“Selamat atas kelulusan putra-putri SMA Kartika angkatan 2018/2019 dan selamat berjuang di dunia perkuliahan masing-masing ya anak-anakku. Bapak sangat bangga dengan pencapaian kelulusan tahun ini karena sekolah kita lulus 100% dengan peringkat teratas di provinsi. Bahkan 80% dari kalian juga lolos tes perguruan tinggi negeri…”
Prok prok prok … Suara riuh tepuk tangan siswa SMA Kartika menggema di ballroom Hotel Blis mengiringi pidato perpisahan Kepala Sekolah. Suasana bangga dan haru menyelimuti acara malam itu dalam balutan nuansa merah putih.
***
“Nanda serius mau kuliah di Jogja yah, Ayah tahu kan kalau Nanda sudah diterima di Jurusan Komunikasi PTN? Susah lho yah lolos seleksi PTN nya, saingannya ribuan. Sayang yah kalau dilepas begitu saja.” Nanda masih berusaha meyakinkan ayahnya supaya mengizinkannya melanjutkan studi ke Jogja.
“Nanda, Jogja itu jauh, kita tidak punya saudara di sana sama sekali dan kamu anak perempuan, siapa yang akan bertanggung jawab melindungimu?”
“Nanda sudah dewasa yah, Nanda akan jaga diri.”
“Nanda, maksud ayah itu baik nak,” sela ibu yang membawa kue dari dapur.
“Tapi buuukkkkk…” Nanda mulai merengek seperti anak kecil di pelukan ibunya.
“Tuh kan Bu, katanya sudah dewasa bisa jaga diri tapi kerjaannya masih merengek sama ibunya hahaha…” ledek ayah melihat tingkah Nanda.
“Nak, ayah mau Tanya sekali lagi, Nanda sudah yakin seyakin-yakinnya mau melanjutkan studi ke Jogja?”
“Iya Ayah, 100% Nanda yakin dengan pilihan Nanda.” Nana mantap.
“Sebenarnya beberapa waktu yang lalu ayah dan ibumu sudah berdiskusi mengenai kelanjutan studimu ke Jogja.”
“Terus?” Nanda mulai penasaran.
“Ayah akan merestuimu sekolah di sana.”
“Serius yah?” Nanda kegirangan.
“Tapi ada syaratnya.”
“Syarat? Apa syaratnya yah? Pasti akan Nanda penuhi.” Nanda semakin mantap.
“Ayo kita dinner sekeluarga di luar besok malam minggu.”
“Beres yah, itu mah kecil.” Nanda senyum-senyum terus tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. “Oiya yah, Nanda ke kamar dulu ya, mau ngabarin Monica hehe…” Nanda langsung melesat ke kamarnya.
“Mas yakin dengan diskusi kita kemarin?” Tanya Ibu ke ayah.
“Insyaallah Tik,”
Darmawan, ayah Nanda, adalah seorang aktivis LSM perlindungan perempuan dan anak di Surabaya. Setiap hari, dia melihat fenomena anak muda masa kini yang semakin semrawut moralnya. Karena hal tersebut, Pak Darmawan overprotective terhadap anak-anaknya terlebih Nanda karena dia perempuan. Itulah alasan mengapa beliau terkesan begitu kolot untuk bisa melepaskan anak perempuannya merantau ke luar kota.
***
Setibanya di kamar Nanda memulai video call dengan Monica. Dia sangat antusias menceritakan bahwa akhirnya ayahnya menyetujui Nanda melanjutkan studi di Jogja mengejar cita-citanya menjadi mahasiswa komunikasi. Dia sudah memimpikan hal itu sejak SMP, ketika sekolahnya melakukan kunjungan ke agensi periklanan.
Monica, sahabat Nanda, sejak SMP sangat paham sifat Nanda. Jika Nanda sudah mempunyai plotting tertentu, apapun yang terjadi harus dia jalani demi mencapai tujuannya. Itulah Nanda.
Sejak kelas X dia sudah mencari informasi PTN yang mempunyai jurusan komunikasi. Bahkan dia sampai mencari berbagai info tentang jurusan itu nantinya akan berpeluang kerja dimana saja untuk memantapkan langkahnya.
Bersama Monica, Nanda mencari berbagai info seleksi masuk PTN, dan pada akhirnya mereka berdua memutuskan untuk melalui jalur rapor karena persaingan tes tertulis sangatlah ketat. Mereka berdua sudah berkomitmen sejak kelas X sehingga nilai-nilai mereka stabil dan bisa digunakan sebagai senjata pendaftaran PTN. Bedanya Nanda memilih jurusan komunikasi sedangkan Monica memilih jurusan psikologi.
Usaha mereka berdua bebuah manis, keduanya diterima di PTN yang sama meski beda jurusan. Persiapan Monica untuk pindah ke Jogja sudah 75%, makanya Nanda selalu melaporkan progressnya merayu ayahnya biar tidak ketinggalan, dan siapa tahu Monica punya saran yang bisa membantunya.
***
Akhirnya hari yang ditunggu-tunggu Nanda datang juga. Nanda sudah siap dinner dengan keluarganya. Ia terlihat sangat cantik mengenakan gaun tosca dan make up natural yang sangat tipis. Tak lupa ia membantu adik laki-lakinya menyiapkan baju yang cocok untuk dinner keluarga biar terlihat matching dan bagus kalau difoto nanti pas di restoran.
Sepanjang jalan, Nanda tampak semangat dan wajah cantiknya selalu dihiasi dengan senyuman. Ayah dan Ibu Nanda saling berpandangan seraya telepati membahas kelanjutan cerita keceriaan Nanda saat ini setelah tahu apa yang direncanakan orang tuanya.
“Wah Nanda kira kita akan makan di restoran biasa, bukannya ini kelewat mewah ya yah, tumben sekali.” Nanda tercengang sesampainya di restoran.
“Karena hari ini adalah hari istimewa sayang,” ucap ibu membelai rambut putrinya.
Mereka berempat pun memasuki restoran tersebut dengan dipandu seorang waiter. Mereka diarahkan di salah satu ruang VIP yang terpisah dengan pengunjung restoran lainnya.
“Silakan Bapak,” sang waiter mempersilakan keluarga Nanda masuk.
Nanda mulai mencium bau mencurigakan setelah melihat setting an meja makannya yang berisi tujuh kursi. Nanda melihat ekspresi ayah dan ibunya yang sepertinya sedang merencanakan sesuatu, Nanda hanya diam berusaha mencerna apa yang sedang terjadi.
Beberapa menit kemudian, waiter yang tadi kembali membuka pintu ruangan dengan mempersilakan sepasang suami istri yang seumuran ayah Nanda. Nanda semakin curiga melihat ayahnya menyambut kedua orang tersebut dengan sangat akrab. Nanda melihat sisa kursinya, masih ada satu yang tersisa berarti masih ada satu orang lagi yang akan hadir, tapi siapa? Nanda semakin merasakan firasat buruk.
“Ja, kenalkan ini istriku, Tika, dan ini anak pertamaku Ananda dan anak keduaku Satria.”
“Ini Salma istriku.”
Krakkk, ada seseorang membuka pintu.
“Nah ini dia yang kita tunggu. Kenalkan ini Endika, anak bungsuku, kalau kakak-kakaknya tidak bisa hadir karena ada kepentingan keluarga masing-masing.” Mereka pun saling bersalaman mengakrabkan diri.
Nanda menerka-nerka apa yang sedang direncanakan orang tuanya. Sesekali Nanda mencuri pandang ke arah Endi. Merasa ada yang memperhatikan, Endi pun menoleh dan keduanya pun beradu tatapan. Nanda merasa ga enak langsung mengangguk sambil tersenyum dan pura-pura mengajak ngobrol Satria.
Kedua keluarga tersebut menikmati hidangan makan malamnya dengan dibumbuhi obrolan nostalgia Pak Darmawan dan Pak Raharja ketika SMA. Hanya Nanda dan Endi yang tampak canggung dan kurang nyaman dengan situasinya. Sampai akhirnya setelah selesai makan malam Pak Raharja membuka pembicaraan serius mengenai pertemuan mereka.
“Nanda dan Endi, maksud kami para orang tua mengajak kalian berdua bertemu malam ini adalah untuk memperkenalkan kalian berdua, karena kami berencana akan menikahkan kalian berdua.” Jelas Pak Raharja dengan sangat hati-hati.
“APAAA???!!!” Nanda dan Endi bersamaan.
“Endi engga salah dengar kan pa?” Endi masih merasa ini seperti prank.
“Di ruang ini tidak ada kamera tersembunyi kan? Kita tidak sedang syuting reality show kan yah?” ucap Nanda sambil melihat sekeliling.
“Jadi begini, ayah dan papanya Endi beberapa waktu bertemu di reuni SMA, kami bertukar cerita tentang kehidupan masing-masing terutama tentang kalian berdua, sampai akhirnya kami berdua membuat kesepakatan untuk menikahkan kalian berdua.” Jelas ayah.
“Tapi yah, Nanda masih 18 tahun.” Nanda masih tidak percaya.
“Ini apa-apaan sih pa? Endi juga belum siap berumah tangga.” Endi ngotot ke ayahnya.
“Yah, Satria ijin keluar dulu ya yah, nanti kalau urusan Mbak Nanda sudah selesai kabarin aja yah,” bisik Satria ke ayahnya dan ayahnya mengangguk.
Satria pun mengangguk ke arah Pak Raharja dan yang lain tanda minta ijin untuk keluar ruangan. Satria memilih duduk di taman sambil wifi an untuk main game online gratis.
Sementara di ruangan suasana semakin tegang. Nanda dan Endi sama-sama ngotot tidak mau menikah karena ini terlalu mendadak dan belum saling mengenal.
“Baik, ayah akan mengutarakan alasan ayah akan keputusan ini. Jadi Endi ini kuliah di Jogja, dia satu-satunya orang yang ayah percaya di sana. Tetapi karena kalian bukan saudara apalagi beda gender, ayah dan ibu memutuskan akan merestui Nanda kuliah di Jogja setelah kalian menikah, dengan begitu ayah dan ibu di Surabaya tenang karena kamu ada yang menjaga.”
“Tapi yah, Surabaya dan Jogja itu engga jauh-jauh banget, masih satu pulau. Temen-temen Nanda juga banyak yang kuliah kesana tanpa harus menikah terlebih dahulu.” Nanda mulai sewot.
“Kalau buat kamu Endi, “ Pak Raharja menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya, “Papa akan memberimu kesempatan kedua, Papa akan memberimu kesempatan dan modal untuk membuka usaha café impianmu asalkan kamu mau menikah dengan Nanda dan menyelesaikan Tugas Akhir kuliahmu.” Terang Pak Raharja.
Endi terdiam.
“Pah, Endi akan menyelesaikan kuliah Endi sesuai keinginan papa, tapi Endi engga mau menikah.” Terang Endi.
“Baiklah begini saja, kami para orang tua memberi kalian waktu seminggu untuk berpikir dan saling mengenal masing-masing. Sabtu depan kita adakan makan malam bersama di rumah untuk mendengar keputusan kalian berdua. Ayah dan Pak Raharja tidak akan memaksa kalian berdua, karena sesungguhnya pernikahan bukanlah main-main. Semua keputusan ada di tangan kalian berdua dan kami para orang tua akan menerima apapun keputusan dari kalian berdua.” Jelas Ayah.
Kedua keluarga itu pun berpisah di parkiran dan pulang menuju rumah masing-masing dengan kegalauan Nanda dan Endi.
***
Keesokan paginya Nanda tampak lesu, jelas saja dia lesu karena semalaman dia tidak bisa tidur karena perjodohan yang sangat mendadak ini. Gadis mana coba yang tidak shock jika tiba-tiba akan dinikahkan dengan orang asing. Baru saja tahun kemarin dia mendapatkan KTP, tahun berikutnya sudah digunakan untuk mendaftarkan nikah di KUA, apa kata teman-temannya jika mengetahui hal ini. Pastinya reaksi mereka beragam dan bisa ditebak 80% akan mencibir.
Menikah bukanlah hal sepele yang bisa dijadikan main-main, karena nantinya di Jogja Nanda dan Endi akan tinggal satu atap. Selama ini pun Nanda belum pernah pacaran dengan cowok manapun karena ayahnya melarangnya. Dan sekarang menikah, tinggal satu atap dengan cowok, berdua saja, di luar kota, jauh dari orang tua,??? OMG Nanda tidak sanggup membayangkannya lebih jauh.
Bip bip bip… ponsel Nanda mendapatkan panggilan masuk. Dengan sangat malas, Nanda mengangkat panggilan itu tanpa melihat siapa yang menelpon, bahkan dia juga menjawab dengan nada agak ketus.
“Halo! Siapa?” Nanda ketus.
“Ini Endi.” Kata orang di seberang telpon. Sontak Nanda melihat ponselnya, ternyata panggilan tersebut dari nomer tak dikenal yang ternyata nomor hp Endi.
“Dari mana kamu tahu nomerku?” Tanya Nanda terkesan sangat basa basi karena kemarin mereka berdua sudah bertukar nomer, hanya saja Nanda belum sempat menyimpannya karena kemarin dia tidak membawa ponsel, jadi hanya menulis di atas tissue makan. Nanda pun menepuk jidatnya sendiri karena ia barusan menanyakan hal konyol.
“Kamu baru bangun tidur ya?”
“I…iya, eh ENGGAK! Sorry kemarin aku langsung tidur jadi lupa save nomor mu.” Nanda jadi salah tingkah.
“Sudahlah tak usah dibahas. Kita bisa ketemuan ngga hari ini?”
“Bisa sih, tapi agak sorean aja ya, panas soalnya.”
“OK. Mau ketemuan dimana? Kamu aja yang pilih tempat dan menentukan jamnya.”
“Hmmm…bentar kupikir dulu ya.”
“Jangan lama-lama mikirnya.”
“Jam 4 di Sunflower Café.”
“OK!”
Tut tut tut… panggilan pun langsung diputus sama Endi.
‘Nih orang nggak ada sopan-sopannya banget sih, diputus tiba-tiba. Dan lagi dia santai banget sih ngomongnya, apa dia engga canggung setelah kejadian tadi malam? Ah sudahlah yang penting hari ini aku bisa bernegosiasi dengan dia. Semoga membuahkan hasil.’ Gerutu Nanda dalam hati.
***
Pukul 15.30
Nanda mulai bersiap-siap mau ketemuan dengan Endi. Jantungnya berdegub sangat kencang karena ini pertama kalinya keluar bareng cowok selain teman sekolahnya. Apalagi, dalam kasus ini Endi sudaah berlabel ‘calon suami’, kegugupan Nanda pun berlipat ganda.
Pukul 16.00
Nanda tiba di Sunflower Café, dia pun celingukan di depan pintu masuk mencari Endi. Pfttt! Untung belum datang jadi dia bisa mengontrol detak jantungnya terlebih dahulu.
“Hai!” Sapa seseorang dari belakang sambil menepuk bahu Nanda sampai menjingkat saking terkejutnya karena dari tadi dia tidak focus.
“Kamu terkejut? Hahaha…” Ternyata orang itu Endi. Melihat reaksi Nanda yang berlebihan, dia tidak bisa menahan tawanya.
“Apaan sih!” Nanda sewot dan langsung duduk di spot paling pojok.
“Kamu mau ngajak aku mojok?” ucap Endi datar tapi mengundang reaksi beberapa pengunjung yang berdekatan.
“Kamu bisa diem ga sih?” ucap Nanda sambil membekap mulut Endi. “Aku pilih di sini biar nggak ada temanku yang melihat tauk!” Endi hanya menanggapi dengan anggukan karena mulutnya masih dibekap Nanda.
“Ups! Sorry” Nanda melepas bekapannya dan segera duduk untuk menutupi rasa malunya.
Keduannya kini sudah duduk berhadapan bersama dengan dua gelas jus jeruk. Hening. Canggung.
“Jadi…” ucap Nanda dan Endi bersamaan.
“Kamu duluan aja.” Kata Nanda.
“Jujur, aku belum siap berumah tangga.” Endi membuka pembicaraan. Nanda masih diam sambil menyimak kelanjutannya.
“Aku juga, aku baru 18 tahun” kata Nanda sambil menunduk.
“Memang apa alasan ayahmu sebegitunya sampai menikahkanmu denganku?”
“Jadi, aku ingin sekali kuliah di Jogja. Tetapi karena kami tidak memiliki kerabat di Jogja, ayahku tidak mengijinkan pada awalnya karena takut tidak ada yang bertanggung jawab atas diriku.”
“Lha? Itu doang? Banyak kali mahasiswa perempuan ngekost sendiri di sana, bahkan yang dari luar Jawa.”
“Aku sudah pernah mengatakan hal tersebut kepada ayah, tetapi masalahnya ayahku kelewat overprotective gitu, mungkin karena dia aktivis LSM perlindungan anak dan perempuan yang tiap hari menangani kasus mengerikan di luar sana.” Terang Nanda. Endi manggut-manggut mencerna penjelasan Nanda.
“Nah kalo kamu gimana cerita sampai papamu juga yakin mau menikahkanmu sesegera mungkin?” Nanda bertanya balik.
“Aku memberontantak papa. Semua kakakku selalu menuruti keinginan papa dari dimana ia harus sekolah dan jurusan yang dia ambil. Memang sih dua-duanya sekarang menjadi orang sukses, Kak Miko jadi pejabat dan Kak Merry jadi dokter, dan papa mau aku jadi arsitek tapi aku ngga suka. Alhasil kuliahku amburadul bahkan terancam DO haha” Endi tertawa sementara Nanda menyirngitkan dahi.
“Terus hubungannya sama nikah?”
“Tadi malam, sepulang dari makan, aku negosiasi lagi sama papa untuk pembatalan rencana ini. Papa sangat tahu kalau aku bercita-cita menjadi pengusaha café, karena itu papa menawarkan sebuah perjanjian. Jika aku ma menikah denganmu, papa akan memberikanku modal usaha itu dan akan menambah modalnya ketika akum au melanjutkan kuliahku sampai wisuda. Jujur, tentang modal yang dijanjikan papa, aku agak tertarik.”
“Jadi kamu mau menjadikan aku sebagai jaminan modal?” Nanda cemberut merasa dirinya dijadikan alat penghasil modal.
“Lha kamu sendiri mau menjadikan aku pengasuh sekaligus security kan?” balas Endi.
Keduanya terdiam.
“Gimana kalo besok sore kita ketemu lagi disini. Hari ini aku masih sangat bingung. Aku perlu pencerahan.” Kata Nanda dengan kepala disandarkan di meja.
“Ok, aku setuju.” Endi menghela nafas panjang.
Keduanya tampak lesu dan bingung. Peluang cita-cita mereka sudah di depan mata, tetapi kenapa harus dengan syarat yang begitu berat dan rumit. Masalah masa depan, orang tua, keluarga besar, agama, status, dan opini public.
***
Malamnya Nanda sibuk browsing sana sini seputar kehidupan pernikahan, kuliah, dan rumah tangga. Yang benar saja, Nanda hanya diberi waktu tujuh hari untuk memikirkan nasib masa depannya, sedangkan sebulan lagi dia sudah harus resmi terdaftar sebagai mahasiswa di universitas.
Malam yang begitu singkat buat Nanda, karena dia belum sempat memejamkan matanya ketika adzan subuh berkumandang. Hasil pencariannya semalaman pun belum menghasilkan sesuatu yang berarti untuk menentang pernikahan ini. Gokilnya Nanda malah salah focus dengan foto-foto bayi dan family goals ala selebgram.
Bip bip bip… Hah?! Ngapain nih anak nelpon pagi buta gini? Pikir Nanda ketika melihat nama Endi di panggilan masuk.
“Halo?”
“Nda, aku nemu satu solusi bagus yang menurutku paling relevan dengan kasus kita.” Endi di seberang sangat bersemangat.
“Apa? Jadi gimana?” Nanda yang tadinya lemes ngantuk jadi kembali bersemangat.
“Kita obrolin langsung aja, nanti jam 7 aku jemput kamu di rumah.”
“Emang kamu tahu rumahku?”
“Engga sih hehe…”
“Kukirimin shareloc aja deh biar ngga nyasar.”
“OK!”
Telpon berakhir Nanda pun segera ke belakang ambil wudhu karena sudah jam 5 pagi. Setelah selesai sholat ia segera mandi dan kembali ke kamar melanjutkan browsing. Ibunya terheran-heran melihat tingkah Nanda yang tak biasanya mandi sepagi ini padahal tidak sekolah.
Jam setengah tujuh Nanda sudah celingukan di ruang tamu meliat keluar jendela. Ia tampak tak sabar ketemu Endi untuk mendengar solusi apa yang dia ajukan.
“Nan? Kamu nungguin siapa?” Ibu semakin penasaran melihat tingkah anaknya.
“Hehehe…Ibuk, Nanda ada janji buk.”
“Janji? Sama siapa? Monica?” Karena memang selama ini Nanda kemana-mana bareng Monica.
Ting tong… belum sempat Nanda menjawab, bel rumahnya sudah berbunyi.
“Biar Nanda saja bu yang bukain.” Nanda langsung ngacir ke depan pintu.
“Sekarang aja yuk!” kata Endi ketika Nanda membuka pintu.
“Oh, Endi toh yang dari tadi ditungguin sama Nanda.” Kata ibu di belakang Nanda.
“Assalamualikum Tante,” Endi mencium tangan Bu Tika. “Maaf tante, Endi langsung nyerobot saja tadi hehe”
“Hayo kalian mau kemana pagi-pagi begini?” goda Bu Tika melihat putrinya dijemput calon menantunya.
“Cuma jalan-jalan di depan kok tan,” Endi malu-malu.
“Ih ibu sudah ah, Nanda berangkat dulu ya.” Nanda sangat malu karena ketahuan ibunya akan jalan berdua dengan Endi.
“Hahaha kalian ini, yaudah sana hati-hati dan jangan lupa jaga jarak aman ya, belum sah.”
“Siap tante.” Ucap Endi yang sudah ditinggal ngacir duluan sama Nanda setelah bersalaman kilat sama ibunya.
***
“Ayo kita menikah!” ucap Endi mantap.
“Hah? Jadi ini solusi terbaik darimu? Bukannya kita sedang mencari cara agar pernikahan ini batal?” Nanda ternganga mendengar ajakan Endi barusan.
“Aku sangat serius. Ayo kita menikah.”
Nanda semakin ternganga bahkan setelah mendengar ajakan Endi yang kedua kalinya dengan nada mantap Nanda menjadi tak bisa berkata-kata lagi. Bayang-bayang kehidupan berumah tangga muncul seketika di benak Nanda bahkan Nanda sempat membayangkan mereka berdua mempunyai bayi sebelum akhirnya Endi menyadarkan Nanda dari lamunannya.
“Nda, kamu dengar dulu penjelasanku.” Kata Endi pelan. Nanda hanya menyimak.
“Kita akan menikah sesuai keinginan orang tua kita. Dengan begitu kita berdu sama-sama mendapatkan apa yang telah lama kita mimpikan. Setelah lima bulan menikah kita akan mengajukan pembatalan pernikahan.” Jelas Endi.
“Apa? Maksudmu setelah menikah 5 bulan menikah kita akan bercerai gitu? Dan aku akan jadi janda di usia 19 tahun?” pikiran Nanda semakin kacau.
“Bukan cerai Nda, tapi pembatalan pernikahan.”
“Terus apa bedanya?” Nanda masih sewot.
“Beda dong. Kalo cerai status kita akan jadi duda dan janda, tetapi kalo pembatalan pernikahan status kita masih akan tetap single karena pernikahan tersebut dianggap tidak ada.”
“Emang bisa gitu?” Nanda semakin bingung.
“Semalam aku sempat mencari info di beberapa sumber, dan ada yang menyebutkan bahwa sebelum 6 bulan usia pernikahan kita bisa mengajukan pembatalan pernikahan pada kondisi-kondisi tertentu, salah satunya adalah karena pernikahan berdasarkan atas paksaan.” Nanda hanya menyimak, berusaha mencerna penjelasan Endi.
“Jujur sih aku juga belum begitu paham, tapi gambarannya seperti itu.” Imbuh Endi.
“Terus selama 5 bulan itu?”
“Kita menikah di atas kertas, di Jogja kita memang akan tinggal satu atap tapi sebagai kakak dan adik bukan suami istri, jadi kamu tahu kana pa yang aku maksud?”
“Hmmm…ok aku sudah mulai paham arahnya. Tapi aku punya syarat.”
“Apa?”
“Aku mau pernikahan ini dirahasiakan sama orang-orang di Jogja, bahkan teman-temanku yang di Surabaya.”
“Deal! Pokoknya yang orang tahu kita saudara sepupu.”
“Satu lagi, selama 5 bulan TIDAK ADA KONTAK FISIK!!!”
“DEAL!”
Keduanya menyusun strategi dan scenario untuk menghadapi orang tua mereka supaya mereka tidak mencuriagi kecurangan anak-anaknya. Meski tergurat sidikit keraguan di antara keduanya, mereka akhirnya sudah 100% yakin dengan apa yang telah mereka putuskan dan sepakati.
***