Terkadang aku juga begitu. Sekilas menatap sudah envy duluan. Konon rumput tetangga lebih hijau, manusiawi memang. Seperti mereka, perkumpulan manusia di bandara ini. Membidikku penuh cemburu.
Dipikir aku bahagia. Menjemput suami berparas lumayan ditemani buah hati nan imut pula. Terlebih sikap Saka manis sekali. Tangan sebelah kanan mengais Same, sebelah kirinya merangkulku. Sengaja ditarik mepet ke pelukannya, takut hilang katanya. Dia sempat menyapa keningku dengan sentuhan bibir agak kehitamannya.
"Cari bakso malang dulu yuk. Sekalian beli mangga muda, di Jepang ternyata gak ada." ajak Saka.
"Mau, ayok!" semangat Same.
Berdiam diri, Pak Budi juga fokus menyetir, rautnya senang mendapati kegaduhan tengah diciptakan Same dan Saka. Banyak cerita terumbar dari kedua belah pihak.
Tanpa sadar ku amati lekat-lekat bagaimana senyum ceria itu tercetak. Seperti tidak ada beban. Apa Saka belum tahu? Rasanya Chelsea curang, dia terus menekanku tanpa membeberkan masalahnya pada Saka.
Sisca: Ra, bener ????
Mendadak ponselku bergetar.
Aku: Bener apanya?
Sisca: Apes gue Ra! Harus gitu nganter nyokap check up pake acara ketemu dokter kandungan sengklek itu??
Aku: Ronal?
Sisca: Siapa lagi. Lo harus tahu sih. Si Ronal kedatangan pasien istimewa. Yapz, Vanessa sama Chelsea.
Aku: Ngapain mereka? Sakit?
Sisca: Ya ngapain lagi kalo bukan periksa KANDUNGAN!!!
Aku menghembus napas lelah, memijat sedikit kepenatan sebelum sadar lokasi. Mobil sudah berhenti. Saka membukakan pintu, mencoba menjemputku karena tidak kunjung keluar.
Sementara Same dan Pak Budi sedang duduk menunggu pesanan bakso malangnya di tenda pinggir jalan itu.
"Kenapa? Cerita deh." desak Saka memutuskan menggeser tubuhku, dia bergabung di sebelahku.
Aku ragu menatap manik khawatirnya. Harus apa aku? Menceritakannya? "Saka,,"
"Aduh Kara kamu kenapa sih sayang?" greget Saka tak sabar langsung menarikku kepelukannya. Membelai pelan kepalaku. "Cerita kalo ada masalah."
"Soal,," aku diam lagi, bingung harus memulainya.
"Same udah sayang sama lo." kataku bangkit dari pelukan.
"Kamu pun gitu kan?" resenya. "Udah sayang sama aku?"
"Ih!" elakku.
"Ra maafin aku ya." seriusnya. "Aku udah ngecewain kamu."
Deg-degan hatiku. Saka sudah bilang seperti itu, kemungkinannya akan menyerepet masalah inti. Dia sama seperti Gibran. Anti transparan, susah ditebak antara sudah tahu atau tidak mengenai Chelsea.
Kembali dia menghadiahi keseriusan. Mulutnya mulai terbuka lagi. Siap menggetarkan ucapannya. Entah, rasa takutku terpacu hadir. Takut Saka mengucap talak.
Kenapa harus begitu? Seolah sanubari ini mengkhianati otak. Pikirku bersikeras tidak apa-apa jika berpisah, tapi hati? Berat. Alibinya tidak mau Same terluka, kecewa, tidak mau menanggung malu menjanda lagi. Di luar itu ada ganjalan aneh di hati ini, jauh dari alasan tersebut.
"Ra, maafin aku." ditatapnya dalam kedua netraku. Sempat tersirat penyesalan. "Kita harus pisah."
"Setelah akad yang gak banget, pernikahan tanpa honeymoon, dan sekarang perpisahan. Gue rasa semua wanita gak pernah mimpiin cerita macam itu. Sial banget gue!" ungkapku.
"Maaf Ra." raut sesalnya kentara. "Cuma sebentar kok."
"Sebentar?" tanyaku.
"Iya. Minggu depan aku harus ke Thailand sembilan hari. Ditinggal lagi deh kamunya." ucapnya meleset drastis. "Puasa lagi-puasa lagi."
Dia menjatuhkan kepalanya di pundakku, hidungnya menepi di leher. Terus tenggelam menelusup di sana. "Kita pisah lagi deh. Kalo kamu gak magang, aku bakal ajak kamu terbang."
"Ini seriusan?" heranku sedang menerka isi kepala Saka. Dia sudah tahu belum sih?
"Iya, sayang. Maafin aku ya, kamu jadi jarang disentuh. Gak dinafkahi batin." ucapnya. "Nanti malam boleh kan minta jatah?"
Dia mulai melingkarkan tangannya, memelukku erat sambil terus menelusupkan kepalanya di leher. Sesekali dia mendongak, menatap wajahku lekat untuk meminta persetujuan.
"Ya, boleh ya?" tanyanya melas. "Kamu gak kasihan apa burung dikurung di sarangnya aja?"
Aku hanya meliriknya ngeri, melirik wajahnya maksudnya. Tapi sekali saja mataku sempat jatuh ke bawah sana.
"Udah tegak Ra." katanya menangkap basah lirikan mataku. Bersemu malu sudah pipiku. "Di sini aja boleh ya?sebentar aja. Katanya beda sensasi kalo dilakuin di mobil, coba yuk."
"Ih Saka!" kataku menjauhkan wajah mupengnya . "Apaan sih!"
.
.
.
***
Disandingkan dengannya hanya membuat minder. Lihat saja bagaimana merk kenamaan LV melekat di tibuhnya. Dress putih selutut, handbag mocca, sampai sandal putih berhak kecil beling-beling.
Pecinta Louise Vuitton sekali, hanya jam tangan permata saja berbeda merk. Itupun rolex, sama-sama bernilai fantastis.
"Kara, kangen!" peluknya hangat. "Apa kabar sayang?"
Aku kembali terpana pada kacamata yang baru dibetulkannya. Bulgaria Flora. Pantas mahal, lensanya terbuat dari emas putih. Safir biru dan berlian menghias rangkanya.
Wanita setipe Camill, pecinta barang bermerk. Jika keduanya diizinkan Tuhan bersama ku yakin akan kompak kebangetan. Sayangnya takdir berkata lain.
Tante Maya menyeretku ke arah restoran terdekat. Memaksa pesan makanan. Sementara ia memesan secangkir kopi Hacienda La Esmeralada. Kopi yang ku dengar tidak diperbolehkan untuk kalangan non berduit sepertiku.
"Bener kata Gibran kalo Kara makin judes parah, tapi ngegemesin." ketawa kecil ibu sosialita tersebut. "Ditanya kabar aja gak ngejawab."
"Eh, iya maaf tante. Gak nyangka aja bisa ketemu di sini." timpalku. "Kara baik. Tante?"
"Ya begini-begini aja. Kesepian. Punya anak satu malah betah di Jakarta." rautnya mencebib lesu. "Papah Gibran udah gak ada."
Tak bohong aku refleks terperangah. Gibran itu santai, selow kelewatan. Jarang bercerita tentang hidupnya. Dulu papahnya sering memberiku wejangan; jika jadi istri Gibran, jika berkeluarga dengan Gibran, jika sudah punya anak dari Gibran dan sejenisnya.
Astaga! Bahkan Gibran gak pernah cerita keluarganya konglomerat begini. Tahu gitu dulu gue gak usah bayarin bakso dia!
"Duh maaf Tante, Kara gak tahu. Turut berduka cita." lirihku.
"Justru Tante yang minta maaf. Duh rasanya kejadian dulu tuh malu-maluin banget sikap tante." bergidiknya ngeri.
Gimana tidak, harusnya jika tidak sepenuhnya merestui paparkan dari awal. Hampir semua orang kecewa. Ijab sudah dekat malah ditentang. Camill mana berdaya melawan. Dengan aibnya diumumkan lantang di khalayak, frustasinya makin memuncak.
Gibran yang ngotot ingin menikahi seketika tak berkutik ketika Camill menolak mentah. Entah alasan Camill mendadak tidak mau itu kenapa. Tapi ku rasa Camill memutuskannya berat hati.
"Gibran, dia bukan anak kamu. Jadi buat apa? Buat apa kamu bertanggungjawab?" emosi tante Maya dahulu.
"Samella bagaimana kabarnya?" tiba-tiba dia bertanya.
"Gibran suka cerita. Katanya Kara sudah menikah dan punya anak." lanjutnya memahami air muka bingungku. "Gilanya tuh anak bilang mau nikahin kamu. Busyet mau digorok Saka apa!"
Salah. Ternyata aku penasaran pada jenis hubungan Saka dan Gibran, apalagi tante Maya mengetahui Saka.
"Dulu banget kami tetanggan." Kenangnya senyum-senyum.
"Pas lagi bocah, keduanya sepakat gak mau macarin cewek yang sama. Gibran anti banget macarin bekas Saka, gitu juga sebaliknya. Lah tapi nyatanya jungkir balik, gak tanggung-tanggung malah langsung memperistri kamu yang mantannya Gibran, Ra." lanjutnya.
"Eh tapi katanya kamu mau cerai sama Saka? Beneran?"
"Enggak! Hoax itu!"
Saka muncul dengan celana selututnya, atasan santai- kaos putih dibalut kemeja pendek biru langit yang dibiarkan tidak terkancing. Sangat beda stylenya.
Dia bilang honeymoon ekspress. Memanfaatkan Jumat bertanggal merah lalu berlanjut Sabtu dan Minggu yang tergolong weekend untuk berlibur. Lumayan tiga hari.
"Enak aja tante!" sewot Saka. "Kara udah jadi menantu mamah. Ikhlas lah Tan. Lagian jangan sembarangan main bilang cerai-ceraian aja!"
"Samella gak dibawa?" tanya tante Maya beralih topik lagi.
"Mau honeymoon masa dibawa." timpal Saka.
"Yah padahal tante pengen ketemu. Pengen gendong. Kapan coba tante bisa dipanggil nenek?"
"Maksudnya?" tanyaku merasa ambigu.