesain untuk rumah kita berdua Dhin.”
Andhin terperanjat. Seperti ada yang salah dengan kalimat Dito. Apa kita berdua? Tiba-tiba detakan jantungnya menjadi tidak beraturan. Ada rasa hangat disalah satu sudut hatinya. Andhin, sadar. Kamu adalah tunangan orang. Tanggal pernikahanmu pun sudah ditentukan. Tak pantas kamu memiliki rasa ini pada lelaki lain. Sadar Andhin. Hati kecilnya berkecamuk.
“By the way, gue punya sepupu arsitek. Ia menikah dengan temennya sesama arsitek juga. Dan kamu tahu rumahnya seperti apa?”
Suara Dito membuyarkan lamunan Andhin. “Pasti rumahnya fantastis, mereka kan sama-sama arsitek.” Jawab Andhin sekenannya.
“No.”
“Ehm, Rumah dua lantai, lantai satu sesuai rancangan sang istri, lantai dua karya suami.” Andhin semakin ngawur menebak.
“No, salah.”
“Terus?” Andhin mengangkat bahu. Menyerah.
“Rumah mereka belum ada. Mereka baru nikah seminggu yang lalu dan masih ngontrak, belum punya rumah. Ha ha ha ha.” Dito terbahak-bahak sambil berdiri menghindari timpukan Andhin. Ia merasa menang bisa mengerjai Andhin.
Andhin berdiri mengejar Dito keluar rumah. Sebel juga selalu menjadi korban lawakan Dito. Disisi lain ia bahagia. Sikapnya yang dingin selepas kepergian sang Ayah perlahan mencair.
“Jangan lupa mandi, badanmu bau sekali.” Kalimat perpisahan Dito untuk Andhin. Pekerjaan beres-beres rumah Risma mereka selesaikan. Rumah telah siap untuk dihuni Adi dan keluarganya. Setidaknya setahun kedepan mereka aman. Tak perlu tidur bergantian di gerobak.
“Hati-hati.” Andhin melambaikan tangan ke Dito yang sudah bersiap dengan vespa tuanya. Setelah punggung Dito menghilang dibelokan Andhin berjalan memasuki kamar kontrakannya dengan bibir tersenyum. Entah mengapa ia begitu bahagia hari ini.
***
Kontrakan Andhin. Pukul 24.00 WIB
Berkali-kali Hp nya berdering nyaring tanda panggilan datang. Sengaja Andhin membiarkannnya. Ia memilih mandi dan membersihkan badan terlebih dahulu. Pekerjaan membereskan bekas rumah Risma lumayan membuat keringatnya bercucuran
Untung besuk hari minggu. Ia tak harus pusing memikirkan pekerjaan kantor. Sejenak istirahat dari deadline yang lumayan mencekik kebebasannya. Besuk bersama Dito, ia berencana membawa Adi dan keluarganya untuk mulai pindah ke rumah Risma. Ia juga berencana memasukkan Adi dan adik nya ke sekolah gratis yang ada di dekat kontrakannya.
Kring…kringg…kringg
Si Hp merek cina miliknya tak mau berhenti berdering. Dengan wajah malas Andhin mengangkat panggilan itu. Ilham.
“Hallo, iya ham?”
“Andhin, kok baru diangkat sih sayang.”
Sejak kapan Ilham memanggilku sayang.
“Iya aku ketiduran. Tadi sepulang makan malam bareng Anto dan Kamila langsung tidur. Ini baru bangun.”
“Oh, lelah pasti ya Ndhin. Besuk ketemu yuk sayang, kita kan sudah lama gk makan bareng.”
“Ehm….”
“Atau kamu mau nonton film kesukaanmu. Bohemian Rhapsody sudah ada lo sayang. Gimana?”
Andhin terdiam. Ia teringat janjinya dengan Dito untuk membawa keluarga Adi menempati rumah Risma.
“Sayang?”
“Hmm. Aku ingin istirahat saja besuk dirumah Ham. Capek banget kerjaan seminggu dikantor banyak banget. Banyak deadline yang belum aku kerjain.” Andhin berbohong. Ia juga tak menceritakan perihal keluarga Adi yang sudah ia temukan.
Terdengar tarikan nafas panjang dari Ilham. Maafkan aku Ham, pasti kamu kecewa.
“Gimana kalau senin sepulang kantor?” Andhin memberi pilihan.
“Oke deh sayang, istirahat yang cukup. Jangan lupa makan yang banyak.”
“Iya Ham.”
“Ya udah, good night Andin sayang.”
Tuttt..tuutt..tuttt.
Panggilan terputus, Andhin menarik nafas panjang. Sekian kalinya ia membohongi tunangannya itu.
Sudah larut, tapi matanya belum juga mau terpejam. Tangannya bergerak menscrol layar Hp yang sudah retak bagaian atasanya. Matanya jeli mengamati setiap kontak di Hpnya. Beberapa kontak nomor teman semasa SMA sengaja ia hapus. Hingga tiba pada sebuah nama, Dito. Entah mengapa tiba-tiba ia ingin sekali menelpon lelaki yang belum lama ia kenal itu.
“Hallo, andhin. Ngapain kamu telpon malam-malam begini?” hitungan detik panggilan dari Andhin diterima
Andhin tergagap. Ia sendiri tak tahu alasan apa ia menelpon Dito. “Gak papa. Kamu tidur?”
“Kangen ya?”
Tebakan Dito membuatnya terperanjat. Masa iya aku kangen, Dito kan bukan siapa-siapaku. Atau, benar ini yang dinamakan kangen.
“Enggak lah, ngapain kangen ke kamu.” Andhin berusaha membuat suaranya sedater mungkin. “Besuk gimana Dit? Jemput Adi jam berapa?”
“Habis makan siang aja ya. Aku ada janji nemui temanku paginya. Oke?”
“Oke siap. Kabarin besuk lagi ya. Yaudah Dit, aku tutup ya?”
“Eh, tunggu! Main tutup-tutup aja.”
“Kenapa lagi Dit?”
“I miss you too Ndin.”
Tuuutt..tuttt.tuuu
Dito mengakhiri panggilan. Butuh beberapa menit untuk menyadarkan Andhin yang masih terpaku dengan Hp masih menempel di telingannya. Ia terdiam, mirip mannequin. Andhin masih belum yakin kalimat yang barusan ia dengar. Tapi entah mengapa ia sangat bahagia mendengarnya. Bibirnya langsung tersenyum lebar, bahkan senyum itu belum hilang sampai ia memejamkan mata di kasur empuk miliknya.
***
Mentari telah kembali ke peraduannya ketika Andhin, Dito dan keluarga Adi telah selesai dengan urusan beres-beres rumah. Untungnya keluarga Adi tidak mempunyai banyak perlengkapan, sehingga tidak perlu repot menyewa angkutan. Peralatan dapur tak satupun mereka miliki. Baju-baju juga hanya beberapa. Itupun dapat dari pembagian kaos gratis dari beberpa partai yang sedang giat kampanye.
Gerobak tua milik keluarga itu juga masih ditinggal di Bintarajaya. Andhin dan Dito belum punya ide bagaimana membawanya. Sementara untuk kebutuhan dapur Andhin berjanji akan membantu keluarga ini.
Pak Basuki dan Bu Mirah kedua orang tua Adi tak henti-hentinya mengucapkan terimaksih pada Andhin dan Dito. Mereka sangat senang mendapat kamar kontrakan gratis. Beberapa perabotan seperti kasur, selimut, bahkan meja kursi pun sudah tersedia. Keluarga ini juga tak keberatan saat Andhin menceritakan perihal Risma sang pemilik rumah.
“Saya sangat senang mendapat bantuan dari mas Dito dan Mbak Andhin. Dan saya berdoa semoga pemilik rumah ini diberi tempat yang lapang disisiNya.” Pak Basuki terlihat sangat sumringah. “Saya tak kawatir lagi kena gusur satpol PP mbak.”
“Terimakasih banyak ya Mbak, Mas. Saya sempat khawatir. Sudah memasuki musim hujan, mau berteduh dimana. Untungnya ada Mbk Andhin dan Mas Dito.” Bu Mirah menambahi. Matanya berkaca-kaca. Ingat dimana ia, suami dan anak-anaknya harus berteduh di emperan toko saat hujan deras.
“Sama-sama buk, Bapak dan Ibu masih bisa bekerja di Bintarajaya. Biar Adi dan Iman nunggu dirumah. Lebih aman dari pada di jalanan.”
“Iya mbak Andhin. Saya juga tidak tega alau membawa mereka bekerja. Apalagi Iman masih kecil sering nangis kalau dibawa bekerja.”
“Sementara saya akan carikan informasi biar Adi bisa sekolah lagi Pak.” Andhin berjanji akan mencari info sekolah gratis yang ada di sekitaran wilayah mereka.
Senang sekali melihat raut wajah gembira keluarga Adi. Lega rasanya, pencariannya beberapa bulan untuk mencari keluarga ini kini membuahkan hasil. Kedepan Andhin ingin agar Adi bisa masuk sekolah. Usianya sudah sangat telat untuk masuk SD. Tapi seperti kata pepatah, tak ada yang terlambat dalam hal mencari ilmu. Adi juga bersemangat saat dijanjikan masuk sekolah oleh Andhin.
Masih dengan wajah sumringah Andhin dobonceng Dito menggunakan si vespa tua. Tangan Andhin sigap memegangi pinggiran jaket Dito yang sengaja tidak dikancingkan. Berkibar-kibar diterpa angin malam yang dingin. Mereka menuju kawasan Kemang. Dito minta ditraktir makan oleh Andini. Itung-itung sebagai upahnya menemani Andhin membantu keluarga Adi.
“Kemang ya?”
“Ngapain? kan bisa makan di nasi goreng kapan hari. Rasanya lumayan kok.”
“Nasi goreng lagi?”
“Iya.”
“Oh Tuhan, Kenapa engkau mengenalkanku dengan perempuan pelit seperti ini. Aku sudah tidak dibayar, jadi ojek online, antar-jemput dia berminggu-minggu. Dan sekarang saat kuminta makan malam, ia menawariku nasi goreng seharga 15ribuan. Dunia ini memang kejam.” Dito sengaja menggumam dengan keras menggoda Andhin.
Andini terkekeh menahan tawa. Ia mencubit pinggang Dito dengan keras.
“Yaudah ayo ke Kemang. Sekali ini aja ya.”
“Siap nyonya.”
Si vespa tua melaju dengan pesat meliuk-liuk diantara mobil-mobil mewah yang terjebak macet. Andhin memegang erat pinggang Dito. Takut terjatuh karena Dito membawa si vespa tak ayal seperti pembalap terkenal. Sepanjang perjalanan puluhan kali Andhin mencubit lengan driver vespa ini, karena dengan sengaja sering mengerem mendadak. Dito terpingkal-pingkal sambil menahan sakit karena cubitan sang penumpang.
***
Dito sengaja memilih salah satu restoran yang terkenal mahal di Kemang. Sebuah restoran yang menyajikan berbagai macam olahan daging bebek. Andhin hanya bisa mendengus kesal saat membaca harga menu yang tersaji. Menu utama berharga diatas 200ribu. Nasi putih saja dipatok 25 ribu. Bayangkan, harga segini sudah bisa dibuat beli nasi goreng berbungkus-bungkus.
Dito asik memilih menu makanan. Ia sengaja pesan beberapa menu terbaik di restoran tersebut. Tak peduli dengan lirikan tajam perempuan yang duduk didepannya. Andini hanya pasrah sembari berdoa semoga uang di dompetnya cukup.
“Thank ya Ndhin?” Dito lahap menikamati tumis daging bebek peking yang terlihat menggiyurkan. “Boleh nambah kan?” Ia sengaja menggoda Andhin. Dito tahu Andhin sedang menghitung pengeluarannya malam mini.
“Apa nambah?”
“Ha ha ha.” Dito tertawa puas. “bercanda kali, gue paham kok duit lo gak bakal cukup kalau aku nambah. Iya kan?”
Andhin menginjak keras-keras kaki Ilham. Ilham berhasil menghindar. Ia cekakakan melihat Andhin yang cemberut karena kesal.
Mata Andhin terbelalak saat menerima bill dari pelayan. Dua porsi tumis daging bebek, nasi putih 2 piring, I porsi tumis brokoli dan 2 gelas lemon tea total 500 ribu rupiah. Ditambah pajak 10% total hampir 600ribu untuk sekali makan. Andhin menarik nafas panjang. Gila, ini bisa buat beli nasi goreng plus abang yang jual nih. Dengan berat hati ia menyerahkan kartu debetnya pada pelayan.
“Duit lo cukup gak?”
“Cukup lah, gua bukan orang yang miskin-miskin amat Dit.”
“Syukurlah, semisal duit lo kurang, lo bisa stay disini Ndhin. Bantu-bantu cuci piring dibelakang. Ha ha ha.” Ucap Dito lantang. “Mau langsung pulang nih Ndhin?”
“Trus?”
“Nonton yuk?”
“Gak ah. Duit gue habis gara-gara lo.”
“Ha ha ha. Gua yang bayarin deh. Mau gak?”
“Bohemian Rhapsody?”
“Yups, ayo cepet sebentar lagi film nya mulai.” Ujar Dito sambil mengecek jam di tangannya. Ia berlari kecil sambil menggandeng tangan Andhin. Berharap tak ketinggalan film yang sedang viral akhir-akhir ini.
Andhin ikut berlari mengikuti Dito. Membiarkan tangannya kirinya di genggang erat laki-laki humoris itu. Tanpa ia sadari sepasang mata tengah memperhatikannya dari jauh.
***
Istirahat makan siang. Seperti biasa Tim Kriminal minus si Barbie sedang lahap menikmati sob buntut langganan di belakang kantor. Makan siang di tempat mewah hanya berlaku sebulan sekali bagi mereka, yaitu awal bulan saat menerima gaji. Setelahnya mereka kembali dalam kehidupan karyawan dengan gaji pas-pasan. Di usia mereka harus pandai mengatur pengeluaran. Lebih baik uang dialihkan untuk memulai bisnis atau mencicil rumah dari pada untuk bersenang-senang.
Kali ini Ilham ikut bergabung. Kangen juga ia dengan mantan teman setimnya yang kini jadi bawahannya itu. Meskipun kini Ilham sudah menjadi Pemred namun sifatnya yang rendah hati tidak pernah berubah. Dan tentu saja alasan utamanya adalah Andhin. Sudah dua minggu lebih mereka tidak bisa bertemu.
“Lo, makin hari makin kurus aja sih Ham?” Celetuk Kamila.
“Jarang makan ya? Atau gaji Pemred gak cukup buat makan?” Anto mencandai Ilham teman yang paling sering mengantar ia pulang saat masih se Tim dulu.
Ilham hanya nyengir menjawab celotehan teman-temannya ini. Ia sendiri juga sadar badannya makin kurus akhir-akhir ini. Banyak urusan yang harus diselesaikan, sampai makan siangpun sering terlewatkan.
“Lo gimana sih Ndin, punya tunangan dipelihara dong, masa dibiarin kurus gini.” Kamila memukul bahu Andhin.
Andhin ikut menjadi sasaran dua sahabatnya itu. Benar katamu Mil, aku jarang memperhatikan Ilham. Akupun baru sadar Ilham sekurus sekarang.
“Memang sengaja gak makan, uangnya buat persiapan nikah. Ha ha ha.” Ilham membalas celotehan temannya dengan canda. “Iya kan Dhin?”
“Eh… iya.” Andhin hampir tersedak kuah sop mendengar ucapan Ilham.
“Biaya nikah gak murah guys. Sewa gedung, baju pengantin, catering belum lagi undangan. Bisa ratusan juta, makanya uang makanku aku potong buat ditabung.”
Kamila dan Anto cekikikan mendengar ocehan Ilham.
“Kalian juga harus nabung. Siapa tahu jodoh kalian sudah dekat. Jangan cuma mikir buat makan enak terus.” Tambah Ilham sambil melirik ke Kamila.
“Lah, kok jadi aku sih. Lagian aku nanti kalau nikah cukup ijab kabul aja, gak pake acara pesta. Terus uangnya aku pake bulan madu keliling Eropa, biar kayak artis-artis. Ha ha ha.”
“Pertannyannya, siapa calonnya? Sekarang aja lo masih jomblo abadi gitu.” Anto menyelutuk
“Ih gayamu kayak udah punya gebetan. Lo juga jomblo tahu.” Kamila tak mau kalah.
“Ha ha ha. Iya juga sih.”
Mereka tertawa terbahak-bahak bersama. Begitulah kalau keempat teman karib berkumpul. Saling olok satu sama lain, menjadi bahan candaan yang tak pernah habisnya bagi mereka. Sampai tak terasa istirahat makan siang telah habis. Ilham kembali ke ruangannya, Kamila juga ada liputan di luar kantor. Tersisa Andhin dan Anto berjalan berdua menuju ruang kerja Tim Kriminal.
“Andhi.” Anto memegang bahu Andhin.
“Kenapa?”
“Lama ya kita gak jalan bareng kaya gini, lo pulang kantor langsung pergi, kayaknya lo sibuk banget akhir-akhir ini.”
“Hemm, iya to agak banyak urusan akhir-akhir ini, kenapa lo kangen gue ya?”
Anto tersenyum lebar. “Gua pengen ngomong sama Lo Ndhin”
“Dari tadi kan juga ngomong.” Andhin heran dengan wajah Anto yang tiba-tiba serius.
“Serius Ndhin!”
“Apaan sih? Ngomong aja.” Andhin menjawab santai.
“Kita sudah kenal berapa tahun Ndin?”
“Hemm, enam tahun atau tujuh. Entahlah lupa, yang jelas sejak lo masih jadi bahan bullyan temen sekelas saat maba.”
“Ingatanmu bagus. Dan selama itu juga gue tahu lo orang yang paling baik yang pernah gue temuin Ndhin. Lo orang yang setia. Lo gak bakal tega nyakitin siapapun.”
“Anto, lo kenapa sih. Jadi aneh gini.”
“Ndin, gue lihat lo sama orang lain di Kemang.”
Deg, dari mana Anto tahu tentang Dito. Andhin tersentak. Ia memperlambat langkahnya.
“Gue juga tahu lo udah nemuin anak pemulung itu kan? Ndin sebagai sahabat lo, gue cuma mau ngingetin. Hari pernikahan Lo sudah ditentukan Ndin. Dan seperti yang kamu tahu Ilham laki-laki baik. He treath you like princess. Dia banyak berkorban buat lo. Aku yakin lo bakal bijaksana kan Ndin?”
Andhin terdiam, matanya panas seperti ada butiran yang memaksa keluar.
Anto mengusap kepala sahabat perempuannya itu. “Pikirkan baik-baik Ndin, gue percaya sama keputusan Lo.” Anto berlalu meninggalkan Andhin yang masih terpaku.
***
sedih, tapi bagus kok
Comment on chapter Bagian 9 (End)