Good and Bye
It’s good to meet you,
When we meet,
Will I know that it’s you?
Will you know that it’s me?
When it’s hard to say goodbye to you,
In every room of our time together there is a box,
Of memories we shared,
Now is the time to pack away,
With sadness and with care.
Y o g a
Tok! Tok! Tok!
“Apa sih?” Suara Jhordan terdengar menggema di lantai bawah. Hening masih berdiam di seluruh sudut kosan sebelum Jhordan misuh-misuh sendiri karena suara ketokan di pintu kosan yang gak nyantai. Matanya melirik ke arah jam dinding. “Demi apa pun gue udah tidur dua belas jam?”
Gue menarik napas panjang. Ini bocah emang gak pusing apa tidur kelamaan kayak gitu. “Shalat subuh dulu woy, udah mau jam setengah enam, tuh.”
“Iya, Bang,” jawab Jhordan, kemudian keluar dari kamarnya. “Itu siapa yang ketok-ketok pintu kos?”
Gue mengernyit, “Emang ada yang ketok-ketok?”
“Buka deh, Bang,” ujar Jhordan pelan, kakinya melangkah menuju kamar mandi. Mukanya masih setengah mengantuk. Dengan hanya menggunakan celana boxer kotak-kotak dan kaos berwarna putih yang sudah kumal, Jhordan berjalan dengan mata setengah tertutup.
“Woy awas nabrak lo!”
Walaupun kosan masih cukup hening karena para penghuni pasti tidur lagi sehabis shalat subuh tadi, gue memutuskan untuk bangun dan menjadi orang yang rajin. Ini hari Minggu, dan siapa yang mengetok pintu kosan sepagi ini?
Tangan gue meraih gagang pintu dan setelah membukanya, gue menemukan pria setengah abad yang membawa berbagai macam barang di tangannya. Buset, jangan-jangan tangannya lebih dari dua. Tangan kirinya memegang kotak-kotak –yang gue yakin isinya makanan. Tangan kanannya memegang banyak sapu dan pel. Mukanya yang selalu ceria, kini terlihat nyengir. “Eh, nak Yoga! Tumben rajin amat udah bangun.”
Gue terkekeh sambil menggaruk tengkuk gue yang tidak gatal. “Eh, Babeh! Masuk, Beh,” gue berniat bersalaman dengan Babeh Rahmat, tetapi tangannya sangat penuh. “Eh, Beh, gimana nih Yoga gak bisa salaman.”
“Ya kamu bantu Babeh angkat nih kotak, dong!” Ujarnya.
“Oh iya-ya, hehehe,” gue mengambil kotak-kotak di tangan Babeh Rahmat yang cukup banyak. Lumayan, nih. Tupperware semua.
Kalau gue kasih ke Ibu di rumah, udah dipajang di lemari depan rumah, tepat di ruang tamu, dan akan diriyakan setiap ada tetangga yang datang. “Eh iya, Jeng, kemarin ada Tupperware model baru, nih, jadi saya udah beli satu set.” Kemudian tetangga yang datang itu akan merasa tersaingi jumlah Tupperware-nya dan segera membeli satu set terbaru tersebut. Memang ketat persaingan Tupperware di antara ibu-ibu zaman sekarang.
Berbicara tentang Tupperware, pengoleksi terlengkap di maison de rêve adalah Dennis dan Sena. Bagaimana enggak, setiap orang tua mereka menjenguk pasti bawa makanan yang bejibun dan meninggalkan Tupperware mereka untuk digunakan anak-anaknya. Boro-boro digunakan, Dennis dan Sena malah menyimpan kotak-kotak makanan tersebut di lemari, karena kalau hilang bisa berabe tuh. Kayaknya, emak-emak mereka lebih sayang sama Tupperware dibanding anaknya sendiri.
Lain lagi dengan gue dan Panjul, saking banyaknya acara yang kita ikuti, kita selalu mendapat banyak merchandise, dan peduli amat sama merek, yang penting kotak-kotak itu bisa dipakai makan. Eh, kok gue jadi ngomongin Tupperware, sih, sebut merek lagi.
“Panggilin yang lain dong, Yoga. Babeh mau memaparkan misi kita kali ini,” ujar Babeh Rahmat sambil duduk dengan santai di sofa.
Apaan sih, Beh, misi-misi segala, sok asik, deh. “Woy bangun! Ada Babeh Rahmat, kalau lo semua gak bangun dalam tiga menit, harga kosan dinaikin katanya!” Teriak gue. Males juga kalau gue harus naik ke atas dan bangunin mereka satu-satu.
“Heh, apa-apaan kamu, nanti mereka semua pada suudzhon sama Babeh,” Babeh Rahmat memukul punggung gue.
“Aw! Sakit, Beh,” gue mengusap-usap punggung gue. “Biar cepet, Beh. Habisnya mereka suka lama banget kalau bangun.” Bersamaan dengan kalimat gue yang berakhir, suara-suara rusuh datang dari lantai atas dan lantai bawah menuju ruangan ini. Tuh, kan, bener. Apa gue bilang. Mereka pasti heboh kalau harga kosan dinaikin. Hehehe.
“Eh, Babeh, asa beuki kasep ayeuna mah!” Julian datang dengan muka yang sudah segar sambil bersalaman dengan Babeh Rahmat.
“Oh, enya atuh, Jang!”
Setelah semua penghuni maison de rêve berkumpul di ruang tengah dengan muka setengah mengantuk, Babeh Rahmat akhirnya berbicara. “Nih, ya, barudak! Sekarang hari apa? Ya, hari Minggu. Kalian kudu kerja bakti sekarang juga. Ini Babeh udah bawa banyak makanan di sini, ada nasi, sambel, lalapan, ikan goreng, ayam goreng, dan….”
Hampir semua mata menatap kotak-kotak itu dengan mata tidak berkedip dan air liur yang mulai menetes. Jelas lah, gue aja laper banget sekarang. “Nah, peraturannya! Kalian semua baru boleh makan kalau kosan ini udah kinclong-clon-clong! Kalau yang makan duluan, Babeh sumpahin jomblo seumur hidup!”
“Yah, Beh, makan dulu, lah, laper nih,” Brian memonyong-monyongkan bibirnya, mencoba merayu Babeh yang gue yakin tidak akan berhasil.
“Gak. Pokoknya beres-beres dulu,” Babeh Rahmat bangkit dari sofa. “Nanti jam dua belas Babeh ke sini lagi buat cek. Sekarang Babeh mau tidur dulu, ya.” Tanpa menunggu jawaban, Babeh Rahmat sudah ngeloyor keluar menuju ke rumahnya.
“DUNIA INI MEMANG TIDAK PERNAH ADIL! Peduli amat sama jomblo seumur hidup,” Brian berusaha mencomot makanan di salah satu kotak.
Dennis memukul kepala Brian dengan bukunya, “Eh, gak boleh gitu, perkataan orang tua harus diturutin dulu.”
“Iya tuh, perkataan tua-tua bangka kayak gitu biasanya suka terjadi,” ujar Cakka. Dia mengambil salah satu sapu yang tergeletak. “Mending beresin kamar masing-masing dulu.”
“Anjir, tua-tua bangka, hahaha!” Julian tertawa terbahak-bahak, kemudian mengambil sapu juga. “Tar bagi dua, deh. Ada yang beresin ruang tengah, ada yang beresin halaman depan. Sekarang beresin kamar masing-masing aja dulu. Buruan ah, gue laper.”
Gue terkekeh sambil mengambil salah satu sapu. Sementara itu, Brian dan Sena saling tatap-tatapan aneh dan memandang kepergian Julian –ke kamarnya –dengan sendu. “Kenapa, deh?” Tanya gue.
“Bang Ijul gak apa-apa, kan?” Tanya Sena sambil memandang Julian yang kini tengah menari-nari sambil menyapu kamarnya. “Tadi malam kayaknya dia nangis gitu, sekarang udah gila lagi.”
Gue menghela napas panjang. “Mungkin ada masalah kali, terus dia berusaha nutupin,” jawab gue ragu.
Diri gue sendiri bertanya-tanya, memangnya si Panjul ada apa, ya? Dia nangis? Rasa-rasanya gak mungkin buat gue. Berbeda dengan gue yang gak pernah mau bercerita tentang masalah gue ke bocah-bocah ini, Julian justru akan dengan sangat semangatnya bercerita tentang masalahnya. Katanya, sih, setiap kata yang dia keluarkan akan mengurangi satu beban di hatinya. Ceilaa. Makanya aneh aja kalau dia beneran nangis, mungkin ada masalah yang gak perlu kita tahu?
“Ya udah, Bang. Gue ke atas dulu, deh, bersih-bersih,” Sena meninggalkan gue sambil memutar-mutar sapunya, sementara itu Brian masih menatap aneh Julian. “Ah, yaudah lah, bodo amat. Yang penting gue bersih-bersih dulu,” Brian juga meninggalkan gue.
Gue berjalan dengan semangat ke arah kamar gue. Sebelum akhirnya suara Cakka yang berteriak mendistraksi gue. “Bang!!” Cakka berteriak dari lantai atas. Gue mendongak memperhatikan Cakka yang sedang melambai-lambai mengacungkan sebuah kotak berwarna biru muda.
Kotak itu lagi. Kotak yang selalu mampir setiap bulan ke kamar gue, disusul dengan suara Cakka. “Ini ada titipan dari Kak Ditas.” Yang sampai sekarang gue gak pernah percaya kalau itu dari Ditas. Gue selalu menganggap bahwa kotak itu adalah hadiah dari adik gue yang tahu kalau lip balm gue sudah habis.
“Ini ada titipan dari Kak Ditas,” ujarnya pelan. “Gue hampir lupa.”
Bingo.
Cakka mengatakan hal yang sama dengan yang ada di pikiran gue. Berkali-kali gue berkata pada diri gue sendiri kalau gue harus berbicara pada Cakka agar dia gak usah terus-terusan berbohong ada titipan dari Ditas hanya agar gue gak pernah putus dari Ditas. Gue tahu Cakka sesenang itu saat gue jadian dengan Ditas. Karena menurutnya, Ditas itu sangat baik, apalagi kepada dia. Tapi, Ka, mungkin sekarang semuanya udah berbeda? Gue bahkan gak tahu, apa yang harusnya gue lakukan? Semuanya terlalu asing buat gue.
Gue tersenyum. “Sini, Ka, lempar,” ujar gue pada adik gue yang kini tingginya sudah melebihi gue itu. “Lain kali gak usah buang-buang duit buat beliin gue lip balm lagi. Lo harus nabung, katanya mau beli stetoskop Littman, itu kan mahal. Tar gue beli online aja.”
Cakka dari atas sana tampak menghela napas. Kemudian, dalam waktu kurang dari satu menit, dia sudah menuruni tangga untuk menghampiri gue. “Bang,” panggilnya. Kemudian dia mengacak-acak rambutnya.
“Ih, bau ketek lo. Belum mandi, ya?” Tanya gue sambil sedikit menjauh dari dia.
“Ih Abang mah, gue lagi serius,” ujarnya lagi. “Bang, kenapa sih gak pernah percaya sama Cakka? Ini dari Kak Ditas, bukan dari Cakka,” Cakka memberikan kotak itu, tangan gue ragu-ragu untuk mengambilnya. “Tiga hari lalu gue ketemu sama Kak Ditas di depan kampus, dia nungguin gue. Katanya mau kasihin ini. Gue baru inget pas tadi beres-beres.”
“Ka…,” ujar gue sambil menepuk-nepuk tangannya. “Gue sama Ditas udah gak bisa lagi.”
“Masalah lo apa sih sebenernya, Bang? Gue gak ngerti,” Cakka menarik tangannya yang sedang gue pegang. Kemudian, bola matanya berputar dan terlihat berpikir. “Setiap gue ketemu sama Kak Ditas, dia selalu bilang, ‘Abang lo apa kabar?’ Lo beneran gak pernah chat atau apa gitu sama dia?”
Gue berusaha menahan air mata keluar dari mata gue. “Kalau itu dari dia, kenapa Ditas gak kasihin langsung?”
“Kenapa Bang Yoga gak pernah ajak Kak Ditas ngobrol?” Cakka justru bertanya balik. Cakka kemudian menghela napas dan berbalik menuju kamarnya. “Itu masalah lo, Bang.”
Cakka bergegas menaiki tangga kemudian menutup pintu kamarnya dengan kencang.
“Astagfirullah, kenapa dah si Cakka?”
“Cak, awas roboh, kosan ini udah tua!”
“Cak lo gak kemasukan setan, kan?”
Suara-suara itu terdengar dari kamar-kamar tanpa ada jawaban dari Cakka. Langkah gue yang tadinya bersemangat, kini menjadi gontai. Berupaya untuk gak menangis, gue malah merasa diri gue justru sok kuat.
“Ga? Lo… kenapa?” Tanya Julian saat kita bertemu di depan kamar gue dengan pelan, matanya tampak mempelajari muka gue. Tangan kanannya memegang sapu dan tangan kirinya memegang sekeresek besar sampah.
“Ngg…,” gue menimbang-nimbang. “It’s ok. Gue beres-beres dulu.” Gue meninggalkan Julian dan menutup pintu kamar gue rapat-rapat. Tangan gue mungkin sedang membereskan kasur dan segala barang yang berada di kamar gue, tapi pikiran gue justru berkelana memikirkan satu nama.
Ditas.
Entah apa yang sebenarnya terjadi di antara gue dan Ditas. Dulu, saat pertama kali gue bertemu dengan Ditas adalah saat masih menjadi mahasiswa baru. Ditas adalah anak ilmu politik, seangkatan dengan gue. Bisa dibilang, dulu jurusan ilmu politik adalah jurusan dengan mahasiswa paling sedikit, hingga gue bisa dengan cepat menghapal mukanya saat ospek berlangsung.
Ditas bukan anak yang terkenal, hanya mahasiswa biasa yang jarang sekali mengacungkan tangan jika ada senior yang bertanya dan minta dijawab. Dia mungkin adalah satu-satunya orang yang terus-terusan membaca buku saat ospek berlangsung. Tapi, gue gak bisa bohong kalau Ditas sangat cantik. Bahkan, semua laki-laki pun mengakui.
Laki-laki tuh gimana, sih? Lihat cewek cantik dikit, langsung disiul-siul, situ laki-laki apa burung? Dan dengan sok pahlawannya gue akhirnya berkata, “Mohon maaf ya, semua. Kalian siul-siul kayak gitu termasuk pelecehan seksual juga.” Ujar gue waktu itu. Karena pada masanya gue adalah penanggung jawab ospek hari pertama untuk angkatan gue, para laki-laki itu akhirnya ngacir entah kemana.
Gue gak pernah tahu bahwa perkataan gue itu membuat cewek yang tadinya mukanya terlihat sangat gak nyaman menjadi tersenyum dan akhirnya berkata, “Makasih, ya.” Beberapa detik kemudian, tangannya terulur ke arah gue. “Ditas, dari ilmu politik.”
Iya, gue tahu, kok. “Yoga…”
“Iya, gue tahu, dari hubungan internasional, kan? Salam kenal,” ujarnya. Gue membalas uluran tangannya.
Itu pertama kali gue bertemu dengan Ditas. Selanjutnya? Gue mungkin cowok paling aneh sedunia yang tiap kali bertemu dengan seorang Ditas, gue hanya akan salah tingkah dan mengalihkan pandangan gue ke arah yang berbeda. Ditas, lucu, ya saat kita pertama kali ketemu dulu?
Sekarang?
Everything has changed.
Lo berubah. Gue berubah. Mungkin perubahan adalah sesuatu yang sangat manusiawi. Tapi, perubahan itu yang membuat gue dan dia rasanya gak mungkin lagi bisa bertahan.
Saking gak fokusnya gue beres-beres, tangan gue menyentuh sebuah kotak di samping meja belajar hingga isinya terlempar keluar. Bukannya langsung gue ambil, gue malah memperhatikan isi kotak tersebut hampir setengah menit sebelum mengambilnya.
Sebuah botol dengan tulisan ‘Dolce and Gabbana Perfume’.
Hadiah pertama Ditas untuk gue yang hanya gue kenakan jika ada acara-acara penting seperti seminar, menjadi pembicara, atau saat sedang MUN. Dan lo harus tahu, harganya sangat tidak manusiawi buat gue. Ini parfum mahal banget coy, gue sampai gak tega memakainya.
“Ini buat lo, Ga,” Ditas menyerahkan kotak hitam saat itu. “Lo kan sering tampil di luar-luar, semoga bisa nambahin kepercayaan diri lo.”
“Buat gue?”
“Iya,” jawabnya sambil tersenyum.
Saat itu gue gak tahu bahwa harga parfum ini semahal itu. Saat itu juga dia belum tahu bahwa sebuah lip balm lebih berharga buat gue dibandingkan parfum ini, sebelum akhirnya Cakka yang memberi tahu dia.
Dan saat ini, mungkin kita sama-sama gak tahu, harus dibawa kemana hubungan gue dan dia.
***
D i t a s
“Kak Ditas, tahun depan kan akan ada pemilu untuk pemilihan presiden, nah, menurut Kakak, gimana sih pemilu yang sekarang ini? Apa sudah sesuai dengan harapan ideal dari masyarakat?” Tanya seorang adik tingkat yang tengah melakukan tugas ospeknya.
Gue gak lekas menjawab, karena mata gue justru melihat ke arah lain. Seorang laki-laki dengan jaket jeans dan seperti biasanya –selalu ganteng dan mencuri pusat perhatian—juga tengah melakukan hal yang sama dengan gue. Bedanya, dia tersenyum ramah pada sang pewawancara di saat gue tidak fokus pada pertanyaan yang dilontarkan.
“Kak?”
“Eh?” Gue mengalihkan pandangan gue ke arah mahasiswa baru di hadapan gue ini. “Dek, wawancaranya bisa ditunda gak? Saya lagi gak fokus.”
“Oh iya, Kak, maaf ya menganggu, nanti saya hubungi lagi,” jawabnya. Kemudian dia berlalu dari pandangan gue. Pandangan gue kembali menuju ke tempat tadi, tapi sayangnya, Yoga sudah tidak berada di sana.
Mendapati hal itu, gue menghela napas kecewa. Gue bangkit dari tempat duduk dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Hari sudah sore dan hari ini gue gak ada kegiatan organisasi. Maka, apalagi yang bisa gue lakukan selain pulang?
Tepat saat gue berbalik untuk melangkahkan kaki, Yoga ada di hadapan gue untuk berjalan ke arah yang berlawanan. Lama, kita berdua hanya saling menatap tanpa ada salah satu dari kita yang berbicara. Mungkin hampir sekitar tiga menit?
Yoga mengambil satu langkah lebih dekat dengan gue, pun di saat yang bersamaan jantung gue berdetak dengan sangat kencang. Yoga terus mendekat, hingga akhirnya kita saling berhadapan.
Dan dia berjalan melewati gue.
Dia terus berjalan ke ujung koridor hingga gue tidak bisa memandang punggungnya lagi. Kalau gue boleh berkata kangen, gue sangat-sangat kangen dengan Yoga yang dulu. Tapi kenapa, sekarang saat bertemu pun dia gak pernah menyapa gue? Buat dia, gue ini apa?
Yoga yang berjalan begitu saja melewati gue membuat gue sangat-sangat sedih. Tetapi, satu hal yang sangat gue senangi di detik ini; Yoga memakai parfum pemberian gue.
Selama ini, dia gak pernah lagi memakai parfum itu, tapi tadi…dia memakainya.
[Cakka]
Kak Ditas udah ketemu Bang Yoga?
Gue menghela napas melihat pesan yang mampir di handphone gue. Ketemu, Ka. Tapi, kenapa rasanya gue gak sanggup bicara pada pacar gue sendiri, ya?
Kata orang, gue ini sangat berubah, berbeda dari saat mahasiswa baru yang hanya sering mendengarkan tanpa mau berpendapat. Kata orang, sekarang gue menjadi Ditas yang sangat berdedikasi tinggi untuk jurusan ilmu politik, mau itu di dalam kampus atau di luar kampus. Gue sering mengikuti MUN, gue sering menjadi juara lomba debat dan pidato, tapi kenapa rasa-rasanya semua itu gak berguna ketika gue justru gak bisa memulai pembicaraan kecil dengan orang yang baru saja berlalu dari hadapan gue ini?
Sebenarnya, Yoga kenapa?
“Ditas, lo balik sama siapa?” Tanya Juna—teman sekelas gue—sambil memainkan kunci mobilnya di hadapan gue.
“Gue…”
“Balik bareng, yuk, gue mau makan juga,” Juna tiba-tiba menarik tangan gue, membuat gue mau gak mau pergi mengekori dia.
Perjalanan menuju gerbang kampus harus melewati beberapa tempat, seperti masjid fakultas, gedung perkuliahan anak adbis, adpub, dan HI. Dan tepat di depan masjid, ekor mata gue menangkap seseorang yang tadi melewati gue begitu saja yang sedang bersama dengan adiknya.
“Kak Ditas!” Panggil Cakka. “Bang, lo kok diem aja, itu Kak Ditas…”
Gue melihat seulas senyuman terbentuk di bibir Yoga. “Udah biarin aja, lo nanti balik bareng gue ya, Ka. Lo mau belajar, kan? Gue mau rapat dulu.”
Cakka yang diajak bicara oleh kakaknya itu malah bengong dan mengamati gue yang accidentally sedang bersama cowok lain. Sementara itu, Yoga berlalu dan masuk ke dalam masjid. Sumpah, ini kenapa gue harus lagi bareng si Juna, sih?
“Juna, gue balik sendiri aja,” ujar gue, mendorong Juna dan mengusirnya untuk pergi duluan. “Ka, gue…”
“Iya, gue ngerti kok, Kak,” ujar Cakka pelan. “Tapi Bang Yoga lagi sensitif, jadi gue gak tahu gimana pikiran Bang Yoga sekarang. Maaf ya, Kak, kayanya Cakka gak bisa bantu.” Ujar Cakka sambil berlalu dari hadapan gue, keluar dari fakultas gue, dan entah pergi ke mana.
Gue salah apa sih sama lo, Ga sebenarnya?
***
C a k k a
Udah udah udah, Ka. Lo gak usah mikirin urusan abang lo yang gak kelar-kelar mulu itu. Sambil berjalan dengan langkah cepat, gue menuju fakultas gue. Belajar di perpustakaan fakultas yang buka dua puluh empat jam itu adalah solusi terbaik dibandingkan jika gue harus belajar di maison de rêve. Sehening-heningnya kosan gue, masih aja ada suara-suara teriakan Bang Ijul, Brian, dan Sena –yang entah teriak entah nyanyi, sulit dibedakan.
Sebenarnya gue tahu apa yang membuat Kak Ditas dan Bang Yoga kayak gitu. Setiap ada kesalahan di antara mereka, gak ada satu pun dari mereka yang memulai pembicaraan. Padahal, kan, katanya berbicara adalah salah satu solusi terbaik. Saling terbuka, saling memaafkan. Lah, ini ngomong aja enggak, gimana mau maafan?
Tapi sampai saat ini gue gak tahu, akar permasalahannya itu apa, sih? Gue gak bisa sehari aja liat Bang Yoga gak galau merana kayak gitu, dan gak bisa sehari aja handphone gue gak dipenuhi chat dari Kak Ditas yang menanyakan kabar Bang Yoga. Sebenarnya nih, ya, gue gereget banget pengen mempertemukan mereka di acara Uya Kuya biar segalanya beres dan gak ngerepotin gue.
Bang Yoga tuh… sok sok menutupi semua masalahnya, dan hanya gue yang tahu kalau sebenarnya dia gak sebahagia yang orang-orang lihat. Mungkin mereka—orang-orang di luar sana—melihat Bang Yoga sebagai sosok yang sempurna; pinter, IP selalu cum laude, aktif di berbagai lomba dan kegiatan, ganteng pula, tanpa tahu bahwa setiap hari dia akan mengeluarkan nasihat-nasihat pada orang yang bermasalah tanpa bisa menyelesaikan masalahnya sendiri.
Boleh gue sebut dia munafik?
Jahat dong, gue sama kakak gue sendiri. Tapi ya, emang gitu kenyataannya. Padahal gue suka banget sama Kak Ditas, kalau menurut gue, mereka tuh sebenarnya cocok sebagai pasangan yang sempurna. Kak Ditas juga pinter, cantik, aktif di berbagai perlombaan dan organisasi. Setiap gue masuk ke FISIP untuk mencari abang gue, gak ada yang gak tahu Kak Ditas dan Bang Yoga. Mereka memang seterkenal itu.
Bisa menjadi pasangan yang sempurna.
Tapi katanya, yang sempurna itu belum tentu baik. Yang sempurna itu belum tentu bahagia. Dan ya, gue merasakannya saat ini, walaupun terjadi bukan pada diri gue sendiri.
Tapi anehnya lagi, kok di seantero FISIP banyak yang gak tahu kalau Kak Ditas itu pacarnya Bang Yoga? Mereka sefakultas tapi gak pernah ketemu apa gimana, sih?
Udah-udah, Ka, otak lo sebaiknya diisi dengan bagaimana proses inflamasi terjadi pada manusia dan apa saja tanda-tanda inflamasi. Dari pada gue mikirin ini dan gak ada ujungnya?
“Dek Cakka ganteng banget, deh!”
“Ka, ada salam dari Devi katanya suka!”
“Cakka jangan senyum-senyum, ganteng banget tau!”
Gue lewat di depan Student Center sudah berasa kayak artis lewat. Padahal, gue biasa aja, kok, kenapa mereka kayak gitu? Membalas sapaan mereka gue hanya mengangguk dan tersenyum, lagian gue harus ngapain? Dadah-dadah gitu?
Langkah gue akhirnya membawa gue ke perpustakaan yang berada di lantai dua gedung tiga. Seperti yang gue tahu, perpustakaan ini selalu wangi, rapi, dan… sepi. “Hari ini buka dua empat jam kan, Pak?”
“Wah enggak, Ka, sekarang cuma sampai jam sepuluh malam, soalnya Bapak mau bantu Dokter Asri nanti,” ujar petugas perpustakaan yang sudah mengenali gue saking seringnya gue mampir ke sini karena mager untuk kembali ke maison de rêve.
Gue terkekeh, lalu melihat jam yang melingkar di tangan gue, pukul lima sore. “Iya, Pak, lagian saya gak akan belajar selama itu.”
Lagi pula, kalian semua harus tahu. Kampus FK kalau sudah lebih dari jam delapan itu rasa-rasanya serem banget. Penerangannya gak begitu bagus, selain itu, gedung-gedungnya juga tinggi dan gelap. Ada rumor juga kalau di lab anatomi, suka ada yang bergerak-gerak.
Tapi gak tahu sih, yang bergerak apa. Cicak aja bergerak, kan. Emang suka lebay orang-orang. Nah, karena rumor itu, biasanya FK sudah sepi di sekitaran maghrib. Mau perpustakaan buka dua puluh empat jam kek, mau dua puluh delapan jam, mau tiga puluh jam, gak ada yang peduli. Orang-orang lebih senang belajar di kafe dan gak mau berlama-lama di kampus FK.
“Eh, Cakka, my honey baby, jelasin kasus yang kemarin, dong, gue gak ngerti,” ujar seseorang sambil nyengir. Yah, malah ketemu dia lagi di sini.
Dia yang selalu bilang, ‘eh gue gak bisa ini, gue gak ngerti ini, ajarin dong’, dan kalau orang lain yang minta ajarin ke dia, dia akan bilang, ‘Gue juga gak ngerti, lo baca sendiri aja, ya.’ Eh tau-tau nilainya A.
ADA YANG LEBIH LAKNAT DARI ORANG SEMACAM ITU GAK, SIH?
“Apa?” Tanya gue malas. Gagal lagi, deh gue belajar di sini.
Kalau lo menebak orang yang sedang berada di hadapan gue ini adalah perempuan, lo salah. Dia adalah laki-laki yang suka nempelin orang lain gak jelas, namanya Farhan. “Ini ajarin.”
Gue berakhir menerangkan semua learning issue pada kasus gue kali itu. Tapi, gak apa-apa, sih, itung-itung belajar juga kalau nerangin ke orang lain.
Kalau di ujian gue hanya boleh menerangkan satu kasus dalam waktu dua puluh menit, kali ini gue hampir tiga jam menerangkan materi kepada Farhan yang matanya sudah setengah menutup sekarang. Gue memandang handphone gue, belum ada tanda-tanda Bang Yoga sudah menghubungi gue—artinya dia belum selesai rapat.
Sementara itu, suasana di perpustakaan semakin mencekam, bapak penjaga perpustakaan juga sudah tertidur, hanya ada suara kecil ranting yang bergesekan dengan jendela dan Farhan yang sedang mengorok ria.
[Cakka]
Bang, udah kelar belum.
Bang
Bang
Bang kalimang gobang bang
[Yoga]
Setengah jam lagi elah
Gue menghela napas, berniat membangunkan bapak penjaga perpustakaan—yang gue belum tahu namanya sampai saat ini—sebelum akhirnya gue mendengar suara yang cukup berisik dari lantai bawah.
Dug.
Tak.
Dug.
Gak, ini bukan suara kasidahan, karena di sini gak ada grup kasidah. Mendengarnya, gue merinding sendiri. Tapi, kan, ini masih jam delapan, kenapa juga ada hantu? Apa ini yang sering disebut ‘bergerak-gerak’ sama anak FK? Hii.
“Han, gue balik, ya. Serem,” gue mengguncang-guncangkan tubuh Farhan. “Farhan,” gue mengguncang-guncangkan kembali sampai berakhir menaboknya. “FARHAN!”
“DEMI KUTIL KUDA, NGAPAIN LO TERIAK-TERIAK?”
“Balik, woy, serem anjir lama-lama,” jawab gue. Kayaknya, gue mending belajar di maison de rêve dengan keberisikan abang-abang dibandingkan di sini. “Tuh lo denger, kan, suara-suara berisik di lantai bawah?”
“Paling cleaning service,” jawab Farhan santai. “Jadi cowok jangan penakut.”
Halah, sok-sokan emang si Farhan ini. Gue memperhatikan Farhan yang kini menggendong tasnya dan mendorong-dorong gue. “Cepetan katanya mau pulang!”
“Ya udah, jalan duluan kenapa, sih.”
“Lo duluan kan bisa?!”
“Kenapa lo jadi nyolot, sih,” gue misuh-misuh dan segera keluar dari perpustakaan.
“Ka, kalau kita pulang kan pasti lewat lantai bawah,” ujarnya.
“Ya iya, emang lo mau terjun dari sini?”
“Katanya di bawah ada sesuatu?” Tanya Farhan sambil melihat-lihat sekeliling.
“Heuu, katanya gak takut,” gue menoyor Farhan, kemudian berjalan duluan menuruni tangga, hingga suara-suara yang gue dengar semakin jelas.
Kayaknya, sumber suaranya berada di bawah tangga, karena semakin gue turun, suaranya semakin jelas. Di bawah tangga ini, ada sebuah ruangan. Mungkin lebih tepatnya lemari kali, ya. Biasanya bapak-bapak atau ibu-ibu cleaning service menaruh peralatan mereka di sana.
“Ka, takut gue, kenapa lo malah lihat-lihat ke bawah tangga, sih? Ayo buruan keluar,” Farhan yang tadi ‘katanya’ gak takut itu malah mendorong-dorong gue.
Gue berniat menjitak si Farhan ini, tapi gue mengurungkan niat, “Ya biasa aja, sih, gak usah rusuh!” Lama-lama gue sebel juga. “Itu kalau kucing yang terperangkap di sana, kasihan. Mending kita buka aja.”
“Kalau hantu?”
“Gak ada hantu-hantuan, rumor doang,” ujar gue pelan sambil menghampiri lemari bawah tangga itu.
Perlahan, gue membuka pintu lemari tersebut yang ternyata gak dikunci. Ketika pintunya baru terbuka setengahnya, seperti ada yang menarik pintu itu lagi untuk tertutup, membuat Farhan yang berada di samping gue bergidik, “Gue takut, gue cabut duluan, bye!” Farhan meninggalkan gue sendirian. “Eh! Eh lo, mau ke mana lo!”
Gue mencoba membuka pintu itu lagi, tetapi ada yang memaksa menutupnya dari dalam, hingga akhirnya gue mengerahkan semua tenaga untuk membukanya.
BRAK!
Mata gue menatap kaget sosok yang ada di hadapan gue. Dia jelas-jelas bukan hantu, tapi seorang perempuan yang pastinya adalah teman seangkatan gue karena gue sudah hapal muka-mukanya walaupun gue lupa namanya. “Nga…ngapain lo malem-malem di sini?” Tanya gue ngeri. Lagian ngapain ngumpet-ngumpet di bawah tangga.
“Lo yang ngapain di sini?” Tanyanya kencang.
“Heh, berisik lo, ntar satpam dateng, gue dikira ngapa-ngapain lo!”
“Lo ngapain di sini?” Tanyanya, kali ini lebih pelan.
“Ya suka-suka gue, ini kan kampus gue juga!” Ujar gue dengan tatapan menyelidik. “Lo….”
Hidung gue mencium sesuatu dari dalam ruangan bawah tangga itu. Bau-baunya semacam kalau kita naik metromini atau bus-bus tanpa AC. “Lo ngerokok?” Tanya gue lagi, memastikan.
Perempuan di hadapan gue hanya terbelalak dan berusaha mengalihkan pandangannya dari gue. Gue memegang pergelangan tangannya kuat, “Lo jawab pertanyaan gue, lo ngerokok?”
“Gak.”
“Bohong, itu apa di tangan lo?” Tanya gue lagi. Walaupun gue gak hapal merek-merek rokok, gue tahu kalau yang ada di tangannya itu adalah bungkus rokok.
Kok ada, ya, perempuan, anak kedokteran, tapi ngerokok?
“Iya, gue ngerokok? Puas?” Ujar dia sambil berusaha melepaskan pegangan gue.
Mendengar nada bicaranya, gue agak kaget. Gue gak bermaksud membuat dia menjadi emosi seperti itu, tapi nada bicara dia terdengar gak suka. Akhirnya, gue melepaskan pegangan gue pada pergelangan tangannya. Bersamaan dengan itu, dia melangkah menjauhi gue.
“Lo pinter,” ujar gue.
Perempuan itu berhenti dan menatap ke arah gue, dalam beberapa detik dia kembali melanjutkan langkahnya.
“Bagus lah lo ngerokok di sana, kalau di ruang tertutup kayak gitu, asap yang lo keluarin pasti lo hirup sendiri, kan?” Ujar gue dengan senyuman miring. “Terus nanti pagi-pagi, para cleaning service akan sadar kalau ada seseorang yang merokok di dalam sana, terus nanti dia laporin ke dokter deh…”
Kini langkahnya benar-benar berhenti, malah berbalik ke arah gue, kemudian menghampiri gue. “Eh, jangan laporin gue, dong, tolong. Gue gak mau di DO,” ujarnya dengan muka memelas. “Plis.”
“Ya udah jangan ngerokok lagi…”
“Gue gak bisa,” jawabnya pelan. “Tolong, ya. Jangan laporin gue.”
Lagi pula, di semua tempat yang ada di dunia ini, kenapa dia harus merokok di sini, sih?
“Ya, gue gak tahu nama lo, gimana gue mau ngelaporin?”
“Jihan! Nama gue Jihan!” Ujarnya.
Kali ini gue gak bisa berhenti ngakak. “Hahahaha, lo kenapa, sih? Kalau kayak gitu kan gue jadi tahu nama lo!”
“Oh iya! Huhuhu, bego banget sih, gue!” Perempuan yang ternyata bernama Jihan itu menepuk-nepuk dahinya.
“Bodo ah, gue balik,” gue melambai-lambaikan tangan ke arahnya. Gue sebenarnya hanya mengejek dia, gak ada sedikit pun niat untuk melaporkan dia. Buat apa gue mengurusi masalah orang lain? Mungkin dia punya alasan untuk melakukan itu.
“Eh, lo! Plis jangan laporin gue! Woy! Denger gak sih?” Dia mencoba mengejar gue, tetapi gagal.
Gue berlari ke arah mobil Bang Yoga, sementara itu Jihan yang tadi gue lihat mengejar-ngejar gue sudah tidak tampak. Gue membuka pintu mobil dan mendapati Bang Yoga sedang memainkan handphone-nya. “Udah belajarnya?”
“Udah, Bang,” jawab gue. Sebelum Bang Yoga menjalankan mobilnya, gue memastikan Jihan tidak mengikuti gue sampai sini, atau bahkan tiba-tiba ada di kursi penumpang.
Gue menghela napas. Aman.
Handphone gue bergetar, ada satu pesan masuk ke dalam line gue.
[Gianita Jihan]
WOY JANGAN LAPORIN GUE ATAU GUE IKUTIN LO KEMANA-MANA
Buset. Gercep amat? Tahu kontak gue yang ini dari mana? Dia kan gak kenal gue? Gila, parah, hidup gue bisa gak tenang, nih.
“Kenapa muka lo pucet gitu?” Tanya Bang Yoga.
Gue yang padahal sangat yakin Jihan gak bisa mengejar gue tetap berteriak,“Bang! Cepet, Bang, jalannya!”
***