Read More >>"> Do You Want To Kill Me? (5.) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Do You Want To Kill Me?
MENU
About Us  

 

            Perjanjian sepihak sialan ini telah mendorongku ke ujung papan titian. Aku sudah seperti tawanan bajak laut yang akan dieksekusi mati. Ini sudah seperti aku berjalan di atas papan; tangan diikat, dan di bawahnya merupakan laut bebas lengkap dengan hiu-hiu ganas, sudah semacam cerita dongeng bajak laut. Aku memang tidak akan benar-benar dieksekusi mati, tapi hal merepotkan pasti menghampiriku, sebentar lagi.

            Entah sejak kapan dia berdiri mematung lontang-lantung di depan jam besar yang ada di tengah-tengah kota. Dan entah siapa yang memerintahkan dia untuk berada di lokasi tersebut. Dia sudah sepertia anak buah yang mendapat perintah absolut dari bos besarnya. Sepertinya sebuah pesan yang membuatnya bertindak layaknya robot.

            Besok minggu ya, kita ketemuan di depan jam besar yang ada di dekat terminal itu loh, jam sepuluh ya.

            Begitu isi pesan yang termuat di layar ponselnya. Semalam ketika dia membacanya; kaget, menyesal, begitu yang dirasakan. Akhir pekannya telah hancur untuk hal seperti ini. Tidak masalah, tidak apa-apa, ini juga berhubungan dengan keselamatan dunia, seperti itulah dia menyemangati dirinya sendiri. Padahal, dirinya tidak pernah mendaftarkan diri ataupun mengisi formulir untuk menjadi pahlawan penyelamat bumi.

            Sialan, pikirnya.

 Sebenarnya dia ingin melantangkan umpatan melalui lisannya. Sebenarnya dia juga ingin menggunakan kata yang lebih kasar, seperti nama hewan ataupun badword khas di daerahnya.

            Menengok jam yang ada di ponselnya; masih tersisa lima menit sebelum waktu yang ditentukan. Baginya, maaf, umumnya datang lima menit lebih awal ketika memenuhi perjanjian merupakan etika yang sudah hampir luntur di negaranya. Dengan begitu, seseorang yang akan bertemu dengannya pasti akan merasa terhormati, ataupun bisa menjadi sindiran halus.

            Dia sangat tidak suka ketika harus keluar bersama seorang perempuan, padahal belum pernah melakukannya, kecuali dengan kakak perempuannya. Kerepotan untuk memerhatikan penampilan. Dirinya tidak ingin terlihat stylish ataupun nampak klasik ala tahun 80’an. Jadi, hanya jaket jumper biru tua lengkap dengan jogger pants hitam. Dan juga sebuah tas slempangan kecil yang selalu dibawanya ketika keluar bersama sahabatnya, Farizha, ataupun sendiri.

            Jam besar yang ada di belakangnya selalu berdentang setiap satu jam sekali. Tinggal dua menit, tapi pengirim pesan belum juga menunjukan batang hidungnya.

            “Semoga dia tidak terlambat, tidak mungkin juga,” gumamnya sembari terus menunggu, menanti, dalam harap cemas yang tidak berdasar. Dia menghibur diri dengan mengamati aktivitas sekitar, lalu menertawai beberapa hal yang dianggap konyol olehnya, aneh.

            Jam sepuluh tepat, jam besar di belakangnya berdentang keras. Cukup kuat untuk membunuh orang yang jantungan. Jadi disarankan untuk tidak meniru yang dilakukan olehnya. Hal berbahaya seperti ini bukan lagi tandingannya. Dia beberapa kali diserang dan ditusuk dengan sajam. Dan telah menyandang gelar calon pahlawan di dada kirinya. Mungkin begitu dia menganggapnya.

Menyerah, pupus sudah harapannya untuk menyimpulkan bahwa pengirim pesan merupakan orang yang tepat terhadap janji.

“Maaf, jika kamu sudah menunggu lama.”

Suara itu menggema di antara kepakan-kepakan merpati yang berterbangan karena kaget mendengar dentangan jam tersebut.

Pemilik suara berjalan menapaki jalan yang terbuat dari susunan paving. Gaun terusan sampai lutut yang berwarna putih memberikan kesan seperti penyihir putih,  anggapan Taka. Lengkap pula dengan merpati yang berputar mengepakkan sayap kecilnya. Dia menganga melihat momen dramatis yang sudah seperti drama layar kaca. Seakan ada efek slow motion yang ditampilkan di kedua matanya.

“Lagian aku juga yang datang terlalu awal.”

Begitu jelasnya untuk memosisikan agar lawan bicaranya ini tetap percaya diri untuk mengikuti pembicaraan yang akan berlanjut hingga nanti

Perempuan itu, Rafethea, telah berada di hadapannya. Memasang senyum-senyum kecil setelah mendengar ucapannya. Begitu ceria, layaknya anjing peliharaan yang akan diajak oleh tuannya jalan-jalan mengitari kota.

Sementara Taka sudah seperti kucing pemalas yang dipaksa berjalan keluar kandang untuk mengurangi berat badan. Atau juga keledai yang selalu meringkik, lengkap dengan air liurnya saat diperintah mengangkut barang.

“Kecut banget ekspresimu itu.”

Rafethea nampak mencoba mengisi kekosongan topik dengan melontarkan kalimat yang menggambarkan keadaan Taka sekarang.

“Kurasa, memang sudah sejak lahir seperti ini.”

“Tidak usah bermuslihat, pasti karena harus menemani dan membantuku mencari buku, kan?”

“Tidak sepenuhnya salah, tidak sepenuhya benar.”

Rafethea menyunggingkan bibir tipisnya. Mata cokelatnya juga terlihat begitu berkilau, indah.

Dia mulai menyingkap poni rambutnya, seperti biasa. Sudah dua kali Taka melihatnya dia melakukan itu. Benar-benar seperti sifat adiktif yang memang alamiah bagi setiap manusia. Kebiasaan itu muncul ketika melakukannya dua, tiga, atau empat kali, lalu akan dilakukan terus tanpa sadar.

“Ayo kita pergi!” ajak Rafethea pada Taka yang masih sibuk memandangi bayangannya sendiri.

“Heh? Ke mana?”

Rafethea menggembungkan kedua pipinya, lalu di pikiran Taka seperti tersentak sebuah kalimat, “Oh iya.”

            “Oke-oke, tapi aku hanya tahu satu tempat untuk mencari buku. Dan sepertinya temppat itu terlalu kecil untukmu.”

            “Kecil atau tidaknya, tergantung pada dunia yang ada di situ. Sempit ataukah seluas jagad raya.”

            Benar-benar jawaban yang unik dan tidak terduga melesat setelah dilontarkan oleh lidah elastisnya.

            “Mengesankan,” puji Taka tanpa ekspresi. Rafethea yang menyaksikan ketidakselarasan antara ekspresi dan ucapannya mulai mengangkat-angkat kedua alis hitamnya.

            “Kamu, benar pandai memuji untuk orang yang baru dikenal,” ujar Rafethea. Kalimatnya barusan seperti memberi pukulan telak bagi Taka. Dia ingin mengelak dari pernyataan Rafethea itu, dan menghujamnya dengan argumen yang berdasar pada fakta bahwa mereka berdua sudah bertemu beberapa kali, mungkin, jika praduganya tepat.

            Dia sudah mengolah kalimat ini, “Aku sudah bertemu denganmu beberapa kali waktu itu. Jadi tidak bisa kamu sebut kita baru saling mengenal,” di dalam kepalanya.

            “Setidaknya, hanya itu yang bisa kuucapkan untuk menanggapi perkataanmu tadi.”

            Perendahan diri dilakukan olehnya. Berpura-pura mengabaikan harga dirinya sebagai lelaki dengan mengucapkan kalimat penegasan berisi penjelasan itu. Rafethea memangut beberapa kali, seolah-olah mengatakan. “Oh begitu-begitu,” dan masih banyak kata yang berbaris di belakangnya.

            Tanpa memperpanjang obrolan tanpa langkah kaki ini, Taka berjalan terlebih dahulu melewatinya. Rafethea begitu peka dengan gesture yang sedang disajikan olehnya.

            Mereka berdua berdampingan layaknya sepasang-pasang, entah kekasih, ataupun lainnya. Taka tidak memusingkan pendapat orang lain ketika melihat mereka berdua. Tapi, sepanjang mereka berjalan menapaki jalan khusus pejalan kaki ini, hanya tatapan ditambah senyuman yang diterima.

            Rafethea sesekali menatapnya seiring dengan langkah kaki mereka yang bergerak tidak kompak. Ingin sekali Taka menjadi perintis untuk mengisi keheningan yang benar-benar menyiksa. Ini tidak ada bedanya dengan dia berjalan sendiri, sendiri? Sejak kapan memangnya dia selalu sendiri?

            “Masih jauh kah?” tanya Rafethea yang mulai terlihat tidak kelelahan. Sepertinya dia gadis yang kuat, begitu gambaran di kepala Taka.

            “Sebentar lagi.”

            “Sebentar lagi itu seberapa?” tanyanya kembali. Tidak disangka, ternyata dia memiliki sifat yang seperti pengeluh. Tapi, nampaknya bukan seperti demikian. Dirinya mungkin merasa tersiksa dengan keheningan ini. Jadi, dia berusaha mencari topik semenarik mungkin agar Taka juga merasa tertarik untuk ikut nimbrung di dalamnya, layaknya ibu-ibu.

            Dia menarik kedua tangannya sendiri; memperagakan bentuk sebuah garis sembari berkata, “Segini kah?”

            “Pffttt…”

            Tawa kecil melesat dari mulut Taka. Tapi, bagi Rafethea itu terdengar semacam ejekan. Ekpresi kesal pun muncul seketika di wajahnya sebagai bentuk reaksi wajar.

             “Ini pertama kalinya kamu tertawa sejak bertemu denganku.”

            Tidak-tidak, Rafethea memang benar sekali. Setiap Taka bertemu dengannya, hanya kemisteriusan, ketakutan, dan rasa ingin mati yang selalu dirasakan. Jadi dia mungkin bisa berkata, “Tidak apa-apa,” pada dirinya sendiri jika tertawa bersama gadis yang ini.

            Masih ada tanda tanya besar baginya, apa memang betul perempuan seindah dia yang akan menghancurkan dunianya ini.

            “Sepertinya aku ditakdirkan untuk tidak tertawa terlalu sering.”

            “Alasan macam apa itu?” balas Rafethea sembari menyengir, lalu tertawa nyaring memecah keramaian. Langkah mereka yang beriringan mulai terasa nikmat bagi Taka, begitu pula dengan pembicaraan ringan ini.

            “Ini bukan alasan. Lihat saraf wajahku ini,” timpalnya sembari menunjuk wajahnya sendiri. Rafethea mengamati seksama yang dimaksud olehnya.

            “Datar,” ujarnya dengan nada yang sedikit mengejek.

            “Kalau aku memaksakan tertawa dengan keras dan berkali-kali, bisa-bisa ini saraf wajahku putus. Dan aku akan menjadi manusia tak berekspresi.”

            “Seperti itu, kah?”

            Taka hanya mengangguk untuk menyudahi topik yang penuh dengan rasa ambigu. Dia memberikan alasan dan penjelasan yang tidak masuk akal. Sementara Rafethea menyetujuinya begitu saja, tanpa berargumen, walaupun masih diikuti tanda tanya dikata terakhirnya.

            Tempat yang sedari tadi dimaksud oleh Taka telah nampak dari kejauhan. Bangunan itu tidak terlalu besar, persis seperti yang dijelaskan olehnya. Tapi, dari tempat itu, dia mampu mengenal dunia ini, tanpa perlu menjelajahinya layaknya para penjelajah dunia dengan motivasi gold, gospel, dan glory.

            “Begitu menyilaukan ya, kalau dilihat dari sini.” Decak kagum itu melompat bebas dari pita suaranya. Rafethea mulai berjalan mendahului Taka; seperti perenang yang melihat laut bebas. Tinggal melompat, mendayungkan kedua tangannya, menyelam, dan sesekali tersedak air berkaporit.

            Taka hanya melihat dengan heran kelakukan perempuan yang sedang bersamanya itu. Untung saja lokasi di sini tidak terlalu ramai, jadi kulit mukanya tidak perlu sampai harus terkelupas.

            Dia mengikuti langkahnya dengan santai; tidak menambah atau mengurangi kecepatan. Konstan, begitu yang dilakukannya. Dia tidak ingin terlihat ambisius maupun malas. Rafethea membalikkan badan, lalu berkata, “Ayo cepetan dong! Aku sudah tidak sabar.”

            “Untuk apa sebenarnya kamu mencari buku?”

            “Dibaca lah.”

            Sebenarnya Taka sangat merasa tidak perlu menanyakan alasan di balik ambisi menggebu-gebu dari gadis itu. Tapi,  pada akhirnya sebuah pertanyaan tidak penting terlanjur tergelincir kembali karena ludah di mulutnya.

             Mereka berdua memasuki perpustakaan yang sering dikunjungi oleh Taka, sendirian. Suara dari pintu terbuka, membuat penjaga perpustakaan mengalihkan perhatian pada dua sosok manusia yang muncul di baliknya. Dia segera beranjak untuk menyambut mereka berdua; sudah seperti pelayan kelas atas yang memberikan ucapan, “Selamat datang.”

            Penjaga perpustakaan tiba-tiba menarik tangan kanan Taka, lalu membawanya ke tempat yang tidak dapat dilihat oleh Rafethea, di balik rak buku.

            “Siapa dia?” bisiknya pada Taka yang mulai memasang tampang malasnya.

            “Untuk apa kau mengetahuinya?”

            “Sebuah alasan yang akan membiarkanmu tetap kuperbolehkan berkunjung dan meminjam buku di perpustakaan ini.”

            Taka mulai menggelengkan kepala, memperjelas ekpresi malas di wajahnya, lalu berkata, “Teman kelasku, perempuan, sudah jelas kan?”

            Dia menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, lalu mulutnya seakan ingin membuka, tapi tidak jadi. Kemudian, dia menepuk punggung Taka sembari berkata, “Bagus-bagus, kamu sudah besar, aku bangga.” Kalimat tersebut seperti yang diucapkan orang tua pada anaknya ketika telah sukses meraih dan mencapai sesuatu.

            Taka mulai menatap sinis lelaki yang ada di hadapannya, kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri. Dia berjalan meninggalkannya tanpa melontarkan sepatah kata pun. Penjaga perpustakaan kemudian tersenyum kecil, seolah merasa puas terhadap sesuatu yang tidak dicapai olehnya.

            “Ada apa?” tanya Rafethea setelah Taka kembali dari interogasinya.

            “Biasa, dia suka begitu.”

            Rafethea mengangguk seolah mengerti maksud kata rujukan yang dilontarkan oleh Taka.

            “Jadi, jenis buku apa yang kamu cari?”

            “Astronomi, buku tentang luar angkasa beserta penghuninya. Bintang-bintang yang berkilauan.”

            Taka tersentak mendengar jawabannya, dan segera memanggil Prisna, penjaga perpustkaan. Sebab dialah yang lebih tahu tentang klasifikasi buku di perpustakaan ini. Ketika Taka menjelaskan pada Prisna, dia hanya mengangguk mengerti dan segera menunjukkan rak khusus untuk buku-buku astronomi. Rafethea juga mengikuti mereka berdua.

            “Ini ada beberapa buku tentang astronomi,” jelas Prisna sembari menunjukkan rak buku yang dimaksud.

            “Semoga yang kucari dapat kutemukan di sini. Dari yang kulihat sekilas, di sini lengkap juga ya, sepertinya,” ucap Rafethea yang telah memulai perburuannya.

            Taka dan Prisna tersenyum kecil melihat reaksi positif dari Rafethea. Prisna mulai meninggalkan mereka berdua, sementara Taka berkata, “Aku akan menunggumu di meja itu sambil membaca buku ini.”

            “Okeh, ini tidak akan lama kok. Tenang saja.”

            “Kalau aku biasanya, cukup lama untuk memilih buku. Jadi, aku selalu pergi sendirian ke sini,” timpal Taka. Ucapannya itu terdengar seperti sebuah sindiran agar  Rafethea mempercepat pencariannya. Tapi, nampaknya Taka tidak bermaksud demikian.

            Rafethea tidak menimpali ucapannya dengan kalimat khas darinya. Sepertinya dia sudah terlarut dalam dunia pribadinya. Taka tersenyum melihat pemandangan itu, karena dirinya cukup berguna. Taka berjalan menuju ke meja yang dimaksud; duduk di atas kursi kayu. Kemudian, mulai membaca buku yang dipinjamnya waktu itu.

            Matanya mulai mengejar setiap kata yang bersatu menjadi kalimat, paragraf. Serius dan tenang, begitu pembawaannya ketika mulai menyatu dengan sebuah buku yang menarik baginya.

            Tidak perlu memperjuangkan cinta dengan susah payah. Nanti, takutnya kamu kecewa berat, lalu menjadi lemah. Cukup berjuang secukupnya demi hasil secukupnya. Jangan menaruh harapan lebih pada cinta, karena dia tidak bisa ditebak ataupun diperkirakan. Dia bukan objek konkret yang bisa diraba. Melainkan sebuah ilusi yang akan menjadi nyata jika telah diberi wadah.

            “Lagi-lagi, kamu tersenyum sendiri saat membaca buku itu.”

            Suara yang memecah konsentrasi tingkat tingginya berdengung di dalam gendang telinganya. Kalimat tersebut memang benar, sedari tadi Taka cengar-cengir sendiri seperti budak cinta yang tengah mendapat pesan dari kekasih tercinta.Taka berhenti membaca, dan menatap Rafethea yang telah membawa sebuah buku di tangannya.

            “Sudah ketemu?”

            “Ehmmm tentu, ini dia,” balasnya sambil menunjukkan buku yang ada di tangannya. Taka terlihat kesulitan mengeja judul dari buku tersebut. Itu bukan bahasa negaranya maupun bahasa internasional. Dia cukup heran, apakah Rafethea bisa memahami isi dari buku tersebut. Tapi, dia juga tidak ingin memastikannya.

            “Oke biar aku berikan pada orang itu.”

            Rafethea menyerahkan buku tersebut pada Taka untuk diberi stempel peminjaman resmi perpustakaan. Prisna hanya tersenyum-senyum, sedangkan Taka kembali melukis ekspresi malas. Sesaat sebelum Taka meninggalkan meja peminjaman, Prisna berbisik, “Sikat aja dia, cantik pula.”

            Taka hanya mendengus kesal tanpa membalas perkataannya. Begitu mudahnya Prisna mengatakan hal itu pada Taka yang belum pernah menjalin hubungan seperti itu. Dia mengajak Rafethea untuk segera keluar dari ruangan yang mulai memanas karena ucapan-ucapan out of topic Prisna.

            Kini, mereka benar-benar telah terbebas dari jeratan ruangan tersebut. Masih di depan perpustakaan, mereka berdua berdiri mematung kebingungan, layaknya anak kecil yang tengah tersesat sambil berteriak, “Mama..Mama.” Taka tidak memiliki rencana lebih lanjut setelah membantunya mencari buku. Entah bagaimana dengan Rafethea yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya.

            “Ayo kita makan siang!”

            Ajakan tersebut keluar begitu saja, membuat Taka membuka lebar kelopak matanya. Payah, begitulah dirinya, seharusnya yang mengatakan itu lelaki, mungkin. Tapi, tidak ada salahnya juga jika perempuan yang menjadi perintis.

            “Baiklah, sebenarnya aku juga tidak tahu mau melakukan apa setelah ini. Yang kupikirkan; membantumu mencari buku, lalu pulang.”

            “Hahahaha, kamu benar-benar payah. Matahari masih di atas kepala, tapi sudah mau masuk gua.”

            Akurat sekali ejekan yang melesat bagai panah menuju targetnya dengan tepat. Taka terkekeh untuk menutupi rasa malunya yang sudah tidak ada. Dia berkata, “Kau saja yang menentukan tempatnya.”

            “Oke, siap!” balasnya sembari memperagakan sikap hormat. Dia berjalan lebih dulu; perannya sebagai penunjuk jalan. Taka mengikuti di belakangnya seperti pengawal pribadi. Rafethea terlihat kurang suka dengan keadaan tersebut, lalu dia mengurangi kecepatan langkahnya agar dapat berjalan berdampingan kembali.

            “Kalau kayak tadi, apa bedanya coba dengan keluar sendiri-sendiri?” gerutu Rafethea yang tengah memanyunkan ujung bibir tipisnya. Taka tertawa kecil kembali, Rafethea melakukan hal serupa; dengan tersimpul.

            Kebisuan, kembali melanda mereka bagai badai yang datang tidak diundang. Badai cukup membuat orang-orang membisu seketika, sebab yang dilakukan oleh mereka hanya melarikan diri. Mungkin, kelelahan telah menyerang otot lidah dan pitas suara mereka. Ataupun juga mereka ingin menikmati keheningan; hanya suara langkah kaki yang terdengar. Dan juga suara berisik yang sangat sulit untuk dicari sumbernya dengan akurat.

Cukup lama berjalan, akhirnya, “Selamat datang,” sambut seorang pelayan wanita lengkap dengan seragamnya. Mereka berdua menganggukan kepala, lalu mengikuti langkah pelayan itu untuk menuju ke meja yang disediakan. Padahal, tidak ada satu pun dari  mereka berdua yang mengucapkan sesuatu. Ini pendominasian dan penggiringan, begitu yang terngiang di kepala Taka.

“Jadi, anda mau memesan apa?” tanya pelayan dengan gaya bahasa formal setelah membiarkan mereka berdua membaca daftar menu.

“Aku mau parfait coklat jumbo ini.”

Taka seketika merasa heran mendengar pesanannya. Tubuhnya kecil, tidak gemuk, dan tidak kurus. Tapi, apa yang dipesan benar-benar menjijikan. Sekumpulan rasa manis menjadi satu, dan terbang menuju mulut, kerongkongan, dan lambung. Belum lagi, lidah harus merasakan keenekan yang luar biasa. Taka berusaha sekuat mungkin menahan mual ketika membayangkan itu.

“Kenapa?” tanya Rafethea setelah menyaksikan tatapan sinis dari Taka.

Sandwich dan teh hijau tanpa gula,” ucapnya. Dia mengabaikan, benar-benar tidak menghiraukan pertanyaan Rafethea. Taka tidak ingin alasan bodohnya sampai muncul di permukaan, dan mebuat seisi cafe ini tertawa terbahak-bahak mendengar dialog komedinya.

Pelayan meninggalkan mereka berdua setelah mencatat pesanan tersebut. Tugasnya masih belum selesai; harus mengantar pesanan tadi ke hadapan mereka berdua yang tengah sibuk tidak melakukan apa-apa.

“Hei, tadi kenapa kok kamu tersenyum sinis begitu? Menakutkan!” ujar Rafethea yang mulai memundurkan sedikit kursinya. Mereka berdua memang duduk saling berhadapan. Jika seseorang sekilas melihat itu, pasti sandangan sepasang kekasih akan disematkan pada mereka berdua.

“Ada apa dengan reaksimu itu? Aku bukan penjahat, setidaknya untuk sekarang.”

“Kamu, tidak suka manis, kan?”

Akhirnya, praduga itu muncul juga di permukaan setelah Taka berusaha menenggelamkannya.

“Manis, tidak pantas disukai maupun dibenci.”

“Hahahaha, lagi-lagi jawaban ngawurmu keluar.”

Lebih baik begitu, daripada dia harus melontarkan alasan yang lebih konyol dari itu. Pembicaraan ringan ini, sangat dinikmasti olehnya, bukan, mereka berdua tepatnya. Jika tidak, pasti akan ada salah satu dari mereka yang berusaha mencari topik kemudian menjalankannya sendirian. Sampai pada akhirnya lelah, dan membisu seketika.

Pesanan mereka kini telah berdiri tegap di atas meja. Parfait coklat yang bersembunyi di dalam gelas jumbo sudah siap untuk dihajar oleh Rafethea. Sedangkan Taka hanya melihatnya sambil menelan ludah. Taka menyeruput perlahan teh hijaunya, lalu bergumam, “Pahit, panas pula.”

“Kalau gitwu kenwapa kamu pesan?” tanya Rafethea dengan krim yang memenuhi mulutnya. Cara bicaranya benar-benar mirip dengan kakak perempuannya saat mabuk semalam. Sebenarnya ini pertama kali bagi Taka makan siang bersama gadis, kecuali dengan kakak perempuannya.

“Antioksidannya tinggi. Tadi kita sudah berkeliling di luar ruangan, takutnya ada radikal bebas yang menyerang.”

“Oh gitu, coba-coba,”ujar Rafethea. Dia langsung menyeruput begitu saja teh hijau itu tanpa memedulikan apakaha ada bekas liur Taka di situ.

Taka hanya diam sembari mengangkat alis kanannya dan seakan-akan ingin memberi respon, “Orang ini benar-benar ganas.” Tapi, dia hanya sebatas mampu menerbangkan kalimat tersebut di dalam pikirannya saja.

Rafethea menjulurkan lidahnya dan memasang ekspresi yang begitu jelek, lalu bergumam, “Ini benar-benar penyiksaan indra perasa.” Taka tertawa kecil melihat perempuan yang ada di depannya itu. Dia sudah tidak tahu respon apa lagi yang harus ditampilkan.

Mereka berdua segera melahap masing-masing pesanan mereka tanpa suara. Kenikmatan saat makan nampaknya menjadi prioritas mereka. Hingga dentingan sendok di dalam gelas parfait milik Rafethea memecah suasana, lalu dia berkata, “Ahhh selesai, kenyang banget aku.”

Taka sudah menghabiskan sandwich dan teh hijaunya sebelum Rafethea menyadarinya.

“Aku yang bayar,” ucap Rafethea dengan memasang tampang sombongnya.

“Heh? Tidak usah, bayar sendiri-sendiri saja.”

“Tidak apa-apa. Uangku mumpung lagi banyak.”

“Anak sultan ternyata kamu ya.”

“Bukan-bukan, aku hanya anak manusia biasa yang ingin hidup biasa.”

“…”

Rafethea segera menuju kasir untuk membayar pesanan mereka berdua. Sementara Taka membisu, bukan karena kehabisan kata-kata, melainkan tercengang dengan kalimat terakhir yang diucapkan oleh Rafethea. Kalimat tersebut memang selalu diucapkan oleh dirinya sendiri.

“Aku hanya ingin menjadi orang biasa dan hidup normal.” 

Kata-kata itu sudah dia tanamkan sejak lama sebagai prinsip hidupnya. Kebetulan saja, hanya kesimpulan itu yang dibuat untuk memendam rasa penasarannya.

“Terima kasih ya, sudah membantuku.”

Rafethea sedikit menundukkan kepala pada Taka setelah megucapkan kalimat tersebut. Taka tersenyum, lalu berkata, “Terima kasih juga, kamu memberiku banyak hal baru, terutama traktirannya, hehehe.”

Mereka melintangkan senyum di masing-masing wajah mereka. Saling berpisah di bawah matahari yang menyengat di atas kepala. Rafethea melambaikan tangan padanya, lalu berjalan menghilang di balik awan yang menghalangi jalannya sinar mentari.

Taka mulai menghembuskan napasnya dengan berat; sejak tadi dia belum melakukannya. Dia menuju ke toilet umum untuk sekadar membasuh muka. Dia membuka sedikit pakaiannya. Di depan cermin dia melihat lingkaran hitam itu telah memiliki empat segitiga yang terletak berhadapan diagonal.

“Pantas saja dari tadi terasa nyeri,” gumamnya.

Dia berjalan keluar dari toilet, dan berniat untuk segera pulang; mengistirahatkan tubuh sementaranya. Dalam perjalanan pulang yang hanya berisi langkah kaki bisu, dia bergumam, “Apakah ini pertanda?”

 

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Petrichor
4109      1380     2     
Inspirational
Masa remaja merupakan masa yang tak terlupa bagi sebagian besar populasi manusia. Pun bagi seorang Aina Farzana. Masa remajanya harus ia penuhi dengan berbagai dinamika. Berjuang bersama sang ibu untuk mencapai cita-citanya, namun harus terhenti saat sang ibu akhirnya dipanggil kembali pada Ilahi. Dapatkah ia meraih apa yang dia impikan? Karena yang ia yakini, badai hanya menyisakan pohon-pohon y...
Sebuah Musim Panas di Istanbul
320      219     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Perjalanan Kita: Langit Pertama
1332      655     0     
Fantasy
Selama 5 tahun ini, Lemmy terus mencari saudari kembar dari gadis yang dicintainya. Tetapi ia tidak menduga, perjalanan panjang dan berbahaya menantang mereka untuk mengetahui setiap rahasia yang mengikat takdir mereka. Dan itu semua diawali ketika mereka, Lemmy dan Retia, bertemu dan melakukan perjalanan untuk menyusuri langit.
Ręver
5503      1642     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
THE WAY FOR MY LOVE
406      311     2     
Romance
Story Of Me
3097      1115     6     
Humor
Sebut saja saya mawar .... Tidaak! yang terpenting dalam hidup adalah hidup itu sendiri, dan yang terpenting dari "Story Of me" adalah saya tentunya. akankah saya mampu menemukan sebuah hal yang saya sukai? atau mendapat pekerjaan baru? atau malah tidak? saksikan secara langsung di channel saya and jangan lupa subscribe, Loh!!! kenapa jadi berbau Youtube-an. yang terpenting satu "t...
Sanguine
4434      1449     2     
Romance
Karala Wijaya merupakan siswi populer di sekolahnya. Ia memiliki semua hal yang diinginkan oleh setiap gadis di dunia. Terlahir dari keluarga kaya, menjadi vokalis band sekolah, memiliki banyak teman, serta pacar tampan incaran para gadis-gadis di sekolah. Ada satu hal yang sangat disukainya, she love being a popular. Bagi Lala, tidak ada yang lebih penting daripada menjadi pusat perhatian. Namun...
ALVINO
4140      1839     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
in Silence
392      268     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Mamihlapinatapai
5460      1523     6     
Romance
Aku sudah pernah patah karna tulus mencintai, aku pernah hancur karna jujur tentang perasaanku sendiri. Jadi kali ini biarkan lah aku tetap memendam perasaan ini, walaupun ku tahu nantinya aku akan tersakiti, tapi setidaknya aku merasakan setitik kebahagian bersama mu walau hanya menjabat sebagai 'teman'.