…
“Saudara Endika Chandra bin Raharja, saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan anak saya Ananda Farisa binti Darmawan dengan maskawin berupa seperangkat alat sholat dan 20 gram emas, TUNAI!”
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Ananda binti Darmawan dengan maskawinnya tersebut dibayar tunai.”
“Bagaimana para saksi? SAH?”
“SAH!”
“SAH!”
…
Hari sacral itu akhirnya berjalan dengan lancar dan khidmat di rumah Nanda, meskipun dengan persiapan serba mendadak. Hanya selang sepuluh hari sejak Nanda dan Endi menarik kesepakatan pernikahan itu dilangsungkan.
Sesuai permintaan Nanda, pernikahan bersifat rahasia sehingga tidak ada resepsi, hanya ijab qobul yang dihadiri oleh kerabat dekat dari kedua belah pihak keluarga. Satu-satunya teman Nanda yang diundang di pernikahan itu hanya Monica, karena Monica sudah seperti keluarga sendiri.
Setelah acara selesai dan tamu undangan pulang, Pak Darmawan dan Pak Raharja mengajak Nanda dan Endi ngobrol berempat di ruang tamu. Kedua bapak ini hendak memberikan wejangan kepada anak-anak mereka yang baru saja sah menjadi suami istri.
“Nanda dan Endi, sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri. Sesuai janji ayah, Nanda ayah diijinkan kuliah di Jogja.” Kata Pak Darmawan.
“Papa juga akan memenuhi janji papa untuk memberi modal Endi membuka usaha.” Pak Raharja menambahi.
Nanda dan Endi saling berpandangan, dan tampak sekali mereka berdua senang meski tidak berkata-kata.
“Ayah juga akan menghadiahi kalian berdua sebuah rumah kecil untuk kalian berdua tinggal.”
“Tapi…” ucap Pak Raharja tiba-tiba. Sontak pengantin baru itu kembali berpandangan tanpa suara seolah bertelepati akan mendapat firasat buruk.
“Tapi setelah ayah memberi rumah dan papa memberi modal, kami selaku orang tua dari kalian berdua akan melepas tanggung jawab kami untuk membiayai hidup kalian berdua. Kami hanya akan memenuhi biaya pendidikan kalian saja sampai lulus S1 karena itu masih kami anggap sebagai tanggung jawab orang tua.” Pak Darmawan menerangkan.
“Selain itu, untuk kebutuhan sehari-hari kalian seperti makan, mencuci dan sebagainya silakan kalian urus sendiri dari hasil usaha yang telah papa kasih modalnya.” Imbuh Pak Raharja.
“Tapi pah, usahanya kan belum berjalan sama sekali,” Endi tampak keberatan.
“Endi, kamu adalah kepala keluarga sekarang, usiamu sudah 23 tahun, papa berharap mulai detik ini kamu bisa bersikap dewasa dan bertanggung jawab.”
Endi hanya bisa terdiam, menyadari selama ini dia terlalu kenak-kanakan sehingga kuliahnya amburadul dan belum bisa hidup mandiri. Ia baru sadar kenapa papanya mau memberikannya modal usaha setelah menikah. Ya, ini tentang transformasi seorang anak laki-laki menjadi seorang pria.
“Endi, bersyukurlah! Dulu waktu ayah menikahi ibunya Nanda tidak diberi modal sepeser pun dari orang tua ayah dan ibu.” Ayah menepuk pundak Endi memberi semangat.
“Baiklah Papa dan Ayah. Insyaallah Endi akan menjadi suami dan kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk Nanda.” Akhirnya Endi melontarkan kalimat itu meskipun ada sedikit keraguan mengingat perjanjiannya dengan Nanda tentang pembatalan pernikahan.
“Ayah dan Papa, Nanda pamit ke belakang duluan ya kebelet pipis ini karena terlalu lama acara tadi hehe." Nanda segera ngacir kebelakang sebelum kelepasan.
“Oiya En, Papa dan ayah mau bicara tentang hal yang agak sensitive nih mumpung istrimu nggak disini haha”
Endi menyirgitkan dahi melihat papa dan mertuanya tertawa mencurigakan.
“En, istrimu masih berumur 18 tahun, meskipun secara hukum sudah dewasa tapi dia masih dalam masa transisi dari remaja akan ke dewasa, sehingga jika Nanda belum siap diajak begituan kamu bersabar dulu ya.” Kata papa menahan tawa.
Mendengar penjelasan papanya barusan Endi langsung paham kemana arah pembicaraannya. Seketika mukanya memerah menahan malu, karena sebelum pembicaraan ini Endi sama sekali belum kepikiran kea rah itu.
“Selain Nanda masih muda, dia juga belum pernah pacaran En, jadi kalau dia agak kaku atau kurang peka terhadap perasaan tolong dimaklumi dan dibimbing ya haha” Imbuh Pak Darmawan.
“Oiya usahakan sebelum Nanda selesai kuliah tetap pakai pengaman dulu ya nak biar ga kebobolan, kasihan Nandanya nanti kuliah sambil gendong anak. Hahaha” Pak Raharja semakin menjadi menggodai putra bungsunya.
“Apaan sih papa dan ayah ini, Endi belum kepikiran ke arah sana juga kok, kan Nanda juga harus menyelesaikan kuliah dulu.” Endi semakin malu.
“Hahaha…” Pak Darmawan dan Pak Raharja tertawa bersama melihat Endi salah tingkah.
“Yakin tahan kamu En? Hahaha” keduanya kembali tertawa.
Sementara itu di dapur Bu Tika dan Bu Salma mencegat Nanda yang baru keluar kamar mandi.
“Nanda, sini bentar nak, mama dan ibu mau bicara sama kamu.”
“Iya mah,” Nanda mendekat duduk di antara Bu Tika dan Bu Salma. “Ada apa? Ibu sama Mama kok senyumnya mencurigakan begitu.”
“Nan, sebentar lagi kamu hanya tinggal berdua lho sama Endi.” Bu Tika membuka diskusi.
“Misalnya kalian mau melakukan ‘sesuatu’ sudah halal nak, jadi kamu tidak perlu takut lagi.” Imbuh Bu Salma.
“Maksudnya?” Nanda yang polos tak tahu arah pembicaraan ini.
“Pria dan Wanita yang sudah sah menjadi pasangan sudah dihalalkan untuk melakukan hal ‘itu’” Bu Tika menjelaskan sambil menahan tawa melihat ekspresi anaknya.
“Aaaaaaaaaa…ibu mama… ih kok ngomongin gituan sih, aku kan belum siap. Lagian aku belum kepikiran sampai sana. Aku mau sekolah dulu.” Nanda histeris setelah paham maksudnya.
“Hahaha,,, kadang pemikiran pria berbeda lho dari wanita. Jadi Nanda harus belajar mempersiapkan diri ya.” Bu Salma menggoda Nanda.
“Ah mamaaaaa… Nanda malu” Nanda menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan.
“Oiya Nanda, Ibu sama Mama memang sudah pengen menggendong cucu dari Nanda dan Endi, tapi setelah kami pikir kembali, cucunya buat hadiah wisuda saja ya, jadi selesaikan dulu kuliahnya. Sebelum selasai jangan lupa pake pengaman.” Imbuh Bu Tika yang semakin membuat Nanda memerah.
“Aaaaaaa…ini apaan sih…Nanda malu,” Nanda semakin menutupi mukanya.
“Hahaha…” Kedua ibu itu kompak tertawa.
***
Hari yang sangat panjang dan melelahkan meski Cuma acara ijab qobul dan syukuran bersama kerabat, tapi capeknya tak kalah dengan acara resepsi besar. Malam ini adalah malam terakhir Nanda menginap di rumahnya sebelum pindah ke Jogja. Memang kalau dipikir jadwalnya seperti lari estafet yang tak kunjung masuk garis finish, dimulai dari pertemuan, lamaran sekaligus pernikahan, terus besoknya harus segera ke Jogja karena kuliah akan dimulai dua minggu lagi, dan sebelum aktif kuliah pindahan ke rumah baru sudah harus beres.
Tok tok tok… seseorang mengetuk pintu kamar Nanda. Nanda pun segera mendekati pintu dan membukanya. Di depan pintu ada Endi berdiri mematung, tampak sekali canggung di antara mereka berdua.
“Bukannya kamu mau tidur di kamar Satria?” Tanya Nanda canggung.
“Ketahuan ayah, terus disuruh kesini.” Kata Endi agak canggung.
Sontak Nanda menoleh ke arah ranjang yang cuma ada satu dan ukurannya single bed. Seolah mengerti apa yang ada di benak Nanda, Endi pun segera masuk dan mengambil selimut tebal Nanda untuk digelar di lantai.
“Aku tidur bawah, aku ga akan macam-macam. Sudah tutup pintunya, mari tidur. Besok pagi harus siap-siap pindahan juga.” Kata Endi datar dan langsung berbaring di atas selimut yang digelar tadi.
Nanda pun segera menutup pintu dan segera naik ke ranjang mengambil posisi tidur. Keduanya sudah pada posisi tidur masing-masing dan hening tanpa kata seolah sudah benar-benar tidur. Padahal keduanya masih gelisah tidak bisa tidur karena ingat kata-kata orang tua mereka tadi siang tentang ‘itu’.
***
Keesokan paginya Nanda dan Endi bersiap-siap menuju Jogja. Sorenya mereka di antar sama Pak Darmaawan dan Pak Raharja saja, karena Bu Tika harus mengurusi Satria yang sedang UKK SMP dan Bu Salma harus mengurus pekerjaannya.
Setibanya di Jogja Nanda dan Endi langsung diantar ke rumah barunya. Kecil type 50 tapi suasananya sangat nyaman. Ternyata d rumah itu sudah lengkap sekali perabotnya bahkan mereka diberi satu motor dan satu sepeda untuk transportasi.
Pak Darmawan dan Pak Raharja langsung pamit pulang menuju Surabaya lagi setelah selesai menemani kedua anaknya laporan ke ketua RT setempat. Mereka punya pekerjaan yang sudah menunggu di Surabaya, makanya tidak bisa berlama-lama menemani putra-putrinya.
“Kita hanya punya ranjang satu, kamar yang satunya dijadikan gudang.” Kata Nanda ke Endi.
“Malam ini aku tidur di sofa sini aja.” Kata Endi sambil menunjuk sofa depan tv.
“Serius gapapa?” Nanda merasa nggak enak.
“Iya gapapa,”
Malam itu mereka langsung tidur di tempat yang mereka sepakati masing-masing tanpa begadang ngga jelas mikir aneh-aneh lagi karena keduanya sudah sangat lelah.
***