Hari terakhir lebih normal. Saka tidak mengajakku ke tempat berbau misteri. Karena bada dzuhur mesti pulang ke Jakarta, paginya dia sebatas mengajak CFD.
Ramai dan ramah-ramah manusia yang ku temui di sana. Simpang lima katanya lebih indah dikunjungi bila malam hari. Ada becak hias yang bisa ditunggangi keliling lapangan pancasila.
Sebab penasaran, aku naik saja. Tidak menyala indah seperti di malam hari tapi aku penasaran mencobanya.
"Ra, besok aku berangkat ke Thailand." sedihnya. "Kamu jangan selingkuh ya!"
"Di sini yang harusnya dikhawatirin bukan gue. Gue cuma cewek yang susah jatuh cinta, giliran jatuh malah susah move on!" terangku. "Lo tuh yang emang player! Cewek aja dimainin."
"Kamu udah jatuh cinta gak sama aku Ra?" tanyanya.
Aku tidak menjawab. Cinta sepenuhnya tidak ku akui. Namun nyaman hidup bersamanya sudah ku rasakan. Takut, ini seperti alur asmaraku dengan Gibran. Berawal dari nyaman lalu tumbuh perasaan cinta.
"Semoga dengan taktik aku membawa kamu ke tempat kemarin bisa berbuah hasil." ujarnya. "Hahaa, aku sengaja ngajak kamu ke penangkaran hiu, ke lawang sewu biar kamu ketakutan terus deket-deket aku deh."
Aku menatapnya tak percaya. "Salah satu cara buat gue jatuh cinta?"
Dia menggeleng. "Upaya buat PDKT aja. Ngecut kecanggungan, ngecut kerenggangan kita."
"PDKT tuh yang kebanyakan cewek milineal suka harusnya!" kerlingku pada arahnya.
"Yang penting kamu nyaman dulu sama aku." jujurnya. "Tapi ada hal lain sih yang bikin aku mau ajak kamu ke sini."
Masih mengelilingi simpang lima dengan sepoi angin, aku enggan bertanya. Biar kerut di dahi mewakili. Saka cukup mengerti bahasa tubuhku, dia balas tidak bersuara.
Hanya mengacung bungkusan plastik isi lumpia. Mulutnya penuh, lahap seperti tidak makan berbulan-bulan.
"Karena ini." katanya menunjuk sisa lumpia di plastik. "Enak ih. Aku tuh heran, kenapa ya Ra akhir-akhir ini aku banyak maunya? Kalo udah pengen sesuatu tuh suka ngiler gitu."
"Jadi lo ngajak gue ke Semarang cuma mau berburu lumpia?" nadaku meninggi.
"Sekalian Ra. Tujuan utamanya tetap honeymoon." santainya.
Bahwa aku telah melupakan sesuatu. Tidak. Meluapkan, lebih tepatnya. Maha dahsyat efek liburan ini. Walau agak kesal, tapi setidaknya aku lupa pada masalah tersebut.
Iya, masalah Chelsea dan perceraian. Andai bisa enyah selamanya tentu hati ini akan lapang.
"Ih, gue gak mau!!" jijikku berspekulasi bahwa Saka ke mari hanya ngidam semata.
Harusnya aku berpikir jernih. Tidak mungkin Saka tiba-tiba tanpa perencanaan mengajak liburan di waktu singkat dengan alibi honeymoon! Lagi aku bergidik lemas.
Tentang acara hijrah tengah malam? Jelas orang normal tidak sekonyol itu. Bisa jadi kehendaknya membawaku ke tempat-tempat seram-penangkaran hiu dan lawang sewu dilandasi bawaan bayi Chelsea.
Merepotkan parah! Aku bukan siapa-siapa, tidak usah dilibatkan dalam ngidamnya!
"Gak mau apa?" bingung Saka.
"Lo tuh lagi ngidam! Lo nyadar gak sih? Gue gak mau ikut repot!" blak-blakanku. "Besok-besok kalo mau sesuatu kerjain sendiri, cari sendiri. Jangan ajak gue!"
Ekspresinya berbinar menandingi secercah sinar matahari di balik awan sana. "Kamu hamil Ra? Pantesan aku aneh. Kadang mual-mual gitu."
Gembiranya melebihi batas. Dia semangat mengelus perutku pelan, kepalanya sengaja ditepikan di sana. Mendengarkan isi perutku yang kosong. Sok-sokan mengajak bicara lalu mengecupnya lembut.
Nyeri mendadak terasa di ulu hati. Pahit, nyatanya tidak begitu. Otakku liar membayangkan tingkah Saka barusan pada Chelsea. Sedikit iri atau memang tidak ikhlas. Entahlah, aku bingung.
"Chelsea hamil." lirihku. Ku rasa memang Saka belum mengetahui faktanya.
"Hamil?" kaget Saka.
"Iyalah." jawabku. "Di kantor juga udah nyebar luas beritanya."
Saka terkulai lemas dalam duduk. "Tuhan, kok bisa sih?"
"Apa sih yang gak bisa kalo udah ngelakuin!" sinisku.
.
.
.
***
Sekepergian Saka ke Thailand aku kembali beraktifitas. Jangan tanyakan Chelsea. Dia sudah koar-koar lagi minta aku memahami bagaimana tersiksanya hamil muda, tak bersuami pula.
Sisca lebih kacau dariku. Seberapa dia tampil prima, memamer senyum di depan bu Rose, mba Almira dan mba Intan, aku bisa mencium nestapanya.
Badannya makin krempeng, kantung mata yang biasanya menyambul kecil berwarna bersih putih hari ini membengkak, hitam juga. Sekejam itu cinta memperangkapnya. Susah move-on bisa dibilang penyakit menyakitkan. Nista.
Katanya Vanessa benaran hamil. Foto USG-nya sempat Sisca intip ketika tak sengaja bertabrakan di rumah sakit tempo kemarin.
"Galau sih galau. Tapi jangan ngebangkrutin gue dong!" oceh Gibran. Dia menyorotku sebentar lantas beralih ke Sisca. "Lo, ratu Sumo. Harus gitu pesen sushi sampe 4 porsi gitu?"
"Diem deh! Orang galau tuh butuh energi!" sewot Sisca. "Gue mau nambah, satu lagi dibungkus. Buat nyokap gue kasihan."
"Curang. Gue juga mau lah. Pesen dua porsi lagi buat Same." tambahku.
Gibran melongo. "Temen terkurang ngajar! Dikasih hati minta jantung. Tahu gini gue tadi gak usah janji traktir."
Sushi Ichi bukan sembarang restoran. Ada di kawasan M.H Thamrin dekat dari kantor tapi tidak pernah sengaja mampir. Budget-nya bikin menganga. Makanannya sedikit, harganya selangit.
Itulah mengapa Gibran mendengus kesal begitu. Cukup sekali aku mengerjainya. Biar tahu rasa, dia sudah berbohong mengenai status kekayaannya. Ngakunya orang kaya biasa, nyatanya amatlah konglomerat.
"Alah sok miskin lo, Gi!" hardik Sisca. "Nyokap lo aja koleksi Louise Vuitton untuk kebutuhan fashionnya."
"Kok lo tahu?" heran Gibran.
"Tahu lah. Babi ngepet lo semalam ketangkep basah di komplek rumah gue." jawab Sisca melahap menu gratisannya.
"Babinya ogah kali ngepet ke perum sekelas lo. Minimal ke daerah Puri Indah lah kalo enggak ke tempat suami Kara daerah Menteng." balas Gibran.
"Tapi lo sukses merendah sih,Gi. Sampe zaman SMA aja bayar bakso minta dibayarin Kara." cibir Sisca.
Aku diam tidak ikut berdebat. Mengingat Tante Maya jadi kepikiran Samella. Beliau nampak ingin sekali bertemu Same. Banyak harap ketika menanyakan perceraian padaku.
"Jadi nyokap lo kenapa sih Gi?" celetukku.
Gibran termenung bingung. Mungkin tante Maya belum cerita.
"Tentang ibu lo yang tiba-tiba nanya Samella. Mau banget ketemu Same sampai minta Saka VC Same." jujurku. "Nyokap lo juga ngarep banget gue cerai kayaknya."
Sekilas raut mukanya menegang tapi hilang seketika terganti tawa. "Gue juga ngarepnya gitu sih. Gak ada niat dipercepat? Gue kan udah bilang siap nikahin lo, Ra."
Pltakk!!
Sisca jago sekali dalam memanah sasaran. Jidat Gibran memerah akibat lemparan garpu makannya. Bersyukur bukan pisau yang Sisca lempar, bisa benaran merah berdarah kalau kejadian.
Ringis perih Gibran sungguh menggugah untuk ditertawakan. Aku baru sadar akhir-akhir ini keduanya amat berbeda. Bukan lagi Gibran dan Sisca masa lampau.
Sisca dulu biasa saja, jarang marah, jarang kesal pada Gibran. Gibrannya juga cuek. Menggoda hanya akan dilakukannya padaku. Tapi sekarang? Beralih pada Sisca. Apa-apa nyeleneh, nyerepet arah Sisca.
"Apa sih Sis. Enggak deh, enggak. Ampun, gue nikahnya sama lo aja!" kata Gibran. "Gak sama Kara."
"Ih, amit-amit gue!" tolak Sisca mentah.
"Alah lo gengsian banget sih." sahut Gibran. "Gak bakal lempar-lempar garpu kalo lo gak cemburu!"
"Pede lo emang selangit sih, Gi! Berlapis lagi, gak pernah habis dari dulu!" sarkas Sisca.
Sambil mengusap-usap arah tembakan Sisca. Dia menyahut lagi. "Kenapa sih? Lo juga sayang sama Same, boleh lah gue nikahi. Kriteria cewek gue yang penting sayang dulu Same."
Terkejut. Aku dan Sisca sama-sama menyorot horor, agak kurang dimengerti maksud ucapannya. Butuh penjelasan lebih mendetail.