Read More >>"> Innocence (Bagian 2) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Innocence
MENU
About Us  

Kring… Kring…Kring.

            “Hallo, Ilham?”

            “Andhin, sorry kayaknya aku ada meeting habis ini, kamu pulang sendiri gak papa kan?”

            “Kan, kamu janji mau nemenin aku nyari Adi.”

            “Iya, kita cari minggu depan ya? Aku lagi sibuk sekarang.”

            Andhin hanya mendesah. Kecewa.

            “Andin,,,,,,,,” Tak ada jawaban. “Andhi?”

            “Yaudah, aku pulang duluan.”

            Tutttt…. Tuuuuttt….. Tuuuuttt.

            Sengaja Andhin menutup telefon sebelum Ilham mengiyakan. Bukan sekali ini saja Ilham membatalkan janji dadakan. Seminggu yang lalu Ilham berjanji menemani Andin menemui saudaranya di Jakarta Selatan. Andin sudah menunggu sampai satu jam lebih, lalu Ilham tiba-tiba mengabarkan ada acara mendadak dengan keluarganya. Acara meeting dengan atasan, menemui kolega ayahnya atau survei TKP adalah beberapa alasan Ilham yang sudah dihafal Andhin.

            Andhin menatap pilu pada cincin indah yang melingkar di jari manisnya. Dua bulan lalu Andhin menerima tunangan Ilham. Tak ada pilihan lain selain menerimanya. Sang Ibu dan kakaknya Aldi menyetujuinya. Usianya juga bukan lagi usia untuk bermain-main dalam suatu hubungan. Keluarga Ilham pun menerimanya dengan baik. Acara tunangan diadakan di Jogja. Hanya dihadiri keluarga inti Ilham dan Andhin. Teman kantor hanya Anto dan Kamila yang diundang. Sesuai permintaan Andhin, acara dilakukan secara sederhana di rumahnya.

            Setelah pertunangan Ilham tak lagi bekerja satu tim dengan Andhin. Ia naik jabatan sebagai ketua redaksi. Andhin sangat bersyukur, karena rikuh juga kalau harus bertemu 8 jam sehari dengan Ilham. Belum lagi berangkat dan pulang kantor juga bareng, makan siang pun bareng. Jauh dalam hatinya ia masih ingin bebas seperti dahulu. Bebas naik KRL atau ojek online saat ke kantor. Bebas jalan-jalan sendiri menemui anak-anak pemulung di belakang stasiun. Kehidupan Andhin banyak berubah setelah pertunangan itu.

             Andini berjalan menyusuri trotoar di samping kantornya. Ia berencana naik ojek online, menghindari kemacetan. Sampai tiba-tiba motor vespa kuno menghentikannya. Dibalik helm warna putih sesosok pemuda tersenyum sumringah ke arahnya.

            “Dito, mau kemana?” Andhin menghentikan langkahnya.

            “Mau ketemu kamu.” Dito nyengir. “Ayo naik.” Kata Dito sambil mengulurkan helm dengan warna seragam dengan yang ia pakai. Andini menerima helm dari Dito, memakainya dan segera naik di boncengan vespa milik Dito yang terlihat nyentrik. Segera Dito melajukan kendaraan tuanya, menembus kemacetan Jakarta saat jam pulang kerja.

            Dito adalah keponakan Almarhum Risma yang menemui Andhin saat di pemakaman. Usianya sebaya dengan Andhin. Awalnya Andini sempat berburuk sangka pada laki-laki hitam manis ini, menduga bahwa Dito adalah salah satu anggota kelurga suami Risma yang mengusir Risma dari Palembang. Lalu Dito menjelaskan bahwa semua hanya kesalahpahaman. Risma memang sengaja pergi dari Palembang karena malu dengan keluarga besarnya. Sejak pertemuan di pemakaman mereka sering bertemu untuk menyelesaikan kasus yang menimpa Risma. Karena itulah mereka menjadi akrab.

            “Eh Andhin, langsung pulang atau kemana?” Dito bertanya sambil berteriak mengimbangi suara angin yang bergerumuh di sela-sela helmnya. Jaket kulit warna hitam yang ia kenanakan berkibaran ditiup angina.

            “Aku mau ke Sawah Besar dulu Dit.”

            “Ngapain?”

            “Kamu ingat Adi? Anak pemulung yang aku ceritakan kapan hari? Aku ingin nyari dia ke Sawah Besar.”

            Dito mengganggukkan kepalanya. Ia ingat sebulan yang lalu Andini pernah bercerita tentang sosok teman kecilnya yang sudah berbulan-bulan tak dapat ditemui. “Lo gak pengen jadi menteri Dhin?”

            “Ha? Apa?”

            “Jadi Menteri. Lo kayaknya cocok deh jadi Menteri kesejahteraan sosial, lo seneng banget ngurusi kesejahteraan orang lain soalnya.”

            Tawa Andhin pecah seketika. Tangannya bergerak mencubit lengan Dito. Yang dicubut setengah mati menahan sakit. Seketika Andhin lupa kekesalan hatinya dengan Ilham. Seperti biasa bersama Dito ia bisa tertawa lepas. Laki-laki didepannya itu punya jiwa humor yang tinggi. Pernah suatu kali saat makan siang di satu warung soto Andini sibuk meniup kuah soto yang memang sangat panas. Spontan Dito menceburkan es batu sisa minumannya ke mangkok soto Andini. “Biar cepet dingin, gak usah repot tiup-tiup.” Tak ayal membuat Andhin terpingkal juga.

            Perjalanan dari kantor Andhin menuju daerah Sawah Besar tidak memakan waktu lama. Jaraknya cukup jauh tapi karena Dito pandai menghindari kemacetan dengan cara lewat gang-gang kecil mereka sampai di tujuan lebih cepat. Setelah memarkirkan si motor tua, mereka berjalan menyusuri pemukiman kumuh, berharap menemukan Adi dan keluarganya.

            Kawasan Sawah Besar adalah salah satu pusat pemukiman kumuh di Jakarta. Ratusan rumah berdinding kardus berjejer disepanjang rel kereta api. Sampah plastik dan botol-botol bekas terlihat menggunung. Gerobak tua yang nampak kotor berjejer tak beraturan. Maklum sebagian besar penghuni kawasan ini adalah pemulung. Mereka adalah warga pendatang yang merantau ke ibukota mengharap kehidupan yang lebih baik. Apadaya ibukota tak pernah semanis dalam cerita. Ibu kota kejam apalagi bagi mereka yang tanpa bekal pendidikan.

            Entah sudah berapa ratus kali kawasan ini ditertipkan oleh pemerintah. Saat penggusuran tak jarang adu mulut antara satpol PP dengan warga terjadi. Tapi ibarat jamur di musim penghujan, rumah-rumah kardus itu kembali berdiri setelah digusur. Pemerintah tak tinggal diam sebenarnya. Rumah susun dibangun sebagai tempat tinggal yang layak berharap warga mau pindah dari rumah kardusnya. Apadaya biaya rumah susun tak sesuai dengan pendapatan para pemulung ini. Mereka yang tak mampu membayar sewa terpaksa kembali membangun rumah kardusnya.

Puluhan anak kecil tanpa alas kaki tampak berlarian bersendau-gurau. Andhin memperhatikan mereka satu-persatu berharap Adi ada diantara mereka. Namun nihil. Ia dan Dito sudah berkeliling hampir satu jam lebih tapi tak menemukan Aldi atau keluarganya. Mereka memutuskan pulang setelah Dito berjanji akan menemaninya mencari Adi minggu depan.

“Aku tahu tempat dimana pemulung sering berkumpul Dhin. Kita kesana minggu depan. Oke?”

***

“Andhin, maaf tadi pagi ya. Aku janji bakal ngabarin cepet kalau aku gak bisa jemput kamu.” Ilham meminta maaf pada Andin karena kesalahannya tidak menjemput Andin tadi pagi. Perempuan disampingnya hanya diam dengan wajah ditekuk. Ia mengambil tangan Andin yang memegangnya erat, seakan takut kehilangan. “Aku janji gak akan ulangi lagi Ndin.”

Alasan apalagi Ham. Aku sampai hafal dengan semua alasanmu.

“Iya.” Andhin menjawab singkat. Sebenarnya ia bukan type cewek manja yang ingin diantar jemput kemanapun ia pergi. Jelas itu bukan style Andhin. Ia hanya ingin Ilham menepati janjinya. Seharusnya Ilham bilang kalau memang tidak bisa jemput, sehingga Andini bisa naik KRL atau ojek online. Tidak dengan membiarkan Andini menunggu berjam-jam tanpa kabar. Membuatnya serba salah.

“Gimana, kemarin jadi nyari Adinya?” Ilham mencoba mencairkan suasana sambil konsentrasi menyetir.

“Jadi.”

“Sendirian? Gimana hasilnya?

“Iya sendiri, mau sama siapa lagi.” Maaf, aku bohong.

“Ketemu?”

Andin menggelengkan kepala. “Belum, tak satupun dari mereka kenal Adi dan keluarganya”

“Yaudah, nanti kalau mau nyari Adi lagi aku temenin.” Ilham masih belum menyerah mengurai kemarahan Andhin.

Mobil hitam itu memasuki sebuah perumahan mewan di daerah Kemang. Menuju rumah Ilham. Ilham sengaja menjemput Andin untuk acara makan malam dengan keluarganya. Sang keponakan sedang berulang tahun malam ini. Perlahan mobil memasuki halaman rumah yang terbilang mewah. Rumah berlantai 2 dengan arsitektur gaya Eropa Kuno. Atapnya miring dan menjulang tinggi ditampah 2 pilar besar di bagian depan rumah semakin menambah kesan mewah rumah tersebut.

Ilham adalah satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya. Ia bungsu dari 4 bersaudara yang semuanya perempuan. Sang ayah keturunan Jawa asli, yang meskipun sudah tua masih terlihat gagah dan wibawa. Wajahnya sangat mirip dengan Ilham. Sementara ibunya adalah wanita keterunan timur tengah tak heran kalau ke empat saudara perempuan ilham berparas cantik. hidungnya mancung, tinggi dan matanya lebar. Hanya ilham saja yang tak dialiri darah timur tengah.

Sebenarnya Andhin merasa kikuk juga berada diantara saudara-saudara Ilham. Ia lebih sering menanggapi obrolan dengan calon kakak-kakak iparnya dengan senyuman saja. Mereka sebenarnya sangat baik menerima Andhin. Namun kadang Andhin sama sekali tak paham dengan brolan khas perempuan golongan atas. Seputar harga tas Hermes terbaru, make up kekinian, atau masakan restoran terkenal yang baru buka di Indonesia. Sesuatu yang awam bagi Andhin.

Acara malam itu syukuran ulang tahun anak dari kakak perempuan tertua Ilham. Mengundang beberapa keluarga sang ayah yang kebanyakan menetap di Jakarta. Acaranya pengajian oleh seorang ustad yang sepertinya pernah nongol di TV. Dilanjutkan makan malam bersama. Semua memakai baju dengan tema peach purple. Hanya Andini dan Ilham yang masih berpakaian seragam kantor.  Ilham kenapa gak bilang acaranya sebesar ini, tahu gini setidaknya aku bisa pinjam baju muslim milik Kamila. Ah, masa bodoh.

Ilham memilih mengajak Andhin makan di pinggir ruangan, agak terpisah dengan keramaian, tahu kekasihnya tak nyaman berada diantara orang-rang baru yang kebanyakan belum dikenal. Ilham juga merasa bersalah langsung membawa Andhin sepulang kantor tanpa ganti pakaian. Ia sendiri tak menyangka acara bakal sebesar ini.

Disela-sela menyantap nasi kebuli makanan khas timur tengah tiba-tiba Hp Andini berdering. Ia pamit ke Ilham untuk mengangkat panggilan itu. Sedikit berlari menjauh dari keramaian menuju taman samping rumah yang dihiasi gemiricik air mancur kecil.

Hallo Andhin.” Suara sumringah diseberang.

“Dito, kenapa?” Andini sengaja memelankan suaranya.

“Lama banget angkatnya. Lo lagi dimana? Aku sudah punya info soal Adi. Kemarin aku…

“Dito, aku lagi ada acara nanti aku telefon lagi.” Andhin memotong pembicaraan dan langsung mematikan HPnya. Ia takut Ilham mendengar percakapannya dengan Dito. Lagian ia merasa tidak enak dengan keluarga besar Ilham kalau terlalu lama menyelinap ditaman.

“Siapa Ndin?” Ilham bertanya halus saat Andin sudah kembali duduk disampingnya.

“Ibu, biasa lagi kangen.” Maaf Ilham, kamu tak perlu tahu soal Dito.

“Oh… bulan depan kan libur 3 hari. Pulanglah ke Jogja. Beliau pasti kangen. Nanti aku anter.” Ilham menawarkan pendapatnya.

Andhin hanya menggangguk mengiyakan, sambil melahap nasi kebuli yang sudah dingin di piringnya.

***

Jabatan baru Ilham benar-benar menyita habis waktunya. Sebagai seorang pemimpin redaksi di sebuah perusahaan besar sekelas Media Raya Group, Ilham dituntut mampu memanagemen semua SDM agar jalannya perusahaan terkontrol dengan baik. Diluar pekerjaan kantor Ilham juga harus menemui banyak kolega demi menjalin network yang bagus. Tak jarang ia juga harus ke luar kota beberapa hari. Waktunya untuk Andhin benar-benar terbatas.

Seperti siang itu, lagi-lagi Ilham harus membatalkan janjinya makan siang dengan Andhin. Ia tahu perempuan pujaannya itu pasti merasakan kecewa yang mendalam. Seperti biasa meskipun terlihat kecewa, Andini selalu memaafkan kesalahannya. Entah karena ia memang pantas dimaafkan atau karena hati Andini sudah lelah. Entahlah.

Disebuah koridor rumah sakit ternama di Ibukota. Ilham duduk bersama diantara keluarga para pasien yang lain. Wajahnya tegang badannya sedikit lemas. Ia sengaja izin pulang lebih awal dari kantor dan langsung menuju rumah sakit, tanpa makan siang. Hanya botol air mineral yang ada digenggamanya, itupun belum sempat ia minum. Pikirannya terlanjur kalut. Seorang laki-laki tengah baya melihat iba kearahnya. Mungkin merasa kasian melihat wajah Ilham yang tampak kacau.

“Mas, nunggu siapa?”

Ilham mengangkat kepalanya. “Ibu pak. Bapak?”

“Oh… Ini anak saya mas. Sudah kemo yang ke 10 kali.”

Laki-laki tengah baya itu terus bercerita tentang perjuangannya mencari kesembuhan untuk sang putri. Putrinya divonis kanker darah setahun yang lalu. Dan ini adalah kemoterapi yang ke 10 kalinya. Ia bercerita bahwa putrinya pernah juga dibawa ke Singapura. Biaya yang dihabiskan tidak sedikit namun disana kondisi sang putri tak kunjung membaik. Begitulah pengorbanan orang tua untuk anaknya. Tak akan pernah bisa terbalas sampai akhir hayat.

“Mungkin rezeki sembuhnya Adelia di Indonesia mas. Dokter di Indonesia juga tak kalah ahli sebenarnya.”

Ilham hanya menanggapi dengan senyuman. Otaknya masih belum segar benar untuk sekedar menanggapi cerita si bapak tersebut. Segala bayang-bayang buruk tentang kematian memenuhi kepalanya.

Dua puluh enam tahun silam. Ia masih ingat saat pagi-pagi sang Mama telah mendadaninya rapi dengan baju terbaik yang ia miliki. Ilham kecil sangat bahagia ketika dijanjikan akan dibawa ke Taman Mini untuk berlibur. Dengan semangat ia mengikuti sang Mama yang mencegat taxi di depan rumah. Namun anehnya sang Mama membawa semua pakaian Ilham termasuk mobil-mobilan kesayanggannya.

Ilham kecil tak banyak bertanya. Taxi yang mereka tumpangi melaju cepat. Ilham senang bukan main karena ia jarang sekali dibawa keluar rumah oleh sang Mama. Hari-harinya dihabiskan dengan bermain setumpuk mainan di dalam rumah. Sehingga begitu diajak keluar rumah ia sangat antusias melihat gedung-gedung tinggi dan mobil yang berlalu-lalang dijalan. “Mama, mobil itu seperti mainan Ilham.” Sang Mama tidak menjawab karena tampak serius dalam pembicaraan di telefon.

Taxi berhenti di sebuah halaman rumah mewah mirip istana. Didepan pintu utama sang pemilik rumah sudah menunggu rupanya. Seorang laki-laki muda tampan nan berwibawa dan seorang perempuan berdarah timur tengah yang tampak cantik jelita. Ilham kecil diserahkan sang Mama pada pasangan tersebut. Dengan meninggalkan sebuah kalimat sang Mama pergi berlari menaik taxi yang sama dengan mata air mata membanjiri matanya. “Kehidupanmu akan lebih bersama Ayahmu, Mama sayang Ilham.”

Ilham kecil menangis meronta-ronta. Berteriak sekuat tenaga memanggil-manggil sang Mama. Air matanya deras membasahi pipinya yang merah. Namun sayang sang Mama tak menengokkan wajahnya. Terus berlari meninggalkan Ilham kecil yang tak tahu apa-apa. Ilham kecil sakit hati. Sang Mama yang ia cintai tega meninggalkan dirinya.

Hari demi hari terus bergulir, Ilham tumbuh menjadi anak yang tampan dan cerdas. Gizinya terpenuhi. Ibu tiri merawatnya dengan baik. Ia tumbuh besar bersama ke empat saudara perempuan tirinya. Ia selalu menjadi rangking 1 dikelas, membuat sang Ayah begitu bangga.

Suatu saat ketika Ia menginjak bangku SMP, Ilham menyadari bahwa ia sama sekali tak mirip dengan Ibu dan kakak-kakaknya. Sang Ayah menceritakan sebuah rahasia besar dalam hidupnya. Ternyata Ilham adalah anak dari perselingkuhan sang Ayah dengan wanita tunasusila. Sang Mama saat itu kehabisan uang sehingga menyerahkan dirinya untuk dirawat sang Ayah. Sang ayah mewanti-wanti Ilham untuk tidak lagi mencari tahu tentang ibu kandungnya. Ilham muda sedih hatinya. Mengurung diri berhari-hari dikamar.

Menginjak bangku kuliah jiwa keingin tahuannya sangat tinggi. Tanpa sepengetahuan Sang Ayah Ilham mulai mencari tahu tentang ibu kandungnya. Ia berhasil menemukan alamat ibu kandungnya. Bertahun-tahun Ilham hanya berani memandangi rumah sang ibu dari kejauhan. Ia tak pernah punya nyali untuk menemui sang Ibu walaupun hatinya sangat merindu.

 Hingga tibalah hari dimana ia akan bertunangan dengan Andini. Sebagai seorang anak Ilham merasa harus meminta restu pada ibu kandungnya. Ia beranikan diri menemuai sang ibu yang telah bertahun-tahun tak ditemuinya. Rencana Tuhan memang luar biasa. Ia mendapati sang Ibu sedang sakit keras. Sang ibu mengidap kanker hati. Beliau hidup sebatang kara hanya ditemani seorang asisten rumah tangga. Ilham menangis sambil memeluk erat sang Ibu.

“Mas Ilham.”

Suara asisten rumah tangga sang Ibu mengagetkannya.

“Ibu sudah selesai mas. Jadwal berikutnya besuk hari minggu”

Ilham menggangguk. Ia berjalan memasuki ruangan yang dipenuhi bau obat-obatan yang menyengat. Di sebuah ranjang, sang Ibu tampak terbaring lemah. Ilham menggegam tangan ibunya. Mengalirkan energi cinta seorang anak pada Ibunya. Meskipun bertahun-tahun hidup terpisah tapi naluri tak pernah berbohong. Tak bisa dipungkiri darah yang mengalir dalam tubuhnya adalah karena air susu perempuan tua ini.

Ilham berkaca-kaca. Perempuan didepannya itu nampak kurus dan lemah. Dagunya yang lancip begitu indah, mirip dengannya. Jari jemari tangannya juga sangat indah. Pastilah sang Ibu sangat cantik dimasa mudanya. Ilham menyesal, mengapa tak dari dulu ia menemui sang Ibu. Apadaya sesal selalu datang terlambat. Kini Ilham besyukur bisa berkumpul dengan sang ibu, meskipun pertemuan dengan ibunya masih ia rahasiakan dari semua orang, termasuk Andhin.

***

Minggu sore

            Disebuah kampung pemulung di kelurahan Bintarajaya, Bekasi Barat. Andhin duduk disebuah kursi tua rapuh memandangi dua bocah yang sedang lahap menyantap bakso. Tak jauh beda dengan pemukiman kumuh lainnya, kampung ini juga dipenuhi puluhan bangunan liar dan sampah yang menumpuk. Bau air got yang menyengat memaksa siapa saja yang lewat harus menutup hidungnya.

Pencarinnya berminggu-minggu akhirnya kini mendapatkan hasil. Berkat Dito ia dapat menemukan Adi dan keluarganya. Bersama Dito, Andhin berkelililng di kawasan tersebut berjam-jam sampai akhirnya menemukan Adi sedang sibuk memilah-milah barang rongsokan.

“Kak Andin, makasih ya.” Adi si bocah pemulung itu tampak sumringah. Mulutnya penuh dengan bakso yang dibelikan Andhin.

Andhin tersenyum. Lega sekali bisa menemukan Adi, meskipun kini badan bocah itu terlihat lebih kurus. Rambutnya yang merah terbakar matahari panjang hampir menutupi matanya. Raut mukanya terlihat memilukan. Bocah 6 tahun yang tak pernah merasakan bangku sekolah itu harus ikut berjuang mencari nafkah bersama adik-adiknya. Disaat anak seusianya sibuk sekolah, Adi harus ikut memunguti sampah bersama puluhan pemulung lainnya.

“Adi kok sampai disini bagaimana ceritanya?”

“Iya kak Andhin, rumah yang dibelakang Stasiun Jakarta Kota kena gusur. Rumahnya dihancurkan, baju Adi dan mainan Iman juga ikut dilindas buldoser. Gerobak bapak juga dibuang sama bapak-bapak yang pake seragam itu. Druss…  druss…. drusss… Hancur semua.” Adi menjelaskan dengan semangat. Tangan kecilnya menirukan gerakan buldoser yang sedang menghancurkan rumahnya.

“Terus Adi tinggal dimana sekarang?”

“Disitu.” Adi menunjuk sebuah gerobak besar yang dipenuhi dengan baju-baju lusuh.

Andhin dan Dito menatap nanar. Andhin teringat beberapa minggu yang lalu ia sempat meliput tentang kehidupan manusia gerobak. Dimana sebuah keluarga harus hidup berpindah-pindah di dalam gerobak. Siang hari gerobak digunakan untuk memulung, malamnya dijadikan tempat untuk tidur. Jangankan untuk menyewa kontrakan, penghasilan mereka hanya mampu untuk membeli nasi satu kali dalam sehari. Sungguh kehidupan yang memilukan.

“Adi pindah-pindah?”

“Enggak Kak. Bapak dan ibu kalau malam kembali disini. Aku dan Iman menunggu disini. Iman sering nangis kalau diajak keliling Kak.” Ujar bocah malang ini sambil menunjuk Iman adiknya yang masih berusia 4 tahun.

Sedih rasannya saat bocah sekecil Adi dan Iman sudah harus merasakan pahitnya hidup. Hidup terluta-lunta tanpa tempat tinggal. Hebatnya mereka masih bisa tersenyum walau perut sering kelaparan. Berat hati Andhin harus pergi meninggalkan dua bocah malang itu. Sebelum pergi ia meninggalkan 2 bungkus nasi Padang dan beberapa jajanan. Andhin berjanji akan kembali lagi minggu depan.

Disebuah warung nasi goreng pinggir jalan Andhin dan Dito memutuskan untuk singgah. Perut mereka keroncongan karena sejak pagi belum didisi. Yah, akhir-akhir ini Andhin lebih sering menghabisakan waktu dengan Dito daripada dengan Ilham tunangannya. Seperti tadi pagi tiba-tiba Ilham mengabarkan tidak bisa menemaninya mencari Adi. Andhin mengiyakan, tak lagi kecewa ia sudah hafal benar kebiasaan Ilham.

“Mas nasi goreng 2 ya, yang pedesnya extra. Minumnya es teh anget.” Dito memesan sambil mencandai sang penjual nasi goreng yang nampak masih muda.

Andhin dan Dito duduk berjejer di bangku panjang. Di depan mereka tampak sepasang muda-mudi sedang menikmati sepiring nasi goreng. Saling menyuapi satu sama lain. Tak ayal memancing keluar jiwa iseng Dito.

“Pengabdi cinta.” Ia berteriak lantang. Seketika sepasang muda-mudi tersebut menatap angkuh pada Dito. “Eh, pengabdi setan. Kita mau nonton pengabdi setan kan Dhin?” Dito pura-pura bertanya pada Andhin. Andhin mengangguk cekikikan sambil memegangi perutnya yang sakit menahan tawa. Dasar manusia jahil.

“Lo tipe pengabdi setan juga Dhin? Eh, pengabdi cinta maksudku?”

“Bukannya semua orang memang butuh cinta ya?” Andhin balik bertanya sambil menyantap nasi goreng extra pedas kesukaannya.

“Maksudku tipe-tipe manusia yang alay dalam hubungan gitu. Minta antar jemput kemanapun pergi, minta dinyanyiin lagu sebelum tidur, pakai baju couple bergambar hello kitty, manggil ayah bunda, udah kaya berkeluarga aja atau minta di kabarin setiap menit.”

Andhin tertawa cekikikan. “Gua sudah terlalu tua untuk hal-hal itu Dit, mungkin dulu iya waktu gue SMA”

“Yah kalau pas SMA sih gua juga jagonya. Entah sudah berapa perempuan yang takluk dengan rayuan mautku.” Ujar Ditu sambil mengelus poni rambutnya yang panjang. “Gue rasa di usia kita ini obrolan tentang masa depan jauh lebih menarik dari pada sekedar tanya sudah makan belum, jangan lupa makan, karena tanpa disuruhpun kita tahu harus tetap makan biar tetap hidup.”

Andhin tambah cekikikan mendengar ocehan Dito. Nasi dimulutnya sebagian keluar menciprati meja.

“Atau kalau sekedar harus antar jemput, mending pacaran aja sama driver ojek online. Ya gak Dhin?”

Yang ditanya sudah tak bisa lagi menahan tawa. Begitulah saat Andhin bersama Dito. Ia bisa tertawa lepas dengan setiap guyonan Dito yang kadang receh. Ia sendiri lupa kapan ia bisa tertawa selantang ini. Saat bersama Dito ia begitu nyaman dan bisa menjadi diri sendiri. Sejenak ia lupa dengan statusnya sebagai tunangan orang. Ilham maaf aku tak menjawab telfonmu seharian.

***

Jam sudah menunjukkan pukul 8 malam saat Andhin, Kamila dan Anto memutuskan untuk makan malam di sebuah restoran Jepang di Kemang. Hari ini pekerjaan kantor agaknya lebih bersabat sehingga mereka tak perlu lembur samapai larut malam.

Biasa setiap tanggal muda mereka akan pergi makan ke tempat yang lumayan mewah. Sebagai apresiasi diri sendiri yang telah bekerja keras sebulan terakhir. Sedikit memanjakan lidah, biar tak bosan dengan menu sob buntut di belakang kantor. Biasanya Ilham ikut, tapi kali ini ia ada urusan.

“Elo sekarang kok jarang bareng sama Ilham dhin?” Ujar kamila sambil menambahkan washabi ke atas makanannya.

“Iya, kalian baik-baik aja kan?” Anto menambahi.

“Baik-baik aja. Ilham sekarang banyak urusan yang harus diselesaikan.” Andini juga sadar intens pertemuannya dengan Ilham sekarang sangat terbatas, padahal mereka satu kantor.

“Iya sih. Pemred kan banyak yang harus dipikirkan. Kasian si Ilham, tambah kurus saja dia.”

Andhin terdiam. Sudah seminggu ini ia tak bertemu Ilham. Ia merasa tak enak menyalahkan Ilham yang sering mengingkari janjinya. Ia sadar jabatan Ilham sebagai Pemred bukan jabatan yang mudah. Apalagi sosok Ilham yang sangat bertanggung jawab, tak akan meninggalkan pekerjaannya kalau belum tertangani dengan sempurna.

Andhin jadi teringat ucapan Dito kapan hari, kalau sekedar pengen diantar jemput pacarana aja sama ojek online. Andhin jadi merasa bersalah pada Ilham. Apalagi sikapnya kekanakannya dengan tidak membalas setiap pesan Ilham. Andhin meraih Hpnya dimeja, mengirim pesan ke Ilham.

Ham, aku lagi makan bareng Kamila dan Anto di Kemang. Paling jam 9 kelar.

Drett.  Drett.  Drett.  Semenit kemudian balasan dari Ilham datang

Aku jemput ya, ini meetingnya juga udah selesai Ndin.

Andhin kebingungan, ia sudah janji dengan Dito untuk membersihkan rumah kontrakan almarhum Risma agar bisa ditempati Adi dan keluarganya.

Aku pulang naik taxi aja Ham, sudah malam.

Yaudah kalau begitu. Hati-hati ya Ndin. Ketemu besuk di kantor.

“Anak ini diajakin makan bareng tapi sibuk sama Hpnya.” Tukas Anto sambil meletakkan sushi pada di piring Andhin. “Lihat, habis semua makanannya dilahab Si raja makan.” Tambah Anto sambil menunjuk hidung Kamila yang sibuk mengunnyah. Yang dituding hanya nyengir.

“Lo pulang dijemput Ilham kan dhin?”

“Enggak, Ilham ada acara kok. Aku naik taxi aja.” Jawab Andhin santai sambil mengeluarakan uang seratusan ribu dari dompetnya. “Nih uang patungannya, gua cabut duluan ya.” Ujar Andini sambil bersiap meninggalkan kedua sahabatanya itu.

“Eh Dhin, yakin lo mau pulang sekarang? Sendirian?”

Andhin hanya menjawab dengan anggukan, melambaikan tangan tanda perpisahan dan segera berlari menuju lobi mol. Seseorang dengan vespa tua sudah menunggunya disana.

***

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • antonvw

    sedih, tapi bagus kok

    Comment on chapter Bagian 9 (End)
Similar Tags
Mata Senja
574      400     0     
Romance
"Hanya Dengan Melihat Senja Bersamamu, Membuat Pemandangan Yang Terlihat Biasa Menjadi Berbeda" Fajar dialah namaku, setelah lulus smp Fajar diperintahkan orangtua kebandung untuk pendidikan nya, hingga suatu hari Fajar menemukan pemandangan yang luarbiasa hingga dia takjub dan terpaku melihatnya yaitu senja. Setiap hari Fajar naik ke bukit yang biasa ia melihat senja hingga dia merasa...
Po(Fyuh)Ler
828      443     2     
Romance
Janita dan Omar selalu berangan-angan untuk jadi populer. Segala hal telah mereka lakukan untuk bisa mencapainya. Lalu mereka bertemu dengan Anthony, si populer yang biasa saja. Bertiga mereka membuat grup detektif yang justru berujung kemalangan. Populer sudah lagi tidak penting. Yang harus dipertanyakan adalah, apakah persahabatan mereka akan tetap bertahan?
Kamu!
2002      781     2     
Romance
Anna jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sony. Tapi perasaan cintanya berubah menjadi benci, karena Sony tak seperti yang ia bayangkan. Sony sering mengganggu dan mengejeknya sampai rasanya ia ingin mencekik Sony sampai kehabisan nafas. Benarkah cintanya menjadi benci? Atau malah menjadikannya benar-benar cinta??
AROMA MERDU KELABU
2083      810     3     
Romance
pendiam dan periang
207      172     0     
Romance
Dimana hari penyendiriku menghilang, saat dia ingin sekali mengajakku menjadi sahabatnya
Rasa yang Membisu?
2050      934     4     
Romance
Menceritakan 4 orang sahabatnya yang memiliki karakter yang beda. Kisah cerita mereka terus terukir di dalam benak mereka walaupun mereka mengalami permasalahan satu sama lain. Terutama kisah cerita dimana salah satu dari mereka memiliki perasaan terhadap temannya yang membuat dirinya menjadi lebih baik dan bangga menjadi dirinya sendiri. Pertemanan menjadikan alasan Ayu untuk ragu apakah pera...
BEST MISTAKE
11449      1954     3     
Romance
Tentang sebuah kisah cinta yang tak luput dari campur tangan Tuhan yang Maha Kuasa. Di mana Takdir sangat berperan besar dalam kisah mereka. "Bisakah kita terus berpura-pura? Setidaknya sampai aku yakin, kalau takdir memang tidak inginkan kita bersama." -K
Distaste
4702      1141     5     
Romance
Menjadi bagian dari BEST di SMA Angkasa nyatanya tak seindah bayangan Stella. Apalagi semenjak hadirnya ketua baru, Ghazi. Cowok yang membuat Stella dikucilkan semua temannya dan selalu serba salah. Cowok humoris yang berubah menjadi badboy hanya kepada Stella. Keduanya menyimpan kebencian masing-masing di hati mereka. Dendam yang diam-diam menjelma menjadi sebuah rasa tatkala ego menutupi ked...
The Reason
9612      1770     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
ONE SIDED LOVE
1396      595     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...