Tahu setelah bertemu tante Maya, dia membawaku kemana? Penangkaran Hiu. Dilihat dari sisi mana romantisnya? Mau mencelakakan diri mungkin iya. Bukan tidak mungkin. Sejinak-jinaknya Hiu bisa saja khilaf. Manusia yang diberi akal pun bisa lupa diri.
Aku dibuat kurang paham pada rute pikirnya. Dia bilang dengan melihat gerombolan anak hiu di kolam sampai memaksaku ikut nyebur untuk sekedar foto itu romantis.
Beruntung tamu bulananku sedang tidak datang, seluruh permukaan kulitku terbebas luka atau lecet. Hiu kan peka terhadap darah, menggiurkan mencium bau anyir.
Malam harinya, hal tak terduga dia lakukan. Chek out hotel jam 12 malam. Berani mengganggu tidurku setelah dibuat lelah oleh permainan ranjangnya hanya karena ingin pindah penginapan.
Asal teduh mestinya sudah cukup. Tapi dia ribet. Hotel terlalu ramai, maunya pesan villa. Kesalnya kenapa tidak hijah sedari senja mula?
"Kan sore capek baru dateng." alasannya.
"Jam 7 malam selepas isya kek. Jangan tengah malam gini!" sewotku.
"Ya mana bisa ngalah si burungnya." katanya berkedip jail. "Udah gak nahan. Makanya sebelum pindah ya dilepasin dulu lah biar gak tegang tegak terus."
Dan selanjutnya apa? Dia tidak membiarkanku tidur nyenyak. Bukan karena dironde lagi Saka. Tapi seperti gembel, dia memaksaku tidur di luar rumah.
Setelah membuat tenda, membuat api unggun, membakar jagung sampai bernyanyi-nyanyi kecil. Dia menyuruhku tidur di pahanya yang berselonjor, temani dia begadang memandangi langit malam.
Hingga pagi menyambut. Posisiku masih sama, bedanya ada selimut menyampir di tubuh. Dia sendiri terpejam dalam keadaan duduk tegak bersandar di penyangga tenda.
**
Kembali pada detik ini. Hari kedua di kota Lumpia.
"Lo tahu? Di gerbang depan menuju ruang utama katanya ada pocong mukanya ancur parah. Ada juga penampakan tangan hitam." kataku bercicit kecil.
Saka diam saja membiarkanku perlahan berderap mendekat. Yang tadinya berjalan di belakang berangsur mensejajarkan langkah. Semakin lama menyusuri lorong, semakin tak tahan untuk tidak bergelayut di tanganngnya.
Saka emang gila. Lawang sewu lebih banyak dikatakan misterius, angker. Sedikit saja yang bilang romantis.
"Katanya di sini juga ada lorong hantu. Kalo jongkok tuh bisa lihat penampakan manusia matanya hijau menyala." ceritaku lagi dengan nada kecil. "Di sumurnya juga suka ada suara teriakan, kesakitan, ketakutan gitu katanya."
Saka tetap diam. Anteng dengan kamera yang mengalung di lehernya. Potret kanan-kiri, kadang membidik arahku dan arahnya sendiri. Seolah tidak risih, dia santai saja menanggapi tanganku yang semakin erat mengalung.
Selama sejam lamanya aku nempel begitu. Cenderung nyaman merasa hangat, merasa terlindung. Malah seperti menular ke hati, merasa tentram.
Kurang ajar memang tanganku seakan tidak lagi canggung bersentuhan dengannya. Itu semua dimulai ketika kemarin di penangkaran hiu. Tidak berani berjauhan dari Saka, tidak lepas mepet-mepet ke arahnya. Tanganku selalu melingkari tangannya.
"Ra, kamu tuh cantik-cantik nekuk mulu wajahnya. Kurang bagus nih jepretannya." ujar dia melepaskan kalungan tanganku. Dia beralih merangkulku. Tersenyum saat kamera dipusatkan.
"Senyum lah Ra." pintanya menjepret-jepret random.
Tidak ada lengan, baju pun jadi. Aku mulai meremas bajunya. Selalu takut. Sisca saja dulu pernah lihat sosok wanita berjubah di area kaca mozaik, melihat bayangan hitam di pintu 1000. Di area penjara mencium bau anyir darah segar.
"Saka lo punya tv pasti. Pernah liat dunia lain kan? Yang katanya peserta uji nyali di sini sampai meninggal." beberku lagi.
"Saka ih!!" gregetku karena diabaikan. Dia malah senyum-senyum meninjau ulang hasil fotografinya.
"Kalo udah cantik susah sih. Mau pose jelek pun aura cantiknya tetep dapet." katanya menunjukan potret diriku yang jauh dari kata senyum. "Boleh nanya sesuatu Ra?"
"Apa?" ketusku merenggang dari tubuhnya. Merasa sebal.
"Kapan sih kamu jeleknya? Cantik mulu perasaan." senyumnya berbinar menatapku.
Aku enggan berbunga. Gombalan receh. "Saka kenapa lo bawa gue ke sini sih?"
"Karena lawang sewu tuh bangunan terangker kedua se-asia." jawabnya. "Ngajak kamu ke bangunan bekas sekolah di Hong Kong kan gak ada waktu. Katanya itu terangker pertama loh."
Sontak aku menggeram. "Lo tuh pria paling enggak romantis di muka bumi ini tahu! Mana ada honeymoon perginya ke tempat angker!"
Menggema suaraku, beberapa pengunjung mulai tertarik menonton. Aku coba menjauh, pulang sendiri pakai grab mungkin bisa ku lakukan. Sialnya sandal taliku yang ada haknya malah putus di langkah ketiga.
Ini akibatnya beli sendal murahan. Harga seratus ribu, diskon 50%. Betapa benar harga jadi penentu nilai dari suatu produk. Pantas saja ada prestige pricing di strategi penetapan harga.
"Kan malu sendiri jadinya." komen Saka merendahkan tubuhnya agar bisa dijangkau olehku. "Ayo naik!"
Tangan saja sudah luwes bersentuhan, jadi tubuhku pun mengikuti. Tidak canggung menerima gendongan Saka. Sepanjang di gendong Saka, wangi parfumnya bisa ku cium jelas mengademkan. Hanya saja degup jantungku agak berkontraksi sedikit mengusik.
"Saka turunin gue deh!" pintaku enggan bertahan dalam degup jantung yang tidak nyaman.
"Mau nyeker gitu?" tanya Saka.
"Iya. Udah turunin!"
"Panas Ra. Telapak kaki kamu gak kuat nanti. Mau sok-sokan romantis minjemin alas kakiku kan gak mungkin, sepatuku gede banget." ujarnya.
"Aduh udah deh, turunin gue!" kerasku.
"Sebentar lagi taxi-nya dateng. Nanggung lah." ngotot Saka.
Aku sedikit memukul kecil punggung Saka. "Batu banget sih lo! Masalahnya jantung gue gak enak. De,,,"
Saka otomatis menurunkan. Membalikan tubuhnya menghadapku. Gesit telinganya di tempelkan ke arah dada. "Hahaaa. Deg-degan? Berdebarnya sampai kenceng gitu."
"Namanya juga idup lah." elakku.
"Hati kalo udah punya rasa suka ngefek ke jantung sih Ra. Ser-seran gitu, secara mereka kan tetanggan." jail Saka mendekat selangkah. Tangannya menjawil daguku dan bibirnya sigap menyosor.
.
.
.
***
Agak normal. Tenggelamnya matahari membuat dia semangat. Ada kerlap-kerlip lampu, semilir angin dan kesunyian yang kian larut kian ayem. Katanya menghabiskan waktu laksana kelalawar itu seru.
Bianglala setinggi 30 meter dipilih sebagai alternatif untuk menyaksi betapa indahnya kota Semarang di malam hari. Entah, pendaran-pendaran sinar di tengah kegelapan itu romantis bagiku.
Dimana pun secercah cahaya yang menerangi kegelapan berada, aku suka. Di wahana ini salah satunya.
"Romantis kan?" tanyanya mencuri jilat ice cream coklatku.
Aku mengangguk. "Bukan lo nya tapi. Liat deh pemukiman di bawah sana penuh cahaya. Keren!"
"Ah, cahaya mata kamu lebih menarik." katanya menatapku tak berkedip.
"Coklatnya mata kamu bahkan lebih manis dari coklat ice cream ini, Ra." lanjutnya kembali menjilat ice cream di tanganku.
"Basi!" kataku. Untung tidak terlalu terang, takut berkhianat pipi ini jadi merah merona.
"Haha." ketawa dia. "Ra, aku tuh males banget naik beginian kalo dulu. Berasa bocah tahu. Tapi semenjak berhasil buat Gibran nangis-nangis, aku jadi suka."
"Gibran nangis?" aku tertawa kecil membayangkannya.
"Masa dia muntah coba ketibang naik bianglala aja? Katanya muter-muter gitu jadi mual." ceritanya.
"Yang bikin nangis apa? Masa cuma muntah doang nangis." kataku masih cekikikan lucu.
Saka semakin keras tertawa. "Dia nangis karena gak kuat nahan pipis. Bianglala nya gak berhenti-henti, bocor tuh jadinya. Si mbak-mbak yang bareng kita sampe nahan tawa. Si Gibran malu lah makanya nangis."
Aku ikut menyemarakan tawa. Senang sekali mentertawakan kisah orang lain.
"Dulu juga Camill sama, sering maksa gue naik beginian. Tapi mendadak kapok, gak mau lagi sampe nangis-nangis seudah bianglalanya macet. Posisi kita di puncak." ketawaku mengenangnya.
"Kok kamu gak kapok? Sekarang mau aku ajak." tanya Saka.
"Ya Camill phobia ketinggian, dia panik setengah mati dulu." cengengesku. "Gue mah malah kesenanga macet di tengah-tengah gitu. Bisa lebih lama mandangin kerlap-kerlip lampu di bawah."
"Wah beruntung dong sekarang. Entah kebetulan atau gimana nih. Coba liat tetangga!" perintah Saka.
Panik. Memang sih sedari tadi bianglalanya tidak kunjung bergerak. Ku kira memang sedang menaikan penumpang. Tapi ditilik-tilik sudah lama juga stuck-nya.
Posisi kita pas di tengah. Riuhnya kabar kesalahan teknis mengudara. Ada sedikit resah mengisi celah hati, takutnya sulit diatasi.
Saka sendiri menghentikan tawanya. Meraih kedua tanganku lantas digenggam dan diciumnya dalam.
"Ra." panggilnya.
"Hmm." gumamku membalas tatapnya.
"Aku seneng deh. Kenapa gak setiap hari sih kamu senyum lepas gini?" tanyanya. "Lebih manis keliatannya."