Read More >>"> Do You Want To Kill Me? (8.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Want To Kill Me?
MENU
About Us  

 

            “Kamu pulang saja, daripada di sini, bikin sesak.”

            Rafethea menarik ke atas kedua alisnya, dan menatapnya dengan kesal. Entah apa salahnya hingga harus diusir, dengan ejekan pula. Padahal dirinya hanya membaca buku astronomi yang dipinjam di perpustakaan. Tidak ada kesalahan yang diperbuat.

            Sementara itu, Taka masih saja menggerutu karena kepayahan gadis itu menata buku. Tidak ditata sesuai jenis, apalagi nomor urutnya. Semuanya acak, kacau. Gadis itu hanya menatap dengan ekspresi yang seolah berkata, “Ini bukan salahku, aku enggak sengaja, kan?”

            Memang benar setelah mengacaukan pekerjaannya, dia tidak melakukan hal yang membuat Taka kerepotan kembali. Tapi, kesalahan pertamanya yang membuat Taka melontarkan kalimat tersebut. Bagaimana tidak, menara kartu yang disusun secara kompleks dan terstruktual dirobohkan begitu saja, padahal sudah ada buku panduan ciptaan Taka sendiri.

            “Dasar gay!” ejek Rafethea.

            Taka mencubit kulit dahinya sendiri, dan berusaha tidak menghiraukan ucapan tajam yang tak sesuai fakta itu. Dia tidak peduli dengan persepsi lawan bicaranya itu. Jika orang lain berpikiran salah tentangnya, hanya dibiarkan, maka akan jadi sesat. Dia terkekeh kecil. Rafethea memasang wajah yang begitu aneh: memanyunkan bibir, menjulingkan mata, dan menjulurkan sedikit lidahnya.

            Dia berniat untuk menonjok wajah mengesalkannya itu. Tapi, sekali lagi, dirinya tidak ingin berakhir di jeruji besi seperti para pembunuh khilaf. Mencoba mengabaikan, dan meneruskan memperbaiki penataan buku yang sudah terlanjur berantakan seperti tatanan dunia ini.

 Memang betul, tempat kakinya berpijak, sudah berada di ambang kehancuran; kerusakan lingkungan, perang, eksplolitasi sumber daya. Jadi, sebenarnya jika Taka membiarkan dunia ini berakhir, tidak akan ada menyalahkannya. Tapi, berhubung dirinya merupakan mahluk hidup, maka naluri agar tidak mati, mendorongnya untuk menuntaskan tugas; terutama menjaga orang terdekat, kakak perempuannya.

“Kalau aku memang gay, aku akan enggan mengantarmu ke perpustakaan, dan mengajakmu melihat langit malam.”

“Begitu-begitu,” respon Rafethea seraya menyipitkan mata dan meruncingkan bibir.

Tanggapan gadis itu hampir saja membuat kekesalannya tumbuh. Untung saja dia sudah terbiasa akan hal ini, Farizha kerap melakukannya, bahkan sampai satu kelas kompak mengikuti, dulu.

“Berarti, kamu normal?” tanya gadis itu, Rafethea, untuk memperpanjang topik tadi.

“Tentu saja, mungkin,” jawabnya dengan lantang dan tegas, tapi masih ada kerikil keraguan.

Dia menyelipkan kata itu di akhir ucapannya bukan tanpa alasan. Berdasar pehamahaman dan logika yang dimiliki olehnya, definisi normal itu berbeda-beda, dia bisa dipandang berdasar kesubjektifisan dan keobjektifisannya. Jadi, tidak ada patokan khusus untuk menganggap sebuah hal di suatu tempat normal, maka di tempat lain demikian.

Lain kolam, lain ikan, mungkin, kecuali tambak.

Perumpaan aneh itu melayang begitu saja di dalam kepalanya. Walau isinya sudah tidak karuan; tertempa banyak masalah, tapi dia tetap berusaha menggunakannya agar sampai usianya berakhir, tetap berguna. Kepalanya tidak ingin menyesal dan meratapi nasib saat di akhirat sembari bergumam, “Maafkan aku Arwantaka, aku tidak bisa berguna untukmu.”

“Kok mungkin?”

Akhirnya, setelah dijelaskan di dalam kepalanya sendiri, permintaan penjelasan melayang ke telinganya. Gadis itu, Rafethea, sedikit terlihat penasaran, nampak dari raut mukanya. Taka mendeham, gadis itu, Rafethea, menilik sekejap kelakuannya, lalu berusaha acuh.       

“Aku serahkan pada imajinasimu,” ujar Taka dengan tampang sinisnya.

“Sayangnya, aku tidak punya imajinasi,” gumam gadis itu. Bahkan Taka kurang jelas mendengarnya, tapi dia tahu betul maksud yang ingin disampaikannya.

Pernyataannya cukup mengangetkan baginya. Dia hanya bingung, menganggap ini lelucon atau keseriusan. Tapi, dari raut sedihnya, itu nampak meyakinkan, serius. Menengok ke belakang kembali, gadis itu cukup baik untuk membuat topeng berekpresi di wajah cantiknya itu.

“Maksudmu?” tanya Taka untuk mengklarifikasi. Dirinya sudah tidak dapat menahan rasa penasaran yang membludak.

“Aku serahkan pada imajinasimu,” balasnya. Tampang sinis yang dilontarkan Taka tadi, dipantulkan begitu saja olehnya. Dia tampak bahagia dengan aksinya, Taka hanya tersenyum kecil, terpaksa. Supaya dirinya tidak terlihat sedang dipermalukan.

“Percuma aku mengkhawatirkan yang tidak-tidak.”

“Salahmu sendiri membuatku harus berpikir.”

“Setidaknya itu salah satu ciri jika kamu manusia.”

“…”

Entah kenapa gadis itu, Rafethea, menundukkan kepalanya dengan sangat dalam. Sampai membuat poni rambut menutupi wajahnya. Dia seperti menyembunyikan hal berharga di baliknya. Taka tidak dapat melihat apa yang disembunyikan. Dia hanya mampu menerka-nerka.

Keadaan ini memaksa Taka mempertanyakan apakah ini merupakan kesalahannya. Mungkin dia telah mengucapkan hal yang sensitif. Dirinya telah lupa untuk melihat ke belakang. Dengan lantangnya meluncurkan kalimat itu. Semua yang ada di dalam tubuhnya, telah menjatuhkan vonis bersalah padanya.

“Eng, kamu kenapa?”

Gadis itu segera mengangkat kepala, memasang senyum kembali. Taka tahu itu dipaksa, terlihat jelas dari otot wajah yang nampak ada sebagian tidak kompak.

“Wihh, ini pertama kalinya kamu menanyakan tentangku, mungkin.”

Rafethea mulai berjalan menuju ke arah Taka yang tengah duduk di meja khusus petugas perpustakaan. Dia menyentuh pipi kiri Taka beberapa kali sembari tersimpul-simpul. Taka membiarkannya cukup lama, lalu memegang tangan kanannya dengan erat. Rafethea sontak menghentikan perbuatannya.

“Ada apa?” desis Rafethea.

Taka mulai menatap mata gadis itu dengan dalam. Untuk melihat sesuatu yang tersembunyi di sana. Benar saja, bagian bawah matanya, terlihat sembam. Pasti bekas air mata yang merengsek keluar dari sarang.

“Tidak apa-apa”

“Jangan tatap aku seperti ini, jadi malu nih,” gumamnya. Taka melepaskan tangannya, lalu dia tertawa kecil. Gadis itu demikian, tapi dia lebih keras.

Pasti untuk menutupi itu.

Beeeppzz…

Ponsel gadis itu berbunyi, ada pesan masuk, sepertinya. Benar saja, gadis itu segera mengambil ponselnya yang tergeletak di atas meja. Dia membukanya, lalu  matanya terlihat membaca suatu yang panjang. Ekpresi ketika sebelum bertemu lelaki yang dibantainya, terlukis kembali.

Tindakannya juga sama setelah membaca pesan itu; menarik tasnya dengan kasar dan menutup pintu perpustakaan pula demikian. Taka sudah berinisiatif untuk mengikuti saran kakaknya. Melihat gadis itu, Rafethea, melukis kembali ekspresi itu di wajahnya, sudah begitu cukup untuk menjadi alasan.

Sudah saatnya aku memainkan peranku dengan benar.

Dia begitu percaya diri, entah dari mana itu muncul. Dari dalam dirinya, mungkin. Padahal ini baru pertama kali dia mengakui perannya ini. Taka mengambil tasnya, berjalan keluar, dan segera mengunci pintu perpustakaan. Langkah kaki yang kasar dari Rafethea menggema jelas di lorong kelas.

Masih ada waktu bagi Taka untuk mencegah itu terulang kembali. Dia harus menghadang banteng yang akan menyeruduk para penonton, karena dirinya adalah seorang matador. Kain merah akan menyamarkan darahnya sendiri jika tanduk banteng menusuk salah satu bagian tubuhnya. Tidak masalah.

Mencegah lebih baik daripada mengobati.

Muncul sebuah kalimat seperti motto agar seseorang menjaga kesehatannya. Tapi, sayangnya  dalam keadaan ini, tidak ada yang lebih baik dari mencegah. Atau lebih tepatnya tidak ada pilihan selain mencegah. Jika ada yang mati, maka sudah terlambat untuk mengobati. Karena jika sudah mati, tidak dapat hidup kembali. Ini bukan seperti kisah fiksi di mana karakternya abadi.

Taka segera berlari mengikuti sisa-sisa langkah yang ditinggalkan oleh gadis itu, Rafethea. Dia seperti pengikut fanatik; menapakkan kakinya pada jalan yang sama dengannya. Nampaknya, kecepatan langkah kaki Rafethea lebih cepat dari kejadian sebelumnya. Jika Taka boleh menerka, mungkin saja gadis itu lebih berambisi, atau saja mungkin sudah geram.

Anak tangga itu masih memiliki aroma, jumlah, dan kemiringan yang sama. Pintu yang menguhubungkan ke atap sekolah terbuka sedikit, menghasilkan celah untuk mengintip. Terkaannya benar, sudah ada sesosok lelaki yang berdiri mematung di depan gadis itu, Rafethea.

Sepertinya berbeda, pengirim pesan terlihat begitu percaya diri. Tidak ada keraguan, terlihat dari wajahnya yang kering tanpa keringat. Rafethea nampak tidak mencoba membuka percakapan, masih saja memandangi bayangannya sendiri dengan seksama.

Taka mulai fokus pada Rafethea; kedua pupil cokelatnya, ternyata perlahan berubah menjadi merah.

“Dirinya yang lain sudah mulai menguasainya,” gumam Taka yang masih bersembunyi di balik pintu. Bukannya dia seperti tikus yang selalu sembunyi saat ada manusia, lalu muncul kembali untuk mengorek makanan. Dirinya hanya menanti momen yang pas. Entah berwujud bagaimanakah momen itu.

Lelaki itu mulai melebarkan kelopak mata, seperti energinya telah terkumpul dan siap untuk ditembakkan. Sementara itu Taka sudah menyiapkan diri beserta rencana yang telah dipelajari dari berbagai jenis buku.

“Terima kasih sudah datang.”

“Ehmmm,” balas gadis itu, Rafethea, sembari mengangguk.

Taka bertanya-tanya pada dirinya sendiri untuk mengetahui alasan mengapa pembukaan selalu sama. Itu terkesan monoton untuk sebuah peristiwa bersejarah bagi lelaki itu, bukan Rafethea maupun Taka. Atau memang hanya itu jenis peluru yang tersisa. Memang terkadang para tentara harus menggunakan jenis senjata yang sama karena alasan tertentu, mungkin salah satunya seperti sudah menganggapnya sebagai pasangan abadi.

Dia sudah menebak, masih ada dua sampai tiga kalimat lagi hingga menuju ke puncak acara. Tapi, sepertinya ini akan berjalan lebih cepat dari dugaannya. Jadi dirinya memutuskan untuk bangkit dan membuka pintu perlahan, agar tidak  ketahuan.

“Aku menyukaimu!”

Puncak acara telah tercapai sebelum pengisi hiburan melaksanakan tugasnya. Dengan lantang, tegas, dan lugas kalimat itu diteriakkan. Lelaki itu bahkan menggerakkan tangannya seperti penyair yang tengah berdeklamasai.

“Begitu, apa kamu mencintaiku?” tanya Rafethea.

Terlalu cepat, semuanya tidak mau berjalan sesuai intruksi pemimpin peleton. Para karakter ini tidak mematuhi tahapan yang diciptakan penulis. Mereka telah membangkang. Tapi, tidak dengan Taka. Dia masih seksama mengamati sampai lelaki itu memberikan balasan.

“Iya, aku mencintai-“

“Maaf kawan, dia sudah menjadi milikku sebelum dirimu mencobanya,” teriak Taka setelah membuka total pintu yang menjadi penghalang pandangannya.

Dia mulai berjalan mendekati mereka berdua, setelah muncul tiba-tiba dan merusak cerita dari sutradara. Mungkin dia akan mendapat hukuman berupa potongan gaji akibat tindakannya. Atau juga ini akan menjadi peran utama pertama dan terakhirnya.

Rafethea tergagap-gagap untuk menanggapi, sedangkan lelaki itu menggertakan giginya, hingga terdengar seperti hewan pengerat, tikus, yang tengah berusaha melubangi dinding rumah. Hasilnya, cukup ampuh untuk menganggu kakek tua yang kehilangan pendengarannya, tuli.

“Dia sudah lama sekali menjadi milikku,” tambah Taka.

Badan kurusnya yang berjalan menuju ke Rafethea, sesekali tidak stabil karena hembusan angin. Kini, dia berada di samping Rafethea yang masih bisu dan begitu dingin ketika mencoba melelehkannya. Taka menyengir, lalu tersenyum sinis. Dia membuat gerakan seperti tuan yang tengah mengusir anjing peliharaannya.

Lelaki yang memiliki rambut seperti akar pohon kelapa itu mengumpat lirih. Sebenarnya dia hanya tinggal berbalik badan, dan pintu telah dibukakan oleh Taka. Tapi, harga dirinya nampak begitu tinggi. Membuatnya terdiam cukup lama, salah, dia mengepalkan kedua telapak tangannya. Taka melihat itu, lalu menelan ludah.

“Kalau begitu, biarkan aku menghajar wajah sombongmu!” geram lelaki itu. Dia mulai berjalan ke arah Taka, tanpa basa-basi, tangannya menghantam wajah pria yang telah merebut kekasihnya, masih calon.

Taka tidak mampu menghindar. Tubuhnya tidak cukup atletis untuk melakukan gerakan ala karakter pahlawan yang mampu bertarung tanggguh. Sebuah bogem mendarat tepat di pelipis kanannya. Karena tidak sanggup menahan gaya dorong yang dihasilkan, tubuhnya terpental ke belakang.

“Cihhh…Sialan!” umpat lelaki itu sembari meludah ke arah Taka yang tengah meringis menahan perih.  Dia meninggalkan medan perang, kalah sebelum menoba, atau memang dirinya sudah kalah sejak awal, jadi tidak akan ada hasilnya jika tetap melakukannya.

Rafethea seperti manekin, dia hanya bisu, matanya bahkan tidak menilik sedikitpun adegan layaknya di film-film action itu. Tiba-tiba sebulir air mata menetes dari matanya, dia menoleh ke arah Taka yang sudah tidur terlentang, lalu berkata, “Terima kasih,” sembari diiringi dengan senyuman.

Mata merahnya telah pudar; kembali coklat. Kuku panjangnya perlahan memendek dengan sendirinya. Taka melihat itu; lega. Dia berusaha bangkit dengan luka yang telah membekas di pelipis kanannya. Rafethea bereaksi cepat, membantunya untuk berdiri.

Sebenarnya ada tanya di balik ungkapan terima kasih tadi. Tapi, dia memilih untuk tidak mempertanyakannya, karena api baru saja padam. Sewaktu-waktu jika terkena percikan sedikit saja, maka tamat sudah.

Rafethea menyangga tangan kanan Taka dan menawarinya untuk menuju ke ruang kesehatan. Bukan tanpa alasan, tapi setidaknya dia ingin menghilangkan perih yang tengah diderita oleh Taka. Di sisi lain Taka masih ragu apakah caranya ini efektif atau tidak. Dirinya masih belum mendapatkan jawaban itu hingga mereka berdua sampai di ruang kesehatan.

“Aghhh perih,” gerutu Taka.

Gadis itu, Rafethea, baru saja mulai mengoleskan alkohol pada bekas lukanya, tapi Taka sudah langsung mengerang.

“Tahan, laki kok payah banget,” ejeknya.

Kini, cairan penghilang nyeri dioleskan pada bekas lukanya. Aroma menyengat yang berterbangan menusuk ke hidungnya. Dia mengerutkan dahinya, dan melakukan pernapasan lewat mulut. Sebab, ini yang terbaik. Dirinya tidak ingin mendapatkan hunusan ejekan dari Rafethea.

Posisi mereka; Taka duduk di sebuah kursi, sementara Rafethea bersimpuh di hadapannya sembari meneruskan kewajibannya. Taka berusaha mungkin bernapas lewat mulut, aroma wangi tubuh gadis itu, Rafethea, benar-benar menyebar seperti bunga yang tengah berusaha mengundang lebah dan kupu-kupu. Jika dirinya adalah seekor serangga pemakan nektar, maka dalam waktu sekejap dia sudah hinggap.

“Ini kayaknya akan meninggalkan bekas deh,” gumam Rafethea setelah menuntaskan tugasnya.

“Bukan kayaknya deh, tapi memang begitu.”

“Sepertinya akan ada pandangan baru tentangmu.”

Sekarang, dia akan menenteng bekas luka itu di wajahnya. Orang-orang akan menganggap bahwa dia merupakan manusia yang tersisa dari sebuah pertarungan hebat. Ini pertama kali dirinya mendapat luka di bagian tubuh yang terbuka. Sudah ada tanda yang seperti sebuah luka. Sekarang, setelah mengalami perubahan, bentuknya berupa lingkaran hitam dengan dua bilah pedang yang saling menusuk membentuk silang.

“Tidak masalah, ini akan membuat keren penampilanku,” ucapnya dengan bangga.

“Hahahaha…ungkapan berbangga diri macam apa itu.”

Mereka yang berhadapan, saling menatap, lalu tertawa dengan keras hingga menggema di dalam ruang kesehatan. Keadaan itu berjalan cukup lama. Saraf wajah mereka sudah lelah, jadi diputuskan untuk berhenti. Napas juga telah terasa sesak, apalagi perut yang sudah tidak kuasa untuk menahan.

Tiba-tiba, gadis itu, Rafethea, meneteskan air matanya. Taka hanya melihat tanpa berbuat apa-apa, untuk sekarang. Dirinya hanya tidak tahu harus berbuat apa. Lalu, dia bertanya, “Kenapa?”

Pertanyaan itu memang tepat sekali diterbangkan. Rafethea mengangkat kepala dan berusaha sekuat mungkin membendung air matanya. Dia mengambil sebuah kursi dan duduk di atasnya. Kini mereka berdua saling berhadapan dalam tinggi yang sama. Tidak ada yang lebih tinggi ataupun lebih rendah.

“Taka, aku sudah lelah.”

Taka mampu merasakan bertapa berat bagi lawan bicaranya untuk sekadar mengucapkan satu kalimat. Udara dalam ruangan itu terasa begitu sesak dan berat ketika dihirup. Entah alam yang membuatnya demikian atau penghuninya, dirinya tidak tahu.

Masih saja dia mampu memikirkan hal tidak penting, seperti: membaca latar, mengamati suasana, tapi tidak berusaha mengembalikan ucapan gadis itu, Rafethea.

“Lelah terhadap apa? Atau siapa?” tanya Taka. Dia mulai menggali tanah yang konon terdapat banyak emas di dalamnya setelah cukup lama menyiapkan cangkulnya.

“Pada diriku ini.”

Jawaban yang begitu di luar dugaan, tapi sesuai harapan. Taka berdeham beberapa kali untuk sekadar memecah kebekuan ini. Gadis itu juga sudah selesai menyeka habis sisa air matanya. Jadi, dirinya merasa pembicaraan ini dapat berlanjut dengan tenang.

“Maksudmu?” tanya Taka, lagi. Dia sekadar mengklarifikasi berulang kali sebelum benar-benar lari dalam lintasan milik Rafethea.

Sebenarnya, Taka sudah memiliki banyak hipotesis tentang pernyataan gadis itu. Dia menerka jika memang betul bahwa gadis itu, Rafethea, memang dia. Sang tujuan utama, dan alasan besar baginya merelakan wajahnya ditonjok oleh lelaki yang begitu kuat, dia menganggap begitu karena dirinya lemah.

“Aku rasa dirimu orang yang pas dan kucari-cari selama ini.”

Pujian yang mengagumkan hampir saja membuat Taka terbang di antara kepulan awan bebas. Dia hampir melayang. Dirinya mampu merasakan ketulusan di balik ucapannya. Tidak ada muslihat. Kata-katanya bukan seperti janji manis para calon  pemimpin negara ketika melakukan kampanye.

“Ehemmm,” dehamnya, walau dia berpura-pura melakukan. Dan tentu Rafethea tahu bahwa itu hanya dibuat-buat, tidak asli.

“Kepribadianku yang lain sering muncul tanpa disadari.”

Itu sudah bukan lagi disebut kepribadian ganda jika sampai mengubah penampilan fisik. Taka masih belum mampu membalas. Dia mencoba mengira-ngira maksud ucapan gadis itu, Rafethea.

“Apa kamu tahu pemicunya?” tanya Taka. Dia mencoba melupakan sejenak apakah itu memang kepribadian ganda atau bukan. Dirinya lebih memilih untuk mencabut akarnya terlebih dahulu sebelum menuju ke puncaknya.

“Tidak tahu,” balasnya sambil menggelengkan kepala.

“Pernyataan perasaan, atau semacam pengakuan cinta.”

“Heh?”

Gadis itu membuka mulutnya, bukan untuk bicara, tapi membiarkan kosong tanpa ada kalimat yang terlihat akan lepas landas.

“Aku telah mengamatimu, maaf mengintip kurasa disebutnya. Ada perubahan fisik pada dirimu ketika ada seorang lelaki yang menyatakan perasaan padamu.”

“Aku tidak mengerti, tapi memang begitu yang kurasakan. Aku selalu melihat bekas darah ketika sadar, lalu menghilang begitu saja sebelum kubersihkan.”

Tepat seperti yang kuperkirakan.

“Ngomong-ngomong, perubahan fisik seperti apa yang kumaksud?” tanya Rafethea.

“Perubahan yang tidak merubah kecantikanmu.”

Sebuah jawaban tidak nyambung tergelincir dari lidahnya yang licin. Kedua  pipi Rafethea tampak memerah, pertanda malu. Dia memalingkan wajahnya dari tatapan Taka yang nampak mencurigakan. Taka hanya melukis senyuman kecil di wajah tirusnya.

Sepertinya berhasil, pikirnya kembali.

Jawaban itu merupakan sebuah kesengajaan. Dirinya tidak ingin mendeskripsikan wujud Rafethea saat bagian dirinya yang lain menguasai. Dia tidak ingin gadis itu semakin mengutuk dirinya sendiri. Dia ingin menyelamatkan dunia beserta kakaknya, dan juga Rafethea.

Dari semua ciri dan kejadian janggal yang dialami olehnya. Taka mampu menyimpulkan bahwa Rafethea adalah gadis yang akan menghancurkan dunianya. Masih tersisa tiga perempat bulan sebelum badai matahari menimpa dunianya, seperti yang dikatakan oleh pembawa acara.

Hanya tinggal membuat Rafethea jatuh cinta, itu yang harus dilakukan olehnya. Tapi, langkah selanjutnya masih belum diketahui olehnya; tersimpan rapat pada selembar kertas yang diberikan oleh gadis itu, Rafethea, di masa depan. Bahkan selembar kertas itu hanya disimpan di dalam sebuah buku, lalu meletakannya di atas meja belajar yang ada di kamar tidurnya. Dia berniat ingin membuka dan membacanya, setelah berhasil membuat Rafethea jatuh cinta. Karena dirinya merasa, itu saat yang tepat seperti perkataannya.

“Hei,” panggil Rafethea. Taka sesegera mungkin mengalihkan perhatian padanya.

“Aku ingin mengajukan sebuah permintaan padamu,” tambahnya.

Taka meratapi sisa kalimat yang masih bertebangan di antara udara. Lalu dia berkata, “Permintaan seperti apa?”

“Aku ingin kamu menolongku saat diriku yang lain menguasaiku, dan jika memungkinkah, hentikan dia!” jelasnya tanpa memberi jeda.

Taka bahkan tidak perlu repot-repot memanjat untuk mendapatkan mangga. Dia hanya perlu menunggunya masak, lalu jatuh dengan sendirinya. Begitu keadaan yang begitu memudahkan langkahnya ini. Gadis itu seakan menyediakan tangga baginya untuk melompati tembok penghalang.

“Baiklah, tapi aku tidak dapat berjanji menyanggupinya.”

“Itu sudah lebih dari cukup bagiku.”

Gadis itu memasang senyum, menyelipkan poni rambutnya ke telinga kanannya. Rambutnya begitu hitam, sehitam jalan yang dilalui oleh Taka. Karena begitu mendadaknya alur ini, dia bahkan tidak sempat membawa sesuatu untung meneranginya, lentera mungkin.

“Tapi, apa kamu tahu caranya?”

Pertanyaan yang tidak mampu dijawab dengan tepat oleh Taka mengepakkan sayap menuju padanya. Ingin hati dia mengucapkan, “Aku harus membuatmu jatuh cinta, lalu langkah selanjutnya tertulis di sebuah lembaran.”

Tapi, tidak semua kebenaran harus diungkapkan. Terkadang, kejujuran mampu menghancurkan sebuah bangsa. Tidak ada salahnya berbohong jika itu dirasa mampu menuntun ke sebuah kebaikan. Tapi, kalau berlebihan bisa-bisa overdosis, seperti pecandu obat-obatan, terlarang.

“Setidaknya aku akan berusaha untuk menjadi pelindungmu.”

Balasan yang cukup memuaskan bagi gadis itu, Rafethea. Tampak dari wajahnya yang penuh keyakinan dan memberikan kepercayaan sepenuhnya pada Taka. Terselip pula rona merah di kedua pipinya, Taka dapat melihatnya, jelas sekali. Tapi, dia tidak tahu maksud respon dari gadis itu, Rafethea.

Taka telah mendapatkan ekspetasi yang begitu berat. Dirinya takut tidak mampu menyanggupinya, hingga menghancurkannya. Lebih baik tidak ada ekspetasi daripada harus memaksakan diri sampai terasa ingin mati. Begitulah kebiasaan yang sering dilakukannya.

“Ayo kita pulang,” ajak Taka.

Gadis itu mengangguk dan menuruti ucapannya tanpa memantulkannya seperti biasa, khalayak cermin.

Kini, Taka sudah siap menghadapi medan perangnya. Waktu yang semakin menipis. Tanda yang telah berevolusi bentuk, walau dirinya tidak mengerti maksud di baliknya. Tapi, dia membuat praduga, jika dirinya telah berhasil mencapai tahap selanjutnya, maka tanda di dada kirinya mengalami perubahan bentuk.

“Apa akan ada tembok yang menghalangiku lagi?” tanyanya pada diri sendiri.

“Heh?”

“…”

Taka menggeleng ke arahnya seperti mengatakan Tidak apa-apa. Mereka berdua terus melangkah menyusuri lorong sekolah yang telah sepi akan penghuni sementaranya. Dia merasa kasihan pada bangunan ini, karena tidak pernah ada sekalipun sejarah jika ada penghuni tetap di dalamnya.

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1333      656     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5462      1525     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.