Read More >>"> Do You Want To Kill Me? (4.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Want To Kill Me?
MENU
About Us  

 

            “Tidak salah lagi, ini sama persis dengan yang kualami sebelumnya,” gumamnya sembari terus berlari sekuat jantung memompa darah. Udara masuk dan keluar dengan cepat, melalui hidung, tenggorokan, paru-paru, lalu terjadi pertukaran gas di alveolus. Semua itu dilakukan agar pasokan oksigen dalam sel-sel tubuh tetap terjaga. Dengan begitu otot-ototnya tetap dapat berkontraksi.

            Dia meratapi langit yang mulai gelap secara perlahan, seperti biasanya. Betapa lega dirinya ketika mengetahui hal-hal normal telah kembali ke dalam pangkuan kesehariannya.

            Esok hari pasti akan terus seperti ini. Hanya begitulah kalimat yang melayang-layang di dalam pikirannnya.

            “Hahahaha…tidak mungkin itu akan terjadi, kedamaianku sebagai orang biasa telah direnggut,” gerutunya.

            Dia terlihat begitu gusar ketika langkahnya harus terhenti karena lampu penyeberangan berubah menjadi merah. Sekian detik harus dikorbankan olehnya. Bagi dirinya yang sekarang, setiap detik begitu berarti untuk mencapai tujuannya itu. Salah, bukan dia yang menciptakan tujuan itu, melainkan tercipta secara alami dengan sendirinya.

            Semua pemikirannya salah, tujuan itu diciptakan oleh gadis tak bernama; begitu dia menamainya tanpa meminta izin.

            “Cepatlah! Ini lampu sialan lama sekali berubah warnanya,” gerutunya untuk kedua kali hingga membuat dua orang pekerja keras di sampingnya memberikan pandangan. Dua orang itu terlihat begitu gagah tapi lemah, sewaktu-waktu mereka bisa hancur karena bekerja keras terlalu banyak.

            “Pahlawanku mati karena terlalu bekerja keras.”

            Tanpa sengaja kalimat tersebut terlintas begitu saja di dalam kepalanya. Dia mencoba mengingat-ingat asal kalimat itu untuk membunuh rasa bosannya menunggu detik yang tak kunjung berganti. Dari novel, hanya itu yang dapat dia dapatkan setelah berpetualang menjelajahi informasi di dalam pikirannya.

            Lampu merah berubah menjadi kuning; tanda bersiap-siap. Beberapa detik berlalu, warna kuning itu sirna dan diganti dengan hijau yang nampak seperti berlian baginya.

            “Akhirnya, jika begini terus, aku dapat bertemu dengannya, nanti,” gumamnya sembari menapaki zebra cross yang terbaris rapi di atas jalan perempatan besar. Hanya itu satu-satunya jalan agar dapat melewati perempatan besar dengan aman tanpa harus meregang nyawa.

            Lebih baik mengorbankan sekian detik untuk menunggu berubahnya lampu penyeberangan, daripada harus kehilangan waktu untuk selamanya. Memang menunggu bukan menjadi hobinya, tidak, itu tidak pantas disebut sebagai kesukaan ataupun kebiasaan. Menurutnya itu merupakan sebuah keharusan agar tidak terjadi keributan. Dalam antrian yang panjang, setiap orang harus mampu menahan egonya agar tidak terjadi gesekan. Jika ego tersebut dituruti, alhasil hal merepotkan akan menimpa pelaku.

            Dia telah sampai di seberang jalan dengan selamat; tanpa luka atau memar yang membekas di atas kulitnya. Dia terkekeh ketika membayangkan dirinya sedang berada dalam medan perang, dan tengah mencoba menyeberangi garis musuh. Akan ada kebahagiaan tiada tara ketika berhasil menjaga nyawa satu-satunya agar tidak terlepas dari raga.

            “Aku tinggal lurus melewati jalan ke rumahku seperti biasanya, lalu-“ ucapnya lirih. Dia memegangi dagunya sendiri; keraguan tentang sesuatu tengah melandanya.

            Dia mengecek jam di ponselnya, lalu berkata, “Apakah benar ini semua akan sama?”

            Menjetikkan jari, lalu kembali melangkahkan kaki. Jentikan jarinya tadi seperti dijadikan peluit olehnya.; layaknya anjing yang selalu patuh pada tuannya. Detak jantung benar-benar tidak karuan, dalam detik ini begitu cepat, detik selanjutnya kembali turun.

            Lampu jalan yang ada di kanan dan kirinya mulai menyala berurutan. Dia seperti tengah mendapatkan sambutan layaknya pangeran yang turun dari kereta kuda. Lampu-lampu itu sudah seperti karpet merah bagi kedua telapak kakinya yang tertutupi oleh sepatu hitam.

            Entah berapa banyak ludah yang ditelan olehnya agar merasa tenang. Angin malam yang berhembus menerjang lehernya membuat beberapa bulu di tangan berdiri tegak. Orang dulu mengatakan jika hal itu terjadi, maka ada ketakutan yang melanda sang pemilik.

            “Memang betul, itu fakta, aku begitu ketakutan, untuk sekarang,” gumamnya, lalu terkekeh, lirih.

            Dia berhenti untuk melangkah untuk mengingat di lampu jalanan yang mana kah gadis itu berdiri.  “Dua puluh langkah,” gumamnya sembari menoleh belakang untuk mengamati jalan aspal itu.

            “Sepuluh langkah, oh sialan! Sudah kelebihan, seharusnya dia sudah di sana,” teriaknnya sambil menunjuk salah satu lampu jalan yang berada di kiri jalan.

            Dia segera berlari menuju ke arah yang dimaksud oleh tangannya. “Tidak ada, tidak ada, ke mana gadis itu?” Dia terus mencari-cari gadis itu di antara tempat-tempat yang memungkinkan. Sebenarnya di lokasi tersebut hanya terdapat lampu jalan dan rumah penduduk yang berjejer rapi lengkap dengan tembok sebagai pagar pembatas. Jadi, tidak ada tempat bagi gadis itu untuk bersembunyi.

            Dia menyerah untuk menuruti takdir yang akan menjumpainya. Lalu dia bergumam, “Apakah aku terkena butterfly effect? Tidak mungkin. Oh bisa saja, karena ada beberapa momen yang tidak kulalui.”

            Napasnya mulai terdengar kasar, dan itu pasti akan menganggu telinga orang lain jika berada di keramaian. Tidak tepat, justru keramaianlah yang akan menyamarkannya.

            Dia menyerah untuk mengikuti jalan yang telah dibuat oleh takdir, setidaknya untuk sekarang. Selembar kertas yang diberikan oleh gadis tak bernama itu masih tersimpan rapi di dalam sakunya. Sebagai seseorang yang telah terikat dengan janji, maka dia harus menepatinya.

            “Tunggu saat yang tepat, baru kamu bisa membukanya.”

            Kalimat yang diucapkan oleh gadis tak bernama sebelum meregang nyawa karena dibunuh oleh dirinya sendiri, masih mengaung jelas di kepalanya.

            “Apa yang terjadi jika aku membukanya sekarang?” tanyanya sembari tengah berusaha membuka selembar kertas tersebut.

            “Tidak, aku tidak ingin menjadi pembangkang. Lebih baik aku melaksanakan itu dulu.” Dia telah mengurungkan niatnya, nafsu pribadi telah dipadamkan.

            Dengan penuh kekecewaan yang entah dari mana berasal, dia kembali melangkahkan kaki untuk menuju ke rumahnya; sejenak merebahkan tubuh. Hanya harapan kecil yang terngiang, “Semoga saja di rumah masih sama.”

            Memang dalam keadaan ini dia tidak bisa menebak maupun memperkirakan apa yang terjadi. Meskipun dia pernah mengalami dan mengarungi masa ini sekali. Tapi sepertinya benang takdir memiliki sambungan yang rumit bahkan untuk penyulam handal sekalipun.

            Satu hal fatal yang telah dilakukan olehnya; berharap semuanya akan berjalan sama seperti yang pernah dialami.

            Dia memutuskan untuk mengacuhkan pengulangan momen yang akan terjadi. Fokusnya hanya untuk mencari gadis tak bernama, lalu membuatnya jatuh cinta. Dengan sedikit ciri-ciri yang diketahui olehnya: berambut hitam panjang, berkulit putih susu, berwajah mungil dengan senyuman manis. Hanya itu yang diketahuinya.

            “Tunggu, bukannya dia memakai seragam yang sama denganku?” Dia memasukkan kedua tangannya di saku celana. Dia mencubit kulit dahinya untuk mempermudah berpikir. Kemudian dia bergumam, “Ehmm, bisa saja dia mungkin satu sekolah denganku.”

            Kakinya kembali melangkah sembari ditemani dengan buku yang dia pinjam dari perpustakaan. Dia membaca buku tersebut; setengah isinya sudah diketahui olehnya.

            Jangan pernah mencari-cari cinta, tetapi jangan juga berharap jika dia akan datang dengan sendirinya.

            Dia kembali terkekeh ketika membaca kalimat tersebut. Sebuah nasihat yang bagus untuknya. Dirinya akan segera menjadi petani yang menyemai benih di sawah. Tinggal dia mencari cara menanam, merawat, memanen, lalu menikmatinya. Tapi, itu bukan hal yang mudah baginya. Sebab, sudah sangat lampau dia telah menghindari kisah-kisah percintaan agar tidak menyelimuti kehidupan nyatanya.

            Rumah, telah berhasil dia sampai di depannya. Mengamati dengan detail dari luar; memastikan apakah ada yang berubah. Tidak ada, semuanya masih sama jika dilihat sekilas; semoga begitu pula dengan penghuninya. Ketika dia mencoba membuka kunci pagar, ada seseorang yang memberikan respon serupa; pintu rumah terbuka menghasilkan suara.

Klekkk…

            Dan dari baliknya muncul sesosok seperti perempuan yang dikenal baik olehnya. Kakak perempuannya muncul sembari menenteng sesuatu di tangan kanan, semacam botol bening dengan cairan jernih di dalamnya. Dengan mata merah sayunya dia berjalan keluar melewati pintu dan seolah ingin mengatakan sesuatu dari mulut yang berbau menyengat; walaupun Taka tidak dapat menciumnya dari jarak tersebut.

            “Kamwu dari mwana saja?”

            “Heh?”

            Responnya barusan memberi pertanda jika dia tidak dapat menangkap dengan jelas pertanyaan tersebut.

            “Hadeh…Sejak kapan kamu menjadi tuli seper-“

            Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, dia sudah terlanjur tepar karena efek fly sudah menyerang kesadarannya. Adik laki-lakinya segera membuka pagar dengan cepat, lalu membopongnya ke dalam. Mengingat udara di luar cukup dingin bagi seseorang yang di bawah pengaruh minuman beralkohol. Bisa-bisa dia nanti mengeluarkan cairan menjijikan dari mulutnya, muntah.

            Dia merebahkan kakak perempuannya di atas sofa empuk. Hidungnya seketika terasa gatal ketika mencium bau menyengat dari napas kakaknya. Lalu, sebuah kalimat tergelincir dari mulutnya.

            “Tidak seperti dirimu yang biasanya.”

            Mata merah kakaknya mulai terbuka dengan enggan. Dia menghembuskan napas cukup dalam dan berat.

            “Aku hanya butuh penghilang beban.”

            Jawaban cukup mencengangkan bagi dia keluar begitu saja dari mulut kakaknya yang benar-benar bau.

            Dia menggelengkan kepala beberapa kali. Iri, begitulah yang dirasakannya. Jika memang minuman beralkohol mampu menghilangkan beban seperti yang dikatakannya, dia pasti sudah mencoba dari dulu. Tapi, kenyataan yang ada justru berkata lain. Misal, para detektif yang kesulitan memecahkan masalah lalu meminum minuman beralkohol untuk membantu berpikir. Yang ada malahan permasalahan itu dipecahkan berdasarkan imajinasinya. Para tersangka ditunjuk secara acak tergantung khayalan.

            “Apa kau sudah cukup umur untuk meminum itu?”

            Sebuah pertanyaan yang sudah jelas-jelas jawabannya sudah diketahui oleh dirnya termuncrat bersama air liur begitu saja. Kakak perempuannya mengangkat jari telunjuk, lalu berkata, “Setidaknya, umurmu belum cukup untuk menasehatiku maupun meminum ini.”

            Tepat sekali, jawaban itu memang betul. Usia kakaknya memang lebih dari cukup untuk minum-minum layaknya om-om buruh perkantoran yang tengah dilanda stress karena ditekan oleh bosnya. Tapi, gender perempuannya yang membuat Taka begitu tidak habis pikir dengan kelakuan kakaknya itu. Memang banyak sekali di luar sana para wanita kelas atas, rendah, maupun sedang yang menjadikan minuman beralkohol sebagai pelarian atas beratnya kehidupan.

            “Oke-oke,” ujar Taka singkat sambil membentuk huruf ‘O’ dengan jarinya.

            “Heh? Kau tidak menanyakan alasan aku minum-minum?”

            “Tidak, walaupun aku tahu kau sangat jarang sekali melakukannya, kecuali ada masalah besar melandamu.”

            “Tepat sekali, aku habis put-“

            “Agghhhh…Aku mau mandi dulu.”

            “Ehhh, kejam sekali! Adik laki-laki tercintaku telah berubah menjadi penjahat perasaan,” gerutunya sembari memperagakan gaya orang yang tengah mengusap air mata; layaknya aktris kawakan sinetron yang memainkan adegan sedih.

            Dia hanya melirik kakaknya sebentar, lalu berjalan meninggalkannya. Sesaat sebelum benar-benar melakukan satu langkah, tangan kakaknya memegang ujung seragamnya. Tindakan itu memaksa dirinya untuk berhenti melangkah.

            “Kau dari mana saja? Habis jalan-jalan dengan seragam barumu ya?”

            Pertanyaaan tak masuk akal terbang begitu saja setelah lepas landas dari mulutnya. Memang pikiran kakak perempuannya sudah tidak waras; akibat minuman itu. Tapi pertanyaan tersebut cukup membuat Taka berkeringat tak karuan.

            “Bukankah ini memang seragamku sejak dulu?”

            Pertanyaan dijawab dengan pertanyaan, itulah yang dilakukan olehnya. Klarifikasi memang penting baginya agar tidak terjadi kesalahpahaman.

            “Lah, kita kan baru pindah beberapa hari yang lalu ke sini,” jelas kakak perempuannya. Kedua mata Taka tersentak ketika terdapat cukup banyak kardus di dalam ruangan itu.

            “Nanti kamu bantu aku beres-beres ya,” tambah kakak perempuannya.

            Taka membisu, seakan baru terserang rasa pilu. Sebenarnya dia ingin mengatakan, “Apa-apaan ini! Sialan,” dengan logat layaknya orang dewasa yang melakukan kesalahan dalam pekerjaan.

            Dia hanya membentuk huruf ‘O’ dengan jarinya kembali tanpa meluncurkan kalimat dari mulutnya. Pergi dan meninggalkan keadaan begitu saja, hanya itu yang dilakukan olehnya. Beranjak menuju ke kamar mandi untuk membuang kotoran sisa perjuangan melawan keambiguan yang setara dengan keanehan.

            Sekilas dari pantulan cermin, tanda lingkaran hitam masih melekat dan membekas di dada kirinya. Entah mengapa dia sekarang telah menjadi begitu terbiasa dengan tanda tersebut. Hanya bekas luka biasa, anggapan itu yang dia tanamkan untuk mengatasi rasa penasarannya. Tapi, pasti bukan sekadar tanda biasa. Banyak kejadian yang erat hubungannya dengan tanda tersebut.

            Satu lagi keanehan menimpanya, tidak untuk hari ini, melainkan saat matahari terbit kembali dari ufuk timur. Betapa leganya dia mengetahui itu; matahari tidak terbit dari langit barat. Dia dapat menyimpulkan bahwa ada keanehan kembali yang menyerangnya ketika salah seorang guru menyambutnya di depan gerbang sekolah sembari berkata, “Kamu Arwantaka ya? Ikut ibu ke ruang guru untuk melengkapi data kepindahanmu. Setelah itu, ibu akan mengantarkanmu ke ruang kelas.”

            Hanya respon anggukan bisu yang dapat diberikan olehnya. Berjalan di belakangnya tanpa membuka percakapan. Sampai di ruang guru untuk mengisi selembar kertas, semacam biodata pribadi. Sesuai ucapan guru tersebut, dia benar-benar diantar ke ruang kelas yang sebelumnya sudah diketahui. Tidak sekadar mengetahui, tapi sudah cukup lama bercengkraman dengan ruangan tersebut. Ini sudah hampir semester tiga, jadi tidak mungkin dirinya seketika lupa layaknya kakek-kakek pikun yang tanggal gigi serinya.

            “Ayo kamu perkenalkan dirimu!” perintah guru itu. Dia hanya memangutkan kepalanya. Dia tengah membayangkan alur yang sedang dijalaninya ini layaknya cerita fiksi dengan konsep “Murid pindahan.”.

            “Arwantaka, bisa dipanggil Taka,” jelasnya sembari sedikit menundukan kepala.

            Singkat, benar-benar simpel perkenalan yang dibuat. Bagaimana tidak, seharusnya dia tidak perlu melakukan itu. Tapi, ketika akhir kalimat dicapai olehnya, para siswa seperti memberi tanggapan, “Oh Arwantaka, blablablabla…”

            Jadi dia tidak bisa seketika bertanya, “Apa kalian benar-benar tidak mengenaliku?” Jika sampai kalimat itu terlontar dari mulutnya, pasti respon tawaan, tatapan lengkap ekspresi aneh menyeruak di dalam ruangan.

            “Silahkan duduk di kursi yang di sana,” jelas gurunya sembari menunjuk arah yang dimaksud.

            Kursi dan meja yang berada di paling belakang sebelah kiri; dekat dengan jendela. Dia tersenyum kecil ketika alur ini mirip dengan novel, manga, ataupun light novel yang begitu sering dibaca olehnya. Pembawaan untuk pengenalan karakter utama yang begitu mainstream. Dia menduga, pasti sebentar lagi akan ada karakter wanita yang mengajaknya bicara untuk pertama kali.

            Benar saja, di sebelah kanan dari letak tempat duduknya, terdapat siswi yang tengah sibuk memandanginya. Ketika dia membalas pandangan tersebut, siswi itu dengan cepat berpaling.

            Kali ini dia benar-benar ingin mengumpat untuk menanggapi keadaan yang dialaminya. Sahabatnya, Farizha, duduk di depannya, tapi berpura-pura tidak tahu. Maaf, bukan berpura-berpura, dia memang tidak mengenalinya. Penghapusan ingatan tentang dirinya, itu yang dapat disimpulkan olehnya.

            “Takoyaki.”

            Sepenggal kata menggema di telinganya. Menghentikan kegiatan praduga yang tengah dilakukan olehnya. Kata tersebut ternyata tergelincir dari mulut tipis siswi yang ada di sebelahnya. Kata yang tidak begitu asing di benaknya. Farizha, sering mengucapkannya sebagai paraban untuknya. Lalu, diselingi canda tawa teman-temannya di kelas; dulu.

            Dia melirik siswi tersebut sebentar; rambut hitam panjang sampai tengkuk dengan poni yang disingkap ke telinga kirinya. Ciri-ciri tersebut benar-benar tidak mirip dengannya. Tunggu, wajah mungilnya, bibir tipis itu, pupil matanya yang berwarna coklat. Memang sangat mirip dengannya. Tapi, gaya  rambutnya benar-benar berbeda. Sebenarnya Taka ingin bertanya padanya begini, “Apa kamu gadis yang memberiku misi untuk membuatmu jatuh cinta?”

            Pertanyaan itu sudah sangat siap untuk diluncurkan ke atmosfer. Tapi, bodoh, tidak mungkin dia mengetahuinya. Lihat saja, semua temannya di kelas ini seperti kehilangan ingatan tentangnya.

            Satu lagi yang memperkuat kebenaran bahwa siswi tersebut merupakan dia; kebiasaannya sebagai perintis sebuah percakapan.

            “Kok diam saja sih.”

            Kembali, kalimat kecil terbang menuju ke telinganya. Kalimat ringan yang memang cocok untuk membuka sebuah obrolan ketika lawan bicara tidak menanggapi untuk pertama kali.

            “Heh?”

            Taka hanya menyengir sembari menunjuk dirinya sendiri untuk memastikan apa benar dirinya yang akan dijadikan lawan bicara.

            “Iya kamu, Ta-ko-ya-ki.”

            Dia menarik napas, lalu memutuskan untuk mengikuti alur. “Julukan yang aneh, tapi terdengar lezat, dan dulu ada yang pernah menyematkannya padaku, “ balas Taka yang mulai sibuk mengeluarkan peralatan belajarnya: pensil, bolpoin, dan buku tulis. Benar-benar sederhana dan praktis yang dibawa olehnya.

            Siswi itu memasang ekspresi sedikit kecewa, lalu mengepalkan kedua tangannya sembari berkata, “Ehmm, jadi aku bukan yang pertama. Yosh, kalau begitu aku akan mencari nama julukan baru untukmu.”

            Taka sedikit kebingungan menanggapi perkataannya. Kurang tepat, dia merasa kesusahan. Dia mengernyitkan dahinya begitu dalam, sehingga bisa terlihat jelas oleh siswi itu.

            Siswi yang belum diketahui namanya oleh Taka itu tertawa kecil. Telapak tangan menutupi mulutnya untuk meredam suara cekikikan yang dihasilkan. Taka menundukan kepala padanya; isyarat untuk menyudahi percakapan. Pelajaran sudah dimulai, dan berakhir hingga istirahat makan siang tanpa kendala.

            Bekal makan siang tidak dibawa olehnya. Terpaksa dengan berat hati dan kaki yang begitu enggan untuk menjalankan tugasnya, dia menuju ke kantin; mencari makanan, lebih tepatnya membeli.

            Tidak ada yang istimewa dari menu di kantin; roti isi, nasi goreng, minuman-minuman, makanan kecil, dan makanan berat lainnya. Roti isi telur mentega, makanan yang dipilihnya untuk membungkam cacing di perutnya. Hanya ada satu alasan khusus mengapa dia memilih roti isi, karena kebiasannya yang sering sambil menyelam minum air. Dia ingin makan siang, tapi juga bernafsu membaca buku yang dipinjamnya dari perpustakaan.

            Memilih tempat duduk di pojok merupakan keistimewaan terbesar, seperti mendapat tiket vip. Dengan begitu orang-orang tidak akan memberikan perhatian padanya. Dia terkekeh kecil, menertawai dirinya sendiri yang entah sejak kapan telah menjadi penyendiri soliter. Dia seperti karakter yang terdepak dari lingkungan sosialnya.

            Hal terpenting dalam menyatakan cinta adalah ketulusan. Entah itu ketulusan secara hati maupun hanya terpampang dalam bentuk ekpresi fisik.

            “Buku ini benar-benar menarik, hahahaha,” gumamnya lirih, lalu diikuti tawa kecil. Mulutnya sibuk mengunyah roti isi, sedangkan matanya tengah mengejar barisan kata-kata yang hanya diam di dalam buku itu.

            “Eh buku apa itu? Nampak menarik.”

            Kalimat yang bagaikan peluru melesat masuk ke dalam lubang telinganya. Kalimat tersebut ditembakkan langsung dari mulut siswi yang baru ditemuinya di kelas tadi, maaf, mungkin sudah pernah beberapa kali bertemu. Dia duduk di hadapan Taka tanpa permisi sambil menaruh nampan yang di atasnya terdapat semangkuk mie berkuah kaldu banyak, lengkap dengan topping.

            “Apa kamu tidak apa-apa meninggalkan teman-temanmu yang ada di sana?” tanya Taka.Dirinya sedari tadi merasa terganggu dengan tatapan dua siswi yang duduk di meja sebelah kanannya.

            Siswi itu melambaikan tangan kepada mereka berdua, lengkap dengan senyuman manis. Dia kembali menatap ke arah Taka.

            “Setidaknya ini buku yang layak untuk dibaca.”

            Taka membalas pertanyaannya setelah cukup lama siswi itu memandanginya. Tatapan itu seperti mendesaknya agar segera menjawab pertanyaan pembuka tersebut.

            “Ehmm menarik, pinjam dong,” ujarnya sembari menyedot mie yang ada di hadapannya.

            “Ini bukan milikkku.”

            Jawaban singkat Taka,  cukup dijadikan pewarna untuk melukis kekecewaan di wajah siswi itu. Taka merasa bersalah telah melontarkan kalimat itu.

            “Tapi, aku bisa membantumu mendapatkan buku yang sama ataupun serupa,” tambahnya untuk menjaga suasana. Mulut mereka berdua tetap berbicara walaupun sibuk mengunyah makanan.

            “Wah kalau begitu hari minggu besok ya.” Munculah ekspresi kegirangan seperti anak kecil yang diberi permen di wajah siswi itu.

            “Heh? Ke mana?”

            “Bukankah kamu mengatakan akan membantuku?”

            “Tidak-tidak, aku tidak mengatakan jika akan segera membantumu.”

            Tidak ada jawaban dari siswi tersebut. Kembali, dia melukis kekecewaan di wajahnya. Taka benar-benar ingin berkata, “Kamu memang pandai memainkan ekpresi layaknya aktris kelas kakap.” Tapi, dia mengubur niatnya agar tidak terjadi hal merepotkan.

            “Baiklah aku akan membantumu,” ujar Taka dengan nada yang begitu malas untuk ukuran seorang siswa.

            “Oke, ponselmu mana?”

            “Heh? Untuk apa?”

            “Hadeh, aku minta nomormu agar mempermudah kita untuk menentukan waktu dan tempatnya.”

            Taka dengan begitu saja menyerahkan ponselnya pada siswi tersebut. Ini pertama kalinya ada orang lain yang memegangnya, kecuali dia sendiri dan penjual ponsel tersebut. Siswi tersebut terlihat mengetikkan sesuatu pada kedua ponsel. Benar-benar serakah, dan juga lihai. Begitu pemikirannya ketika melihat tindakan siswi tersebut.

            “Baik ini nomorku,” ucapnya seraya menyerahkan ponsel Taka kepada pemiliknya.

            ‘Rafethea’

Begitulah yang tertulis pada nama kontak dari nomor siswi tersebut.

            “Nama yang menarik,” gumam Taka. Tanpa sengaja siswi bernama Rafethea itu mendengarnya, lalu berkata, “Terima kasih,” sembari diikuti senyuman andalannya.

            Entah sejak kapan mie porsi besar itu sudah tidak tersisa. Mungkin Rafethea sengaja mengarahkan pembicaraan agar Taka tidak melihatnya melahap semua gumpalan terigu itu.

            “Kalau begitu, hari minggu jam sepuluh, tempatnya aku beritahu nanti lewat SMS.”

            Taka hanya memangut untuk mematuhi ucapan Rafethea. Dia meninggalkan Taka yang masih sibuk mengunyah roti isinya. Dari kejauhan, Taka melihat betapa indah dan merepotkannya siswi tersebut.

            “Tidak apalah, semoga dia merupakan dia. Sehingga aku bisa menyelesaikan ini dengan cepat.”

            Taka memulai monolognya kembali di dalam pikirannya sendiri setelah menagalami sesuatu yang belum pernah dan akan segera dialaminya;  keluar dengan gadis, kecuali kakaknya, dia sudah berkali-kali melakukannya.

            Aku sebenarnya tidak suka membuat janji. Tetapi, apadaya, dia dengan sengaja membuat janji sepihak. Namun, janji tersebut tetap mengikatku secara langsung. Jadi, apapun yang terjad,i aku harus menepatinya, karena aku tahu bagaimana rasanya dikhianati.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1328      651     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5453      1516     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.