Read More >>"> Do You Want To Kill Me? (6.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Want To Kill Me?
MENU
About Us  

            Segala hal dapat berubah dengan cepat, baik sebelum kamu sadari maupun tidak. Perubahan jika tidak dapat diikuti, maka hanya akan menjadi bumerang. Kita yang menciptakan perubahan, tapi tanpa sadar diri sendirilah masih belum siap untuk menghadapi itu. Lalu, kita akan dihadapkan dengan kenyataan yang begitu menyiksa. Menjalani hari-hari seperti ikan yang keluar dari air; tidak berdaya, kecuali ada beberapa spesies khusus, betok mungkin.

            Kemarin, saat malam hari, setelah dia keluar bersama perempuan itu., tidak ada hal istimewa yang terjadi. Dia bahkan sempat berharap, beserta sumringah, saat kenormalan kembali menyelimutinya. Esok hari juga dia berharap demikian. Itu lebih dari cukup baginya. Tidak perlu ada momen-momen yang menariknya untuk menari-nari di antara konflik. Tapi, nyatanya dia sekarang harus mengikuti atau membuat arusnya sendiri, agar tujuan yang jauh di mata itu dapat digapai.

            Suara riuh saling bersautan memenuhi ruangan yang lebih besar dari kamar tidurnya. Membopong tas layaknya beban kehidupan yang selalu silih datang dan datang; selama roda gigi masih berputar. Mencoba melukis bangunan gagah di wajah, lengkap dengan warna cat cerah untuk menghindari kesuraman. Itu dilakukan agar para calon konsumen tergugah saat pandangan pertama.

            Medan perangnya tinggal selangkah lagi; ada dia di dalamnya. Target terbesar karena tugas yang disematkan padanya. Sebenarnya, jika dia memiliki pilihan, maka cukup melarikan diri yang akan dilakukannya. Berpura-puira tidak tahu dalam ketahuan, memang cara terbaik untuk menghindari hal merepotkan.

            Ketika kaki kanannya menapaki medan perang itu; seketika senyap seperti bebek yang tengah diberi makan oleh peternak. Suara Kwekk…Kwekk…’ sudah tidak terdengar dari paruh mereka. Mereka membisu dalam keunikan, baginya. Dia juga tidak mampu menciptakan hipotesis-hipotesis tak berdasar, seperti biasanya.

            Mencoba acuh, hanya itu yang dilakukannya. Namun sayangnya masih ada tatapan-tatapan yang membuntuti setiap langkah, detak jantung, dan hembusan napas kasarnya. Itu bukan tatatapan yang dulu sering didapatkannya; penuh kedamaian nan menyejukkan, lalu diikuti oleh canda tawas serempak, seperti sedang menonton pertunjukan Rowan Atkinson atau Charlie Chaplin. Tatapan itu benar-benar awet seperti makanan dan minuman yang diberi natrium benzoat.

            Dengan cepat, kesinisan mulai muncul bersama tatapan mengerikan itu. Ada sekitar puluhan bola mata, dia tidak sempat menghitungnya. Akan terlihat bodoh ketika dia menunjuk-nunjuk untuk menghitung jumlah mata. Sudah seperti anak kecil yang tengah belajar menghitung.

            “Jadi dia toh, ganas juga ya murid baru itu.”

            Dia mendengar jelas sebuah suara yang tidak diketahui dari bandara mana itu lepas landas. Mencoba mencari tanpa indra pengelihatannya, hanya mengandalkan daun telinga untuk menerka asal suara itu. Ada tiga siswi yang berjarak tiga meja secara garis diagonal darinya. Mereka memberi tatapan padanya, sesekali kembali menggetarkan pita suara. Dia tersenyum kecil sembari menyiapkan buku yang akan digunakan untuk mengikuti pelajaran.

            Begitu gerah dan sesak suasana yang dirasakan olehnya itu. Dia seperti sedang dipaksa untuk masuk ke kandang para peminum kelas berat. Sedangkan dirinya hanya pemula yang maksimal hanya minum softdrink. Dirinya seperti sedang direndahkan, serta dibicarakan dari belakang tentang kepayahannya soal minuman beralkohol. Tapi, dia juga akan diperlakukan sama ketika mencoba bertindak lebih jauh; dianggap melangkahi senior yang sudah lama berada di situ.

            “Ahh sialan dia! Padahal aku juga mau mendekatinya, tapi masih belum bisa-bisa.”

            Kali ini lebih jelas dan terdengar berat, serak pula. Ini pasti dari laki-laki, begitu pikirnya. Betul saja, ketika matanya mencoba memusatkan pada asal suara, terdapat dua siswa yang tengah menatapnya. Tapi, saat tatapan mereka bertabrakan dengannya; mencoba mengalihkan perhatian: menggosok rambut, mengupil, membersihkan jigong, dan aktivitas menjijikan lainnya.

            Lalu, muncul kembali suara yang tidak diinginkannya.

            “Halah, mungkin cuman kebetulan keluar, terus saling bertemu di jalan. Itu bisa saja terjadi, kan?”

            Entah kepada siapa pernyataan dan pertanyaan itu ditujukan. Sudah jelas yang mengatakan itu adalah seorang siswa. Artinya dalam kalimat tersebut terdapat korelasi dengan hubungan lawan jenis dalam tanda kutip. Dia mencoba menciptakan praduganya.

Mungkin saja dia suka dengan gadis itu.

            Dia tersenyum kecil saat mengetahui dan menyadari  peran gadis itu, siswi terkenal dan idola di kelas ini. Mungkin saja sampai ke seluruh penjuru sekolah; layaknya school idol  yang dipuja-puja oleh siswa calon om-om hidung belang. Atau juga para siswi fanatik yang numpang ketenaran jika dapat bersahabat erat dengannya.

            “Benar-benar luar biasa,” gumamnya.

            Untuk pertama kalinya, dia menanggapi keadaan ini setelah cukup lama membisu dalam kemalasannya. Bahkan dia baru menyadari jika gadis yang bersamanya kemarin, masih ada di samping kanannya sembari memberikan tatapan penuh tanda tanya, dan seolah ingin berkata, “Selamat! Kamu sudah terkenal di sini. Jadi kamu tidak akan mendapatkan alur ala karakter penyendir.”

            Seperti itulah yang ditangkap olehnya setelah melihat ada sunggingan kecil di sudut kanan bibir gadis itu.

            Niat hati, dia ingin menarik kerah gadis itu, mendorongnya ke dinding, menghajar wajahnya sampai lebam. Mengingat, karena gadis itu, dia mendapatkan banyak masalah yang misterius. Bahkan sandangan penyelamat dunia juga disematkan olehnya, walaupun tidak disampaikan secara tersurat, tapi dia menganggapnya begitu. Namun, jika itu sampai direalisasikan olehnya. Bisa-bisa jeruji besi yang akan menjadi tempat peristirahatan terakhir saat bencana itu melanda dunianya.

            “Semuanya, jangan berprasangka buruk dengannya. Dari wajahnya, dia seperti orang baik, benar kan?”

            Tiba-tiba muncul seseorang dengan pernyataan pembelaan. Asal suara itu berjalan mendekatinya, menepuk pundaknya. Dia mengangkat kepala untuk melihat siapa pelakunya, Farizha, sahabatnya, dulu. Farizha memang telah membuat pembelaan kuat tentangnya, tapi kata, “Seperti orang baik,” menimbulkan keraguan kembali bagi yang mendengarnya.

            Sedangkan gadis itu bergumam, “Cihh…” Dia mendengus kesal dan terlihat seperti penjahat yang gagal dalam rencananya. Sedari tadi dia nampak menikmati pertunjukan ini; dari wajahnya yang sesekali berseri-seri layaknya bunga bermekaran.

            Dia terselamatkan oleh tindakan kepahlawanan Farizha. Tidak perlu bersusah payah untuk menacairkan es krim, cukup biarkan di dalam suhu ruangan, begitulah yang sedang dilakukannya. Awalnya keadaan di kelas membeku seperti daerah kutub, tapi pembawa cahaya muncul dengan sendirinya ketika melihat beruang kutub mulai kehilangan bulunya. Mencairkan bukit-bukit es hingga menjadi air jernih. Tapi, sayangnya itu justru akan merusak populasi dan menenggalamkan dunia.

            Ternyataan keadaan semakin bertambah parah. Mulut mereka memang sudah tidak berkicau keras lagi. Bahkan tatapan-tatapan itu sirna sekejap mata. Tapi, masih ada gerutuan dan bisikan yang terbang seperti roh penasaran. Masih ada tanda tanya besar yang menempel pada punggung roh penasaran itu.

            “Kita kemarin cuman mencari buku bersama. Kebetulan dia memiliki referensi tempat untuk menemukan buku yang sudah lama kucari.”

            Muncul kembali pahlawan yang ditunggu olehnya. tanpa diduga, penjahat gagal yang ada di samping kanannya mencoba memperbaiki karakter. Mungkin, agar perannya tidak dianggap sebagai antagonis kotor.

            “Iya kan?” tanyanya sembari menatap Taka.

            Taka mengangkat alis kanannya, lalu sadar. Dia mengangguk begitu dalam, sampai-sampai yang terdengar di telinganya hanya, “Oh begitu ternyata.”

            “Memang sejak awal tidak ada alasan untuk kita mengkhawatirkan itu.”

            Menyeruaklah suara-suara yang seolah memahami penjelasan gadis itu. Tidak hanya sebagai idola, ternyata dia memiliki peran vital dengan pengaruh layaknya calon politisi kelas kakap. Pidato singkatnya barusan langsung dipahami dan diikuti begitu saja tanpa diklarifikasi kembali. Padahal, butuh waktu lama bagi Taka untuk mengolah kalimat pembelaan yang mustahil untuk diucapkan olehnya.

            Farizha tersenyum padanya, dan kembali duduk di kursinya. Sementara gadis itu masih saja menatapnya. Lalu, gadis itu berkata, “Mudah kan?” dengan tampang songonya, membanggakan diri.

            Memang, apa yang diucapkan dan ekspresi mengesalkan itu sesuai dengan kenyataan. Dia begitu mudahnya menjalankan peran seperti itu. Sejenak, Taka sempat berpikir untuk menjadikannya tameng dalam mengarungi perangnya ini. Tapi, sayangnya yang akan dilawan olehnya justru gadis itu. Dia tidak cocok dijadikan musuh baginya.

            Perang datang dan pergi, tapi pahlawanku tetap abadi.

            Kalimat yang pernah didengarnya dari sebuah film, tiba-tba terngiang begitu saja. Gencatan senjata memang sedang dilakukan, atau memang ini sudah berakhir sebelum dimulai. Paling penting, Taka terhindar dari hal merepotkan. Dia bernapas lega setelah tidak melakukan apa-apa.

            Entah sejak kapan dia berada di sini. Menjalankan peran layaknya si mata empat yang selalu ditemuinya sepulang sekolah. Ini sepertinya berawal ketika salah satu guru meminta tolong padanya untuk menata buku sesuai jenisnya. Karena dirasa hasilnya begitu rapi dan terstruktual, maka dia diberikan kuncinya begitu saja, sembari guru itu berkata, “Tolong jaga perpustakaan ini ya, kamu bisa kan? Bapak sangat suka dengan caramu mengelompokkkan buku-buku itu. Jadi, dengan begitu mungkin akan memudahkan siswa yang meminjam di sini.”

            Sebenarnya tidak ada resep atau ramuan khusus yang dilakukannya dalam menata buku-buku itu. Dia hanya mengikuti kebiasaan Prisna yang selalu mengurutkan jenis buku yang sama sesuai urutan huruf pertama pada judulnya. Dengan begitu, calon pembaca dapat mencarinya lebih mudah.

Dia tidak mampu mengelak permohonan tulus dari gurunya itu. Hanya mengangguk dan mengiyakan permintaannya. Sekarang, sepulang sekolah, dia sudah tidak dapat menemui Prisna.

Pada awalnya, dia cukup kesulitan menjalankan tugas barunya. Hari-hari berikutnya juga demikian. Mungkin bagi orang lain tidak menggapnya demikian. Ini karena standar cukupnya lah yang membuat dirinya kesulitan sendiri. Dia mematok batasan yang begitu tinggi untuk mendefinisikan kata ‘cukup kesulitan’.

“Aku tadi hebat kan?”

Ditambah lagi dengan burung kicau yang selalu bersuara seperti saat-saat masa kawin. Penyelamatnya dari medan perang, muncul kembali bersama dia di dalam ruangan. Dia memang tidak menganggunya; hanya membaca buku yang dipinjam dari perpustakaannya Prisna.

“Hebat banget, sampai aku salut,” balasnya untuk menerbangkan gadis itu.

Benar saja, tampang sombong mulai tergambar di wajahnya dengan jelas. Taka yang tengah sibuk mendata nomor seri buku, sesekali melihatnya. Dia menanggapinya dengan senyuman. Keheningan ini benar nikmat. Suara setiap halaman yang dibalik oleh gadis itu memiliki nuansa renyah tersendiri. Suara gesekan ujung bolpoin Taka menimbulkan getaran listrik yang semakin membisukan suasana.

Tiba-tiba rasa penasaran Taka semakin memuncak, dan sampai pada batasnya untuk ditahan; seperti orang menahan berak. Dia sudah tidak tahan lagi untuk segera mengetahui alasan mengapa gadis itu membaca buku astronomi; tentang bintang-bintang.

Apakah ini berhubungan dengan pernyataannya sebelum dia mengirimku ke masa lalu?

Taka hanya mampu menanyakannya pada diri sendiri. Tidak terjawab, hingga menjadi praduga dan prasangka yang menimbulkan banyak kemungkinan. Menciptakan alasan untuk mendukung opininya sendiri.

“Hei,” panggil Taka. Gadis itu sontak mengarahkan mata padanya.

“Apa sih? Aku lagi sibuk nih.”

“Sombong kali kau!”

“Hehehehehe,” kekehnya. Dia mulai menutup bukunya, dan memasang ekspresi serius, lalu berkata, “Silahkan, aku sudah mulai serius ini.”

Gadis itu seperti peka dengan niat Taka yang ingin mengarahkan pembicaraan menjadi lebih serius.

“Kenapa kamu membaca buku itu?” tanya Taka sembari menunjuk buku yang dimaksud.

“Ehmm, untuk menambah wawasanku lah.”

“Betul sekali, bodohnya aku! Sialan!”

“Tapi…”

Konjungsi berlawanan yang diucapkannya semakin menguapkan rasa penasaran; sudah siap dimuntahkan seperti lava gunung.

“Ada alasan lain yang lebih penting.”

Benar saja, setelah jeda yang diberikan olehnya, dia kembali meluncurkan pernyataan penuh misteri.

“Apa itu?” tanya Taka kembali. Hanya itu yang dapat diungkapkan, sebab dirinya ingin segera mengetahui alasannya.

“Aku ingin melihat diriku…lebih dekat.”

            Gadis itu mendongakkan kepala, lalu memejamkan mata sekian detik, membukanya kembali, menatap Taka tanpa kejelasan ekspresi.

Tidak ada pilihan jawaban yang muncul di depan mata Taka untuk membalas perkataannya. Hanya pemandangan tak bermakna yang ditampilkan. Taka tidak ingin salah jalan. Tetapi, juga tidak ingin hanya berdiam diri menyaksikan kehancuran. Apa dia harus bertindak seperti Sherlock Holmes yang memiliki kemampuan deduksi?

            Masih belum ada peluru yang ditembakkan kembali di dalam ruang perpustakaan; sunyi dan senyap seperti di luar angkasa, walau masih terdengar suara napas mereka.

            Taka menatap ke arahnya; bibirnya bergetar beku, seperti tengah mengucapkan sesuatu. Dia mulai berpikir untuk mengambil inisiatif, bertindak sebagai moderator, mengarahkan pembicaraan agar berjalan lancar.

            Dia sudah siap dengan berondongan pertanyaan untuk mengetahui alasan di balik ucapannya. Lidahnya sudah melakukan pemanasan agar tidak keseleo dan membuat perkatannya menjadi pelat dan latah. Dia sudah siap, tapi tiba-tiba gadis itu berkata, “Aku begitu iri dengan diriku di sana yang tampak bahagia.”

            Ini lebih dalam, pikirnya.

            Taka sekarang telah dinobatkan sebagai lelaki terpayah sepanjang sejarah, karena tega membiarkan seorang gadis melakukan monolog saat masih ada lawan bicaranya. Bukan niat hati sengaja. Namun, ketidaktahuan dirinya tentang jawaban yang harus diberikan menjadi kambing hitam andalannya; mengelak dari penobatan itu.

            Sesungguhnya Taka ingin sekali mengikuti pembicaraan ini dengan menganggap gadis itu adalah dia. Tapi, belum seratus persen akurat. Takut dianggap gila karena tiba-tiba mengatakan hal aneh. Padahal, gadis itu juga mengatakan sesuatu yang ambigu dan abstrak. Terlalu banyak dugaan yang muncul di baliknya.

            “Hei, kenapa diam saja?” tanyanya. Seketika Taka memfokuskan mata padanya.

            “Hahahaha, maaf-maaf.” Taka menaikkan sudut bibirnya, tapi tidak sampai barisan gigi dipampangkan.

            “Untuk apa?” tanyanya kembali. Sekarang dia sedikit memiringkan kepalanya ke kiri.

            “Aku tidak menanggapi ucapanmu. Aku sangat kebingungan.”

            “Tenanglah, aku tidak memaksa kamu untuk memahaminya, karena pasti sangat sulit untuk orang biasa, sepertimu.”

            Oh Tuhan…Terima kasih, akhirnya ada yang terang-terangan menyebutku orang biasa. Tapi, aduh sayangnya, kamu salah besar. Akibat ulahmu, aku sudah tidak layak menyandang sebutan itu.

            Gadis itu melihat simpul kecil yang menggurat di sudut-sudut bibir Taka. Gadis itu membalasnya, lebih. Masih dalam kemanisan, tiba-tiba.

 Beeeppzz…

            Ponsel milik Gadis itu mengeluarkan suara getaran yang begitu nyaring untuk ruangan sesunyi ini.  Dia nampak segera mengecek ponsel, lalu seperti membaca sesuatu di layar yang mengeluarkan cahaya itu. Cukup lama dia mengecek satu demi satu kata yang seperti tertata rapi di dalamnya. Taka hanya mampu menerka, “Sepertinya pesan dari seseorang.”

            Rafethea, nama gadis yang ada di hadapannya, kini melukis guratan urat di wajahnya. Seperti kesal dengan suatu hal. Jika Taka diperbolehkan untuk menebak penyebabnya; pesan itu, mungkin. Tapi, berhubung dirinya tidak tahu isi pesan tersebut, maka keberanian untuk menyimpulkan, sirna.

            “Aku pergi dulu,” ucapnya singkat setelah lama memandangi layar ponselnya. Kini dia terlihat begitu kesal khalayak nenek-nenek tua yang halaman rumahnya dijatuhi tai burung.

            Tas tidak bersalah yang sedari tadi duduk manis di sebelah kirinya, kini menjadi samsak kekesalannya. Dia menarik tasnya begitu keras, hingga menghasilkan suara seperti pukulan saat bertabrakan dengan punggunggnya sendiri.

            Bahkan sebelum meninggalkan perpustakaan, dia membanting keras pintu tak bersalah agar mau menutup. Padahal cukup berkata, “Menutuplah!” pasti tertutup, salah, itu bukan pintu otomatis yang bereaksi dengan suara. Ketika masih ada gadis itu, Taka berpura-pura tidak tahu, meskipun dia memang tidak tahu.

            Menggelengkan kepala, mengacak-acak rambut sampai terlihat seperti rumput lapangan sepak bola. Dia gusar, karena penasaran. Bayangannya mendorong-dorong untuk mengikuti gadis itu. Tapi, tubuh aslinya seakan bergumam, “Sssttt…Itu tidak baik; mengikuti dan menguping orang lain.”

            Tapi, nyatanya perang dimenangkan oleh bayangannya, dan terpaksa kaki harus melangkah. Sesaat sebelum keluar dari perpustakaan, dia mengambil buku itu dan menggendong tasnya. Lalu, mengunci ruang perpustakaan dan memasang tulisan ‘Tutup’.

            Suara langkah gadis itu masih dapat terdengar. Kaki mulusnya terdengar seperti sedang menaiki tangga; diketahui dari suara hentakan yang keras dan kasar. Kekesalannya pasti tinggal disentil dikit, langsung pecah seperti balon itu. Taka pun mengendap-endap menapaki jejak tak kasat mata dari kaki gadis itu. Dia menapaki anak tangga yang sama pula. Tetapi, dia sedikit lebih halus; seperti membelainya.

            Sekelebat rok gadis itu mulai terlihat, Taka sedikit memelankan langkahnya. Di depan gadis itu sudah ada sebuah pintu yang akan membawanya ke tempat paling terisolasi di sekolah, atap. Di sana, banyak yang enggan untuk sekadar menapakkan kakinya. Sebab, tidak ada apa-apa di sana. Hanya tumbukan adonan semen dan pasir yang diratakan, lalu mengering. Namun, konon sering terjadi peristiwa memilukan di sana.

            Desas-desusnya kerap terjadi baku tembak, dan peluru yang ditembakkan dipentalkan begitu saja. Tidak hanya kaum Adam yang menembak lalu tertolak, para keturunan Hawa juga terkadang melakukannya. Jadi, pada momen ini, Taka menyimpulkan dengan cepat, bahwa akan kembali terjadi tragedi.

            Benar saja, ketika dirinya berjarak tiga langkah dari pintu, terdengar suara yang berat sepertinya. Laki-laki, mayoritas yang memilikinya, walau ada perempuan juga ataupun juga waria.

            “Makasih, karena kamu sudah datang.”

            Pembukaan yang bagus.

            Taka mulai mendekatkan kepalanya pada celah-celah pintu; cukup untuk mata dan telinganya bertindak layaknya penguntit. Dia mengelus dada sembari merapal doa agar dosanya diampuni. Dosa atas kekhilafannya menyaksikan hal yang tidak seharusnya disaksikan oleh kedua matanya.

            Gadis yang dikenalinya, Rafethea, tidak memantulkan ucapan lelaki itu. Dia tampak hanya menunduk; melihat bayangannya sendiri yang perlahan mulai berubah posisi.

            Canggung, beku, tergambar jelas di wajah lelaki itu. Dia sesekali mengepalkan kedua telapak tangannya, entah untuk apa. Kalau Taka, tidak untuk apa-apa. Lidah lelaki itu terlihat ingin bergerak, tapi mulut bekunya nampak menghalangi.

            “Ada hal penting yang mau kusampaikan.”

            Akhirnya kalimat yang akan menggiring pembicaraan itu meluncur cepat seperti kereta luncur di atas danau beku. Rafethea mulai mengangkat kepalanya, dan mulai menggambar senyuman di wajahnya. Dari celah pintu, Taka tersenyum sinis setelah melihat senyuman tak biasa.

            “Penting? Untuk aku atau kamu?”

            Dia mengebom lelaki itu dengan dua pertanyaan sekaligus yang memiliki keterkaitan. Ketika lelaki itu berhasil menjawab pertanyaan pertama, maka ada yang kedua menunggunya. Jika salah satu gagal, maka habis sudah. Tapi, nampak dirinya tidak memedulikan pertanyaan itu, dan akan langsung masuk ke pertunjukan pertama tanpa ada hiburan kecil dulu.

            “Aku menyukaimu-“

            Setelah pernyataan perasaan berhasil terbang, masih ada jeda janggal di belakangnya. Rafethea nampak tidak bergidik sedikitpun; masih memasang senyum itu.

            “Terima kasih,” balasnya. Ternyata, dia masih memiliki etika.

            “Apakah kamu mau menjadi pacarku?”

            Taka melihat Rafethea memperlebar senyumannya, seolah-olah dia ingin berkata, “Ini benar-benar biasa, terlalu pasaran dan umum. Bahkan alur ini pula: grogi, menyatakan perasaan, lalu pengajuan diri menajdi pasangan dalam artian khusus.”

            “Apa kamu mencintaiku?” tanya Rafethea yang telah menghapus senyum tak biasanya.

            Rafethea bahkan tidak menjawab pertanyaan lelaki itu dengan benar. Dia justru menembakkan pertanyaan untuk ketiga kalinya. Sedangkan lelaki itu, masih sembunyi dalam kebisuan abadi, sepertinya, jika konstan.

            “Bagaimana? Apa kamu mencintaiku?” ulangnya untuk mempertegas.

            “I-ya, aku mencin-ta-i-mu.”

            Rafethea memasang kejijikan di wajahnya setelah kedua telinganya menangkap keraguan ala pecundang itu.

            “Yakin nih?” Dia kini bergerak aktif; jari-jarinya mulai menari-nari.

            Taka baru sadar jika mata cokelat Rafethea, telah berganti menjadi merah, setelah cahaya matahari yang tampak akan bersembunyi, menyempatkan diri menyinarinya. Mata merah itu tampak seperti darah segar yang baru menyembur dari pembuluh. Rafethea berjalan menuju lelaki itu, memutarinya sembari menggunakan ujung-ujung jari untuk menyentuh lehernya.

            Setelah beberapa kali putaran, dia berhenti tepat di depan wajah lelaki itu, lalu berbisik, “Jika begitu, kamu pasti bersedia kan?”

            Lelaki itu menjadi gemetaran, dan berusaha melangkah mundur. Tapi, tangan kanan Rafethea mencengkram dagunya. Taka menganga ketika melihat kuku jari tangan Rafethea menjadi sangat panjang dan tampak tajam, seperti serigala salju. Entah sejak kapan kukunya menjadi seperti itu.

            Cruattt….

            Tangan kiri Rafethea yang telah berubah seperti serigala, menusuk dada kiri lelaki itu. Efek suara itu menggema di dalam telinga Taka. Darah menyemburat keluar, bagai air mancur, Taka pernah mengalaminya, lebih dari sekali. Dia menahan mual tak tertahankan; padahal untuk adegan darah-darahan, dirinya sudah biasa.

            Jantung lelaki itu ditarik keluar layaknya pemancing yang berhasil menarik belut dari lubangnya. Sisa-sisa kehidupan masih terlihat dari denyutan yang kian melemah pada jantung lelaki itu. Sementara tubuhnya, sudah ambruk dan jatuh tersungkur dalam posisi tengkurap; genangan darah mewarnainya.

            “Enak sekali jantung orang ini,” gumam Rafethea yang sibuk mengunyah jantung.

            Sepertinya, Taka sudah tidak bisa memanggil dia sebagai gadis yang dikenali olehnya, Rafethea. Sebab, dia bukan gadis yang mengajaknya bersenang-senang sesaat kemarin. Bukan gadis yang tergila-gila pada parfait cokelat dengan rasa manisnya.

            Taka sudah tidak tahan melihat adegan itu. Ditambah, gadis itu sudah selesai menghabiskan jantung tersebut. Jadi, Taka harus segera beranjak dari tempat persembunyiannya jika tidak ingin menjadi yang selanjutnya.

            Suara langkah kaki gadis itu menggema di lorong kelas. Taka bersembunyi di dalam kelas yang bersebelahan dengan tangga untuk menuju ke  atap. Sekilas, Taka tidak melihat bekas darah apapun di tangan, seragam, kaki, mulut, ataupun bagian lain dari badannya.

            “Apa kejadian ini akan sama seperti saat itu?” gumam Taka dengan lirih setelah gadis itu, Rafethea, mungkin telah pergi.

            Tanpa disadari, kakinya bergerak menuju ke atap kembali. Pintu menuju ke atap terbuka; mayat lelaki itu tidak ada di sana. Dia berjalan mendekati lokasi akurat dari tragedi itu, tidak ada bekas darah di situ. Dia menunduk untuk mencium aroma amis, tapi nihil. Hidungnya tidak bereaksi sedikitpun. Tidak sengaja dia melihat sebuah name tag. Sepertinya itu ikut tercopot saat seragam sekolahnya sobek bersamaaan dengan dada beserta tulang rusuknya hancur; jantungnya pula.

            Dia mengambil satu-satunya identitas milik lelaki itu., lalu menyimpan di dalam buku yang dipinjam olehnya dari perpustakaan.

            Kurang lebih dua puluh empat jam selepas tragedi.

 Setelah pulang sekolah, dirinya menuju ke ruang guru untuk mencari buku siswa. Entah kenapa tidak ada halangan yang menghalangi langkahnya untuk menggapai tujuan. Guru yang ditanyai olehnya dengan senang hati menunjukkan letak buku siswa untuk tahun ajaran ini.

            Di sebuah loker khusus, letak buku siswa. Dengan seizin guru tersebut, dia mengambil dan membukanya perlahan, lembar demi lembar. Dia hanya berdiri mematung sambil meneruskan aksinya.

            Setelah sampai pada lembar terakhir, dia berteriak, “Tidak ada! Tidak ada! Tidak ada di manapun. Aku sudah menelitinya dengan detail.”

            Seketika para guru yang tersisa menoleh ke arahnya. Sontak, dia meminta maaf dan membuat-buat alasan andalannya. Lalu, mengembalikan buku siswa ke tempat asalnya. Keluar dari ruang guru, dan masih menyimpan tanda tanya dalam langkah kaki yang menyusuri lorong kelas.

           

 

 

 

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1333      656     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5461      1524     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.