Memories
Sometimes you will never know
The value of a moment
Until it becomes a memory
S e n a
“Eh, Dan,” ujar gue memecah keheningan yang sejak tadi terbentuk. Jhordan yang sedang membaca buku—atau mungkin sedang tertidur—menoleh hanya sepersekian detik sebelum akhirnya kembali menopang dagunya malas. “Hm.”
“Lo pernah gak benci sebenci-bencinya sama orang?”
Jhordan menegakkan duduknya, kemudian menyipitkan matanya kepada gue. Tatapannya berubah menjadi tatapan tajam, dan di detik selanjutnya dia tertawa terbahak-bahak. “Hahaha. Gue tahu nih arah pembicaraan lo ke mana! Heran, deh, biasanya lo gak pernah ngurusin orang-orang yang gak penting di dalam hidup lo?”
“Ya sekarang menjadi penting,” jawab gue ragu. “Demi masa depan gue.”
“Ceilaaa udah ngomongin masa depan aja bocah,” tau-tau Bang Ijul sudah duduk di samping Jhordan dengan headphone yang terpasang. Kemudian dia hanya manggut-manggut mengikuti irama yang keluar dari sana.
“Lo mau lomba, Bang?” Tanya Jhordan sambil melirik kertas yang sedari tadi dipegang oleh Bang Ijul—dipegang doang, gak dibaca. Kemudian Bang Ijul menghela napas dan mengangkat bahunya, “Ini naskah drama.”
Jhordan membulatkan mulutnya dan manggut-manggut. Kemudian, tatapannya beralih kepada gue yang masih menunggu jawabannya. Eh tau-tau si Jhordan ini malah nyengir dan menggaruk kepalanya yang gue yakin gak gatal sih—kecuali kalau dia belum keramas berminggu-minggu, “Cieeee nungguin, ya.” Matanya mengedip-ngedip membuat gue pengen nampol.
Kayaknya si Jhordan ini makin menggila ketika tadi siang Hana—gebetannya sekaligus temannya Bening—menerima tawaran makan siangnya. Gue yakin sebenarnya Hana kepaksa sih, soalnya mukanya udah kayak orang mules dan makannya lamaaaa banget sampai gue dan Bening menghabiskan kerupuk permicinan dunia yang disimpan di kotak-kotak kecil di atas meja warteg.
Tau gak kerupuk permicinan dunia? Itu kerupuk terenak yang pernah gue makan—kerupuk mie yang di atasnya ditaburin bumbu-bumbu yang sembilan puluh persennya adalah micin. Harganya sangat terjangkau dan bisa menemani di kala bosan melanda.
Kejadian itu pun diiringi oleh drama-drama di tengah plaza Fakultas Teknik Geologi yang cuma bisa membuat gue bengong dan pada awalnya gak mau melerai mereka berdua. Gue sangat-sangat heran, padahal Jhordan ngajak makan Hana, tapi kenapa Bening yang ribut?
“Heh ngapain lo ngajak-ngajak Hana makan? Oh, jangan-jangan lo mau naruh racun ya di makanan Hana?” Tanya Bening dengan berapi-api, kemudian baru saja Jhordan membuka mulutnya beberapa sentimeter, Bening sudah menyahut kembali. “Atau jangan-jangan lo naruh pelet ya? Iya? Biar Hana mau jalan bareng lo?”
“Heh apaan sih lo ikut campur hidup gue?! Ya suka-suka gue lah, mau ngajak siapa buat makan, kenapa lo yang ribut?” Sahut Jhordan—sama-sama berapi-api. “Kalau lo yang gue ajak makan, baru gue bakal naruh racun! Sekalian aja gue taruh bom di makanan lo biar lo gak bacot terus!”
“Denger ya, kalau lo mau ngajak makan Hana, gue harus ikut!!”
“Idih! Lo siapa? Ngapain ikut-ikut? Bilang aja lo mau gue traktir,” ujar Jhordan lagi. “Dengerin ya nih pantat panci! Gue gak bakal apa-apain temen lo. Otak lo itu isinya apa, sih? Bisanya suudzhon muluuu sama gue. Makanya jangan kebanyakan main tiktok.”
“Siapa yang main tiktok? Elu tuh, Kak, yang suka liatin istri sahnya Iqbaal sambil nyanyi-nyanyi lagunya!!” Bening menyahut.
Pertempuran itu belum selesai sampai di sana. Setelah sekitar sepuluh menit kemudian—ketika gue sudah memasang tampang cengo selama itu juga—gue mulai gak tahan. Apalagi gue lihat Hana berusaha membuka mulutnya untuk melerai tetapi selalu ditampis oleh Bening. “HEH UDAH KENAPA SIH?! Lo berdua kayak anak kecil aja!”
“Tau nih! Han, kenapa lo mau-maunya sih sama Kak Jhordan? Gak ada bagus-bagusnya juga, mending juga lo cari cowok-cowok di luar sana yang gak suka MAKSA-MAKSA cewek buat makan sama dia!”
“Eh gue gak maksa ya?! Dianya sendiri yang mau?!”
“Tapi kan…”
Gue menghela napas lelah karena sudah menghabiskan waktu berharga gue hanya untuk menonton adu mulut dari teman gue dan adik tingkat gue—yang sebenarnya udah kelewatan, tapi mau dikasih hukuman apa pun, gak akan ada perubahan sedikit pun dalam diri dia. “Ya udah kita makan berempat!!”
Jadi lah kita berempat akhirnya duduk di satu warung yang sama—di sudut kantin FTG—dengan meja yang berbeda, karena katanya Jhordan mau modus—diiringi dengan tatapan tajam yang cenderung mendelik dari Bening. Setiap satu gerakan yang akan dilakukan Jhordan, pasti Bening langsung bereaksi—mulai dari menggeser tempat duduknya dan matanya yang jelalatan memperhatikan setiap gerak-gerik Jhordan.
“Heh lo jangan liatin gue terus! Kalau lo naksir gue, gue gak akan bertanggungjawab,” ujar Jhordan, menyindir Bening yang kemudian dibalas dengan tatapan sengitnya.
“Idih! Mana ada gue naksir lo? Hellaaaw, sorry yaaa di berbagai sudut kampus ini masih ada ratusan cowok ganteng dan lo gak masuk kriteria itu!” jawab Bening.
Hana menghela napas panjang. Kayaknya dia pun udah sangat pusing memiliki sahabat yang overprotektif seperti Bening—lebih mirip nenek-nenek jadinya. “Udah Bening, gak apa-apa.”
“Tuh kan? Gak apa-apa, kan? Elu sih lebay!”
Baru saja Bening akan berdiri dan menghampiri Jhordan—gue gak tahu kali ini barang apa yang akan melayang dari tasnya—gue menahannya dengan cara menjitak kepalanya. Sumpah ya, seumur hidup gue, gue baru bertemu perempuan seberani dan secablak dia yang hanya takut pada gue dan Jhordan di minggu-minggu pertama ospek. Sisanya? Gak usah gue jawab udah tau, kan?
“Lo bisa gak sih kasih privasi dikit sama sahabat lo?” Tanya gue, dengan tatapan menyuruhnya duduk kembali. “Siapa tahu Hana tuh sebenarnya seneng diajak makan sama Jhordan? Mana ada coba yang gak mau diajak jalan sama Jhordan.”
“Emang mukanya Hana kelihatan seneng apa, Kak?” Jawabnya, masih melirik Jhordan dengan tatapan tajam.
Gue menghela napas—lagi dan lagi. “Kan lo bukan Hana. Lo hanya menilai berdasarkan keyakinan diri lo sendiri tentang Hana,” ujar gue. Bening akhirnya menghela napas dan menopang dagunya sambil terus memakan kerupuk yang disediakan di sana. “Coba deh kalau lo jadi Hana, risih gak digituin?”
“Ya… iya, sih..”
“Kalau lo jadi Jhordan?”
“Rasanya gue pengen nimpuk kepala gue dan mengusir diri gue sendiri sejauh-jauhnya..”
“Nah itu juga yang dirasain Jhordan. So, gak semua yang lo pikirkan itu sesuai dengan orang lain,” halah sok bijak banget emang gue. Tapi toh akhirnya Bening berakhir mengaduk-aduk jusnya, walaupun masih cemberut dan menatap Jhordan dengan tatapan membunuh. “Ada saatnya lo harus mendengarkan. Bagus sih lo bisa kritis sama hal-hal sekitar—lo tahu dengan mudah kalau Jhordan itu playboy dan seneng main-main—tapi belum tentu Jhordan melakukan itu ke semua orang.”
“Hm.”
“Ngomong-ngomong soal Nandhi…”
Raut muka Bening berubah menjadi penasaran. Kini pandangannya hanya tertuju pada gue dan gak lagi peduli pada Jhordan. “Kakak dapet sesuatu?”
“Jujur aja gue gak tahu apa yang harus gue cari tahu tentang masa lalunya,” jawab gue. Tangan gue mengaduk-aduk jus di hadapan gue, kemudian menyeruputnya beberapa saat. “Gue gak ngerti gue harus buktiin apa ketika gak ada pembandingnya. Kalau lo mau membuktikan dia Hara yang lo maksud atau bukan, semestinya lo kasih tahu dulu ciri-ciri dia di memori lo itu gimana.”
“Dia baik, dia peduli sama gue,” jawab Bening, kemudian menghela napas. “Fisiknya gue rasa gak ada yang berubah. Makanya gue yakin itu Hara.”
Gue mendengus. “Waw,” kemudian terkekeh. “Pernyataan lo barusan sangat tidak membantu, asal lo tahu.” Gue kira dia akan marah—sama seperti yang dia lakukan pada Jhordan—tapi ternyata dia hanya tertawa pasrah sambil memainkan handphonenya. Beberapa saat kemudian, dia terlihat menerima telepon dari seseorang. Entah siapa orang itu, yang jelas dia terlihat sangat senang melihat nama yang tertera di layar handphone-nya.
“Halo, Bunda apa kabar? Bening kangen banget, Bun, kok baru telepon lagi?” Bening tertawa. Diam-diam gue membatin, dasar siluman jadi-jadian bermuka dua! Bisa-bisanya dia menjawab telepon dengan nada sok imut dan sok baik ketika kesehariannya berbeda seratus delapan puluh derajat? “Ha? Iya, nanti pas liburan semester Bening ke sana ya, Bun! Hahaha, iya, Bun, ini baru pulang kuliah. Oke, Bun, daaa!”
“Ngapain lo ngeliatin gue?” Tiba-tiba dia menutup teleponnya ganas dan menatap gue tajam sambil mempelajari perubahan raut muka gue.
“Gak, geer banget, dih. Gue lihatin cicak juga,” jawab gue asal. “Ibu lo?”
“Iya, ibu masa kecil gue,” jawabnya pelan, kemudian tersenyum.
“Ibu masa kecil?” Gue mengernyit dan berpikir. Ibu masa kecil? Jadi ibu dia setiap berganti umur ganti juga gitu? Jangan-jangan setiap ulang tahun dia akan direlakan menuju ibu-ibu yang selanjutnya karena mereka tidak tahan terhadap kelakuan anak ini. Hm, bisa jadi sih, bisa.
Bening menghela napas. “Hmm. Bunda Mirah pemilik panti asuhan saat gue kecil. Gue sangat dekat banget sama dia. Walaupun gue akhirnya diadopsi oleh sebuah keluarga, gue gak memutuskan hubungan sama Bunda Mirah.”
Gue mengerucutkan bibir gue. Jadi Bening adalah anak yang diadopsi? “Boleh gue ngarang sebuah cerita?” Tanya gue pada Bening yang disambut dengan anggukan—tapi matanya kembali memperhatikan gerak-gerik Jhordan dan memberikan tatapan maut kepadanya.
“Hara itu temen kecil lo waktu di panti asuhan?” Tebak gue. “Dan lo berdua sama-sama terpisah karena diadopsi oleh dua keluarga yang berbeda? Udah macam sinetron ya hidup lo.”
Bening terdiam beberapa saat—sepertinya dia sedang menimbang-nimbang akan menceritakannya pada gue atau enggak. “Hm, gak gitu ceritanya.” Matanya berubah menjadi sendu. “Dia tiba-tiba hilang, bahkan Bunda Mirah pun gak tahu dia kemana. Kita pikir dia diculik, dan gue berpikir gue gak akan ketemu dia lagi.”
“Oh, kalau dia diadopsi pasti ada catatannya, ya?”
Bening mengiyakan, matanya menatap ke arah gue. “Itu sebabnya, selama ini gue kangen banget sama dia, tapi gak bisa cari dia.”
“Lo suka sama dia semacam cinta pertama gitu, ya?” Gue sebenarnya berniat tertawa sekeras-kerasnya melihat perubahan raut mukanya yang menjadi kaget, tapi dengan kerasnya dia menjawab, “Gak!”
“Bohong.”
“Ya udah tahu gue bakal jawab bohong ngapain nanya?”
Gue mendengus kesal. Bisa-bisanya ya, udah mohon-mohon minta bantuan, tetap aja memperlakukan gue dengan kasar. Kalau bukan karena lagu-lagu gue yang bakal dirilis mana mau gue bantu dia. Hidup gue yang tadinya penuh ketenangan perlahan berubah, apalagi ketika Jhordan mulai mendekati Hana dan reaksi Bening sudah seperti singa ngamuk. Untung gue sabar menghadapi semua ini.
“Mungkin Hara-Hara lo itu juga diadopsi kali? Cuma dia gak mau ngasih tau ke siapa-siapa?”
“Masa, sih? Masa dia gak bilang-bilang sama gue. Dia itu udah deket banget sama gue dan bilang kalau dia gak akan meninggalkan gue,” ujar Bening misuh-misuh.
Gue terkekeh. “Ya, siapa tahu sebenarnya dia menyimpan dendam kesumat kepada lo dan ingin membalasnya di suatu hari nanti. Gue baru beberapa detik yang lalu berpikir kalau orang semacam Nandhika Sahara itu gak akan mau punya temen kayak lo! Kayanya itu bukan Hara yang lo cari, deh.” Gue berkata seperti itu bukan tanpa bukti. Nandhi adalah orang yang cukup tenang, walaupun punya banyak teman, dia cenderung pilih-pilih teman. Apalagi, dia anak dekan fakultas yang pastinya disegani oleh banyak orang.
“HEH JANGAN SOK TAU, YA!”
“Ya gue gak sok tahu, gue cuma menyatakan hipotesis?”
“Atau mungkin dia benar-benar Hara masa kecil lo, tapi dia gak mau ketemu lo lagi. Hahaha, rasain tuh!” Gue tertawa terbahak-bahak dan kalau dia gak sadar gue ini komandan terpimpin fakultas, mungkin dia udah menyiram gue dengan jusnya yang kini tinggal seperempatnya lagi.
Gue gak senang mengurusi kehidupan orang, apalagi mencari tahu tentang seluk beluk seseorang ketika orang itu sendiri gak menceritakannya. Gue cenderung banyak berpikir, tapi bukan untuk hal-hal seperti itu. Kenapa sih sibuk mencari kenangan masa lalu ketika masa depan aja masih belum bisa diprediksi?
“Heh ngelamun mulu lo! Maksud pertanyaan lo itu lo benci banget sama Bening gitu? Ya iya, gue juga sama! Dia tuh kerjaannya ngerecokin hidup gue mulu,” jawab Jhordan. “Jangan-jangan dia sebenarnya naksir gue lagi?”
“Yeuu geer banget lo!” Gue menoyor Jhordan yang berakhir terkekeh.
“Terus maunya dia naksir lo gitu?”
Gue bergidik. “Hih, amit-amit! Bisa pengang telinga gue dengerin dia teriak-teriak mulu,” jawab gue pelan. “Gue…gak suka aja sama Nandhi.”
Jhordan mengernyit. “Nandhika Sahara? Partner lo itu? Heran gue, orang yang sangat berdedikasi begitu lo benci?” Tanya Jhordan, lalu diiringi dengan kekehan kecil. “Lo jangan benci sama anak dekan, tar lo kualat tuh acara-acara gak ada yang diacc!”
“Iya woy, harusnya lo baik-baikin tuh anak kayak gitu!” Bang Ijul melirik gue dan Jhordan yang sedang berdebat.
“Masalahnya tuh dia selalu merebut apa yang udah gue kerjakan. Gue yang mempersiapkan segalanya, dia yang maju dan bilang kalau itu dia yang ngerjain,” gue menghela napas. “Siapa coba yang gak benci?”
Bang Ijul menghela napas. “Iya sih memang nyebelin, Sen. Tapi lo tahu gak sih, sebenarnya itu yang mengajarkan lo buat banyak bersabar di dalam hidup ini,” ucap Bang Ijul—entah serius atau enggak karena mukanya malah nyengir. “Gue tahu lo orang baik, makanya lo gak pernah menentang dia walaupun lo benci, dan lo gak pernah bilang-bilang ke orang tentang kelakuan dia yang sebenarnya.”
“Tapi jangan baik-baik amat juga, Sen. Nanti kalau lo punya pacar dengan susah payah terus dia rebut gimana?” Tanya Jhordan lagi.
“Heuuu pacaran mulu pikiran lo,” Bang Ijul menoyor Jhordan, kemudian bangkit dari sofa. “Gue ke kamar yak.” Detik selanjutnya Bang Ijul sudah ngacir ke kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi.
“Nandhi itu beneran anaknya Pak Ardhi, ya?” Tanya gue pada Jhordan.
Jhordan menghentikan kegiatannya, kemudian dahinya berkerut. “Kenapa nanya gitu? Ya emang anaknya pak dekan, makanya gue bilang lo jangan benci sama dia!” Ujar Jhordan, lalu meneruskan membaca buku. Tumben banget ini bocah mau baca buku ketika biasanya udah mengurung diri di kamar—tidur tapi.
“Beneran?”
“Ya iya! Tanya aja sendiri kalau gak percaya.”
“Ya percaya sih, tapi…,” gue menghela napas. “HAH KENAPA HIDUP GUE JADI PUSING BEGINI, SIH?” Gue mengacak-acak rambut frustasi diiringi dengan tatapan kaget Jhordan dan tampang cengonya sampai buku yang dipegangnya jatuh dengan dramatis.
***
B e n i n g
Selasa adalah hari yang tersibuk untuk gue. Selain karena kuliah yang penuh dari pagi sampai sore, hari ini juga adalah hari pendidikan dasar—latihan fisik bagi anak-anak tahun kesatu. Bukan hal yang aneh melihat para kakak tingkat sudah berjejer di mana-mana, memamerkan jaket oranye sekaligus tampang garangnya. Teman-teman seangkatan gue adalah tipe teman yang senang diperlakukan dengan tidak adil seperti ini, bahkan kalau gue boleh bilang, mereka cenderung kuliah untuk mengikuti kegiatan seperti ini dibandingkan untuk mengikuti pembelajarannya.
Padahal apa enaknya, sih? Sampe ke kosan yang gue dapatkan hanya encok-encok di pinggang kanan kiri gue, sekaligus kedua lengan gue yang tiba-tiba terasa lebih keras dari biasanya. Pekerjaan rumah gue pun terbengkalai—karena gue sudah terlalu capek untuk menyelesaikannya dan berakhir menyontek kepada orang lain. Berkat kegiatan ini pula, Sabtu gue yang indah harus direlakan hanya untuk berkeliling kampus sambil membawa beban berat di punggung gue.
Pandangan gue—yang sedang merapikan barang-barang di tas gue—terdistraksi oleh dua orang yang lewat dengan beberapa dokumen di tangannya. Salah satu dari kedua orang tersebut memakai kemeja berwarna hijau tai dan celana jeans, rambutnya ditata dengan sangat rapi, yang satu orang lagi…ah elah menghalangi pemandangan gue aja, mana dia nyengir-nyengir lagi ke arah gue sambil meledek karena dia sedang berjalan bersama Nandhika Sahara.
“Nan, gue ke ruang BEM duluan, ya,” ujarnya, matanya memberikan isyarat kepada gue nih-kan-gue-udah-baik-sama-lo-mana-imbalannya-buat-gue, lalu kemudian dia berjalan dengan sangat cepat, meninggalkan Kak Nandhi—atau mungkin gue melihatnya sebagai seorang Hara—di hadapan gue.
Gue memutar bola mata, berusaha berpikir apa yang harus gue lakukan agar dia bisa mengenali gue—gue harap. “Ha—halo, Kak.” Ucap gue sambil sedikit menunduk. Yang gue lakukan selanjutnya adalah menyipitkan mata dan menanti respon apa yang akan dikeluarkan olehnya.
Satu detik.
Dua detik.
Dia justru mengamati gue dari atas sampai bawah dengan tatapan bertanya, lalu tersenyum kecil. “Halo. Mau pendas, ya?” Tanyanya. Gue yang mendapatkan respon tersebut bingung sekaligus senang—bingung karena seharusnya jika dia mengenali gue, dia akan memasang tampang bingung dan menerka, senang karena walaupun dia tidak mengenali gue, dia memperlakukan gue dengan baik. “Oh iya, Kak.”
“Ok. Good luck,” ujarnya, tersenyum, kemudian kembali melangkahkan kakinya menjauhi gue. Gue menghela napas lega—karena dia gak mengingat momen ketika gue berteriak-teriak saat dia menyampaikan sambutannya. Tapi sedikit banyak gue kecewa karena tampaknya dia bukan Hara yang gue cari?
Tapi senyumannya sama.
Cara dia berbicara dengan lembut juga sama.
Bagaimana mungkin dia bukan Hara?
***
J h o r d a n
Ketika Sena bertanya pernah gak gue benci sebenci-bencinya pada seseorang, gue seharusnya menjawab, ya, gue pernah. Tapi gue terlalu takut untuk mengakui bahwa gue membenci dia, dan gue terlalu takut untuk menganggap bahwa perasaan yang gue punya adalah perasaan benci.
Kalau ibaratnya benci adalah penyakit hati yang dimiliki seseorang, mungkin penyakit hati gue udah kronis, karena kebencian gue pada Bapak sudah mengubun-ubun, menyentuh hingga bagian terkecil dalam tubuh gue. Gue sudah pernah bercerita kan pada lo alasan gue benci Bapak?
Satu-satunya cara untuk membuat gue melupakan kata-kata itu—bahwa gue benci Bapak—adalah dengan cara tidak berada satu rumah dengan dia. Toh gue merasa senang di sini. Sepulang dari kepergian gue selama dua hari dari maison de rêve, Bang Yoga mendekati gue dan berkata, “It’s ok if you want to hide all of your problems. It’s ok if you want to forget all of your problems, but remember, there is someone who always remember it, it’s your father. Masalah gak akan selesai kalau dihindarin terus, Dan. Gue yakin kalau lo selesain semuanya, hidup lo juga bakal lebih tenang.”
Sayangnya gue belum punya keberanian untuk menyelesaikannya. Gue takut jawaban yang gue dengar dari mulut Bapak adalah jawaban yang menyakitkan buat gue.
“Ini bukan tentang lo siap atau enggak, Dan,” ujar Bang Yoga lagi. “Ini tentang kapan lo mau berhenti gak acuh sama semuanya.”
Katakan gue benar-benar berbaikan dengan Bapak malam itu, mungkin gue gak akan berada di sini lagi karena rumah gue cukup dekat dan gak perlu harus berada di tempat kos ini. Tapi mungkin juga gue akan tetap memilih mereka dibandingkan dengan Bapak. Jika gue menghitung berdasarkan perbandingan—siapa yang lebih membuat gue nyaman dan senang—jawabannya adalah para penghuni maison de rêve dengan berbagai macam kepribadiannya.
“Eh mau ke mana lo?” Tanya Brian menyelidik. Di tangannya setabung pringles sedang dibuka. Gue yakin, selangkah lagi dia lebih dekat dengan dapur, Sena akan merebut semuanya. “Rapi amat? Ngelamar kerja?”
“Manggung,” jawab gue sambil terkekeh. “Dan ngapel.”
“Ha? Manggung di mana?” Tanya Brian. “Sejak kapan lo ikut band?” Mukanya benar-benar penasaran. “Ini kan malam Rabu, lo gak keberatan apa kerja di tengah-tengah weekdays?”
“Hmm, sejak sebulan yang lalu mungkin? Kalau Sena sering balik malem gara-gara urusan organisasi, gue sering balik malem gara-gara urusan ngeband ini. Dan gue menganggap ini untuk kesenangan gue aja, gak buat kerja,” jawab gue. “Mau nonton? Masih lama sih, dua jaman lagi.” Gue memandang jam yang melingkar di tangan gue.
Brian berteriak, “BANG YOGAAA!”
“Apa sih?” Yang dipanggil Bang Yoga, tetapi hampir seluruh penghuni maison de rêve menyahut sambil misuh-misuh karena suara Brian. “Apa, Yan?” Akhirnya si empunya muncul, masih memakai sarung dan peci sehabis shalat Maghrib tadi, menatap dengan tatapan penasaran dari balik pintu kamarnya.
“Rencananya Abang mau masak, gak?” Tanya Brian. “Kalau enggak, makan di luar, yuk sama yang lain. Sekalian nonton si Jhordan.”
Bang Yoga mengernyit, “Ha? Emang si Jhordan mau ngapain? Topeng monyet?” Tanya Bang Yoga, pandangannya beralih ke arah Jhordan. “Buset, rapi amat. Kayak bapak-bapak kantoran. Wangi parfumnya juga anjir, kayak wangi kuburan.”
“Ya terus korelasi bapak-bapak kantoran sama kuburan apa?”
“Gak ada, sih,” jawab Bang Yoga, kemudian terkekeh. “Ya udah gue siap-siap dulu. Panggil aja yang lainnya.” Selanjutnya, gue tahu apa yang akan dilakukan Bang Yoga—mengacak-acak lemarinya untuk menemukan baju yang pas.
“Yan, gue duluan, deh. Gue tunggu dua jam lagi di kafe Oriana ya, itu loh yang….”
“Iya-iya, gue tahu. Dah sana pergi,” jawab Brian sambil meninggalkan gue untuk mengetok-ngetok pintu kamar yang lain. Gue sangsi Dennis, Sena, dan Cakka mau ikut keluar di jam-jam produktif mereka ini. Tapi gak tahu, deh, lihat aja nanti.
Gue akhirnya melangkahkan kaki keluar dan menaiki motor gue. Beberapa saat, gue memandang bagian samping kanan depan motor gue yang sedikit lecet karena beberapa hari lalu gue sempat jatuh dari motor—bahkan hingga sekarang masih ada bekasnya di tubuh gue. Untungnya gue gak apa-apa, dan setelah jatuh itu, gue lebih memilih maison de rêve sebagai tempat gue pulang, bukan rumah gue.
Sebenarnya entah apa yang gue pikirkan saat jatuh itu. Yang jelas, pikiran gue dipenuhi oleh hal-hal yang sangat kompleks—bahkan seumur hidup gue kayaknya gue baru berpikir keras pada saat-saat seperti itu. Tentang mereka—yang sebelumnya menceramahi gue soal Bapak, tentang Bapak yang sakit, hingga tentang Hana yang malam itu gue antar pulang ke rumahnya dan berbalik tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Ya, mungkin gue terbilang sebagai laki-laki yang senang berganti-ganti pasangan. Bahkan selama kuliah, mungkin mantan gue paling banyak di antara teman-teman gue lainnya. Bagi gue, cewek yang datang dan pergi dalam hidup gue memang ditakdirkan untuk seperti itu. Makanya, ketika mereka harus meninggalkan gue, itu takdir. Dan ketika gue pergi meninggalkan mereka untuk mencari cewek lain, itu juga takdir, kenapa harus galau karena itu semua?
Berkat hal itu pula akhirnya gue bisa melupakan semua masalah dalam hidup gue—untuk sesaat. Beruntung karena gue gak berlari pada hal-hal aneh seperti narkoba atau minuman-minuman keras karena teman satu kosan gue yang baik-baik. Sena dan Brian, seumur hidupnya gak pernah pacaran ataupun main-main ke club malam. Bang Yoga , walaupun mantannya terhitung gak sedikit, tapi semenjak bertemu Kak Ditas kerjaannya galau melulu, dan kalaupun pacaran pun gak pernah aneh-aneh. Bang Ijul? Gak pernah menunjukkan gelagat menyukai cewek mana pun. Dennis dan Cakka? Jangan ditanya, mereka lebih senang berpacaran dengan buku daripada dengan manusia.
Hana, gue gak tahu, apakah dia cewek yang gue pilih hanya untuk masuk ke dalam permainan gue, atau cewek yang benar-benar gue sukai. Sulit untuk membedakannya, karena dalam hidup gue terbilang banyak cewek yang datang dan pergi. Yang jelas, kini gue sedang menunggu dia selesai pendas di parkiran fakultas gue.
Buat gue, Hana bukan cewek yang berbeda dari cewek-cewek lainnya. Kalau lo berpikir gue suka dia karena dia berbeda, jawabannya enggak. Dia gak lebih dari seorang cewek biasa yang berkelakuan biasa juga, gak seperti Bening yang jelas-jelas kelakuannya di luar nalar manusia—ah gak ngerti lagi gue sama manusia itu. Kelebihannya cuma satu; dia cantik. Tapi entah kenapa begitu melihat dia gue langsung suka. Mungkin karena kebiasaan gue ketika melihat cewek cantik…
Eh kalau gue jemput Hana, si Bening sama siapa, ya? Ah, bodo amat biarin aja dia suruh ngesot sampai bawah, suruh siapa ganggu hidup gue mulu.
“Kak Jhordan?” Suara lembut itu membuat gue menoleh. Gue mendapati dua cewek yang mukanya sudah kucel dan capek. Begitu melihat muka Bening yang penuh dengan corengan, gue tertawa terbahak-bahak. “HAHAHA, makanya lo itu kalau disuruh kating nurut, sok-sokan sih,” gue tertawa sampai memegangi perut gue. Gagal deh gue mempertahankan imej gue yang sudah keren ini. “Pulang yuk, Hana,” ajak gue sambil mengerling ke arah Hana.
“Heh patung pancoran! Ngapain lo jemput-jemput Hana segala? Gak ada cewek lain buat dijemput?” Tanya Bening tanpa menghiraukan ejekan gue tadi.
“Ih, siapa elu!” gue mengambil helm yang sejak tadi gue persiapkan di atas motor dan memakaikannya pada Hana. Membuat Bening mendelik, “Heh-heh modus banget sih lo!”
Gue mendengus. “Elo cerewet banget anjir kayak emak-emak! Hana juga biasa aja?!” Hah, kayaknya energi gue yang udah gue siapin buat manggung tadi habis sia-sia buat teroiak-teriak gak jelas kayak gini.
“Bening sama siapa pulangnya?” Tanya Hana sambil memandang gue dengan tatapan yang lucu. Sementara Bening baru saja akan ngotot-ngotot gak jelas, gue sudah mengajak Hana untuk naik ke atas motor gue dan pergi. Rasain lo.
Sudah beberapa meter motor gue meninggalkan fakultas pun, suaranya masih mendengung di telinga gue. Gila, lama-lama gue terhantui sama suara dia. Itu bocah mau jalan kek, mau guling-guling sampe bawah kek, bodo amat! Gue gak peduli.
“Kak Jhordan, Bening pulang sama siapa, ya? Kasihan,” Tanya Hana dengan suara yang bergetar tertiup angin.
“Biarin aja, dia gangguin mulu,” jawab gue sebal. Ekor mata gue melirik kea rah spion dan mendapati muka Hana yang masih mengkerut-kerut khawatir. “Kenapa sih lo peduli banget sama nenek lampir itu?”
Hana tertawa. “Dia bukan nenek lampir, Kak.”
“Eh itu ketawa, berarti lo setuju, kan? Hahaha, gila serem amat tuh si Bening!”
Hana masih tertawa, “Gitu-gitu juga dia satu-satunya yang peduli sama gue, Kak. Selama….selama ini,” jawabnya.
“Kalian tuh udah berteman dari kecil?” Tanya gue penasaran. Hana tampak berpikir beberapa saat, “Hm, gak juga sih, Kak. Kita kenal sejak SMA. Bening satu-satunya orang yang mau nemenin gue. Makanya, waktu gue kuliah…gue heran kenapa Kakak pengen deket sama gue.”
Gue terkekeh. “Kenapa enggak?”
“Gue kan aneh.”
“Kata siapa?” Tanya gue. “Nih, ya, kalau kata Dennis, seringkali orang itu disebut aneh karena dia berbeda, ya mungkin lo dianggap berbeda? Bagus, dong, anti mainstream.” Jelas gue.
“Dennis?”
“Dennis itu temen kosan gue. Nanti gue kenalin, deh. Tapi jangan suka sama dia, sukanya sama gue aja.”
“Hahaha, apaan sih, Kak,” Hana tertawa dan diam-diam membuat gue tersenyum.
“Lo kapan mau suka sama gue?”
“Ha?”
“Gue tanya, kapan lo mau suka sama gue?” Tanya gue lagi. Dari kaca spion, gue bisa melihat mukanya panik dan gak tahu mau menjawab apa. “Gak usah dijawab sekarang kok, Han, gak apa-apa, gue cuma nanya aja.”
Sesaat mukanya tampak lega. Kemudian, hening beberapa saat menguasai sebelum akhirnya Hana bertanya, “Lo mau ke mana, Kak? Kok rapi amat.”
“Mau jemput lo,” jawab gue sambil terkekeh. “Kan harus rapi kalau mau jemput calon pacar, hehehe.”
Hana sesaat terdiam dan berusaha mencari topik yang lain, “Mau manggung ya, Kak?” Tanyanya.
“Lo kok tahu?” Tanya gue keras—karena emang beneran kaget. Padahal, temen-temen gue aja gak tahu kalau gue selama ini ngeband, tapi kok dia bisa tahu, sih? Kan gue jadi geer sendiri, jangan-jangan dia sering ngeliatin gue waktu gue latihan?
“Nebak aja, sih, hehehe,” jawab Hana lagi. “Gue boleh tanya sesuatu gak, Kak?”
Gue terdiam untuk menimbang-nimbang dan menebak, kira-kira ke arah mana pertanyaan yang akan dikeluarkan oleh Hana? “Boleh, tanya aja sesuka lo. Gue seneng, kok, kalau lo yang nanya.” Gombalan-gombalan gue kayaknya memang gak bermutu. Sepertinya gue harus mengupdate gombalan-gombalan baru dari Bang Yoga.
“Waktu itu lo kenapa?”
Bingo.
Tepat seperti itu yang gue pikirkan. Kalau gue jadi dia pun gue akan bingung kenapa ada orang yang datang menghampiri dia dan tiba-tiba menangis gak jelas. Diam-diam gue menyesal kenapa gue harus menampilkan sisi terburuk gue kepada dia ketika dia belum mengenal gue sedikit pun. “Gak apa-apa.”
“Really?”
“Gak terlalu benar, tapi it’s ok,” jawab gue. “Makasih btw, udah temenin gue nangis.”
“Itu gak kayak lo, Kak.”
“Gue juga punya sisi yang lain, yang gak mau gue tunjukkin sama orang-orang,” jawab gue pasti.
***
F a r h a n a
“Gue juga punya sisi yang lain, yang gak mau gue tunjukkin sama orang-orang,” jawab Kak Jhordan sembari fokus menatap jalanan yang gelap. “Lo juga, kan?”
Gue mengangguk. Siapa, sih, yang gak punya sisi lain dalam hidupnya? Memang ada orang yang sempurna? Gak, dia pasti punya satu dua hal yang gak ingin orang ketahui tentang dirinya, makanya terkadang orang-orang selalu punya topeng masing-masing ketika berada di hadapan orang lain.
“Mau lihat gue manggung?” Tanya Kak Jhordan. Belakangan ini, suaranya sudah gak asing lagi buat gue. Di kantin, di depan kelas, di parkiran, gue sudah sangat biasa mendengar suaranya. Tapi, mendengar dia nyanyi? Rasanya gue belum pernah.
Gue takut, ketika gue mendengar dia bernyanyi, tiba-tiba jantung gue ikut berdetak tidak beraturan. Padahal, Bening udah melarang gue buat benar-benar suka sama Kak Jhordan. Katanya, Kak Jhordan itu playboy, dan gue percaya. Mana ada sih cowok ganteng kayak Kak Jhordan yang gak seneng mainin cewek?
Dan gue takut juga kalau nantinya gue benar-benar suka sama dia, ketika dia hanya menyukai gue di awal-awal seperti ini.
“Hana?”
“Nanti Bening gak ada temen dong, Kak,” jawab gue. “Terus gue belum mandi, malu lah, Kak.”
“Gue tungguin lo mandi,” jawab Kak Jhordan, kemudian menghentikan motornya di depan kos gue dan Bening, dan tampaknya Bening belum sampai, atau dia belum pulang?
“Kak, Bening belum pulang…,” sedikit banyak gue menyalahkan Kak Jhordan karena membawa gue dan meninggalkan gue sendirian. Sementara itu, Kak Jhordan tampak menimbang-nimbang, “Gue suruh Sena jemput, ya. Tapi syaratnya, lo harus nonton gue manggung, gimana?”
Gue menghela napas. Gue gak mau, tapi kasihan Bening. “Bener ya, Kak?”
“Iya, sana mandi,” jawabnya sambil tersenyum.
Gue yang memandangnya hanya terpana, memikirkan jantung gue yang sudah berdetak di luar irama. Kenapa….kenapa dia harus semanis itu kalau tersenyum?
Ahahaha, gue mikir apa, sih.
Gue gak boleh suka sama Kak Jhordan, karena kalau sampai gue suka, berarti gue sudah menambah lagi satu orang pada daftar orang-orang yang suatu saat bisa saja gue sakiti.
***
J h o r d a n
Gue menghela napas lega ketika akhirnya gue bisa mengakhiri perang dunia ketiga antara gue dan Sena dan menggagas sebuah perang dunia baru antara Sena dan Bening. Gak ada pilihan lain selain menelepon Sena. Lagipula kalau bukan karena Hana, gue gak akan coba-coba menelepon Sena, apalagi untuk urusan si nenek lampir itu.
Kafe Oriona saat itu cukup ramai dipadati pengunjung. Pengunjung di sana memang anak-anak muda, berkisar dari umur tujuh belasan hingga tiga puluhan. Walaupun bukan weekend, tampaknya mereka santai-santai saja menikmati hidup ini, gak seperti Dennis yang masih saja membawa bukunya ketika dia sudah sampai kafe.
Rupanya, ajakan Brian pada seluruh penghuni maison de rêve berhasil. Bang Yoga, Bang Ijul, Brian, Cakka dan Dennis sudah duduk di salah satu sudut kafe dan tampak memilih-milih makanan bingung. Untung aja gue manggung di kafe yang kisaran harganya cocok untuk anak-anak kos semacam mereka—yang sebenarnya punya uang, tetapi terlalu sayang jika dikeluarkan hanya untuk urusan perut. Di sana juga ada Hana, yang sengaja gue titipkan pada mereka.
Sebenarnya gue juga meminta Sena untuk menunggu Bening mandi dan berganti baju agar bisa menemani Hana, maka dari itu gue yakin sekarang dia lagi misuh-misuh. Tadi aja waktu gue telepon, dia kaget setengah mati dan marah-marah sebelum akhirnya gue memutuskannya sebelah pihak. Hehe, maafin gue ya, Sen, ini demi kelancaran pedekate gue.
“Selamat malam semuanya, selamat berbahagia di malam Rabu ini,” ujar gue saat baru saja berada di atas panggung. Bersamaan dengan itu, gue melihat Bening dan Sena masuk dengan tatapan maut yang terarah kepada gue. Ampun, serem amat si Sena.
“Baik lagu pertama yang akan saya bawakan adalah…”
***
S e n a
Kafe Oriona adalah kafe yang terbilang cukup ramai karena harganya yang cocok untuk para mahasiswa dan dekorasinya yang cukup unik serta instagramable. Ditambah lagi, dengan langit malam yang indah yang bisa gue saksikan dari jendela besar di tengah-tengah kafe yang menghadap langsung ke jalan raya. Sayangnya, gue tidak merasakan keindahan tersebut karena gue ke sini bersama dengan perempuan jadi-jadian ini.
“Buset, akhirnya Sena punya cewek!” Ya, lo semua pasti tahu respon apa yang akan mereka keluarkan ketika pertama kali gue datang bersama Bening. Maka dari itu, gue gak menanggapinya dan hanya duduk di sebelah Dennis, “Amit-amit.”
“Alah, amit-amit tar lama-lama jadi kesemsem, deh,” Bang Ijul menggoda gue, lalu mencibir.
Sementara itu, Bening segera duduk di samping Hana dan mungkin sedikit memarahinya? “Kenapa lo ikut-ikut Kak Jhordan, sih?” Iya, kan, sama! Gue juga pengen banget marah, gara-gara Hana ikut Jhordan, gue harus nunggu Bening mandi dan ganti baju di luar kos dia. Padahal, gak tahu kenapa, akhir-akhir ini kota Bandung terasa sangat-sangat dingin di malam dan dini hari.
Udah, Sen, udah. Ikhlaskan. Siapa tahu ini menjadi pahala gue.
“Baik lagu pertama yang akan saya bawakan adalah… Everything dari Michael Buble.”
Suasana kafe berubah menjadi hening—tersihir oleh suara Jhordan yang mungkin membuat hampir seluruh pengunjung kafe terpesona. Mau gak mau pandangan gue pun langsung terfokus pada Jhordan yang mulai mengeluarkan suaranya ketika petikan gitar terdengar.
“You’re a fallen star, you’re the gateaway car, you’re the line in the sand, when I go too far…..”
Semua orang mengangguk-anggukan kepala mendengarkan lagu yang dirilis sudah cukup lama tersebut—yang gue ingat sekitar tahun dua ribu tujuh. Beberapa ada yang berteriak histeris—terutama cewek-cewek—dikarenakan suara Jhordan yang mampu membuat semua pandangan tertuju padanya.
Tapi di tengah lantunan reff dari lagu tersebut, gue mendengar sesuatu yang aneh.
“And in this crazy life, and through these crazy times, it’s you, it’s you…You make me sing, you’re every line…”
Sebuah isakan tangis yang membuat gue dan anak-anak lainnya—Bang Yoga, Bang Ijul, Brian, Dennis, dan Cakka—yang sedang asyik mendengarkan menoleh ke arah sumber suara itu.
Hana menangis terisak-isak.
Sementara itu, teman-teman gue dan juga Bening memasang tampang cengo. Perlu gue perjelas bagaimana tampang cengo itu? Pokoknya, tampang itu mirip-mirip seperti tampang bengong dengan mulut berbentuk O sebagai kekhasannya.
Gue kira Bening tahu apa penyebabnya, tapi ternyata dia sama-sama bingung, bahkan dia menoleh ke arah gue dengan mata yang bertanya-tanya. Dan gue hanya menaikkan bahu karena ya, gue memang gak tahu.
Iya….
Gue sangat mengerti kalau ini lagu romantis.
Tapi ini bukan lagu romantis yang patut ditangisi, karena ini bukan lagu romantis yang sedih. Terus kenapa Hana menangis? Apa ia seterharu itu Jhordan menyanyikan lagu romantis?
Gak mungkin.
Tapi kenapa?
Bersamaan dengan tampang kita yang semakin cengo, Bening menarik tangan Hana dan mengajaknya keluar kafe sebelum akhirnya memeluk dia di teras. Sementara itu gue masih mengernyit gak mengerti, kenapa dia bisa menangis mendengar lagu seperti itu ketika orang-orang lain menikmatinya dengan bahagia?
***