Read More >>"> Rver (7| Cakka & Dennis - Aneh) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rver
MENU
About Us  

Kosong

 

 

Bukankah langit kosong tetapi isi?

 

Dan bukankah hatimu penuh dengan isi tetapi kosong?

 

--Sapardi Djoko Damono--

 

C a k k a

“Ka? Lo udah tidur belum?” Pintu kamar gue digedor pelan oleh seseorang. Mendengar suara lembutnya, sepertinya itu Bang Dennis. “Cakka? Ya udah kalau lo udah tidur gak apa-apa.”

Mata gue mengerjap, lalu menyalakan handphone dan mendapati jam masih menunjukkan pukul satu pagi. Perlahan-lahan gue mengangkat kepala gue yang sangat pusing dari meja belajar. Gue ketiduran lagi, padahal hari ini adalah empat puluh hari menuju ujian yang katanya paling menakutkan bagi anak-anak kedokteran.

Dengan mata setengah mengantuk, gue memegang gagang pintu dan membukanya, mendapati Bang Dennis masih mondar-mandir bingung di depan kamar gue. “Ada apa, Bang? Tumben udah  bangun, biasanya bangun jam tiga?”

Bang Dennis nyengir, “Maaf ya ganggu, Ka.”

“Selo, Bang. Gue jadi bangun dan bisa belajar lagi…”

“Jhordan udah balik,” jawabnya pelan seakan tidak ingin terdengar oleh penghuni maison de rêve yang lainnya. Kemudian dia menghela napas dan menyenderkan punggungnya ke dinding. “Terus dia ngurung diri di kamar, Ka. Gue pikir tadi ada maling yang masuk, soalnya kayak kesusahan buka pintu gitu.”

Gue mengernyitkan dahi, mencoba berpikir. “Mungkin kita ajak ngobrol pagi nanti aja, Bang? Kayaknya Bang Jhordan juga butuh istirahat, atau gak mau ngomong dulu sama kita.”

“Masalahnya di kaki dan tangannya banyak banget luka, Ka. Gue gak tega kalau ngebiarin itu sampai pagi,” ujar Bang Dennis, kini nada bicaranya sedikit panik. “Gimana, dong?” Matanya kini menatap gue penuh harap, padahal gue gak mengerti jawaban apa yang diharapkan oleh Bang Dennis.

Mendengar itu, gue pun sedikit banyak panik. Walaupun gue terbilang jarang ngobrol dengan Bang Jhordan—karena gue takut—gue sangat-sangat tahu bahwa Bang Jhordan adalah orang yang sangat baik. Jika dia menyakiti dirinya seperti itu, mungkin masalah yang kemarin kita bicarakan adalah masalah yang sangat-sangat serius untuk dia.

Bang Jhordan mungkin cuma dua hari gak balik ke sini, tapi selama dua hari itu Bang Jhordan pasti mengalami perang batin tentang apa yang seharusnya dia lakukan. Kadang, gue sering merasa kasihan pada orang yang sebenarnya banyak masalah dalam hidupnya, tetapi berusaha menutupinya. Menurut gue itu lebih sakit dua kali lipat dibandingkan orang yang mudah cerita mengenai masalah hidupnya.

Dan sejujurnya, gue baru tahu masalah Bang Jhordan kemarin—saat kita semua sengaja berkumpul di ruang tengah. Siapa yang gak kaget dengan masalah serumit itu? Gue aja yang hanya sering diteror oleh cewek aneh di kampus udah kelabakan, apalagi harus bergelut sama masa lalu seperti itu?

Ya, diam-diam gue bersyukur gue gak sering galau kayak Bang Yoga atau Bang Ijul, dan gak punya masalah yang rumit sama keluarga gue—kecuali kalau gak sengaja berantem sama Bang Yoga karena masalah Kak Ditas.

“Ya udah, kita ke kamarnya aja apa, ya? Pelan-pelan, jangan sampai Bang Sena bangun, nanti dia heboh sendiri, terus semuanya ikut bangun, deh,” ajak gue pada Bang Dennis yang disambut dengan anggukan setuju. “Cakka ambil kotak obat dulu ya, Bang. Abang coba ketuk dulu deh pintunya.”

“Gak ah, lo aja, Ka. Gue takut.”

“Ya Cakka lebih takut, Bang. Bang Dennis aja duluan.”

“Lo aja deh, Ka. Kalau dia ngamuk terus ngebanting pintu gimana?”

Gue menghela napas. Kenapa Bang Dennis yang seumuran sama Bang Jhordan malah takut gini, sih. Gak tahu apa kalau gue setiap ngomong sama Bang Jhordan aja udah deg-degan takut salah ngomong? Nanti Bang Jhordan gak mau jadi pasien gue lagi gimana? “Ya udah gini aja, Bang, kita jalan berdua, Cakka yang ketuk pintunya, Abang yang ngomong, gimana?” Tanya gue pada Bang Dennis.

Bang Dennis mengangguk-angguk. “Ya udah buruan ambil kotaknya.” Ujar Bang Dennis sambil mendorong-dorong punggung gue. Dengan segera gue mengambil kotak peralatan yang berada di ujung meja belajar gue dan berjingkat-jingkat menuju Bang Dennis yang sudah berada di depan pintu kamar Bang Jhordan. “Aman?”

“Aman, Ka,” Bang Dennis mengacungkan jempolnya.

Baru saja gue akan mengetuk pintu kamar Bang Jhordan, pintunya sudah dibuka dengan keras dan menampilkan sosok Bang Jhordan yang sangat kacau.

“ASTAGFIRULLAH!”

Teriakan Bang Dennis yang tiba-tiba heboh membuat gue hampir loncat, dan bahkan Bang Jhordan yang tiba-tiba muncul di hadapan kita berdua pun kaget. Yah, gagal deh acara gak-usah-bangunin-Bang-Sena, karena sekarang gagang pintu milik kamar Bang Sena sedang bergerak dan pintu kamarnya terbuka. “Ada apa, sih?” Tanya Bang Sena, matanya masih menutup.

Kemudian setelah beberapa detik kemudian matanya terbuka, pandangannya menyusuri setiap bagian tubuh Bang Jhordan dan berteriak dramatis. “Jhordan? Lo udah balik?”

“Suuut, Bang! Suut, jangan berisik tar pada bangun,” gue mendelik ke arah Bang Sena yang dibalas dengan kekehan kecil dari mulutnya. “Oh iya-iyaaa,” jawabnya sambil berbisik-bisik.

“Kalian ini sebenernya ngapain, sih?” Tanya Bang Jhordan, mencoba melewati kita bertiga yang berada di hadapannya. Sementara itu gue, Bang Dennis, dan Bang Sena hanya bengong karena mendapati luka di tubuhnya cukup banyak. “Lo habis ngapain sih anjir? Habis ngesot di jalan? Kok bisa kayak gini?” Tanya Bang Sena.

“Gak usah sok peduli,” jawab Bang Jhordan sinis. “Awas. Gue mau ambil minum.”

“Cakka obatin dulu ya, Bang, takut kenapa-kenapa,” ujar gue sambil mendorong Bang Jhordan masuk dan mendudukkannya di tempat tidur. Sementara itu, Bang Dennis segera mengambil air minum.

Sementara gue mengobati lecet-lecet yang berada di tangan, kaki, dan rahangnya, Bang Sena dan Bang Dennis memperhatikan dari pintu, sesekali meringis—padahal Bang Jhordan masih kalem-kalem aja. Tatapannya kosong dan hanya memandang ke arah depan tanpa sekali pun memperhatikan gue.

“Bang Jhordan kenapa?” Tanya gue. Beberapa saat kemudian gue ingin menepuk jidat gue sendiri karena melontarkan pertanyaan yang tidak seharusnya gue tanyakan di saat yang seperti ini. Bego emang. Untungnya Bang Jhordan gak menjawab pertanyaan gue dan malah lebih asyik memperhatikan kamarnya sendiri.

Seumur gue di sini, kamar Bang Jhordan adalah kamar yang gak pernah gue masuki—jadi ini adalah kali pertama gue masuk ke sini. Gue kira, bang Jhordan adalah orang yang berantakan dan jarang membereskan kamarnya. Tapi ternyata, kamarnya tertata rapi, satu-satunya yang gak rapi hanya meja belajarnya yang dipenuhi kertas.

Beberapa dari kertas tersebut ada yang ditempel di dinding, hingga gue akhirnya menyadari kalau itu adalah puisi-puisi. Gue gak pernah tahu kalau orang seseram Bang Jhordan sering bikin pusi?

“Pada suatu hari nanti,” Bang Sena menghampiri salah satu kertas dan memperhatikannya dari jarak dekat. “Pada suatu hari nanti, impianku pun tak dikenal lagi, namun di sela-sela huruf sajak ini, kau takkan letih-letihnya kucari. Waw,” Bang Sena manggut-manggut seperti sedang menikmati karya seni, kemudian pandangannya beralih pada Bang Jhordan yang segera mengalihkan tatapannya ke arah lain.

“Gue minta maaf,” ujar Bang Sena pelan. “Maaf kalau kata-kata gue menyakiti hati lo kemarin.”

“I—iya, Bang, Cakka juga minta maaf, Abang jangan kabur-kaburan lagi, ya, sedih tahu,” ujar gue sambil membereskan kotak peralatan. Semua lukanya sudah gue bersihkan, dan beberapa luka yang cukup dalam sudah gue tutup dengan perban-perban kecil.

“Sedih ya, Ka?” Jawaban itu keluar dari mulut Bang Jhordan, disertai kekehan kecil. Akhirnyaaaa, akhirnya Bang Jhordan mengeluarkan suara juga. “Pasti gak ada yang jadi pasien lo.”

“Iya, Bang,” jawab gue lagi. “Dateng-dateng malah jadi pasien beneran.” Dan baru kali ini akhirnya Bang Jhordan menepuk-nepuk puncak kepala gue. Waw, apa gue harus memasukkannya ke dalam keajaiban dunia yang kedelapan?

Bang Sena menghela napas, kemudian menepuk-nepuk bahu Bang Jhordan. “Lo istirahat dulu, Dan. Kalau lo mau cerita sama gue kemana aja lo kemarin, cerita aja besok pagi, gue mau lanjut belajar.”

“Ha?” Gue dan Bang Dennis menyahut perkataan Bang Sena dan dibalas dengan ekspresi cengo darinya. “Kenapa?” Tanya Bang Sena lagi sambil mengganti-ganti pandangannya dari gue ke Bang Dennis.

“Lo baru pulang jam sebelas, terus lo bangun jam satu gara-gara keributan ini, terus lo gak akan tidur lagi?” Tanya Dennis. Bang Sena menggeleng dan mengangkat bahunya, kemudian melangkahkan kakinya menuju kamarnya. Sementara itu, gue dan Bang Dennis hanya bertatap-tatapan bingung harus melakukan apa.

Bang Dennis akhirnya mencoba berkata-kata, “Dan, lo istirahat ya, gue sama Cakka—“

Thanks,” ujar Bang Jhordan, kemudian tersenyum.

Lalu Bang Jhordan merebahkan tubuhnya dan menarik selimut menutupi seluruh badannnya. Lagi-lagi gue bengong karena ini adalah kali pertama gue melihat Bang Jhordan tersenyum seperti itu. Gue kira Bang Dennis tidak akan melakukan hal yang sama, tapi ternyata dia sama kagetnya dengan gue.

“Kok kayaknya ada yang berubah ya dari Bang Jhordan?” ujar gue sambil keluar dari kamar Bang Jhordan dan menutupnya pelan.

Bang Dennis hanya tersenyum, lalu menepuk bahu gue, “Udah jangan ngegosip. Bagus kalau dia berubah jadi lebih baik,” jawabnya. Gue hanya nyengir terpaksa. Gue lupa kalau Bang Dennis bukan sumber mata air pergosipan seperti Bang Yoga.

“Bang, nanti pagi gue nebeng ya ke kampus, Bang Yoga ada urusan soalnya,” ujar gue.

Bang Dennis mengangguk-angguk. “Mau naik motor atau mobil?” Tanyanya. Waw, orang tajir mah memang beda, ya. Gue terkekeh, “Apa aja, deh, Bang.”

Bang Dennis mengacungkan jempolnya, beberapa saat kemudian dia sudah masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya pelan. Sekarang kosan cukup hening dan menyisakan gue yang sekarang bingung mau ngapain.

Akhirnya gue memutuskan untuk masuk ke kamar. Karena gue sekarang gak punya mood untuk belajar, jadi lebih baik gue main handphone aja sampai mengantuk. Membaca-baca timeline sepertinya bukan hal yang buruk.

Mata gue memicing melihat satu pesan yang masuk sekitar setengah jam yang lalu.

[Gianita Jihan]

Gak, gue gak mau pulang, gue takut.

Gue mengernyit, halah sok-sokan salah sambung nih kayaknya. Atau apa chat gue udah dipin ya sama dia makanya chat gue ada di deretan atas kontak dia? Serem banget, segitunya mau neror gue. Udah gue bilang berkali-kali kalau gue gak ada niat sedikitpun buat melaporkan dia. Dasar cewek geer. Kan gak mungkin dia mau modus sama gue, mukanya aja garang begitu, kayaknya dia sukanya bukan sama manusia.

Ah, udahlah bodo amat, gue mau tidur.

***

“Makasih ya, Bang,” gue melihat Bang Dennis menaikkan alisnya dan tersenyum, kemudian setelah gue menutup pintu mobilnya, ia segera meninggalkan fakultas gue untuk segera menuju fakultasnya.

“YA ALLAH! NGAGETIN AJA!” baru beberapa detik gue memikirkan bagaimana cara untuk menghindari cewek yang sekarang berada di hadapan gue, tau-tau dia udah muncul dengan muka nyengir dan kantung mata yang membesar. “Haloooo Cakka, selamat pagi, selamat karena hari ini GUE BAKAL NGIKUTIN LO LAGI.” Ujarnya sambil bertepuk tangan.

Gue menggeleng-gelengkan kepala frustasi, kenapa sih hidup gue yang sudah damai di FK ini harus terganggu hanya gara-gara gak sengaja memergoki dia sedang merokok? Kalau aja waktu itu gue bodo amat kayak si Farhan dan langsung ngacir keluar dari kampus, pasti gak akan begini jadinya.

 “Gue salah apa lagi? Gue kan udah janji gak akan laporin lo, udah tanda tangan di atas materai juga. Udah jangan ganggu gue!” Gue melangkahkan kaki menuju ruang tutor, berusaha meninggalkan Jihan yang sekarang masih menuturi langkah gue.

“Lo baca chat gue semalem?”

“Iya! Modus kan lo?”

“Ih, gak ya! Ngapain gue modus sama lo!”

“Terus?”

“Ya karena lo udah keburu baca sebelum gue unsend, jadi gue harus ngikutin lo biar lo gak nyebarin gosip-gosip gak jelas,” jawabnya sambil berjalan beriringan dengan gue.

Gue mendelik frustasi, emang isi chat dia semalam mengundang gue untuk menyebarkan gosip apa? Terus emang muka gue ini muka-muka lambe turah? “Gue aja gak ngerti isi chat lo apa, Jihaaan.”

Hah, kayaknya lama-lama gue harus ikut SBMPTN lagi biar gue bisa pindah fakultas.

“Ya siapa tahu lo langsung bilang ke temen-temen lo kalau gue menderita di rumah makanya gue gak mau pulang,” jawab Jihan pelan, kemudian dia nyengir, membuat gue beristigfar berkali-kali. Ya Allah, gue salah apa, ya? Harusnya gue rajin-rajin beribadah kayak Bang Dennis biar dijauhkan dari pengganggu-pengganggu nyata seperti ini.

Gue menghentikan langkah gue. “Nih, ya, Jihan. Gue kasih tahu sama lo, gue akan pura-pura gak kenal lo, seumur hidup gue kalau bisa. Jadi lo gak perlu khawatir kalau gue bakal mengeluarkan kata-kata aneh tentang lo. Kalau bisa line gue lo block aja, gue juga bakal melakukan hal yang sama.”

Jihan menghela napasnya, kemudian dalam beberapa saat tidak menjawab. Matanya justru memperhatikan sekelilingnya dengan pelan dan takut-takut. Setelahnya, dia berjinjit untuk membisikkan sesuatu ke telinga gue. “Please, tolong terus bareng-bareng gue hari ini aja. Gue takut, gue butuh lo.”

Gue mengernyit memastikan Jihan gak sedang bercanda atau apa pun. Tapi, melihat mukanya yang penuh harap dan mengeluarkan ekspresi memohon, gue gak tahu harus berbuat apa. “Ke—kenapa?” Gue ikut memperhatikan sekeliling gue, mencari-cari hal apa yang menakutkan bagi Jihan, tapi gue gak menemukan apa pun.

***

J i h a n

Di dalam hidup lo, pasti ada—entah itu satu atau lebih—orang yang datang dalam hidup lo dan memberikan banyak kesan yang mendalam. Kesan itu mungkin bisa menyenangkan, menjengkelkan, atau bahkan menakutkan.

Gue juga punya orang-orang itu di dalam hidup gue. Selama delapan belas tahun gue hidup—atau lebih, gue gak pernah punya teman. Entah apa yang salah dari gue, tetapi mereka—yang bertemu gue—akan selalu menjauh takut dan berakhir meninggalkan.

Meninggalkan dan ditinggalkan adalah sebuah hal yang biasa dalam hidup gue. Banyak orang yang meninggalkan, sementara ditinggalkan sudah menjadi makanan sehari-hari gue.

Gue gak terlahir abnormal, gue lahir dengan keadaan yang baik-baik saja, tetapi tetap, Ibu dan Ayah meninggalkan gue dan kakak gue—Kak Alendra—di dalam sebuah rumah yang gak bisa dibilang layak, membuat gue dan dia harus kelimpungan mencari tempat pulang dan berakhir tinggal di sebuah keluarga tua saat itu.

Setelah itu, gue kira semuanya akan baik-baik saja, tetapi, tidak lama kemudian, keluarga tua itu meninggalkan gue dan Kak Alendra, untuk selamanya. Sebuah keberuntungan karena gue dan Kak Alendra sudah besar saat itu. Kak Alendra sudah berada di tahun terakhir SMA-nya, sementara itu gue baru berada di tahun pertama SMA.

Kak Alendra saat itu merupakan kakak terbaik untuk gue. Siapa sih yang gak senang punya kakak laki-laki yang selalu membelikan lo makanan tiap malam, selalu menjaga lo tiap lo sakit, dan selalu menjadi pelindung lo di saat lo membutuhkan? Saat itu gue masih terlalu muda untuk memikirkan dari mana Kak Alendra mendapat uang untuk membelikan hal-hal yang gue butuhkan.

Dan saat gue tahu jawabannya, gue sangat terkejut.

Kakak gue telah berubah menjadi seseorang yang sangat menakutkan.

Entah apa yang mengubahnya, mungkin dunia perkuliahan, atau mungkin dirinya sendiri yang menginginkannya—gue gak pernah tahu sampai saat ini.

Please, tolong terus bareng-bareng gue hari ini aja. Gue takut, gue butuh lo.” Ujar gue pada orang di hadapan gue yang malah bengong dan ikut-ikutan memperhatikan sekitar. Gue bukan jenis orang yang sering memohon-mohon pada orang lain—walaupun pada kenyataannya hidup gue memang susah—tapi ini satu-satunya cara agar gue bisa menghindar dari dia.

Dahinya berkerut, “Ke—kenapa?”

Selama hampir setengah semester gue berada di fakultas yang bergengsi ini, gue gak pernah punya teman. Jika orang lain akan masih sangat sibuknya mengikuti ospek-ospek dan bercengkrama sepulang kuliah, gue gak bisa. Gue harus segera pulang—bukan untuk kembali, tetapi untuk bersembunyi.

Tolong, gue juga ingin hidup menjadi orang normal lagi.

“Maaf kalau gue ganggu lo mulu.”

“NAH ITU TAU!”

“Ya udah biasa aja gak usah ngegas,” gue menoyor cowok ganteng yang kini ada di sebelah gue itu. “Gue—harus sembunyi, kalau gue bareng-bareng lo, dia gak bisa ngejar gue dan nyuruh gue pulang.”

“Sembunyi kenapa? Oh, jangan-jangan lo buronan, ya?” Tanya Cakka lagi. “Udah sana jauh-jauh dari gue.” Tangannya memberikan gestur agar gue pergi.

“Kalau gue bilang gue dikejar pembunuh?”

Ekspresi Cakka berubah menjadi ngeri dan untuk beberapa saat dia terdiam memperhatikan gue. “Ah, gak usah ngarang deh lo!” Cakka kemudian melanjutkan langkahnya.

Gue segera menyejajarkan langkah gue kembali dengan dia. Walau mungkin dia gak menganggap gue teman, tapi dia adalah satu-satunya teman buat gue—yang mungkin bisa melindungi gue. Ya, seenggaknya dia membuat kakak gue gak mau deket-deket sama gue.

“Gue berada dalam fase hidup yang menakutkan, Ka, buat gue lo satu-satunya pelindung gue. Gue gak punya temen lagi, gue gak punya siapa-siapa lagi.”

Langkah dia terhenti, kemudian kembali menatap gue dengan tatapan yang tajam, namun perlahan melunak. Entah apa yang membuat dia tiba-tiba mau berhenti dan mendengarkan gue, mungkin keputusasaan gue, atau kekosongan dalam diri gue?

“Untuk saat ini aja, tolong jadi temen gue,” ujar gue lagi. Gue benci memohon-mohon seperti ini untuk orang yang baru gue kenal beberapa minggu lalu. Tapi, gue gak punya pilihan. “Suatu hari nanti, gue janji bakal pergi dari hidup lo.”

***

D e n n i s

“Kak Dennis?”

Gue menoleh dan mendapati sesosok mahasiswa baru—karena ia masih memakai name-tag berwarna ungu—yang tersenyum. “Ya?” Rasanya agak aneh mereka memanggil gue dengan sebutan ‘Kak’, mungkin efek baru jadi kakak tingkat, atau mungkin karena di maison de rêve, gue terbiasa memakai panggilan ‘Bang’.

“Boleh minta diajarin mata kuliah ini gak?”

“Ya?” Lagi-lagi gue bertanya kaget karena seseorang yang gak dikenal tiba-tiba menyapa gue dan meminta gue mengajarkan sesuatu. It’s a little bit weird for me. Pandangan gue menatap ke sekeliling dan mendapati beberapa mahasiswi berkumpul sambil melihat adegan antara gue dan cewek di hadapan gue ini sambil berharap-harap cemas. Oh, ceritanya lagi bantuin temennya ya.

“Nama kamu siapa?” Tanya gue pada cewek itu. Gue gak bermaksud tebar pesona atau apa pun, gue hanya menghargai dia yang sudah berani menyapa gue. Tapi tanpa gue sangka, kerumunan mahasiswi baru diujung sana—teman-teman dia—ikut teriak dan meloncat-loncat. Mereka ini kenapa, ya, kayak ketemu artis aja.

“Anisa, Kak,” jawabnya sambil tersenyum. “Boleh, Kak?” Tanyanya lagi.

Gue menimbang-nimbang, gue harus menjemput Cakka, jadi gue rasa gue gak akan bisa. Gue gak mungkin membuat Cakka menunggu, karena janji gue dengan dia dibuat lebih awal dibandingkan dengan perempuan bernama Anisa ini. “Maaf, ya. Saya harus…”

Mata gue menangkap sesosok perempuan—yang beberapa hari ke belakang membuat gue bingung setengah mati—sedang berjalan ke arah perpustakaan fakultas dengan membawa buku-buku di tangannya. Beberapa kali gue mencoba memperjelas pandangan, tetapi cewek itu memang benar-benar sama seperti saat pertama kali gue bertemu—cara jalannya yang menunduk dan ragu-ragu untuk menatap orang di depannya.

“Kalau di perpustakaan gimana?” Tanya gue kepada Anisa yang disambut dengan anggukan cepat dan pipi yang bersemu kemerahan. Gue berkali-kali meminta maaf pada diri gue sendiri kalau gue gak bermaksud memberikan harapan apa-apa, tapi gue benar-benar penasaran ingin mengikuti Aleta.

Gue dan Anisa berakhir berjalan beriringan menuju perpustakaan. Mungkin dia pikir gue gak menyadari kalau teman-temannya yang tadi berteriak-teriak di ujung sana sedang mengikuti kita, tapi gue bersyukur, setidaknya gue gak berduaan bersama perempuan di sana.

Perpustakaan sore itu sangat sepi—mungkin karena orang-orang lebih memilih untuk pulang dan belajar di rumah. Gue dan Anisa mengambil tempat duduk yang berjarak beberapa bangku dari tempat Aleta yang sedang mencatat-catat di atas bukunya.

Tapi kok kayaknya gak ada yang aneh, ya. Dia tampak….wajar? Seperti saat gue dan dia pertama kali bertemu dan sangat berbeda jauh dengan apa yang gue lihat malam itu. Mungkin itu bukan dia? Mungkin itu kembaran dia? Tapi kalau bukan dia, kenapa temannya menanyakan hal yang sama dengan yang ingin gue tanyakan waktu itu?

“Jadi ini gimana, Kak?”

“Eh?”

Gue mengalihkan kembali pandangan kepada buku yang disodorkan Anisa dan berakhir menjelaskan beberapa materi. Mata gue masih sesekali menatap Aleta yang tiba-tiba mengarahkan pandangannya ke arah gue.

Waduh.

Gue hanya tersenyum dan mengangguk saat pandangan kita bertemu. Beberapa saat kemudian, dia sudah membereskan tasnya dan berjalan melewati gue dan Anisa. Setelah terjadi perang batin di dalam diri gue, gue akhirnya memberanikan diri gue untuk…., “Halo, nama lo Aleta?”

Aleta sedikit terkejut, kemudian tersenyum. Hati gue berharap-harap jawabannya membuat segalanya jelas buat gue, tapi dia hanya menjawab, “Oh? Kamu yang waktu itu saya tebengin, ya? Maaf, waktu itu gak sempet kenalan, nama saya Aleta, nama kamu siapa?”

Gue berakhir bengong sendiri karena gak mengerti dengan apa yang terjadi. Nah, ini bener nih, Aleta yang waktu itu nebeng motor gue. Tapi, Aleta yang waktu malam itu siapa? Jangan-jangan Aleta jadi-jadian? Kalau pun jadi-jadian masa temennya gak nyadar sih. Kan…aneh?

Apa Aleta ada dua, ya?

Haduh, mikir apa sih gue ini. “Nama gue Dennis,” jawab gue singkat, membuat dia mengerucutkan bibirnya dan mengangguk-anggukan kepalanya. Apa gue tanya aja, ya? Lama-lama gue jadi mati penasaran kalau terus-terusan kayak gini.

“Hm… oh iya, gue mau tanya sesuatu…,” ujar gue memberanikan diri. Aleta mengangguk-angguk setuju dan menaikkan alisnya penasaran. Sementara itu, baru saja gue akan bertanya, gue sadar akan keberadaan Anisa yang tadi sedang gue ajari. Mungkin sekarang dia sedang bengong dan merasa dikacangi. “Boleh tunggu dulu gak?” Tanya gue pada Aleta, berharap kalau dia gak akan keberatan untuk menunggu.

Aleta mengangguk-angguk. “Oke, saya tunggu di meja itu, ya.” Aleta tersenyum, sedikit membungkukkan badannya, kemudian berlalu menuju meja yang dia tunjuk.

Gue menatap Anisa yang sedang menatap gue juga, “Hm, maaf ya, Anisa. Saya lagi ada urusan, mungkin kapan-kapan bisa dilanjutin?”

Anisa mengangguk-angguk. “Makasih ya, Kak, atas bantuannya, saya pamit dulu.” Jawabnya cepat, kemudian dia berlari menuju teman-temannya yang sedang berpura-pura membaca buku—padahal gue tahu kalau mereka sejak tadi mengamati gue dan Anisa.

Gue mengumpulkan keberanian untuk berbicara pada Aleta dan menimbang-nimbang apa yang harus gue katakan. Mungkin hampir seumur hidup gue, gue belum pernah merasa seperti ini ketika harus berbicara dengan perempuan. Gue terbilang jarang berinteraksi dengan perempuan—kecuali urusan penting seperti tugas kelompok—maka dari itu, berbicara berhadap-hadapan seperti ini hampir membuat jantung gue melorot menuju perut.

Gak sengaja gue memandang jam yang melingkar di tangan gue dan terkejut. Waduh, kayaknya Cakka udah nungguin gue dari tadi. “Lo…balik ke kosan atau ke rumah?”

“Ha? Hm… ke kosan.”

Mungkin gue sedikit terdengar seperti laki-laki yang modus ingin mengantar perempuan ke rumah atau tempat kosnya. Tapi gue sungguh-sungguh cuma penasaran dengan apa yang gue lihat waktu itu. “Mau balik bareng gue? Gue bawa mobil, tapi bareng adik gue, gak apa-apa?”

“Eh, gak usah ngerepotin…”

“Gak apa-apa kok,” gue berbicara dengan nada yang gak memaksa tetapi berharap Aleta akan menyetujuinya. “Soalnya ada sesuatu yang harus gue tanyain.”

“Penting banget, ya?”

“Ha?” Gue mencari-cari alasan yang masuk akal untuk gue lontarkan, tapi otak gue ini justru tidak mengeluarkan kalimat apa pun yang pas untuk dilontarkan. “Iya, penting.”

Aleta mengangguk-angguk, “Oke, Dennis.” Kemudian ia tersenyum dan menyeka bagian kiri rambutnya untuk diletakan di belakang telinga. Hal itu membuat gue harus banyak-banyak menahan napas dan menjaga pandangan gue.

Selama berjalan menuju parkiran, Aleta sama sekali tidak berbicara, pun begitu dengan gue yang gak tahu harus memulai percakapan apa. Sesekali gue mencoba melirik perempuan di samping gue yang hanya berjalan setengah menunduk sambil fokus menatap jalanan.

Duh, gue gak kuat.

Gue gak kuat pengen nanya karena gue sangat penasaran.

Di parkiran, ternyata Cakka sudah menunggu dan melambai-lambaikan tangannya dengan semangat. Melihat ada seseorang yang gue bawa di samping gue, dia sedikit bengong. Mukanya setengah ingin menertawakan, setengahnya lagi terlihat bangga melihat gue membawa perempuan untuk pulang bareng gue. “Bang, gue bisa jalan kaki aja sih ini pulangnya.”

Gue mendelik memelototi Cakka, “Gak.” Justru itu kenapa gue bawa Aleta bareng-bareng Cakka, biar gue gak berduaan dengan dia di dalam mobil. Sementara itu, muka Cakka memerah menahan tawanya, dia segera masuk ke kursi belakang mobil dan membiarkan Aleta untuk duduk di kursi samping pengemudi.

Satu menit pertama, hening menguasai seluruh percakapan.

Satu menit kedua, gue belum berani membuka pembicaraan.

Satu menit ketiga, Cakka sudah bergoyang-goyang gak tahan di kursi belakang. “Kak, namanya siapa?” Tanya Cakka sambil menyodorkan lengannya dan nyengir. “Maaf ya, Kak, Bang Dennis emang suka tiba-tiba gagu gitu.”

Gue menjitak kepala Cakka hingga dia meringis sambil terkekeh. Ujung mata gue menangkap Aleta yang kemudian tertawa, “Aleta. Nama kamu siapa?” Aleta menyambut tangan Cakka.

“Cakka…”

“Masih semester satu, ya? Fakultas apa?” Tanyanya dengan ramah.

“Kedokteran, Kak, tetanggaan kita,” jawab Cakka pelan.

“Wah, hebat banget adik kamu, ya,” ujar Aleta sambil menatap gue. Sementara itu dari kaca, gue dapat melihat Cakka sedang tersenyum—entah bangga, entah meledek gue—yang gue balas dengan delikan. “Eh hahaha, iya, ini bukan adik kandung gue, sih. Dia adiknya temen gue, tapi udah kayak adik gue sendiri.”

“Oh gitu,” Aleta mengangguk-angguk, kemudian kembali fokus menatap jalanan. “Oh iya, waktu itu gue sempet ketemu lo di depan fakultas pas malem.”

“Malem?” Tanyanya ragu.

Gue mengangguk. “Iya, sekitar satu minggu lalu. Waktu kita berangkat bareng ke fakultas, inget, kan? Nah malemnya gue lihat lo sama temen lo…hm, sekitar jam delapan malam di depan fakultas kita.”

“Di depan fakultas kita kan gelap?”

“Nah, i—iya, gue ketemu lo di sana,” jawab gue terbata. “Justru itu, makanya gue nanya.”

Ekspresi wajah Aleta tiba-tiba berubah. Gue menatap dia, mencoba mempelajari kira-kira apa yang dia rasakan dan mencoba menabak apa yang akan ia katakan. Gue menghela napas berkali-kali karena Aleta terlihat agak ragu—entah ragu untuk menjawab, atau mungkin ragu akan jawabannya. “Saya gak pernah keluar kosan malem-malem.” Jawabnya dengan tatapan kosong.

“Oh iya?”

“Iya, ibu saya melarang anak perempuan keluar rumah terlalu malam.”

Gue mengernyitkan dahi bingung—sekaligus sedikit lega karena mungkin Aleta bukan perempuan yang gak baik-baik. Tapi beneran, deh, waktu itu gue juga gak salah lihat. “Oh…mungkin gue yang salah lihat kali, ya?” Tanya gue memastikan, padahal gue gak tahu memastikan kepada siapa.

“Iya, mungkin,” jawab dia cepat. Gue sedikit terkejut karena kini nadanya tidak terdengar bersahabat? “Nah, di depan ada gang. Turunin saya di situ aja.” Lanjutnya. Gue segera menepikan mobil, dan tanpa sempat mengeluarkan kalimat, Aleta sudah membuka pintu mobil dan berkata, “Makasih ya. Lain kali saya gak akan ngerepotin lagi.”

Lalu dia menatap ke arah kursi belakang—ke arah Cakka—dan melangkah terburu-buru menuju gang tersebut yang mungkin adalah tempat kosnya. Otak gue masih berpikir dan berputar-putar. Gue kira dengan mengantar dia pulang, rasa penasaran gue sudah terjawab, tapi ini justru bertambah banyak.

“Bang, Bang, Bang!” Cakka menepuk bahu gue heboh. “Bang, kok Cakka merinding, ya?”

“Ha? Kenapa?” Tanya gue pada Cakka. Padahal gue kan belum cerita kalau gue sudah bertemu Aleta dengan dua sifat yang berbeda? “Merinding kenapa?”

“Masa tadi…,” Cakka mengambil jeda beberapa saat. “Aduh, maaf ya, Bang, kayaknya Cakka sedikit mewarisi sifat Bang Yoga, tapi rasanya Cakka udah pengen ghibah sekarang,” kata Cakka dengan nada panik. “Masa tadi Kak Aleta senyumannya bikin merinding gitu.”

“Hah? Merinding gimana maksudnya, Ka?”

“Beda gitu. Tadi kan dia sempet senyumin Cakka sebelum masuk mobil dan pas kenalan, itu senyumnya kelihatan manis banget gitu cocok deh sama Bang Dennis,” jawabnya. “Tapi pas tadi pamitan terus lihat ke Cakka, senyumnya jadi sinis gitu. Haduh, ini gara-gara gue habis nonton film hantu apa ya semalem?”

“Apa gara-gara gue salah ngomong ya, Ka?”

“Salah ngomong apa, sih, kan Abang cuma nanya itu beneran dia atau bukan? Harusnya responnya gak kayak gitu, dong,” Cakka menimbang-nimbang. “Ah, pusing gue!”

“Nah, gue juga mikir gitu sih, Ka. Tapi, kan, cara orang-orang merespon pertanyaan emang beda-beda,” gue menghela napas. “Mungkin dia orangnya mudah tersinggung kali, ya?”

“Iya, mungkin,” Cakka manggut-manggut. “Yuk ah, Bang, jalan ke kosan!” Cakka menepuk bahu gue lagi.

Tanpa sadar gue berdiam di sana hampir lima menit hanya untuk berpikir. Gue segera menyalakan mobil dan memutar balik arahnya untuk menuju ke tempat kos. Walaupun Cakka bilang akan melupakannya, tapi dia tampaknya masih berpikir sambil menatap jalanan. “Kenapa ya, di dunia ini banyak orang aneh? Gak usah di dunia ini deh, di kampus kita aja ternyata banyak orang aneh.”

Gue tertawa kecil. “Mungkin bukan aneh, Ka? Tapi mereka beda dari lo, makanya lo sebut aneh,” ujar gue. Pikiran gue berkelana kembali ke tempat tadi lagi. Mungkin sudah berulang kali gue berusaha mengenyahkan pikiran tentang Aleta yang aneh. Tapi, semakin gue ingin menghapusnya, semakin gue mengingatnya.

Seperti yang gue lakukan tadi. Berniat menjawab rasa penasaran gue, ternyata rasa penasaran gue malah bertambah. Coba aja kalau gue tadi gak sok-sok nyapa dan mengajaknya pulang bareng. Coba aja kalau gue gak memikirkan dia akhir-akhir ini.

“Emang lo ketemu orang aneh, Ka?”

“IYA! YA AMPUN, BANG DIA TUH ANEH BANGET TAU,” Cakka mendengus. “Masa dia ikutin gue, bilangnya dia gak punya temen lagi.”

“Ya temenin dong, Ka…”

“Masalahnya dia cewek,” kata Cakka lagi, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Kan aneh kalau gue sering jalan berduaan sama cewek itu, nanti dikira ada apa-apa lagi,” Cakka menghela napas. “Terus Bang Dennis kapan ketemu Kak Aleta? Udah sering? Atau baru-baru ini?”

“Hm…,” gue bergumam, menghela napas, kemudian menceritakan pada Cakka kapan saja gue dan Aleta bertemu hingga dia berteriak-teriak heboh.

***

“Nah, iya, Bang, coba aja stalk instagramnya,” ujar Cakka sambil memeluk bantalnya di atas sofa ruang tengah. “Cakka jadi penasaran juga, masa sih, ada orang kayak gitu.”

Gue menghela napas. “Gak apa-apa emang?”

“Ya gak apa-apa lah, Bang, dari pada Bang Dennis penasaran seumur hidup? Gimana hayo?” Tanya Cakka menggoda gue, padahal bilang aja kalau dirinya sendiri penasaran. “Ayo, Bang, buka buka!”

“Heh, bocah! Lo ngajarin apa sama imam gue?” Brian menoyor kepala Cakka. “Jangan diajarin yang aneh-aneh, nanti dia jadi ternodai,” ujar Brian sambil duduk di sebelah gue.

“Gak kok, Bang, Cakka cuma suruh Bang Dennis buka Instagram gebetannya biar gak penasaran…”

Brian terbelalak dramatis. “Apa? Dennis punya gebetan?” Kemudian tertawa-tawa sendiri sebelum akhirnya naik ke atas sofa dan berteriak, “Wahai para penghuni maison de rêve, ada kabar baru dan bahagia datang dari imam kita!”

Bang Yoga tiba-tiba nongol dari pintu kamarnya, padahal gue yakin tadi dia sedang nonton drama sambil nangis-nangis galau gara-gara kemarin habis berantem sama pacarnya, “Kenapa-kenapa?” Bang Yoga meloncat indah ke ruang tengah. “Heh, tumben lo berdua gak belajar?”

“Gak apa-apa, malam Sabtu ini, kali-kali,” jawab Cakka sambil tertawa. “Lagian Cakka mau membantu Bang Dennis dan memberi nasihat yang baik dan benar untuk mendekati gebetan!”

“Ya Allah Cakka, jangan nodai imam kitaaaa,” Eh, tiba-tiba aja Bang Ijul juga nongol sambil membenarkan celananya. Kayaknya dia habis dari kamar mandi dan mendengarkan gosip-gosip sambil nongkrong indah di sana. “Eh tapi beneran Dennis punya gebetan? For the first time?

“Gak, Bang. Enggak….,” jawab gue membela diri. “Gue cuma penasaran aja…”

“Nah iya, semua itu berawal dari rasa penasaran, Den,” ujar suara berat yang tiba-tiba muncul dari belakang gue. Diam-diam gue tersenyum karena akhirnya Jhordan sudah seperti biasanya lagi walaupun mungkin bekas luka-lukanya masih terasa sakit—dan walaupun gue belum tahu apa alasan dia mendapat luka tersebut. “Nanti, rasa penasaran itu menuntun kita kepada ingin mencari tahu, cari tahu kesukaannya, cari tahu rumahnya di mana, nanti pendekatan kita akan lancar car carrr kayak jalan tol!”

“Eh, tapi kemarin gue mudik jalan tolnya macet, tuh,” ujar Sena dari lantai atas yang ternyata sudah mengintip kegiatan para penghuni maison de rêve.

“BODO AMAT!”

“Kayaknya lo udah khatam cara-cara pedekate ya, Dan?” Tanya Bang Yoga.

“Oh iya, dong,” Jhordan mengangguk-angguk sombong.

“Tapi gak ada yang dapet ya, Dan?” Tanya Sena sambil mencibir. Tahu-tahu dia udah berada di lantai bawah dan duduk di sofa yang semakin sempit ini.

“PROSES SEN! PROSES! SEDANG BERPROSES NIH! Semua ini butuh proses, gak ada yang instan,” Jawab Jhordan.

“Biasa aja woy kagak usah ngegas,” Bang Ijul melempar bantal ke arah muka Jhordan. “Mana gebetan lo, Den? Gue mau lihat, siapa tahu bisa bantu mendoakan, biar cepet-cepet taaruf dan menikah!”

Gue menggeleng-gelengkan kepala pusing. Kenapa jadi pada ke sini semua, sih? “Teman-teman dan abang-abang, ini bukan gebetan Dennis. Ini temen gue yang aneh banget, makanya gue penasaran!”

“Tapi kalau bisa jadi gebetan mah kenapa enggak ya, Den?” Tanya Jhordan sambil menepuk-nepuk bahu gue. “Nanti gue jelaskan cara mendekati cewek yang aneh!”

“Yeuu, gak usah dideketin lah kalau aneh!” Brian menoyor kepala Jhordan.

Dahi Sena kemudian berkerut melihat profil Instagram yang sedang gue buka. “Dan! Jhordan! Ini bukannya temen lo? Temen SMA lo, kan? Waktu itu kalian sempet sapa-sapaan di depan rektorat?”

“Ha?” Gue menatap Sena dan Jhordan kaget. “Aleta temen lo, Dan?”

Jhordan menghampiri gue dan memperhatikan foto yang terpampang di sana. “Lah iya! Sebenarnya gak bisa disebut temen juga, sih, gue gak deket,” jawab Jhordan. “Tapi, Den…”

Semua mata menatap ke arah Jhordan yang terlihat ragu-ragu untuk berbicara.

“Kalau ceweknya dia, kayaknya gue gak bisa bantu, deh,” ujar Jhordan pelan, lalu menghela napas. “Atau sebaiknya lo gak usah deketin dia, cari cewek lain aja,” lanjutnya, menatap gue dengan muka khawatir.

***

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Reminisensi Senja Milik Aziza
744      382     1     
Romance
Ketika cinta yang diharapkan Aziza datang menyapa, ternyata bukan hanya bahagia saja yang mengiringinya. Melainkan ada sedih di baliknya, air mata di sela tawanya. Lantas, berada di antara dua rasa itu, akankah Aziza bertahan menikmati cintanya di penghujung senja? Atau memutuskan untuk mencari cinta di senja yang lainnya?
Garden
4423      1440     5     
Fantasy
Suatu hari dimanapun kamu berada,selama kita menatap langit yang sama. Bolehkah aku merindukanmu?
KATAK : The Legend of Frog
373      300     2     
Fantasy
Ini adalah kisahku yang penuh drama dan teka-teki. seorang katak yang berubah menjadi manusia seutuhnya, berpetualang menjelajah dunia untuk mencari sebuah kebenaran tentangku dan menyelamatkan dunia di masa mendatang dengan bermodalkan violin tua.
Black World
1398      648     3     
Horror
Tahukah kalian? Atau ... ingatkah kalian ... bahwa kalian tak pernah sendirian? *** "Jangan deketin anak itu ..., anaknya aneh." -guru sekolah "Idih, jangan temenan sama dia. Bocah gabut!" -temen sekolah "Cilor, Neng?" -tukang jual cilor depan sekolah "Sendirian aja, Neng?" -badboy kuliahan yang ...
injured
1158      629     1     
Fan Fiction
mungkin banyak sebagian orang memilih melupakan masa lalu. meninggalkannya tergeletak bersama dengan kenangan lainya. namun, bagaimana jika kenangan tak mau beranjak pergi? selalu membayang-bayangi, memberi pengaruh untuk kedepannya. mungkin inilah yang terjadi pada gadis belia bernama keira.
G E V A N C I A
830      456     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Kepak Sayap yang Hilang
60      56     0     
Short Story
Noe, seorang mahasiswa Sastra Jepang mengagalkan impiannya untuk pergi ke Jepang. Dia tidak dapat meninggalkan adik kembarnya diasuh sendirian oleh neneknya yang sudah renta. Namun, keikhlasan Noe digantikan dengan hal lebih besar yang terjadi pada hidupnya.
Ghea
418      268     1     
Action
Ini tentang Ghea, Ghea dengan segala kerapuhannya, Ghea dengan harapan hidupnya, dengan dendam yang masih berkobar di dalam dadanya. Ghea memantapkan niatnya untuk mencari tahu, siapa saja yang terlibat dalam pembunuhan ibunya. Penyamaran pun di lakukan, sikap dan nama palsu di gunakan, demi keamanan dia dan beserta rekan nya. Saat misi mereka hampir berhasil, siapa sangka musuh lamany...
Irresistible
567      411     1     
Romance
Yhena Rider, gadis berumur 18 tahun yang kini harus mendapati kenyataan pahit bahwa kedua orangtuanya resmi bercerai. Dan karena hal ini pula yang membawanya ke rumah Bibi Megan dan Paman Charli. Alih-alih mendapatkan lingkungan baru dan mengobati luka dihatinya, Yhena malah mendapatkan sebuah masalah besar. Masalah yang mengubah seluruh pandangan dan arah hidupnya. Dan semua itu diawali ketika i...
Be My Girlfriend?
13677      2135     1     
Fan Fiction
DO KYUNGSOO FANFICTION Untuk kamu, Walaupun kita hidup di dunia yang berbeda, Walaupun kita tinggal di negara yang berbeda, Walaupun kau hanya seorang fans dan aku idolamu, Aku akan tetap mencintaimu. - DKS "Two people don't have to be together right now, In a month, Or in a year. If those two people are meant to be, Then they will be together, Somehow at sometime in life&q...