Empat puluh dari empat puluh lima lajur deret angka per lembarnya cukup memberi penat.
Usai ku periksa. Di mana rata-rata jawabannya menunjukan grafik naik turun, naik turun. Terhitung jari yang grafiknya menurun drastis. Ada yang stabil malah banyak salahnya.
Itu menunjukan mereka hilang ingatan, distraksi mental saat mengerjakan.
Lagi-lagi perihal memutuskan nasib mereka untuk diterima atau tidak bukan tanggung jawabku. Itu urusan bu Rose.
"Gila kalo di Panasonic tuh ditarget tahu jawabnya. Titik terendahnya ditentuin." cerita Mba Almira. "Sodara gue aja gagal."
"Tes Kraepelin emang nyebelin sih. Lebih enak tes Wartegg, nyambung-nyambungin gambar." pendapat Mba Intan.
Aku tersenyum saja. Jam istirahat membuat kedua mulut berisik itu pamit duluan. Sisca masih diam termenung memikirkan sesuatu.
Tentang kelakuan pria yang kebanyakan sama belangnya, sama buayanya. Sisca benci Ronal.
Bagaimana bisa Ronal menghamili Vanessa tanpa ikatan pernikahan? Ronal dan Saka sama saja. Begitulah katanya.
"Samella bener anak lo?" tiba-tiba suara Chelsea menerobos masuk.
"Maksud lo?" tanyaku sebal.
"Gue to the point aja. Lo nikah sama Saka karena Samella kan? Kenapa lo mau sih?" blak-blakkan gadis kusut itu.
"Aduh lo tuh mau apa sih cewek judes?" greget Sisca.
"Kalo lo ibunya Samella lo harusnya tahu gimana rasanya hamil terus ngelahirin anak tanpa didampingi suami. Lo harusnya gak nikah sama Saka!" emosinya.
"Ada perempuan lain yang lebih berhak Saka nikahin dibanding lo!" lanjutnya lagi.
Aku mengerti. Pesan tersiratnya seperti memerintahkan aku bercerai. Bahwa ada Chelsea yang mengandung anak Saka, bahwa Saka wajib bertanggung jawab.
Nanar mataku menatap kepergian Chelsea. Dia juga menangis terpukul. Menderita dan stress.
Jangan tanyakan bagaimana rasanya. Aku pernah berada dalam kondisi tersebut. Hamil diluar nikah.
Tapi bagaimana dengan Samella? Dia anak Saka, terlanjur sayang, kepincut parah akan sosok papahnya. Lagipula masa aku harus bercerai? Baru 15 hari!
"Dengan gitu isu dia hamil bener dong? Buktinya dia ngomong gitu." celetuk Sisca.
"Emangnya hidup gue dirancang Tuhan sedrama ini ya Sis?" gejolak kesalku mulai ada.
.
.
.
***
Tepat pukul 12 ini, sesuai intruksi Pak Budi aku mengekori hilir mudik kepergian Samella. Main ice catting sampai berujung di restoran lesehan khas sunda. Bersama Gibran. Keduanya akrab, cemistry mantap, menggambarkan keserasian.
Gibran dan celetukan 'Hamil Lagi'-nya bukan lagi prioritas. Penasaran yang mengakar perlahan kikis. Sisca juga tak mau tahu lagi, dia cukup terpukul akan kehamilan Vanessa.
Bingung sendiri, aku dan Sisca sama-sama ketar-ketir dibuat gila oleh kehamilan orang lain.
"Bibun!!" pekik Same girang.
Leganya hatiku, si kecil itu berlari memelukku. Lupa pada kekesalan yang telah berlalu. "Same bener kan kalo Bibun itu bintang. Langit di malam hari tanpa bintang ya kosong. Sepi Bib."
"Maafin Bibun ya." tulusku mengecup kedua pipinya.
"Gak papa, Same juga minta maaf." katanya berangsur menarikku ikut gabung dengan Gibran. "Om Gibran ini mataharinya Bib. Selalu nemenin langit di siang hari."
"Aih, gemesh deh. Sini cium dulu." Gibran merengkuh Samella kepelukannya. Menciumnya bertubi.
Ku tengok sekitaran. Banjir tatapan iri, mereka pikir kami keluarga bahagia. Pasangan renta di pojok kiri malah tersenyum senang, mungkin terseret pada kenangan masa mudanya.
Dan aku hanya tersenyum getir mengawang memikirkan nasib rumah tanggaku. Perceraian sah saja, bukan masalah. Tapi imbasnya Samella.
"Bib, besok papap pulang ya?" girangnya. "Asikk, seru kalo ada papap. Nanti om Gi main ya ke rumah."
"Ah, papapmu yakin seru kalo diajak main ular tangga? Seru kalo diajak ngobrol?" tanya Gibran. "Secara papapmu dulu paling anti main begituan. Hobinya main perempuan. Untung bibun-mu bisa nyadarin."
"Serulah. Papap Same gitu!" bangganya. "Papap emang keliatan cinta banget sih sama Bibun."
Ada serpihan kisah datang meminta ditinjau lebih. Tentang hubungan Saka dan Gibran. Di kuburan mereka mengangkat topik menjaga. Siapa yang harus dijaga?
Antara Same dan Gibran? Bukankah belum ku tanyakan. Masih merajai pikiran. Fokusku akhir-akhir ini tertambat di kehamilan Chelsea dan perceraian saja. Same saja ku lupakan, dibiarkan tinggal seminggu di rumah Ibu tanpa ku cari.
"Harusnya lo dari kemarin nyamperin Same. Kesannya lo gak peduli sama dia, baru dicariin sekarang." ucap Gibran. "Dia sempet sedih katanya Bibun gak kaya di drama yang mati-matian ngebujuk anaknya pulang."
Gibran mengerling arah dimana westafel tersedia. Samella sedang mencuci tangannya, main-main dengan busa sabun. "Dia sampai bilang sebenarnya Bibun itu ibu kandung Same bukan sih? Kayak gak peduli gitu dari dulu juga. Kalah sayangnya sama oma, opa."
Tersentak. Aku merasa tertampar. Ucapan Same benar. Aku bahkan sekedar sayang saja, tidak berlebihan seperti sayangnya ayah dan ibu ke dia.
Tapi bukan berarti kehadirannya tidak ku anggap. Aku sempat stress, terbebani. Pikir saja, di usia muda aku harus mengurus dia. Belum lagi mencari ayahnya yang entah dimana. Ayah, ibu selalu menekanku cepat menemukan si Saka kurang ajar.
Luka lama tentang ditinggal Gibran, diselingkuhi kakak sendiri, sampai dinodai, cukup gila ku hapuskan mati-matian. Beruntung tidak masuk RSJ juga.
Sekarang malah bertambah. Si Saka kurang ajar menghamili gadis lain. Poin utamanya malu karena baru nikah sudah cerai. Tuntutan Chelsea memang begitu, aku harus cerai. Siapa juga yang mau dipoligami.
"Ra, Same juga bilang kalo sayangnya aku sama Saka ke dia lebih transparan dibanding sayangnya kamu ke dia." cerita Gibran lagi. "Lo gak iri apa sama kita? Rata-rata anak tuh deketnya sama ibunya."
Aku memijit pelipis. "Gibran lo tuh siapa sih? Lo bisa sayang banget sama Same? Sepupu lo si Radit aja lo duain. Dia gak diajak main bareng kan?"
"Sama lo aja gue sayang apalagi sama Same." jawabnya.
"Gue gak peduli sih gimana mulanya lo kenal sama Saka. Tapi gue penasaran siapa yang harus Saka jaga di kuburan itu? Lo seakan nyerahin tanggung jawab ke Saka." tanyaku.
"Emangnya siapa lagi." entengnya.
"Gue maksudnya?" tebakku.
Gibran tersenyum menatapku. "Tapi kayaknya gak jadi deh. Kapan lo cerai? Jadi gak cerainya?"
"Kata lo, gue gak boleh cerai sama Saka. Si Same udah terlanjur sayang Saka." timpalku.
"Sekarang Samenya udah sayang gue kok. Kayaknya udah bisa nerima gue jadi ayahnya deh." sumeringah Gibran.
"Ih gila lo. Jadi alesan lo deketin Same apa?" kataku lagi berharap jangan membahas cerai.
"Menurut lo apa kalo udah tahu gue gini? Gue siap sedia akad lagi sama bokap lo." masih dengan senyum merekahnya.
"Alah cara lo basi banget sih. Ngedeketin Same buat bisa nikahi gue?" kekehku merasa lucu.
Dia mengangguk, menaikan sebelah alisnya. "Gimana mau gak gue nikahi?"
"Untung lo belum nikah sama kakak gue. Coba kalo udah. Turun ranjang dong." tawaku pecah.
"Berarti mau dong gue nikahi?" Gibran bertanya disela tertawanya.