Read More >>"> Innocence (Bagian 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Innocence
MENU
About Us  

Seorang gadis dengan earphone ditelinga, berdiri berdesak-desakan didalam KRL yang membawanya melesat dari Stasiun Jatinegara menuju Stasiun Jakarta Kota. Wajahnya datar, tangannya memegangi tas ransel sambil memainkan tali kecil yang menggantung ditasnya. Nampaknya ia sudah terbiasa dengan hiruk-pikuk dalam KRL itu. Ah ibukota, yang katanya sebagai pusat denyut nadi perputaran uang di negeri ini. Kota yang tak pernah berhenti bernafas. Kota yang seakan tak ada matinya. Pagi, siang, malam sama saja, sesak, ramai berjubal. Menyebabkan ribuan umpatan dari mulut-mulut manusia yang tak punya sabar.

            Setiap kali berhenti di stasiun, penumpang bertambah berjubal. Tampaknya hari kehari jumlah penduduk Jakarta semakin bertambah. Kota ini menjadi semakin sesak saja. Gadis itu hanya tersenyum kecut. Memegang erat ransel tuanya sembari menjaga keseimbangan agar tak terjungkal diantara orang-orang yang berebut masuk kedalam kereta. Membagi konsentrasinya untuk menjaga isi dari tas ransel tuanya. Maklumlah, tangan jahil sering beroperasi di keramaian KRL seperti saat ini.

            Akhirnya tibalah ia di Stasiun Jakarta Kota. Lega. Berhasil keluar dari jubelan ratusan manusia. Jarak kantor dengan Stasiun hanya sekitar 500 meter. Ia biasa berjalan melalui belakang stasiun untuk memotong jalan agar sampai ke kantor lebih cepat. Satu lagi alasannya mengapa memilih jalan kecil yang becek saat musim penghujan itu, dijalan kecil itu ia akan bertemu beberapa teman kecilnya. Tepatnya beberapa anak pemulung yang tinggal di bilik rapuh yang bersandar pada tembok belakang stasiun.

            “Kak Andin, Kak Andin.” Teriak seorang bocah 9 tahun dengan pakaian compang-camping. Terlihat 2 anak kecil lainnya berlarian ke arah gadis yang dipanggil Andin itu.

            “Hai, hai, maaf ya Kak Andin hari ini agak telat. Macet. Harus buru-buru.” Ucapnya sembari mengeluarkan 2 lembar uang 5ribuan dari dompetnya. “Beli sendiri ya jajannya.” Tak lupa mengusap kepala 3 anak kecil itu, lalu Ia melanjutkan perjalannannya. Semestara 3 bocah itu berlarian dengan wajah bahagia. Mengibarkan dua lembar uang lima ribuan, pertanda perut mereka tak harus keroncongan hari itu.

            Media Raya Group sebuah perusahaan media cetak yang cukup terkemuka di ibukota. Selain menerbitkan koran harian, perusahaan ini juga bergerak dalam penerbitan buku dan juga berita online. Kantornya berlantai 3, terlihat terbenam diantara gedung pencakar langit disekitarnya. Meskipun gedungnya tergolong kecil, namun pesona kantor Media Raya Group seakan tak pernah sirna. Entah karena gedung ini merupakan gedung tua peninggalan penjajah, atau karena desain taman diatas gedungnya yang cukup mencolok diantara gedung tinggi disekitarnya. Yang jelas gedung ini seakan bisa menarik mata setiap manusia yang lewat didepannya.

            “Andhin” Suara bariton yang mengagetkan sembari tangan kokoh yang menepuk pundak Andhin dari belakang. Sedangkan gadis yang dipanggil Andhin itu mati-matian menahan kaget.

            “Ih Anto, kaget tahu.” Ucapnya sambil tak lupa memukul bahu teman kuliah yang sudah 2 tahun juga menjadi partner kerjanya. Anto, usianya sebaya dengan Andhin tapi perawakannya lebih mirip dengan mahasiswa baru lulus kemarin.

Ke kantor dengan jelana jeans dipadu kemeja lengan pendek yang memperlihatkan otot-otot tangannya yang tak bisa dibilang kekar. Tak lupa ransel kecil yang setahu Andhin tidak pernah ganti semenjak kuliah semester pertama. Mungkin ransel kesayangan atau memang lelaki ini terlalu kere hanya untuk berganti ransel. Entahlah. Yang sedikit nyleneh, Anto pergi ke kantor membawa gitar. Gitar yang sama tuanya dengan tas ransel dipunggungnya. Dipadu dengan rambut ikal, kulit hitam manis dan kacamata. Sempurna membuat orang mengiranya adalah mahasiswa seni yang nyasar di kantor produksi.

            “Hahahaha… Ayo cepat. Hari ini meeting lo, sengaja mau nelat biar gak berhadapan sama bu Sarah ya?” Cerocos bibir Anto sambil menuding hidung Andhin. Bu Sarah adalah atasan mereka yang terkenal galak.

            “Ihh kata siapa” jawab Andhin sambil menepis tangan Anto, meletakkannya pada bahu kirinya dan bergegas menuju lantai paling atas, ruang kerja mereka. Pemandangan dua anak manusia laki-laki perempuan yang semua orang pasti akan salah paham mengira mereka adalah pasangan sejoli. Seantero kantor paham benar dimana ada Anto disana ada Andhin. Faktanya mereka berdua adalah sahabat karib sejak kuliah.

***

            Jam dinding berdenting 12 kali, pertanda jam istirahat. Waktu yang ditunggu semua karyawan sejak tadi pagi. Namun suasana lain di ruang editor tim kriminal. Lima manusia yang masih tekun menghadap laptop masing-masing, seakan tak mendengar dentingan 12 kali dari jam besar di ruangan tersebut. Wajah tegang dan serius sejak pagi seusai meeting dengan direktur utama Media Raya Group. Meeting kali ini berjalan alot sebab sang direktur banyak mengkritik kinerja tim kriminal seminggu terakir yang dinilai tak sesuai harapan sang direktur.

            Andhin mendongakkan wajahnya. Suntuk. Memandangi empat manusia yang 2 tahun sudah menjadi teman kerjanya. Ilham, laki-laki 3 tahun diatasnya masih dengan wajah serius memandangi layar monitor. Tentulah Ia merasa bertanggungjawab atas omelan besar sang direktur utama sebab ialah karyawan paling senior di tim ini. Wajahnya tetap ganteng meski dalam suasana tegang.Kamila, gadis berkerudung dua tahun lebih tua dari Andhin, tangannya sibuk mencoret kertas catatan. Kasihan dia yang paling disalahkan sang direktur dalam meeting hari ini. Anto, hanya dia satu-satunya manusia yang masih sumringah setelah meeting. Tak ada satupun masalah yang dapat membuat iklim ceria berubah pada manusia ini. Dan terakhir Rahma, anggota paling junior dan mendapat predikat barbie di Tim Kriminal. Rambut lurus sebahu dipadu dengan tubuh seksi dan tinggi semampai. Sayang sekali junior satu ini sering menjilat atasan. Dalam meeting hanya dia yang mendapat pujian dari Sang Direktur.

            “Makan yuk, kalian serius banget sih.” Suara Anto seketika mengagetkan semua anggota Tim kriminal kecuali Andhin. Ia sudah hafal pasti Antolah yang akan memecahkan keheningan.

            “Ada sop buntut enak di belakang kantor, sumpah deh enaaakkk banget.” Tambah Anto sembari mengacungkan dua jempot tanggannya. “Yakin kamu gak pengen Mil?” godanya sambil melirik pada Kamila yang terkenal doyan makan. “Enak banget sumpah, ayuk Rahma juga, makan siang bareng.” Anto tidak menyerah.

            “Oke, ayuk cus.” Kamila berdiri sambil menyambar tas kecil miliknya.

            Sementara Rahma hanya menggangguk manis. Anto, Rahma dan Kamila berjalan meninggalkan ruangan setelah Andhin berjanji akan menyusul mereka. Tinggal Andhin dan Ilham di dalam ruangan itu. Bukannya tak ingin makan siang, Ilham hanya tak tega meninggalkan Andhin sendirian dengan tumpukan naskah berita yang harus ia selesaikan. Entah mengapa sejak pertemuan pertama 2 tahun silam, hati Ilham seperti terperangkap dalam mata sendu perempuan 27 tahun itu. Limpahan perhatian selalu ia curahkan pada perempuan di depannya itu, tanpa berani mengungkapkan perasaannya. Ilham takut perasaannya bertepuk sebelah tangan.

            “Gak makan?” tanya Andhin.

            “Masih kenyang, tadi sarapan banyak dirumah. Kamu gak makan Dhin?”

            “Males, mau ngopi aja. Ikut yuk, aku yang traktir.” Balas Andhin sambil bergegas keluar ruangan menuju coffee shop depan kantor langganannya. Ilham tersenyum lebar. Mengikuti langkah gadis pujaanya itu.

***

            Malam itu hujan deras mengguyur seantero ibukota. Di kamar kontrakannya Andhin masih berkutat dengan lembaran berita kriminal yang harus ia selesaikan malam itu juga. Padahal jam sudah menunjukkan jam 10 malam. Perut juga belum sempat diisi sedari siang kecuali brownies coklat di coffee shop tadi siang. Hujan juga tak ada tanda tanda ingin berhenti. Pesan Gofood juga nihil, tak ada satupun yang menyambar pesanannya. Gila di kantor kerja keras, dirumahpun aku juga harus kerja. Kapan waktuku istirahat coba.

            Bekerja disebuah perusahaan media cetak ternama di ibukota sebenarnya bukan cita-cita Andhin. Selepas lulus dari Universitas negeri di Jogja, ia melamar berbagai beasiswa ke Prancis, negeri impiannya. Namun apa daya takdir Tuhan berkata lain. Tak ada satupun kampus yang menerima lamaran beasiswanya. Jalan takdir membawanya ke Media Raya Group. Andhin mengubur dalam-dalam cita-citanya bersekolah di luar negeri. Sebagai ganti ia mendedikasikan dirinya untuk pekerjaannya saat ini. Lumayan lah, gajinya dapat mencukupi biaya hidupnya di Jakarta sekaligus ibu dan adiknya di Jogja. Ia menjadi tulang punggung keluarga sejak Reinaldi kakaknya menikah setahun yang lalu.

            “krucuk krucuk.” Bunyi khas perut yang kelaparan. Andhin menghempaskan beberapa lembaran berita diatas kasur. Tak tahan lagi, perutnya terasa perih kelaparan. Dikamar ukuran 3x4 meter itupun tak apa satupun sesuatu yang bisa dimakan. Hanya kaleng biskuit pemberian Ilham sebulan yang lalu yang nampak diatas meja, itupun tersisa hanya remahannya saja. Laki-laki itu, diam-diam perhatian. Bukan berarti Andhin tak paham, namun untuk saat ini percintaan tak ada dalam prioritas hidupnya. Ia nyaman hidup sendiri.

            Andhin memutuskan membeli mie ayam di perempatan jalan menuju kosnya. Dengan payung kecil seukuran tubuh saja ia berjalan dibawah derasnya hujan. Melewati jalan yang penuh dengan air got. Tampaknya hujan malam ini cukup deras hingga membuat air got meluap. Risih juga kaki terbenam di dalam air yang dipenuhi sampah. Jalanan ini biasanya rame dimalam hari, berbagai macam pedagang sering mangkal diperempatan jalan ini. Namum malam ini sepi, tak ada satupun pedangang yang mangkal, termasuk pedagang mie ayam tujuan Andhin.

Dengan terpaksa ia harus memutar jalan menuju tukang nasi goreng yang lumayan jauh dari kosnya. Kalau tidak sedang sangat lapar Andhin tentu tak akan mau berjalan dalam hujan sejauh itu. Untunglah nasi goreng masih buka. Dengan sebungkus nasi goreng seharga 15ribu ia kembali menuju kosnya. Sengaja memotong jalan agar jaraknya tak terlampau jauh. Melewati puluhan kamar kontrakan yang berjejer rapi.

“Mama mama mama.” Terdengar suara tangisan anak kecil memanggil mamanya. Tak ayal membuat bulu kuduk Andhin berdiri seketika. Suaranya samar-samar berbaur dengan gemuruh hujan yang semakin deras. Tiba-tiba ia teringat cerita horror yang sering Anto ceritakan di kantor. Tentang tangisan misterius di rumah kosong. Reflek ia membaca alfatihah untuk menenangkan hatinya. Suara tangisan itu menghilang. Ah mungkin hanya perasaanku saja  

“Mama… “Suara tangisan itu kembali terdengar. Kali ini lebih jelas. Andhin memutar tubuhnya, mencari sumber suara. Meski rasa takut menyergapnya namun jiwa jurnalisnya muncul. Matanya tajam menyapu deretan kamar kontrakan yang sebagian lampunya telah padam itu. Matanya tertuju pada satu-satunya kamar yang nampak terang. Ia berjalan mendekati kamar tersebut. Suara tangisan anak kecil makin jelas. Dan tampaknya ada lebih dari satu anak. Ia meletakkan payungnya dan mengintip dibalik kaca. Penglihatannya hanya tampak transparan, sebab ada gorden putih berbunga menutup kaca cendela.

Meski samar-samar, Andhin jelas melihat dua anak kecil sedang menangis di atas kasur. Yang besar mungkin berusian sekitar 6 tahunan dan yang kecil tak terlalu jauh jaraknya, mungkin sekitar seusia anak TK. Tampak kedua anak tersebut memegang botol air mineral kosong. Kenapa anak kecil ini menangis di larut malam seperti ini, kemana kedua orangtuanya. Penglihatannya mencoba menyapu kamar tersebut, nampak berantakan dan benar tak ada seorangpun kecuali dua anak kecil itu.

            “Hai, kenapa menangis? Dimana ayah dan ibumu?” tanya Andhin sambil mengetok cendela kaca. Kedua anak tersebut tak berhenti menangis. Membuat Andhin semakin bingung apa yang harus ia lakukan. Otaknya dipenuhi berbagai perkiraan, jangan-jangan mereka korban kekerasan, atau mungkin kelaparan, atau korban penculikan anak yang sedang viral akhir-akhir ini. Entahlah. Andhin mencoba membuka pintu kamar namun sepertinya dikunci. Berkali-kali digedor pintu kamar tersebut, namun hanya tangisan kedua bocah itu yang ia dengar.

            “Kamu siapa?” suara wanita muda mengagetkan Andhin. Seketika plastik nasi goreng terjatuh dari genggamannya saking kagetnya. Terlihat seorang wanita menggendong bayi, tangan kirinya memegang payung sementara tangan kanannya menjinjing tas cukup besar. Bajunya basah kuyup.

“Apa yang kamu lakukan didepan rumahku?” matanya tajam menatap Andhin.

“Saya mau meno.. ”

“Pergi kamu dari rumahku.” Bentak perempuan itu memotong jawaban Andhin. Menerobos masuk kamar dan membanting pintu kuat-kuat. Andhin terdiam sambil menelan ludah. Mengambil plastik bungkus nasi gorengnya dilantai dan berlalu dengan wajah masih linglung. Ah ngapain sih aku ikut campur masalah orang. Sesalnya pada diri sendiri.

 Ia bergegas kembali ke kamar kosnya. Mengganti baju yang basah kuyup karena air hujan, lalu memanaskan air untuk merebus mie instan. Dengan terpaksa harus mengiklaskan nasi goreng yang ia beli karena sudah tak layak makan. Nasi goreng itu bercampur air hujan, yang kini penampakannya lebih mirip disebut bubur.

***

Mobil Hoda Jazz berjalan merayap ditengah kemacetan Jakarta dijam pulang kerja. Semua seakan berlomba ingin mendahului agar segera tiba di rumah masing-masing. Berkumpul bersama keluarga setelah lelah seharian bekerja. Apa daya jalanan sesak dan mobil hanya bisa bergerak merambat. Yah inilah realita yang harus dijalani masyarakat ibukota. Keja 8 jam sehari dan masih harus bertarung dengan kemacetan di jalan. Tak impas dengan gaji yang didapatkan. Namun bagamana lagi. Kemacetan masih menjadi problem yang harus segera diselesaikan bersama.

Hari ini Ilham, Andhin dan Anto bertugas diluar kantor. Mereka meliput beberapa perusahaan yang terjerat kasus korupsi pembangunan perumahan mewah di ibukota. Sengaja meninggalkan Kamila dan Rahma di kantor. Mereka berdua adalah dua anak manusia yang jarang akur. Keduannya sering sekali perang dingin. Saling menyalahkan satu sama lain.

Andhin duduk di depan menyenderkan kepalanya ke cendela mobil. Kepalanya terasa berat, mungkin air hujan kemarin mengundang virus influinzha mampir ke tubuhnya. Ilham fokus berkonsentrasi nyetir, kemacetan selalu menguji kesabarannya. Sementara Anto duduk di bangku belakang. Tangannya sibuk memetik senar gitar tuanya. Menyanyikan beberapa lagu lama milik The Beatles kesukaannya. Suaranya sumbang memekakkan telinga.

“Bro, aku turun halte busway depan aja deh.”

“Loh, kenapa? Aku anterin sekalian sampek rumah To.” Ilham masih optimis kemacetan segerai terurai.

“Gak papa, aku lanjutin pake busway aja deh. Macet parah didepan. Kemaleman nanti.” Balas Anto sambil menyangklong gitar kesayangannnya. “Anterin Andhin sampek rumah ya bro, anaknya flu berat tuh, semalem maen hujan-hujanan deh kayaknya. Masa kecil kurang bahagia” Tambah Anto sambil menjenggung kepala Andhin, yang membuatnya semakin menempel pada kaca cendela.

Ilham hanya tersenyum menyaksikan kemesraan dua sahabat itu. Ia menepikan mobilnya, menurunkan Anto di halte busway lalu berputar balik menuju arah berlawanan untuk mengantar Andhin. Tak berbeda jauh, jalan arah berlawananpun macet parah. Membuat kepala Andhin semakin berat, tak tahan akhirnya ia terlelap. Membiarkan Ilham menyetir sendiri bak seorang supir yang mengantar majikannya.

“Andhin, bangun. Sudah sampai.” Ilham membangunkan Andhin setelah satu jam berjuang melawan kemacetan. Mobil memasuki halaman sempit depan kamar kontrakan Andini. Sementara yang dibangunkan mulai mengerjabkan mata, mengumpulkan nyawa.

“Wah cepet, sudah sampai.” Jawab Andhin polos.

Cepet gundulmu itu, kamu tertidur pulas membiarkannku nyetir sendiarian tanpa sepatah katapun. Ah, Andhin mana tega aku membangunkanmu saat melihat ribuan lelah menggelayuti wajahmu.

“Iya, jalanan lancar makannya cepet sampai. Masuklah.” Kata Ilham berbohong sambil mengulurkan bungkusan plastik berisi obat flu dan nasi goreng. Sengaja dalam perjalanan ia berhenti di apotek, membeli obat flu dan tak lupa mampir ke tukang nasi goreng.

“ah Ilham, makasih ya.” Andhin menerima bungkusan itu sambil turun dari mobil.

“Minumlah, dan jangan hujan-hujan lagi. Aku pulang.”  

Mobil Ilham perlahan bergerak menjauhi kontrakan Andini. Andhin masih terpaku sampai mobil itu tak lagi dalam pandangannya. Sejenak ia melihat kedalam bungkusan plastik ditanggannya. Obat flu, beberapa butir vitamin dan nasi goreng. Ah laki-laki ini begitu mengerti keadaannya. Andhin jadi merasa bersalah sudah tertidur di mobil dan membiarkan Ilham menyetir sendiri.

Malam semakin larut. Setelah menikmati nasi goreng pemberian Ilham Andhin memilih tiduran di kasur usang miliknya. Malam ini ia tak ingin nglembur dengan tugas laporan liputan seperti malam-malam sebelumnya. Meluruskan punggung dikasur, telentang sambil menikmati indahnya langit malam melalui cendela kaca kamarnya. Malam ini begitu cerah, langit berkilauan cahaya kerlip ribuan bintang. Indah sekali. Pikirannya menerwang jauh. Suatu hari bisakah aku nikmati indah malam seperti ini dari Prancis kota impian.

“Dretttt..drettt” suara getar Hp membuyarkan lamunannya.

Dhin, aku lupa minta tambah cabai ke tukang nasi gorengnya. Sorry.

Pesan singkat dari Ilham. Andhin tersenyum membacanya. Laki-laki itu tahu persis bahwa Ia penggemar masakan pedas. Andini hanya membalas dengan emoticon senyum. Ilham, Andhin sadar benar laki-laki rekan kerjanya itu mempunyai perasaan terhadapnya. Ia mengenal Ilham sejak 2 tahun lalu, ketika pertama kali memasuki dunia kerja di Media Raya Group. Seniornya itu terkenal tampan, sering sekali Andhin mendengar desas-desus para karyawan wanita membicarakan ketampanan Ilham. Kabar burung mengatakan Ilham adalah anak bungsu pemilik saham terbesar di Media Raya Group. Tak heran kalau kemudian Ilham menjadi idola seantero kantor.

Entah sudah berapa ratus kali Ilham membantunya. Mulai dari urusan kantor sampai mengantarnya pulang saat tak ada kendaraan umum. Orangnya sopan, tak pernah sekalipun berkata kasar atau tak pantas kepada Andhin. Namun anehnya sampai 2 tahun perkenalan mereka, tak pernah sepatah kata pengakuan perasaan yang Ilham ucapkan kepada Andhin. Andhin juga tak ingin terlalu percaya diri. Toh sekarang hatinya tak lagi tertarik dengan percintaan. Prioritas utamanya adalah ibu dan adiknya di kampung halaman. Dan tak lupa menyisihkan sedikit untuk tabungan, siapa tahu suatu saat ia bisa ke Prancis seperti mimpinya.

***

Mobil Ilham terus melaju. Jalanan mulai sepi, mobilnya bisa melaju pesat, kali ini tak menuju kawasan perumahan elit tempat tinggalnya. Suara hati membawanya menuju Jakarta Selatan, Simpang Fatmawati tepatnya depan Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati. Disepanjang perjalanan tampak puluhan wanita berjejer dengan pakaian minim. Mengehentikan mobil yang lewat sambil bergelayut manja pada cendela mobil para lelaki pencari “jajan”. Entah transaksi macam apa yang mereka lakukan, yang jelas sang wanita akan masuk mobil apabila harga tersepakati.

Kawasan ini memang terkenal tempat mangkal para wanita tunasusila di ibukota. Sudah menjadi rahasia umum bahwa laki-laki hidung belang sering singgah ke kawasan ini. Parahnya banyak sekali perempuan dibawah umur yang terlihat mondar-mandir menghampiri setiap mobil yang lewat. Mungkin masih usia anak SMA. Pemandangan yang miris sekali.

 Ilham terus berkonsentrasi mengemudikan mobilnya. Tak ia hiraukan beberapa wanita yang mencoba menghentikan mobilnya. Bukan mereka tujuan Ilham malam ini. Honda Jazz warna hitam itu terus melaju menuju sebuah gang kecil menjahui keramaian jalan raya. Jalan menuju gang tersebut tampak sepi, hanya ada beberapa toko kelontong yang masih buka. Sebelah kiri jalan penuh dengan rumah yang berjejer rapi, sedangkan kanan jalan masih berupa tanah kosong. Tanah yang tentu menjadi incaran para investor.

Ilham menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Tepat disebuah rumah kecil agak terpencil dari rumah disekitarnya. Didepan rumah itu terdapat sebuah pohon jambu air yang nampak rindang. Beberapa pot bunga mawar putih juga berderet rapi di samping rumah. Tanah sempit dekat pinggir rumah juga penuh dengan tananman. Mungkin sang pemilik rumah hobi berkebun. Rumah yang nampak asri.

Seksama Ilham memperhatikan rumah itu dari dalam mobil. Jauh didalah hati ingin sekali kakinya melangkah keluar menuju rumah asri tersebut. Sayang sekali egonya tak mengijinkan. Ia tetap duduk terpaku didalam mobil. Rumah ini tidak berubah sama sekali. Lampu didalam rumah masih menyala terang, bukti bahwa penghuninya belum tidur. Sesekali Ilham mendengar tawa renyah dari dalamnya.

Tak terasa satu jam lebih Ilham menatap nanar rumah kecil itu. Ada perasaan rindu membuncah dihatinya. Tiba-tiba pintu rumah terbuka. Seorang perempuan paruh baya keluar rumah. Ilham kaget bukan kepalang. Segera ia memacu mobilnya kencang. Melaju meninggalkan rumah kecil itu sebelum sang perempuan sadar keberadaannya.

***

Minggu pagi yang cerah. Andhin berniat bangun pagi tapi apa daya matanya masih saja terpejam sampai jam 9 pagi. Minggu adalah hari istimewa. Hari dimana ia akan benar-benar menjauh dari rutinitasnya selama seminggu. Setelah berbenah diri, ia memutuskan untuk keluar rumah. Rambut ikalnya ia birkan bebas tergerai, beterbangan dihamburkan angin. Seperti biasa ia akan pergi tanpa tujuan. Menemukan hal-hal baru yang menarik atau sekedar berjalan menyusuri rel kereta sambil menikmati mentari pagi.

            Pernah disuatu pagi ia memilih pergi ke pusat kawasan kumuh di Sentiong Jakarta Pusat. Disana ia menyusuri jalanan setapak dipinggiran rel kereta api. Berjumpa dengan anak-anak para pemulung yang tak bersekolah. Menemukan pasar sayur yang menggelar dagangannya persis di atas rel kereta api. Pemandangan yang membuat Andhin merasa sangat beruntung. Karena meskipun tidak berasal dari kelurga kaya raya, ia masih mendapat kehidupan yang layak. Di pasar Sentiong itu jugalah Andhin pernah kehilangan dompet. Uang dan kartu tanda pengenalnya lenyap. Beruntung HPnya masih tersisa. Ia pulang dijemput Anto saat itu karena tak sepeserpun uang tersisa.

            Kehilangan dompet tak menjadikan Andhin kapok. Berkali-kali Anto menasehatinya agar jangan berkeliaran sendirian. “Gak usahlah maen blusukan, kaya presiden aja kamu itu Dhin.” Nasehat Anto yang selalu tak ia hiraukan. Minggu kali ini Andini memilih naik KRL menuju Stasiun Jakarta Tua. Stasiun yang selalu menjadi tujuannya setiap pagi. Kali ini Andhin ingin mencari Adi dan adik adiknya. Anak pemulung yang setiap pagi ia temui saat perjalanan menuju kantor. Tapi entah sudah lebih dari seminngu ini ia tak menemukan Adi di perjalanan menuju kantor. Tak ayal membuatnya kawatir juga. Rumah mereka yang menempel pada tembok belakang stasiun juga tak nampak lagi. Mungkin ada penertiban satpol PP.

            Dengan tas ransel kesayangannya Andhin bergegas keluar rumah. Kaos hitam berlengan pendek, celana hitam panjang dipadu jaket jeans tak lupa kaca mata Kw murahan yang ia beli di mol kapan hari dengan Kamila. Sungguh penampilannya sangat sederhana. Sandal gunung hitam dikakinya semakin membuatnya tampak sederhana. Tak ada satupun yang istimewa dari penampilan Andhin. Hanya mata sendu dengan bulu mata lentik alami yang membuat siapa saja yang menatapnya pasti akan jatuh hati.

            Rasa keingintahuannya membuatnya memilih jalan memutar. Melewati jalan sempit belakang rumah kontrakannya menuju jalan dimana ia menemukan dua anak menangis di malam beberapa minggu sebelumnya. Deretan rumah kontrakan itu tampak sepi. Kebanyakan penyewanya adalah pendatang yang bekerja di siang hari. Andhin mencoba mengingat-ngingat rumah dua bocah itu. Matanya tertuju pada rumah paling pojok. Rumah satu kamar tanpa teras. Halamannya tampak tak terurus, rumput panjang hampir selutut menghiasi pinggiran tembok rumah.

            Jangan-jangan rumah kosong. Lalu yang kusaksikan malam itu… hantu. Andhin bergegas menuju rumah itu meskipun sekujur tubuhnya merinding, rasa penasarannya dapat melawan rasa takut. Melupakan niat awalnya mencari Adi si anak pemulung di Stasiun Jakarta Kota. Terdengar lirih rintihan perempuan beriring tangis suara bayi mungil. Bulu kuduk Andhin seketika berdiri. Andhin mengintip pelan pada cendela kaca yang sama seperti malam hujan kala itu. Sebuah pemandangan yang membuat nya terperancat.

Perempuan muda terbaring tak berdaya di pinggiran kasur sambil menggendong bayi munggil yang tak mau berhenti menangis. Sementara dua bocah laki-laki kecil tergeletak di kasur sambil memegang botol air mineral kosong. Jangan-jangan mereka korban kekerasan Ayahnya, atau keracunan, atau keluarga yang bunuh diri bersamaan. Pikirannya dipenuhi ribuan dugaan yang sama seperti judul berita yang harus ia kerjakan minggu itu.

Andhin beranikan diri membuka pintu kontrakan tua itu, yang ternyata pintunya tidak terkunci.

“Ada yang bisa kubantu.” Tanya Andhin tergagap. Ia sendiri bingung apa yang sedang ia lakukan sekarang. Masuk rumah kontrakan orang yang tak dikenal tanpa izin.

Perempuan muda itu tampak masih saja menangis pelan.

Andhin semakin bingung. Apa yang harus ia lakukan. Ia memeriksa dua bocah laki-laki yang masih terbaring di atas kasur. Badannya lemas. Matanya sayu. Anak ini pingsan. Materi pertolongan pertama yang diajarkan di extra Palang Merah Remaja saat SMA, tak satupun nyantol dikepalanya. Bahkan ia hanya ingat wajah ketua PMR yang menjadi satu-satunya alasannya ikut bergabung extra PMR saat SMA. Andhin memapah tubuh lemah perempuan muda itu, mendudukkan disebuah kursi kecil. Sementara sang bayi dalam gendongan terus saja menangis. Otak Andhin benar-benar kosong. Satu-satunya ide yang muncul dikepalanya adalah menelpon Ilham.

            Tuuuttttt..tutttt..tuttttt

            “Iya Dhin, ada apa?” Suara bariton diseberang menjawab.

            “Ham, Ilham. Tolong aku.”

            “Ada apa Dhin?”

            “Ilham cepat kesini, aku….”

            “Oke..oke. Kamu tenang dulu. Kamu dimana sekarang?”

            “Rumah, jalan belakang rumah kontrakanku Ham.”

            “Oke tenang. Aku kesana sekarang.”

            Tiga puluh menit kemudian Ilham sudah bersama Andini. Andhin menjelaskan apa yang terjadi. Dengan cekatan Ilham memeriksa keadaan dua bocah yang terbaring tak berdaya diatas kasur. Dipegangnya satu persatu pergelangan tangan kedua bocah itu. Denyut nadinya lemah. Dehidrasi. Ia segera membopong kedua bocah malang itu menuju mobilnya.

            “Dhin, aku bawa mereka ke rumah sakit terdekat. Kamu tunggu disini.” Kata Ilham sembari melirik perempuan muda disamping Andini. Memberi isyarat ke Andhin supaya menenangkan perempuan tersebut. Andhin mengangguk pelan.

            “Sudah mbak, tenang. Teman saya akan bawa anak mbak ke rumah sakit.” Andini mencoba menenangkan sambil mengelus pundak perempuan tersebut. “Mbak, ada yang bisa saya bantu? Mau saya telponkan suaminya mbak? Atau saya hubungi saudarnya?

            “Suami saya sudah meninggal, saya…saya tidak punya sanak saudara.”

            Andhin menatap perempuan disampingnya haru. Usinya masih sangat muda mungkin 30an tahun. Badannya sangat kurus untuk ukuran ibu menyusuhi. Rambutnya terlihat lama tak disisir. Sementara bayi dalam dekapannya tampak cantik. Mulai tertidur lelap dalam dekapan ibunya.

Keadaan dalam rumah kontrakan itu juga mengiris hati. Beberapa botol air mineral kosong memenuhi lantai. Berserakan bersama sampah bungkus snack jajanan anak-anak. Di meja dekat kasur tampak beberapa botol bayi yang belum dicuci. Kursi kecil didekat kasur dipenuhi tumpukan baju kotor. Pemandangan yang persis seperti seri drama di TV, tapi kini menjelma nyata didepannya. Andhin hanya bisa menatap nanar.

***

            Hari sudah petang ketika mobil Ilham memasuki halaman kontrakan tua itu. Seketika pintu mobil terbuka, Andhin segera bergegas menghampiri Ilham. Wajah cemas menambah sendu kedua bola matanya yang memang sudah sendu dari lahir. Turun dari mobil dua bocah malang tadi langsung berhamburan menuju ibunya. Memeluk ibunya erat-erat.

            “Mama.” Sambil menggendong si bayi kecil sang Mama menyambut pelukan anak-anaknya dengan mata berurai.

            “Sudah tak papa, mereka hanya dehidrasi kok.” Ilham menepuk bahu Andhin. Seakan tahu pertanyaan di benak Andhin. Ia membuka pintu belakang mobil, mengeluarkan galon air mineral dan bungkusan besar. Andhin segera bergerak membantu. Membawakan bungkusan plastic besar berisi berbagai macam roti dan snack anak-anak. Andhin tersenyum. Apa yang tidak kamu tahu sih Ham, sampai sedetail inipun kamu tahu apa yang harus dilakukan. Mereka berdua berpamitan setelah sebelumnya memastikan keluarga kecil tersebut aman.

***

            Jam makan siang. Lima anggota tim krimiminal berkumpul di meja yang sama disebuah warung sop buntut belakang kantor. Rahma yang biasanya memilih makan siang terpisah kali ini ikut berbaur dengan senior-senornya. Kamila mencibirkan bibirnya karena tumben sekali si barbie hidup ini mau bergabung bersama mereka. Sedang Anto, Andhin dan Ilham hanya tersenyum. Hafal benar kelakuan rekan kerjanya itu.

            Warung sop buntut yang selalu penuh sesak saat jam makan siang tiba. Terkadang pembeli harus berjejer antre untuk bisa menikmati sop buntut disini. Aneh memang karena warung ini buka belum ada sebulan. Mungkin karena rasa masakannya memang enak, tapi rumor yang beredar warung ini menggunakan perdukunan. Itulah mengapa pembeli seakan tak pernah sepi datang dan pergi. Entahlah. Benar atau tidak yang jelas keberadaan warung ini sangat membantu karyawan yang kelaparan di jam makan siang.

            “Gila gak sih, berita korupsi kemarin sempet bikin geger kantor. Masa iya kita jurnalis dilarang memberitakan kebenaran kepada masyarakat.” Kamila menghela napas panjang. “Yang bener saja, kadang gua pusing sama pemikiran bos kalian itu.” Bibirnya terus saja nerocos sambil sesekali menyiduk sop yang tinggal kuahnya saja.

            Andhin hanya menanggapai dengan anggukan pelan.

            “Yah, aku sih manut atasan saja. Toh mereka yang punya hak nerbitin berita yang kita tulis kan?” kali ini Rahma ikut memberikan suaranya.

            “Gak fair memang. Kita mati-matian nyari kebenaran berita biar masyarakat gak dibodohi berita murahan, eh mereka seenaknya saja ambil keputusan.” Kamila semakin bersemangat.

            Obrolan mereka berakhir saat jam makan istirahat selesai. Ironis memang, saat para pencari berita ini tak bisa menyebarkan kebenaran pada masyarakat. Para penguasa negeri ini bisa membayar media untuk reques berita sesuai kepentingannya. Entah itu benar atau berkebalikan dengan fakta. Yang jelas sebagian besar berita yang sampai di masyarakat adalah kepalsuan. Nasib jurnalis yang punya idealisasi seperti Kamila pun tak jelas. Berbeda dengan mereka yang mau dibayar untuk sebuah berita tentu karirnya melaju pesat.

***

Tok...tokk….tok.”

Pintu terbuka, seorang wanita dengan wajah sumringah menyambut Andhin.

“Mbak Andin, masuk mbak. Anak-anak sedang tidur siang.”

Ini adalah kunjungan Andhin ke 3 kalinya sejak peristiwa tangisan di malam hujan beberapa minggu yang lalu. Perempuan muda itu sudah tampak segar daripada sebelumnya. Namanya Risma, umurnya 32 tahun. Janda yang baru ditinggal mati suaminya 5 bulan yang lalu. Ia sudah mulai akrab dengan Andini. Begitu pula dua anak lelakinya, Bima dan Lazwar. Mungkin karena Andhin sering datang membawakan jajanan untuk mereka.

Kali ini Andhin datang karena Risma bersedia menceritakan masalah hidupnya. Iba juga melihat seorang ibu muda harus berjuang sendiri menghidupi ke tiga anaknya. Andhin tahu benar bagaimana susahnya menghidupi 3 anak seorang diri. Ia jadi teringat cerita hidupnya dimasa silam.

Andhin tumbuh menjadi gadis periang dan ceria. Kakak laki-lakinya, Aldhi selisih 4 tahun darinya sedangkan si bungsu Jasmin selisih 10 tahun. Mereka tumbuh bahagia dan mendapat kasih sayang berlimpah dari kedua orangtuanya. Layaknya sebuah keluarga pada umumnya ia hidup bagagia berkecukupan bersama keluarganya. Sang ayah bekerja sebagai arsitek senior di sebuah biro arsitek terkenal di Surabaya, yang pulang ke Jogja seminggu sekali di hari Jumat. Sang ibu bekerja menjaga toko pusat oleh-oleh di jalan Marioboro warisan sang kakek.

Suatu hari pada Jumat malam sepulangnya dari acara perkemahan di sekolah Andhin mendapati pintu rumah terbuka lebar. Ia mendapati pemandangan yang tak biasa di rumahnya. Adik perempuannya yang baru masuk TK menangis di pinggiran sofa ruang tamu. Kamar kakak laki-lakinya tertutup rapat. Sementara dari kamar belakang terdengar gaduh suara pertikaian ayah dan ibunya. Caci-maki suara ayahnya beradu keras dengan tangisan sang ibu dan gemuruh suara hujan.

Malam itu hujan sangat deras. Andhin tak menghiraukan badannya yang basah kuyup karena air hujan. Air Mengalir deras dari sela-sela baju pramukannya dan membasahi lantai di depan pintu. Ia hanya bisa terdiam mematung didepan pintu. Kedua orangtuanya masih asik bertengkar tanpa menyadari kedatanggannya. Sang ibu tampak menggandoli tangan ayahnya yang menyeret koper besar. Berkali-kali tangan laki-laki paruh baya itu menghempaskan tangan istrinya. Andhin seperti sedang menonton adegan sinetron di TV namun kali ini dalam versi nyata.

Ibunya terhembas di pojok lantai ruang tamu, tangisannnya makin keras. Sang ayah keluar rumah melewati Andhin dengan tatapan dingin. “Ayah pergi” itulah kalimat terakir yang Andini dengar dari sosok ayah kebanggaannya. Sejak saat itu ayahnya tak pernah kembali. Ia juga tak pernah menanyakan perihal masalah itu kepada sang ibu. Peritiwa malam itu benar-benar merubah Andhin yang ceria dan penuh tawa menjadi sosok gadis pendian dan dingin. Didalam hatinya figure seorang ayah benar-benar telah tiada. Ia tak lagi peduli dengan kabar laki-laki paruh baya itu. Bahkan saat para tetangga ramai dengan berita tentang ayahnya yang menikah lagi ia hanya tersenyum dingin.

Sejak kepergian Ayahnya, otomatis peran tulang punggung keluarga berpindah pada ibunya. Mereka berempat menggantungkan hidup dari penghasilan toko pusat oleh-oleh yang dikelola sang Ibu. Sepeserpun ayahnya tidak pernah lagi menafkahi mereka. Tepat dua bulan setelah wisuda si anak sulung Aldhi, toko milik ibunya bangkrut. Untungnya Aldhi segera mendapatkan pekerjaan. Sejak saat itu ibunya sering sakit-sakitan. Aldhi mengambil alih sebagai tulang punggung keluarga.

Berkat Aldhi, Andhin bisa melanjutkan kuliah di perguruan negeri di Jogja. Setelah lulus ia langsung bekerja di Media Raya Group sebagai jurnalis junior. Karirnya berjalan mulus sampai sekarang ia memduduki anggota tim berita Kriminal di kantornya. Sang kakak menikah dan berdomisili di Semarang. Andhin merasa tongkat estafet tulang punggung berada di tanggannya sekarang. Kini ia bertanggung jawab atas kehidupan ibu dan adiknya yang menginjak bangku SMA.

 

 Dalam hati Andhin berjanji akan membantu Risma. Setelah berbasa-basi dan menidurkan si bayi mungil di kasur, Risma memulai ceritanya.

“Mbak Andhin jangan jijik mendengar cerita hidup saya ya mbak.” Risma memulai dengan mata yang mulai berair. Andhin menggangguk kalem mengiyakan.

“Saya ini sedang sakit mbak. Sakit HIV.”

Seakan ada sebuah hantaman keras pada kepala Andhin. Ia kaget bukan kepalang dengan pengakuan Risma. Namun sebisa mungkin ia tetap mengontrol ekspresinya. Jangan-jangan Risma perempuan gak bener. Berbagai spekulasi mulai berkecamuk dikepalanya. Andhin tak punya pengetahuan apa-apa tentang HIV. Kabanya penyakit ini belum ditemukan obatnya sampai sekarang.

“Akupun tak tahu darimana aku mendapat penyakit terlaknat ini mbak. Sampai 4 bulan yang lalu dokter yang menangani almarhum suamiku menceritakan kalau suamiku mengidap HIV. Ia menyarankanku untuk segera tes, dan hasilnya aku positif HIV mbak.” Risma sesenggukan. Seakan tahu jutaan pertanyaan di kepala Andhin. “Akupun bingung dari mana almarhum suamiku mendapatkan penyakit setan ini. Beliau suami yang baik, tidak pernah macam-macam.”

“Keluarga mbak Risma tahu tentang ini?”

“Keluarga suami juga sangat terkejut saat aku ceritakan tentang mas Gani. Mereka tidak percaya mbak. Mereka malah menyalahkan aku. Akulah yang dituduh menyebarkan penyakit setan ini.” Risma setengah mati menahan agar tangisnya tak meledak. Ia tak ingin anak-anaknya terbangun dari lelap tidur mereka. “Bayangkan mbak Andhin, aku hanya ibu rumah tangga biasa. Mengurus anak dari pagi sampai malam, tak pernah sekalipun aku berkeliaran apalagi sampai tidur dengan laki-laki kecuali suamiku. Mas Gani, almarhum suamiku seorang pelaut. Ia hanya pulang kadang sebulan sekali kadang 3 bulan sekali. Mungkin Mas Gani mendapat penyakit ini saat bekerja. Saya sempat mendengar mas Gani terlibat asmara dengan teman kerjanya di Singapura mbak. Entahlah.” Risma menarik nafas panjang.

“Saya diusir keluar dari rumah keluarga besar almarhum suami di Palembang mbak. Lalu ngontrak disini. Mereka takut aku menularkan penyakit ini.”

“Keluarga mbak Risma?”

“Saya yatim piatu mbak. Saya besar di panti asuhan di Pelembang sampai akhirnya keluarga mas Gani mengadopsiku.”

“Kebutuhan sehari-hari mbk Risma dari mana?”

“Mas Gani mempunyai usaha peternakan kecil-kecilan di Palembang mbak. Sebelum meninggal beliau memasrahkan semua usaha itu ke saya. Alhamdulilah dengan peternakan tersebut kami tak bergantung lagi dengan keluarga besar Mas Gani.”

Andhin menatap pilu perempuan tangguh didepannya. Ia tak bisa membayangkan jika ia berada di posisi Risma saat ini. Perempuan semuda itu harus bertahan menghidupi ketiga anaknya yang masih balita, ditambah harus mengidap HIV yang ia sendiri tak tahu dari mana asalnya. Yatim piatu tak punya sanak saudara, masih harus diusir dari keluarga suaminya. Mungkin Ia akan memilih bunuh diri jika menjadi Risma.

“Merekalah satu-satunya kekuatan saya Mbak Andhin.” Tambah Risma sembari berjalan menghampiri ketiga buah hatinya. Tangannya bergerak mengelus rambut si bungsu. “Kasian putri kecil kami harus ikut merasakan penyakit terlaknat ini mbak.” Risma tak bisa membendung air matanya.

Andhin menghela nafas panjang. Ironis sekali, ibu rumah tangga biasa tertular HIV dari suaminya yang kemungkinan mendapat virus terlaknat itu saat mereka tinggal terpisah. Sang suami meninggal dunia, mewarinya penyakit yang sampai kini belum ada obatnya. Keluarga sang suami mengusirnya dari rumah. Malangnya si bayi cantik juga tertular. Ah dunia ini kadang memang terlalu kejam.

“Mbak Risma menjalani pengobatan?”

“Dokter yang menangani almarhum Mas Gani banyak menolong saya mbak Andhin, saya mengkonsumsi obat-obat yang tak terhitung jumlahnya walaupun saya tahu saya tak pernah bisa sembuh. Kematian rasanya semakin dekat.” Suara Risma semakin memelan, tatapan matanya kosong memandang keluar candela yang sebagian tertutup rimbunnya rumput liar.

Andhin tertegun. Ia sendiri bingung reaksi seperti apa yang harus ia tunjukkan mendengar semua cerita Risma. Ia hanya bisa memeluk perempuan malang di depannya. Membagi sedikit energi positif, berharap perempuan muda itu bisa kuat. Meskipun ia sendiri tak yakin bisa kuat jika berada diposisi Risma.

***

“Andhin, tugas meliput ke Jogja dua hari lagi, elo yang berangkat ya? Sekalian elo bisa pulang kampung.” Suara Kamila cetar mengagetkan semua anggota Tim Kriminal yang sedang asik dengan pekerjaan masing-masing.

            “Sendirian? Berapa hari?”

            “Butuh dua orang sih, kamis sama jumat. Sekalian sabtu sama minggunya kamu bisa pulang kampung Ndin.”

            “Sama aku aja.” Anto menawarkan diri, sambil tersenyum cengengesan.

            “Jangan!” Kamila melotot kearah Anto. “Kamu sama si barbie masih ada tanggungan kasus korupsi kemarin. Biar andin sama Ilham aja yang pergi, Gimana Ham, mau kan?”  Ilham hanya mengannguk pelan.

            Andhin tahu itu hanya akal-akalan yang dibuat Kamila untuk mendekatkannya dengan Ilham. Memang sejak dulu Kamilalah yang ngeyel menjodohkan Andhin dengan Ilham. Andini menyetujui. Ia juga ingin pulang kampung, hampir tiga bulan lebih ia tak sekalipun menengok ibu dan adiknya. Dua bulan terakir ia sibuk membantu Risma. Mengenalkan perempuan malang itu pada Lembaga Kesejahteraan Sosial ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Ikut wira-wiri mencari ARV (Antiretroviral) di beberapa rumah sakit di Jakarta. Obat yang tidak menyembuhkan HIV, tapi setidaknya bisa menekan virus HIV.

Dari Risma, Andini mendapatkan banyak ilmu baru tentang HIV. Miris sekali rasanya, karena Jakarta adalah kota dengan ODHA terbanyak kedua di Indonesia. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang HIV/AIDS adalah penyebab utamanya. Bahkan hasil survei sebuah Lembaga kesejahteraan social di Jakarta, hanya tiga dari tiga pelajar yang mengetahui persis cara pencegahan penyakit ini.

Tak hanya itu, banyak sekali penderita HIV/AIDS yang nasibnya mirip dengan Risma. Stigma sebagian besar masyarakat Indonesia bahw HIV/AIDS hanya menjangkit pada “orang yang tidak baik” semakin membuat orang-orang seperti Risma tersisihkan dari masyarakat. Mereka diolak anggota keluarga bahkan ada yang sampai diusir dari kampung halamannya. Mereka disingkirkan paksa, dijauhi dan beberapa rumah sakit pun menolak pengobatan. Stigma seperti inilah yang menjadikan penderita HIV/AIDS banyak yang meregang nyawa tanpa pertolongan.

***

            Honda Jazz hitam bergerak merayap. Membelah kemacetan jalanan Malioboro yang tak pernah sepi pengunjung. Sepeda motor, mobil dan delman seakan berebut tempat, sama-sama ingin melaju didepan. Ditambah ramenya pengunjung di hari weekend yang meluber hingga ke badan jalan. Jogja memang menawarkan keindahan yang tak pernah padam. Budaya adat yang masih kental berpadu dengan modernisasi jaman, membuat pesona Jogja tak pernah hilang. Layaknya candu, sekali mengunjungi Jogja pasti akan ketagihan.

            Andhin yang biasanya langsung badmood saat macet kali ini tersenyum riang. Jalanan Marioboro ini adalah tempat masa kecilnya. Ia masih ingat sepulang sekolah ia akan langsung menuju toko pusat oleh-oleh milik sang kakek. Ikut membantu menata pernak-pernik khas Jogja sambil menyapa pengunjung agar mampir ke tokonya. Tak lupa membeli sate laler mbah Tarjem yang mangkal di depan toko kakeknya. Masa kecil yang menyenangkan. Kini bangunan bekas toko kakeknya itu berubah menjadi sebuah rumah makan yang besar, dan tentu saja bukan lagi milik keluarganya.

            Ilham ikut tersenyum melihat wajah sumringah wanita disampingnya. Lelah sebenarnya, acara meliput kasus pidana anggota DPRD Jogja yang mereka berdua lakukan sejak hari kamis tidak berjalan mulus. Keluarga terdakwa enggan memberi informasi. Akibatnya ia dan Andhin harus extra sabar mencari kebenaran fakta dari sumber yang lain. Seperti itulah tabiat umum para anggota DPRD yang menjadi terdakwa. Dulu saat kampanye saja mereka antri minta diliput media, kini giliran tersandung masalah tak satupun mau membuka mulut.

            Ilham tak ingin langsung pulang ke Jakarta, ia berencana menginap di hotel dekat Marioboro, memulihkan tenaga sebelum kembali ke Jakarta. Menyetir hampir 10 jam lebih ditambah ruwetnya tugas meliput menguras habis tenaganya. Sebelum itu ia akan mengantar Andhin ke rumahnya. Jarak rumah gadis pujannnya itu sangat dekat dengan Kawasan Marioboro.

            “Dulu rumah makan itu adalah toko oleh-oleh milik kakekku.” Kata Andhin sambil menunjuk sebuah rumah makan yang tampak penuh sesak dengan pembeli.

            “Oh ya.” Jawab Ilham yang masih berkonsentrasi menyetir.

            “Iya, tapi dulu. Sebelum bangkrut saat aku mau masuk kuliah.”

            Ilham menangkap perubahan wajah gadis disampingnya. Wajah yang sumringah tiba-tiba menjadi mendung. “Rumahmu lewat mana Ndin?” ia mencoba mengalihkan pembicaraan.

            “Itu perempatan lurus terus, lalu masuk ke jalan kecil sebelah kiri.”

            Mobil terus melaju melewati keramaian Malioboro. Masuk ke sebuah perumahan yang cukup asri. Ilham menghentikan mobilnya tepat di halaman sebuah rumah. Rumah dengan style jawa kuno, mirip joglo tapi dimodifikasi. Halaman depan rumah cukup luas, bisa menampung lebih dari 5 mobil. Atap rumah menjulang tinggi dengan tiang penyangga kayu jati asli. Pintu depan tegak menjulang berhiaskan ukiran burung merak dan berhias bingkai berbunga. Ukuran rumah cukup besar dibandingkan dengan rumah disekitarnya.

            Sesaat setelah pintu mobil terbuka, seorang perempuan tua datang menghampiri dengan senyuman lebar sambil memeluk Andhin. Sementara gadis cantik dengan rambut keriting terurai mengikuti dibelakangnya.

            “Ya Allah nduk, kok suwe ora mulih ki piye? Ibuk wes kangen.” Perempuan tua itu tak kuasa menahan air matanya. Memeluk erat putri keduanya yang sudah 3 buluan lebih tak pulang kampung.

            “Mbk Andin ini kok pulang gak kabar-kabar.” Sang adik ikut memeluk Andhin.

            Ilham tersenyum menyaksikan kehangatan keluarga Andhin. Sesuatu yang tak pernah ia rasakan.

            “Iya buk, lagi banyak urusan di Jakarta. Oh ya, ini teman kerja Andin, Namanya Ilham.” Andini mengenalkan Ilham. Yang dikenalkan segera menyalami Ibu Andhin.           

            “Saya Ilham tante, teman sekantornya Andhin.”

            “Tamu jauh dari Jakarta, ayo masuk dulu nak.”

            “Pacarnya mbak Andini ya mas?” Si cantik Jasmin dengan polosnya bertanya sambil melirik ke arah kakaknya. Ilham hanya menyengir. Masih calon dek, semoga kakakku mau denganku. Amin.

            “Hush… Temen kantornya mbak. Ada liputan di Jogja makannya sekalian mampir ke rumah.” Andhin menjelaskan sambil menjitak rambut adiknya.

            Mereka berempat berjalan memasuki rumah. Ilham sudah pamit ingin undur diri mencari penginapan namun Ibu Andhin melarangnya. Ibu Andhin memaksa Ilham untuk singgah ke rumah sebentar. Adat jawa, dimana sang tuan rumah tak akan mengizinkan tamunya pergi sebelum setidaknya tamu harus mencicipi kopi. Meski agak sungkan Ilham akhirnya mengiyakan. Lumayan kenalan sama calon mertua.

            “Nginep saja disini nak, itu ada kamar masnya Andin yang kosong, yang punya sudah menikah dan tinggal di Semarang. Lagipula kalau nginep di hotel mahal musim liburan begini.” Kata ibu Andhin memaksa Ilham menginap saat Ilham pamit ingin mencari hotel. Ilham tidak bisa menolak karena perempuan yang rambutnya mulai memutih itu bersikeras memaksanya menginap.

            “Mumpung libur nak, nginep saja dirumah kami.” Ibu Andini teru memohon.

            Ilham mengangguk sungkan.

“Jasmin, ayo siapkan handuk buat nak Ilham, sekalian kamu belanja di warung Bu Tinah. Ibu mau masak besar malam ini.”

 Sementara Andhin tersenyum kecut. Ibu ini repotnya sudah kaya menyambut anak mantu aja, lagian kok nyuruh Ilham nginap tanpa meminta persetujuanku sih. Kan aku pengen menikmati dua hari libur bareng ibu dan Jasmine.

***

Wangi masakan sang ibu membangunkan Andhin pagi itu. Wangi yang tak pernah berubah setiap kali Andhin pulang kampung. Sang ibu selalu memasak masakan kesukaannya. Oseng kangkung dan sambel tomat trasi extra pedas. Wanginya trasi yang menyengat memaksa Andhin untuk membuka mata. Matahari sudah tinggi rupanya. Ruang makan yang gandeng tembok dengan kamarnya juga sudah ramai. Ia bergegas menuju ruang makan setelah sebelumnya mencuci muka.

“Anak perawan jam segini kok baru bangun.” Sang ibu menggodanya sambil menyidukkan nasi di piring. “kene ndang maem.” Tambah sang Ibu sambil menyodorkan sepiring penuh nasi.

Dilihatnya Ilham asik bercengkrama dengan Jasmin adiknya. Sekilas ia menangkap senyum geli pada wajah Ilham. Mungkin penampilan paginya terlihat aneh. Wajah lusuh yang hanya tersiram air tanpa sabun cuci muka, rambut ikal yang diikat tanpa disisir terlebih dahulu dipadu piyama milik Jasmin yang bergambar doraemon. Ah masa bodoh. Aku mau makan kok, bukan mau tebar pesona ke Ilham. Lagian ini rumahku sendiri.

“Nginap semalam lagi ya Nduk?” ibu tampaknya masih kangen dengan anak keduanya ini.

“Besuk pagi harus kerja buk, bulan depan pas libur andhin pulang lagi.”

“Mbak Andhin ini cuma janji mau pulang, kenyataannya bulan kemarin gak pulang.” Jasmin protes. “Mas Ilham tolong dong mbk Andhin ini dinasehati.”

Ilham mengganggukkan kepala sambil tersenyum mengiyakan permintaan Jasmin.

“Mas mu juga jarang pulang.”

Andhin tahu betapa kesepiannya sang ibu. Jasmin sekolah dari pagi sampai sore, belum lagi kegiatan anak SMA sekarang kadang mengharuskannya pulang malam. Sang ibu menghabiskan harinya dirumah sendirian tanpa kesibukan. Ibunya anak tunggal, sehingga ia tak punya banyak saudara. Dulu masa muda beliau sibuk mengurus toko pusat oleh-oleh, namun sayang toko itu telah lama bangkrut.

 Andhin sendiri sejak lulus kuliah langsung merantau ke Jakarta, pulang hanya dua bulan sekali itupun hanya menginap semalam. Kesibukan dunia kerja kadang menguras habis tenaganya. Saat sudah lelah bekerja terkadang telefon dari sang ibu tak terjawab. Ia hanya mengirim pesan singkat mengabarkan bahwa keadaanya baik baik saja. Atau memberi kabar jatah bulanan sang ibu dan uang sekolah Jasmin telah ia kirim.

Sementara Kakak laki-lakinya Aldhi pulang ke Jogja hanya saat lebaran Idul Fitri saja. Semenjak menikah dengan anak perempuan bosnya saat bekerja Aldhi menetap di Semarang. Ia sibuk meneruskan bisnis mebel milik mertuanya. Andini sendiri paham dengan kondisi sang kakak. Aldhi lah yang membiayai kuliahnya sampai lulus Ilmu Komunikasi di salah satu perguruan negeri di Jogja dan tulang punggung keluarga sejak toko Ibu bangkrut. Aldhi sudah banyak menderita saat itu. Kini saatnya Aldhi menikmati kehidupannya.

Tepat setelah adzan Dhuhur Andhin dan Ilham bersiap kembali ke Jakarta. Andhin memeluk adik dan ibunya yang matanya basah seakan tak rela melepas anak perempuannya.

“Jaga kesehatan ya bu, Andhin janji akan pulang nanti pas libur.” Andini mencium punggung tangan sang Ibu yang sudah mulai keriput.

“Jangan nakal Dek, sekolah yang bener.” Jasmine mengangguk mengiyakan.

“Kami pamit dulu ya tante.” Ilham berpamitan sambil menyalami Ibu Andhin.

“Titip Andhin ya nak Ilham.”

Mobil Ilham melaju perlahan menuju pintu keluar perumahan asri itu. Ilham dan Andhin kembali ke Jakarta dengan rutinitas padat yang harus dijalani.  Meninggalkan perempuan tua yang makin terisak dalam kesepian.

***

Perjalanan darat Jogja – Jakarta memakan waktu lebih dari 10 jam. Kali ini Andhin dan Ilham beruntung, perjalanan mereka tergolong lancar tanpa terjebak macet. Sesekali mereka berhenti di rest area untuk memulihkan tenaga. Tampak Ilham sangat kelelahan, ia harus berjuang menyetir 10 jam lebih sendirian. Andhin ingin sekali mengantikan, apadaya kemampuan menyetirnya dibawah rata-rata. SIM pun ia tak punya. Pernah sekali ia mengikuti ujian pembuatan SIM yang berakir menabrakkan mobil ke pagar milik Samsat Jogja.

Memasuki wilayah Jakarta barulah kemacetan mencegat mobil hitam ini di jalan. Seperti biasa, bukan Jakarta namanya kalau tidak macet. Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam tapi jalanan masih ramai. Kendaraan padat merayap. Ilham sengaja menyetel musik untuk mengusir kantuk di matanya. Mengagetkan Andhin yang hampir terlelap.

Kuyakin pasti suatu saat

Semua kan terjadi

Kau kan mencintaiku

Dan tak akan pernah melepasku


Aku mau mendampingi dirimu

Aku mau cintai kekuranganmu

Selalu bersedia bahagiakanmu

Apapun terjadi

Kujanjikan aku ada

 

Lirik romantis lagu milik Once ini seakan mampu mewakili semua perasaaan Ilham kepada Andhin. Syair lugu penerimaan seorang lelaki terhadap perempuan yang ia cintai.

Andhin, dengar lagu ini, bagus kan? Isinya persis seperti hatiku saat ini. Ah entahlah, apa yang membuatku sangat tertarik padamu. Bisakah kau jelaskan daya tarik apa yang mengikatku pada setiap pesonamu? Bahkan hampir 2 tahun dan perasaanku masih sama Dhin. Tak berubah meski kamu hanya membalas diam semua perasaanku. Apa aku harus berani mengungkapkan cinta seperti anak-anak muda SMA? Ah aku terlalu tua untuk itu Ndin. Seharusnya kamu paham aku punya perasaan terhadapmu. Atau selama ini kamu hanya pura-pura tak tahu?

Andhin menikmati lagu lawas tersebut. Mengetukkan tanggannya di dashboard mobil sesuai irama lagu. Sampai tangan kekar laki-laki disebelahnya meraih tangannya. Andhin menatap Ilham dengan heran.

“Andhin.” Ilham mendesah, menarik nafas panjang.

Andhin tak menjawab. Hanya memasang wajah seratus persen heran sambil menaikkan alisnya.

“Andhin, kita sudah kenal hampir 2 tahun, dan aku yakin kamu tahu persis perasaaanku ke kamu. Maafkan aku tapi aku tak bisa menahan perasaanku lagi. Aku tak bisa terus menunggu kediamanmu Ndin. Aku… Aku cinta padamu Andhin.” Ilham merasa beban yang 2 tahun membebani punggungnya seketika hilang. Ia sendiri bingung dari mana ia mendapatkan keberanian itu, padahal selama ini ia setia mencintai gadis pujaannya meski hanya status teman kantor.

“Andhin… Gimana?”

Andhin masih terdiam terpaku. Sebenarnya ia sudah tahu lama tentang perasaan Ilham padanya. Ilham selalu baik padanya. Bersedia menolongnya kapanpun dan dimanapun. Bahkan tak jarang Ilham membelanya saat debat meeting dengan redaksi. Mereka juga sering dijodoh-jodohkan oleh teman kantor. Yang tak Andini percaya adalah keberanian Ilham malam itu mengungkapkan perasaannya. Bahkan langsung ke inti tanpa intro.

Ia teringat obrolan semalam dengan sang Ibu. Ibu mulai menanyakan perihal jodoh. Andhin paham sikap ibunya. Semua orang tua akan mulai khawatir saat anak perempuan yang sudah berusia hampir 28 tahun belum mengenalkan jodohnya. Berkali-kali ibu mencandainya dengan Ilham, meskipun berkali kali juga Andini menjelaskan bahwa Ilham adalah teman kantornya. “Ibu yakin nak Ilham itu orang baik. Orangnya ganteng dan sopan Nduk, juga ramah sama Ibu sama adikmu. Ibu setuju kalau kamu sama dia.”

“Andhin?”

“Iya…” Andhin menarik nafas panjang. “Kita jalani dulu Ham.” Semoga ini keputusan yang tak pernah kusesali.

Jawaban yang seketika melukiskan senyum lebar di bibir Ilham. Ia yakin gadis pujaannya juga memiliki rasa sepertinya. Ia melajukan mobil hitam kesayanggannya dengan tenang. Hatinya berbunga-bunga. Sepertinya ada banyak siulan burung mengiringi perjalanannya mengantar Andhin kali ini.

Tak seperti biasa jalan kecil menuju kontrakan Andhin begitu ramai malam ini. Orang-orang berdiri bergerombol di pinggiran jalan. Suara sirine polisi terdengar menjerit-jerit bersaing dengan sirine ambulan. Ada kecelakaan kah? Atau kebakaran? Turun dari mobil Ilham Andhin langsung dikejutkan beberapa tetangga kos yang langsung menyergapnya.

“Mbak Andhin gak meliput, ada mayat ditemukan di rumah belakang.”

Seketika wajah Andini langsung pucat. Ia segera berlari menuju jalan kecil belakang rumah kontrakannya. Firasatnya mengatakan hal buruk. Ilham mengikutinya di belakang. Mbak Risma.

Depan kamar kontrakan Risma sudah dipenihi lautan manusia. Beberapa polisi, petugas PMI dan puluhan wartawan berjejal memenuhi halaman rumah Risma. Garis polisi sengaja dipasang mengelilingi rumah untuk memcegah orang-orang semakin masuk ke dalam. Andhin kalut. Ia melewati beberapa polisi yang mencegahnya masuk. Berlari kencang menerobos garis polisi hingga terhenti di depan pintu kamar kontrakan Risma.

“Mbak Risma.” Teriak Andhin. Kakinya lemas, nafasnya memburu. Berharap ia menemukan Risma dan ketiga anaknya dalam kondisi baik. Namun ia terlambat. Ia hanya mendapati sosok Risma sedang memeluk ke tiga anaknya dengan mulut berbusa. Keempatnya sudah dalam keadaan tidak bernyawa. Dimeja samping kasur terlihat beberapa botol racun serangga.

***

Di sebuah pemakaman. Andhin sengaja tidak masuk kerja. Ilham minta maaf karena ada meeting penting sehingga tak dapat hadir di pemakaman. Hanya ada beberapa orang, sebagian besar adalah petugas dinas kesehatan yang berpakaain serba tertutup, bermasker, sarung tangan dan lengkap dengan sepatu boot. Pemakaman penderita HIV dan anak-anaknya, tak ada satupun warga yang tertarik membantu.

Pemakaman selesai. Satu-persatu petugas dinas kesehatan pergi meninggalkan pemakaman. Tersisa Andhin yang masih tertegun seakan tak percaya Risma memilih jalan itu. Risma bunuh diri mengajak ketiga anaknya yang masih balita. Sehari sebelum Andhin berangkat meliput ke Jogja ia sempat mengunjungi Risma. Saat itu Risma nampak begitu semangat. Berkali-kali ia mengucapkan terimakasih ke Andhin karena telah banyak membantu. Sejak begabung dengan Lembaga ODHA, Risma terlihat bersemngat menjalani hidup. Bahkan si anak sulung sudah didaftarkan masuk Sekolah Dasar. Tak disangka itu adalah obrolan terakirnya dengan Risma.

“Andhin ya?”.

Suara bariton seorang laki-laki mengagetkannya.

“Saya Dito, keponakan almarhum tante Risma.” Laki-laki dengan kacamata hitam itu mengulurkan tangan.

***

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • antonvw

    sedih, tapi bagus kok

    Comment on chapter Bagian 9 (End)
Similar Tags
Di Bawah Langit
2934      924     1     
Inspirational
Saiful Bahri atau yang sering dipanggil Ipul, adalah anak asli Mangopoh yang tak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah. Namun, Ipul begitu yakin bahwa seseorang bisa sukses tanpa harus memiliki ijazah. Bersama kedua temannya Togar dan Satria, Ipul pergi merantau ke Ibu Kota. Mereka terlonjak ketika bertemu dengan pengusaha kaya yang menawarkan sebuah pekerjaan sesampainya di Jakarta. ...
When You Reach Me
6876      1849     3     
Romance
"is it possible to be in love with someone you've never met?" alternatively; in which a boy and a girl connect through a series of letters. [] Dengan sifatnya yang kelewat pemarah dan emosional, Giana tidak pernah memiliki banyak teman seumur hidupnya--dengan segelintir anak laki-laki di sekolahnya sebagai pengecualian, Giana selalu dikucilkan dan ditakuti oleh teman-teman seba...
Pertualangan Titin dan Opa
3151      1230     5     
Science Fiction
Titin, seorang gadis muda jenius yang dilarang omanya untuk mendekati hal-hal berbau sains. Larangan sang oma justru membuat rasa penasarannya memuncak. Suatu malam Titin menemukan hal tak terduga....
F I R D A U S
637      421     0     
Fantasy
The Puzzle
1069      631     4     
Fantasy
Banyak orang tahu tentang puzzle, sebuah mainan bongkar-pasang untuk melatih logika. Namun berbeda dengan puzzle yang dimiliki Grace, awalnya Grace hanya menganggap puzzle yang dimilikinya sama seperti puzzle yang dimiliki orang lain. Dia sering memainkan puzzle itu sejak kecil tapi setelah dia dewasa, puzzle itu mulai memunculkan teka-teki baginya. Grace heran saat ayahnya benar-benar menjaga pu...
Cadence's Arcana
5578      1492     3     
Inspirational
Cadence, seorang empath, tidak suka berhubungan dengan orang lain. Ketika dia kalah taruhan dari kakaknya, dia harus membantu Aria, cewek nomor satu paling dihindari di sekolah, menjalankan biro jasa konseling. Segalanya datar-datar saja seperti harapan Cadence, sampai suatu saat sebuah permintaan klien membawanya mengunjungi kenangan masa kecil yang telah dikuburnya dalam-dalam, memaksanya un...
Azzash
281      228     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...
Kamu, Histeria, & Logika
57188      6235     58     
Romance
Isabel adalah gadis paling sinis, unik, misterius sekaligus memesona yang pernah ditemui Abriel, remaja idealis yang bercita-cita jadi seorang komikus. Kadang, Isabel bisa berpenampilan layaknya seorang balerina, model nan modis hingga pelayat yang paling berduka. Adakalanya, ia tampak begitu sensitif, tapi di lain waktu ia bisa begitu kejam. Berkat perkenalannya dengan gadis itu, hidup Abriel...
Suara Kala
6529      2104     8     
Fantasy
"Kamu akan meninggal 30 hari lagi!" Anggap saja Ardy tipe cowok masokis karena menikmati hidupnya yang buruk. Pembulian secara verbal di sekolah, hidup tanpa afeksi dari orang tua, hingga pertengkaran yang selalu menyeret ketidak bergunaannya sebagai seorang anak. Untunglah ada Kana yang yang masih peduli padanya, meski cewek itu lebih sering marah-marah ketimbang menghibur. Da...
REVIVE TIME
3873      1192     9     
Mystery
Kesalahan ada pada setiap orang. Kesalahan pernah terjadi pada setiap orang. Bagaimana caramu memperbaiki kesalahan di masa lalu? Yah, mungkin memang tidak bisa diperbaiki. Namun, jika kamu diberikan kesempatan untuk kembali ke masa lalu akankah kamu memperbaikinya?