Bilang bahwa hari ini akan ceria. Langit saja tidak bermuram durja, birunya melambang ketenangan. Sesekali memang mentari begitu terik, pudarkan kebiruan menjadi putih berkilau.
Ini seperti mengajarkanku untuk tetap tenang walau disiram panasnya masalah. Setidaknya ini yang ku pelajari, nyambung atau tidak itu urusan belakang.
"Serius mau absen di hari pertama magang? Bolos bukan solusi!" tanya Sisca.
Dia memang selalu begitu, tidak terbiasa mencerna. "Gue gak bilang gitu!"
"Lah itu udah bawa-bawa tas, siap sedia ninggalin gedung bukan dikata mau bolos ya?"
"Gue bilang gue mau ke SMK Pelita Nusa, disuruh bu Rose." jelasku lagi. "Bukan mau bolos!"
"Ya tetep aja lo bolos di sesi perkenalan orang-orang beserta divisinya." timpalnya. "Lo sengaja ya?"
Terkadang selain Samella, dia juga berpotensi menaikan tekanan darah. "Sengaja apa sih?"
"Sengaja biar gak ketemu Pak Saka. Lo mulai gak nyaman karena di deket Saka, dada lo berdetak-detak gitu kan? Ngaku lo!"
Detik di jamku terus mengetuk mengarah lima menit menuju jam delapan tepat.
Tesnya akan dimulai pukul sembilan. Durasi satu jam bisa saja dimakan tak bersisa oleh kemacetan.
Iya, tes semacam di BKK begitu, Bursa Kerja Khusus. Karena perusahaan ini tergolong bonafit, pihak personalia mana mau menerima karyawan yang kurang luar biasa. Walau statusnya hanya magang.
"Semoga menyenangkan, Ra." teriak Sisca yang ku tinggal begitu saja. "Jangan nyesel udah ngelewatin kesempatan ketemu Saka."
Sesal, satu kata yang harusnya tidak terucap. Apapun yang sudah terjadi bukankah telah tertuliskan takdir?
Menyesali perbuatan dosa atau tindak keji mungkin sah-sah saja. Aku sempat menyesali terciptanya Samella, buah dari zina. Salahkah jika begitu?
Tak jarang Same begitu membebankan hidupku. Dia tidak hanya menuntutku untuk lebih dewasa dari teman seumurku, dia menuntutku menjadi ibu di usia belia, dan sekarang tuntutan itu bertambah.
Demi dirinya, tuntutan untuk dinikahi ayahnya wajib aku tunaikan terlebih ini wasiat Camill juga.
"Bahwa lo harus bahagia. Percaya sama gue, ayah Samella terbaik buat lo. Menikahlah dengannya, cari kalo mau." pesan terakhir Camill.
"Maaf tentang Gibran yang gue rebut dari lo."
Bermula dari tulusnya maaf Camil, pikiran ini tidak lagi bermain-main soal Gibran. Aku tidak ada niatan melupakannya, namun alam membantuku memprosesnya.
Sejauh ini Gibran mati dalam otakku, benakku juga. Tapi meniadakan kenangan yang pernah ada dibutuhkan waktu. Dan, sekarang aku masih bisa mengeksplorenya.
"Bu, mari kandidatnya sudah menunggu di kelas." ujar seorang wanita cantik berbaju dinas coklat. "Bu Rose juga baru sampai."
Aku memulai langkah, menyusuri lorong per lorongnya. Di setiap lorong rata-rata berderet kelas tempat dilangsungkannya pelajaran.
Tak jarang ku tengok mereka para pelajar putih abu-abu tengah mengikuti kelas. Beraneka ragam gerak tubuh yang ku tangkap, ada yang malas, semangat, lesu sampai ngantuk.
Hal yang tak pernah ku alami. Aku bukan mereka si pengenyam pendidikan formal yang senormalnya, homeschooling begitu membosankan.
"Kar, nanti kamu awasi tes dari 150 kandidat berprestasi. Hasilnya nanti dikoreksi, ambil 50 nilai tertinggi." perintah bu Rose halus.
"Baik, Bu." kataku mengangguk sambil menghitung jumlah soal.
Bu Rose tersenyum. "50 orang itu nanti kita wawancarai. Ambil 7 aja buat direkrut."
Gila! Ini baru persaingan. Seberapa hebatkah perusahaan yang ku tempati? Perlu bersyukurkah aku?
Jenjang pendidikan sepertinya menjadi pembeda. Sistem perekrutan magang di kampusku tidak seketat ini, kami hanya perlu memiliki IP persemesternya 3,6-3.8.
Dan di SMK ini, nilai rata-rata 8.8 saja harus ditarungkan lagi. Aku baru akan membagikan namun seseorang menyela.
"Maaf Bu Kara, ada satu siswi lagi yang belum masuk." beritahu bu guru cantik tadi.
"Siapa namanya, Bu?" dingin bu Rose memegang daftar absen kandidat.
Sudah terbaca tindakan apa yang akan bu Rose berikan.Ingatlah kesan pertama menentukan. Logika bermain, baru akan tes saja sudah telat apalagi nanti.
Perusahaan banyak memikirkan untung. Memperkerjakan yang lalai hanya akan buntung.
"Chelsea Dericasto kalau tidak salah Bu." jawabnya.
Syarafku emang peka pada nama tersebut. Ku harap bukan Chelsea-nya Saka. Toh dunia ini luas, mustahil nama Chelsea cuma dimiliki seorang diri.
Tapi terkadang istilah dunia sesempit daun kelor itu benar faktanya. Tidak semata diucapkan jika tidak ada bukti. Contohnya detik ini.
"Caramella?" tegurnya penuh kejutan, aku pun refleks terhenyak. "Ku kira, kamu meneruskan cita-citamu. Jadi dokter yang selain cantik, berguna untuk nusa dan bangsa juga."
"Ah, syukurlah Chelsea mau ikut tes." lega Bu Nailah. "Memang selalu jitu rayuan pak Gibran ini. Terimakasih loh."
Ya, aku mengembus nafas berat. Semesta baru saja memberi kejutan, sekaligus dua langsung.
Gibran hadir menyapa hidupku lagi setelah ku yakini telah tiada. Dan, Chelsea? Dia benar pacar Saka. Gilanya dia masih SMA loh, selera Saka cewek-cewek ABG begini.
.
.
.
***
Tidak terbiasa, aku perlu adaptasi. Lelah ini belum berbuah berkah, hanya keluh membuncah tiap harinya.
Ini perihal aku yang biasanya pulang petang, tapi detik ini jauh berbeda. Ada gemintang mengiring kepulanganku.
Terasa asing, mendadak pekarangan rumahku berefek seperti itu. Telah bertengger sebuah mobil hitam, padahal mobil ayah putih. Mobilku sendiri silver.
"Maafkan si brengsek di hadapanmu, Pak, Bu." lirih kudengar dari pekarangan. "Aku mengaku salah, hukum aku jika perlu."
Berdetik-detik deru mobilku berguruh buat semuanya tersamarkan. Aku belum bisa mengenali pemilik suara di dalam.
Hati-hati kakiku mencipta jarak, lebih seperti mengendap agar tidak menghasil suara gerasak-gerusuk.
"Sebut aku pengecut, silakan. Aku pantas menyandangnya. Tidak ada pria baik meninggalkan tanggung jawabnya. Dulu aku belum sedewasa ini." lirihnya lagi.
"Berdirilah Nak Saka!" suara ayah lembut.
"Sebenernya dengan kamu datang dan mengakui Samella sebagai anakmu, kami sudah senang." tambah ibu. "Ya, walaupun amat telat. Kamu gak tahu aja gimana Same tiap harinya ngerengek minta ketemu ayahnya. Kasihan dia."
"Aku harap Om dan Tante bisa kasih kesempatan. Izinkan aku mengawalinya, perbaiki semuanya." mohon Saka. "Aku mohon izin mempersunting ibu dari Same."
"Tapi," sendu ibu, aku bisa mendengarnya. Sepertinya ibu ingat pada Camill. Anak ibu yang paling menggebu nikah ya kakakku.
"Aku mohon Tan, aku butuh Caramell untuk menyempurnakan hidupku." sungguhnya.
Entah, sejak kapan kakiku berhenti melaju. Yang pasti bibir bawahku sudah digigit greget oleh sederet gigiku.
Berarti gue harus nikah sama Saka nih? Kenapa Saka sih? Dia benar-benar fix ayah Same?
Berpikir logis, Saka tidak mungkin bermain-main. Pikir saja mana ada orang mau tanggung jawab jika bukan jelas-jelas kewajibannya.