Read More >>"> Do You Want To Kill Me? (7.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Want To Kill Me?
MENU
About Us  

            Mayoritas manusia lebih menginginkan imbalan, bukan kelelahannya.

            Mereka lebih suka pada pada hasil, bukan prosesnya.

            Jatuh cinta pada kemenangan, tapi malas pada perjuangan.

            “Aku ini ya, bukannya malas, tapi memang tidak tahu bagaimana caranya,” gerutunya saat menemukan kalimat pada buku berjudul ‘Menolak Atau Ditolak’.

            Kedua pupil berhenti sejenak, kelopak menutup, air mata keluar untuk membasahi; memberi kesegaran setelah cukup baginya berlari mengejar kalimat di buku tersebut. Ini sudah hari entah keberapa dia meminjam buku itu; belum sempat dikembalikan olehnya. Untung saja penjaga perpustakaan sungguh bermurah hati, jika tidak, pasti catatan denda sudah seperti karangan bunga rentenir.

            Berada di dalam ruangan yang cukup untuk satu orang sepertinya merebahkan badan, mengerjakan sesuatu: membaca buku, menulis, dan meratapi kegusaran diri. Dia duduk di sebuah kursi plastik yang selalu membantunya untuk menghabiskan waktu di meja belajar.

            Dia melanjutkan membaca setiap kata yang ada di dalam buku tersebut.

            Dalam mewujudkan cinta, terdapat proses yang begitu panjang dan kompleks. Kita harus menciptakan benih terlebih dahulu, tapi biasanya itu muncul dengan sendirinya. Mencari tanah yang pas untuk menanamnya. Menyemai, memupuk, dan menyiramnya rutin dengan dengan sabar dan berkelanjutan. Hingga tumbuh dan berkembang, buahnya siap dipetik. Tinggal kepada siapa buah itu akan diberikan. Apa kepada sang pencipta benih atau mau menghianati orang tua sendiri.

            Dia semakin mengernyitkan dahi begitu dalam. Mengetuk-etuk tengkorak kepalanya dengan pelan, mungkin untuk mengubah otaknya menjadi liquid, encer. Dengan mudahnya penulis buku itu menulis tahapan-tahapan yang terlihat berat baginya untuk direalisasikan. Penulis memang mudah sekali menciptakan alur; segala keajaiban bisa terjadi begitu saja ketika konflik nampak mustahil untuk dicairkan.

            Dirinya bukan karakter utama dalam ceritanya sejak awal. Dia kebetulan saja dipilih untuk menyandang peran layaknya protagonis yang sedang melawan antagonis. Tentu, ada tujuan besar yang menanti di atas puncak gunung. Setelah berhasil, mungkin, dia bisa mengibarkan bendera kemenangan sembari tertawa dengan lukisan kesombongan di wajah.

            “Buku ini tidak terlalu berguna,” keluhnya sembari menutup buku tersebut.

            Dia mulai beranjak dari kursi, dan menuju ke ruang keluarga sembari menenteng sebuah gelas kaca. Anak tangga ini masih terasa sama di permukaan telapak kakinya; tidak ada rasa.

Anak tangga ini memang hebat.

            Pikiran sekilas itu muncul karena dia membayangkan berapa besarnya pengorbanan anak tangga itu. Merelakan bagian tubuhnya menjadi pijakan baginya untuk naik-turun ke kamarnya. Dia berhenti sejenak, merapatkan telapak tangan kanan, menaruhnya di pelipis, lalu bergumam, “Hormat kepada anak tangga!”

            Lalu diikuti, “Hehehehe…”

            Entah demi apa dia melakukan itu. Entah kesambet setan apa dia terkekeh seperti pria baruh baya yang telah memenangkan lotere.

            “Pemirsa, kali ini kami akan memberikan informasi mengenai berita tentang akan adanya bada matahari. Para ilmuwan kelangitan mengklaim bahwa badai matahari melanda bumi dalam waktu satu bulan.”

            Dia bisa mendengar dengan jelas suara dari televisi yang seperti sedang menampilkan hal penting dari layar birunya. Benar saja, kakak perempuannya tengah menggigit kuku jempolnya seperti hamster yang tengah menyantap kuaci. Dia memasang ekspresi serius sembari beberapa bulir keringat menetes tanpa disadari. Fokusnya hanya pada layar biru yang ada di depannya. Bahkan, kehadiran adik laki-lakinya tidak dapat dirasakan olehnya.

            “Diperkirakan negara kita juga akan terkena dampaknya. Namun, berdasar pantauan lembaga klimatologi dan geofisika, dampaknya hanya berupa kacaunya gelombang radio dan akan ada perubahan cuaca ekstrim.”

            Kakak perempuannya, setelah mendengar kicauan pembawa acara berita itu, dia menghela napasnya dengan lega. Dia merebahkan tubuh pada sofa yang empuk. Dia menatap ke arah Taka yang sedari tadi hanya berdiri di sebelah kirinya, kemudian berkata, “Kukira akan ada sesuatu yang gawat.”

            Taka tersenyum kecil; berusaha mendukung pendapat kakaknya. Memangutkan kepala untuk memperkuat dukungannya. Niat hati, dia ingin membeberkan kebenaran yang sudah dilihat oleh kedua bola matanya. Tapi, apa yang akan diucapkan nanti, pasti terdengar seperti kisah novel fiksi fantasi.

            “Semoga saja perkiraan mereka akurat,” imbuh Taka.

            Kalimatnya bereaksi bagai obat penenang bagi ketakutan kakaknya terhadap bencana alam. Bukan ada alasan omong kosong di baliknya. Bencana banjir yang menewaskan kedua orang tua mereka menjadi trauma berat bagi kakaknya. Untung saja Taka memiliki hati yang kuat, mungkin, jadi dia tetap berwajah tenang.

            Kehidupan mereka memang tidak beruntung, namun masih beruntung, karena kakak perempuannya ini sudah memasuki usia kerja dengan gelar sarjananya. Jadi, urusan finansial dapat teratasi tanpa uluran tangan kuasa.  Jamahan tangan kuasa memang bisa mengakibatkan dua hal; keindahan dan keburukan.

            Ada alasan besar mengapa Taka selalu menolak perasaan dari lawan jenis. Dia begitu takut untuk kehilangan lagi, saat mulai atau telah mencintai dan merasa memiliki. Kenyataannya, waktu selalu merebut orang terkasihnya; kedua orang tua. Jadi sejak itu, dia memutuskan untuk tidak menumbuhkan perasaan khusus terhadap orang lain, kecuali kakak perempuannya. 

            Tapi, demi kakak perempuannya ini, dia harus menentang prinsip konyol beralasannya itu.

            “Kenapa kamu diam saja di situ?” tanya kakaknya. Seketika dia sadar dari lamunan tak bermanfaatnya.

            “Sebentar, momennya belum pas.” Dia mengangkat telapak tangan kanannya. Kakak perempuannya sedikit memiringkan kepala dengan ekpresi penuh tanya.

            “Maksudmu?”

            “Tidak dapat kujelaskan”

            “Kalau bicara denganku, jangan pakai kata bermakna ganda. Aku bukan calon pacarmu yang harus kamu kode-kode biar peka.”

            “Cihhh…padahal aku belum pernah melakukannya sekalipun.”

            Kakak perempuannya tertawa, seolah mengejek pengakuan menyedihkan dari Taka. Tidak ada kepalsuan dari ucapannya. Hanya fakta yang benar-benar dialami sendiri olehnya.

            Taka mulai duduk di samping kiri kakaknya, di sofa yang sama. Sudah tidak ada bau alkohol yang menusuk ke hidung. Artinya, kakak perempuannya tidak sedang minum, atau mungkin dia memang jarang melakukannya. Taka merasa benar-benar lega.

            “Kak, bagaimana cara pacarmu bisa jatuh cinta ke kamu?” tanyanya.

            Pertanyaan yang seperti menanyakan sebuah tahapan untuk membuat atau melakukan sesuatu itu, cukup membuat kakaknya menarik alisnya ke atas. Kalimat tersebut tanpa sengaja muncul ke permukaan saat memikirkan semakin menipisnya waktu yang dimiliki oleh Taka.

            Pemberitaan tadi tidak sepenuhnya salah dan benar. Hanya saja, ada satu kebenaran yang akan terjadi; dunia ini hancur. Dia sudah merekam setiap detail kekosongan yang ada. Kehampaan, kematian, kesunyian, merengsek masuk ke setiap panca inderanya. Menimbulkan ketakutan luar biasa. Mungkin bagi penderita paranoid, pasti sudah gantung diri terlebih dahulu.

            “Ehmmm, aku tidak tahu jawaban validnya.”

            “Hanya saja, kupikir cukup bertindak secukup dan sebiasa mungkin.”

            “Eh tunggu dulu, kenapa tiba-tiba bertanya seperti itu?”

            Tiga kalimat minim jeda, memberondong pendengaran Taka dengan cepat. Semua itu keluar dari bibir merah kakaknya. Tapi, kalimat terakhirnya merupakan sebuah pertanyaan yang harus dijawab olehnya, agar tidak menimbulkan penasaran. Memang bagi Taka, rasa penasaran jarang sekali mendorongnya untuk mengaktifkan naluri. Tapi, kakak perempuannya berbeda.

            “Aku…”

            Jeda itu semakin membuat kakaknya penasaran. Dia menyipitkan matanya agar hanya adik laki-lakinya yang nampak. Atau mungkin agar dapat melihat bentuk kalimat yang terbang dari mulut Taka.

            “Aku harus membuat seseorang jatuh cinta padaku.”

            “Hahahahaha…”

            Kakakmya tertawa terpikal-pikal hingga napasnya terdengar seperti orang yang terkena asma. Taka sedikit kesal mendapat reaksi seperti itu, tapi tetap berusaha tenang. Setidaknya ini kewajaran, karena dirinya belum pernah sekalipun mengangkat topik berbau cinta dengan kakaknya.

            Perempuan satu darah dengannya itu berhenti tertawa; pertunjukan komedinya telah selesai. Dia mulai menatap adik laki-lakinya itu dengan serius, lalu berkata, “Pertama, kamu harus mencari hal apa darinya yang bisa membuatmu jatuh cinta padanya.”

            “Heh? Aku bertanya bagaimana caranya dia bisa jatuh cinta padaku.”

            Kakak perempuannya membuat suara seperti majikan yang memanggil seekor tupai peliharannya. Dan menggoyangkan jari telunjuknya; tepat di depan wajah Taka.

            “Agar seseorang jatuh cinta padamu, kamu harus mencintainya.”

            “Tidak-tidak, aku sungguh tidak peduli jika dia mengalami cinta bertepuk tanpa tangan.”

            “Biar kuberitahu padamu, adik laki-lakiku yang manis,” bisik kakaknya. Taka seperti disuruh mendekat ke arahnya. Obrolan selanjutnya menjadi terkesan begitu rahasia. Sudah seperti agen-agen profesional saja yang memakai kode-kode untuk berkomunikasi.

            Dengan seksama Taka siap mendengar apapun yang dilontarkannya. Lalu, kakak perempuannya kembali berbisik, “Untuk menumbuhkan cinta di ladang seseorang, tidak bisa disirami dan dipupuk dengan keegoisan. Dia akan enggan tumbuh jika hanya satu pihak yang berjuang sendirian.”

            Taka hanya memangutkan kepalanya, seperti telah berhasil memahami penjelasan itu.

            Ada hal yang membuat dia heran; alasan di balik penjelasan itu harus diucapkan dengan bisik-bisik. Sudah seperti ibu-ibu rempong yang kerap menggosipkan siapapun dan apapun. Mereka itu ciri orang yang terlalu memaksakan topik dalam sebuah pembicaraan. Memang bagus jika tetap menjaga, agar kekosongan dalam percakapan tidak terjadi. Tapi, dia tidak akan pernah melakukannya pada siapapun, terutama gadis itu.

            “Sebenarnya kamu tidak perlu benar-benar menumbuhkan rasa itu di dalam hatimu,” sambung kakaknya ketika dia tidak membalas.

            “Maksudmu?”

            “Cukup bertindaklah seperti perasaan itu benar-benar ada.”

            “Heh?”

            Taka memasang ekspresi ketidaktahuan di permukaan wajah, seperti biasanya. Kakak perempuannya sedikit tertawa ketika melihat keimutan dari reaksinya. Baginya, adik laki-lakinya tetap manis walau sudah memiliki usia yang cukup untuk mendapatkan idetintas resmi sebagai penduduk di negaranya.

            “Misal, ketika dia mengalami sebuah masalah, bantulah dia, buatlah pengakuan seperti, aku akan menjadi pelindungmu.”

            “Cukup bagus juga saranmu.”

            “Lalu, jika dia menanyakan alasannya, cukup biarkan mulutmu yang berbicara dengan sendirinya.”

            Taka kembali memangutkan kepalanya, entah untuk keberapa kalinya dalam momen ini. Dia sudah seperti cukup dengan penjelasan ini, dan akan mulai mencobanya.

            “Tapi, berhati-hatilah!” jelas kakaknya untuk memberi peringatan pada Taka yang mulai menyeringai.

            “Untuk apa?”

            “Seseorang yang mengatakan membenci drama romance, bisa terbawa suasana dan meneteskan air mata ketika mulai menghayatinya.”

            Sebuah peringatan yang benar-benar sekeras baja. Bahkan butuh waktu berbulan-bulan bagi pandai besi untuk menempanya menjadi perkakas. Taka sebenarnya ingin mengatakan, “Aku tidak peduli itu, karena mana mungkin terjadi padaku.” Namun, dia tidak bisa menebak ataupun menerka apa yang terjadi selanjutnya, karena dunia ini penuh tanya tanda.

            Dia hanya mengangguk dan segera meninggalkan kakaknya untuk menuju ke sarang. Mengambil ponsel yang sedari tadi berdiri beku di atas meja belajarnya. Menghembuskan napas seperti atlet lompat jauh yang akan melakukan aksinya. Dia mengetik sesuatu pada layar ponselnya, seperti sebuah pesan.

            Hei, apakah malam ini senggang? Setelah aku baca dari artikel, konon katanya nanti malam kita bisa melihat Fantastic MVMJ di langit dengan mata telanjang.

            Dia menekan tombol kirim, dan duduk di atas kasurnya. Ponselnya masih melekat di tangan kanan. Kamarnya, entah kenapa membuatnya sesak. Jantungnya seperti tengah diselimuti oleh kumpulan lemak. Padahal dia bukan orang yang memiliki berat berlebih.

            Harap cemas menanti balasan dari gadis itu. Kini, dia sudah seperti anak remaja pada umumnya. Selalu cemas terhadap cinta. Mencari cinta, menemukan kekasih sementara. Patah hati ketika tertolak. Bahagia minta ampun ketika diterima, dan gusar saat pesan tidak kunjung dibalas.

Benar-benar menjijikan, pikirnya.

Malam ini ya? Aku kosong kok. Fantastic MVMJ itu apa? Apa itu sesuatu hal yang indah?

Dia mengumpati dirinya sendiri karena tidak langsung menjelaskan dengan detail dalam satu pesan. Ini membuatnya harus mengirim pesan untuk kedua kalinya. Jari-jarinya tidak biasa menekan setiap huruf di layar ponselnya. Taka mulai mengetikkan sesuatu kembali.

Setidaknya, itu sesuatu yang mirip dengan dirimu. Kita bertemu di depan sekolah saja jam tujuh ya?

“Sialan!” umpatnya cukup keras. Dia mengutuk dirinya sendiri yang masih saja mengirim pesan ambigu dan abstrak. Dia takut jika gadis itu akan menganggapnya aneh, tidak, itu tidak masalah baginya. Jadi dia memutuskan tidak ada gunanya meratapi pesan yang sudah terlanjur terkirim.

            Dia menaruh ponselnya kembali di atas meja belajar. Tidak peduli dengan getaran ponselnya itu, karena dia menganggap gadis itu pasti tak akan menolak ajakannya. Entah atas dasar alasan apa dia begitu percaya diri dengan dirinya sendiri. Memang dulu dia sering sekali mendapat tembakan perasaan dari lawan jenisnya, tapi itu dulu. Sejak kejadian itu, dia masih belum pernah mengalaminya lagi.

             Kebiasaan umumnya masih saja dipertahankan olehnya. Mungkin sudah tertanam sebelum dia dilahirkan. Masih menggunakan pakaian yang sama, seluruhnya. Bukannya tidak mempunyai pakaian lain. Hanya saja dia kebingungan memilihnya. Jadi dengan begitu, semoga gadis itu dapat mengenalinya. Walaupun ada kekhawatiran jika gadis itu merasa bosan dan jijik padanya.

            Sekolahnya yang saat matahari ada, terlihat hidup, namun saat tidak, terlihat begitu mati, seperti pemandangan waktu itu. Dia berjalan sedikit menjauh dari gerbang sekolahnya agar tidak dianggap mencurigakan oleh orang yang berlalu-lalang.

            Tiba-tiba ada sebuah tangan yang menepuk punggungnya sembari berbisik, “Selamat malam, apa yang kamu lakukan di sini?”

            Suara itu menggesek keras gendang telinganya. Berat dan serak, tapi masih terasa unsur wanitanya. Taka hanya tersenyum kecil dan berusaha bereaksi secukupnya.

            Dia menolehkan kepala, lalu berkata, “Apa kamu mau ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan secara tidak langsung?”

            “Habisnya, kamu terlihat mencurigakan dengan penampilan tidak berubah itu.”

            “Maaf saja, aku tidak tahu harus memakai apa lagi.”

            “Kamu banget deh!”

            Dia bertanya-tanya sudah berapa lama dirinya dengan gadis itu saling mengenal. Hingga gadis itu tahu betul sifatnya. Taka memandangi pakaian yang dikenakannya. . Gadis itu mengenakan jaket hoodie hitam, beanie hat putih, dan celana jeans hitam.

            Sama seperti saat itu, apakah ini penampilan malamnya?

            Tidak ada cukup keberanian baginya untuk melisankan isi pikirannya pada gadis itu.

            “Kita akan ke mana?” tanya gadis itu, Rafethea.

            “Bisa-bisanya kamu menyetujui dan datang ke sini tanpa mengetahui tujuannya.”

            Kalimat ejekan terselip untuk membalas pertanyaan gadis itu. Dia menggembungkan pipinya, mata membesar, kesal.  Tidak ada salahnya Taka mencoba mengejeknya, ini mungkin akan menjadi strategi efektif.

            “Heh? Bukannya kamu hanya mengetikkan jika kita akan pergi untuk melihat  fantastic apalah itu.”

            “Ahhh! Bodohnya diriku!” erangnya sembari menahan malu yang sebenarnya tidak nyata. Dia hanya berpura-pura merendahkan diri. Kemampuan melukisnya terkadang berhasil untuk beberapa momen tertentu.

            Benar saja, gadis itu tertawa, perendahan dirinya berhasil.

            “Kita akan pergi ke bukit yang ada di sana,” jelas Taka sembari menunjuk sebuah bukit yang berada di sebelah timur jika dilihat berdasarkan mata angin.

            Gadis itu memangutkan kepala, lalu berkata, “Begitu, jadi kita bisa melihatnya dengan jelas.”

            Taka mengangkat jempol kanannya, lalu melangkah duluan meninggalkan gadis itu beberapa langkah di belakang. Langkahnya tertahan saat tangan gadis itu, Rafethea, menarik ujung jaketnya sembari berkata, “Jangan tinggal aku di belakang, aku takut, ini sudah malam.”

            Bersamaan dengan ucapannya, dia juga memampangkan kesedihan dan sedikit ketakutan. Taka sebenarnya ingin membalas, “Kamu gadis yang akan menghancurkan dunia tapi takut?”

            Namun, Taka sudah sedikit mengerti semenjak tragedi di atap. Bahwasannya yang mengeksekusi lelaki tersebut bukanlah dia, Rafethea. Jadi Taka tidak berhak menghujamnya dengan kalimat tersebut.

            Taka menciptakan gesture seperti mempersilahkannya berjalan duluan. Tapi, tampak seperti gadis itu ingin berjalan berdampingan dengannya. Taka bergumam, “Oke, memang seharusnya begini.”

            Gadis itu tersenyum, begitu manis, rambut setengkuknya sesekali terkibas oleh angin malam. Ingin sekali Taka memuji kecantikannya melalui kata-kata yang diucapkan. Bukan hanya tersimpan di dalam pikiran, lalu hilang begitu saja sebelum disadari

            Mereka menikmati kebisuan yang menghiasi setiap langkah kaki mereka. Jalanan untuk menuju ke bukit cukup sepi. Jadi ketakutan gadis itu sekarang memiliki alasan yang konkret. Suara napas gadis itu semakin memberat saat jalan menjadi menanjak. Taka melihatnya sejenak, lalu tersenyum.

            “Ayo semangat kamu pasti bisa!” teriak Taka.

            “Ini jauh banget, dan berat banget rasanya.”

            Pengulangan kata yang dilakukan oleh gadis itu menunjukkan seolah-olah ucapannya sesuai keadaan.

            “Mau kugendong?”

            Sebuah tawaran yang tidak menguntungkan pihak penawar melesat.

            “Enak saja, aku bukan anak kecil,” tolak gadis itu. Dia terlihat berusaha keras menapaki setiap senti dari jalan yang memiliki kemiringan sekian derajat.

            “Oke-oke, sebentar lagi kita sampai.”

            Lagi-lagi, seperti sebuah kejaiban, ucapan Taka terwujud setelah dilontarkan. Puncak bukit telah terlihat dari kejauhan. Gadis itu segera berlari menuju ke sana sembari melompat-lompat dan merentangkan kedua tangannya seperti sayap burung.

            “Ayo cepatlah!” teriak gadis itu yang sudah meninggalkan Taka jauh di belakang.

            Taka segera berusaha melakukan hal yang sama. Dia melukis kembali senyum di wajahnya. Aneh, dia merasa seperti menikmatinya. Kini, dia harus semakin berhati-hati. Dan juga menghiraukan peringatan dari kakak perempuannnya.

            Mereka berteduh di bawah pohon cemara yang benar-benar lebat akan daun dan ranting. Tapi sayangnya, tidak pernah ada cerita bahwa pohon cemara memiliki buah. Dia memang besar dan kokoh, tapi tidak ada buah, sama saja seperti ikan beracun.

            “Mana Fantastic MVMJ yang kamu bicarakan?”

            Gadis itu mulai memandangi dengan seksama langit yang begitu terang dengan permainan cahaya dari objek angkasa. Berbeda sekali dengan tempat mereka berpijak; gelap dan lembab.

            “Lihat ke arah timur laut,” jelas Taka sembari menunjuk arah yang dimaksud.

            “Merkurius, Venus, Mars, dan Jupiter,” jelasnya kembali.

            Gadis itu hanya menganga dan berjalan ke depan, lalu menatap langit sampai-sampai mendongakkan kepala. Dia mengangkat tangan kanannya, seperti berusaha menggapai sesuatu. Momen ini sudah pernah dilihat dan dialami oleh Taka.

            Taka membiarkan gadis itu melakukan aksinya. Dia tidak berusaha mengisi kekosongan ini. Sekadar menanti gadis itu yang akan melakukannya. Dirinya tidak ingin merusak decak kagum yang sedang dirapalkan oleh gadis itu di dalam hatinya, mungkin jika punya.

            “Indah sekali ya,” gumam gadis itu, Rafethea.

            Akhirnya, tanpa perlu menunggu lama, decak kagum telah disampaikan lewat lisan olehnya. Jadi, Taka tidak payah khawatir akan kekosongan yang berlanjut.

            “Iya, apa kamu menemukan dirimu di sana?”

            “Tentu, diriku tersenyum padaku.”

            Sudah jelas, dari jawaban gadis itu, tidak ada kecurigaan darinya tentang pertanyaan yang dilontarkan Taka.

            “Hei Takoyaki.”

            “Heh?”

            “Sudah kuduga, hanya nama panggilan itu yang cocok untukmu.” 

            “Pernyataan dan pujian macam apa itu?”

            “Terima kasih untuk hari ini.”

            “Ahhh.. aku tidak melakukan apa-apa.”

            Kembali, pernyataan perendahan diri dilakukan oleh Taka untuk kesekian kalinya agar gadis itu semakin berempati padanya. Gadis itu melukis senyuman di wajahnya kembali dan mempertahankannya untuk waktu yang cukup lama.

            “Kamu benar-benar membawaku ke sebuah keindahan,” puji gadis itu. Taka sedikit tersipu malu mendengar itu. Mendapat pujian dari seorang gadis, bukan hal biasa baginya.

            “Sudah saatnya kita pulang,” timpal Taka.

            Gadis itu mengangguk dan memenuhi ucapannya. Mereka menapaki jalan menurun yang cukup berbahaya jika dalam keadaan hujan. Untung saja ini bukan momen ketika sepasang laki-laki dan perempuan yang tengah kehujanan kemudian berbagi payung. Jika iya, Taka pasti akan menertawai alur pasaran yang dialaminya.

            Dada kiri Taka, tiba-tiba terasa nyeri kembali. Dia tidak meresponnya dengan gerakan tubuh agar tidak ada sesuatu yang merepotkan seperti sebuah pertanyaan, “Kamu tidak apa-apa?”

            Ini pertanda, sepertinya berhasil, pikirnya.

            Mereka berpisah kembali di depan gerbang sekolah. Entah akan berapa kali lagi mereka bertemu dan berpisah, setidaknya sampai dunianya diselamatkan. Atau setidaknya sampai gadis itu jatuh cinta padanya.

            Dia menerka jika tanda pada dada kirinya telah berubah bentuk. Tidak perlu mengecek, karena dia sangat yakin. Entah berasal dari mana kepercayaan dirinya untuk memercayai praduga tidak berdasarnya.

            “Kan, sudah kubilang,” gumamnya ketika melihat tubuh telanjangnya dari pantulan cermin.



           

           

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1328      651     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5454      1517     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.