Sebulan setelah kepergian Ayudia Karel dan Weny masih bersedih tapi mereka sudah mulai bangkit. Banyu masih terlihat murung.
Aku berjalan sendiri sepulang sekolah, di gerbang sekolah Mario menemuiku dan mengajakku bicara. Lalu kami duduk di bawah pohon rindang di sisi lapangan sekolah.
“Jingga, maaf kelakuan Deri kemarin-kemarin. Aku sudah menasehatinya untuk tidak menganggumu lagi. Aku dan Banyu akhirnya bicara kemarin, rasanya lega. Aku yang selalu cemburu padanya membuatku gelap mata dan marah padanya. Kesedihanku membuatku menyalahkan Banyu. Aku tahu itu bukan salah Banyu. Dan kamu berbeda dengan Ayudia. Banyu tidak melepaskanmu pada siapa pun. Dia selalu menjagamu dan membuatmu selalu ada disekitarnya. Sedang Ayudia, dia memberi kebebasan padanya karena itu aku bisa memiliki Ayudia walau sebentar. Bukan karena rasa bersalahnya pada Ayudia. Dia lebih dulu mengenalmu dari pada Ayudia. Aku harap kamu bisa menghiburnya...” ucap Mario, kenapa Mario tahu kalau Banyu lebih dulu mengenalku dari pada Ayudia? Apakah Banyu cerita. Apa saja yang mereka bicarakan. Apakah mereka sekarang benar-benar sudah berdamai... Lalu kenapa dia menjelaskan tentang Ayudia dan aku berbeda? Apa Mario pikir aku berpikir kalau Banyu menganggapku sebagai pengganti Ayudia? Aku tidak berpikir seperti itu...
“Aku sudah banyak menyakitinya selama lebih setahun Ayudia koma, aku sudah banyak menyebarkan gosip yang tidak benar tentangnya. Karena kemarahan dan kesedihanku. Karena itu Banyu tidak berteman dengan siapa pun, jika ada yang berteman dengannya maka aku akan merecoki pertemanan mereka.” ucapnya. Aku melihat Mario, padahal selama ini aku lihat dia sopan dan kelihatan baik. Hanya sekali aku lihat dia marah pada Banyu saat di lab waktu itu. Ternyata dia banyak melakukan hal buruk pada Banyu. Karena itukah Deri menggangguku?
“Ku harap kamu memaafkan Deri dan aku. Aku akan memulai hidup yang baru, Ayudia dulu selalu katakan suapaya aku lebih memikirkan masa depanku. Harus hidup dengan baik, aku akan melakukan apa yang jadi keinginannya.” ucap Mario lalu senyum. Aku menatapnya, sepertinya Mario sungguh-sungguh. Aku senyum. Angin berhembus perlahan, dedaunan pohon menari bersama ranting dan angin... Satu satu dedaunan berwarna coklat jatuh mewarnai lapangan... Ku harap ini adalah awal yang baik.
Aku melirik Banyu yang ada di sebelahku, dia sudah kembali mengambar sketsa lagi. Sudah tiga bulan kepergian Ayudia. Banyu sudah lebih baik sepertinya. Sebulan lagi kami juga akan ujian akhir. Hanya sebentar lagi saja kami bersama seperti ini. Setelah itu... mungkin kita tak akan berjumpa lagi. Ada rasa sedih di hatiku, aku sudah mulai terbiasa bersamanya. Banyu menaikkan wajahnya dan aku tertangakap basah meliriknya. Aku langsung mengalihkan mataku menatap ke depan. Dadaku berdesir halus. Banyu tidak menegurku seperti biasanya kalau tahu aku melirik dia. Aku menatap Karel dan Weny, aku pasti akan merindukan kalian juga nanti...
Aku berdiri di lapangan sekolah yang sudah sepi. Angin berhembus lembut, aku melihat ke langit. Langit biru ditemani awan abu-abu. Akankah hujan turun sebentar lagi? Aku sudah jarang melihat bayangan Bang Dega lagi.
“Jingga...” aku menoleh ke suara yang memanggilku. Bang Dega... Bang Dega senyum. Aku senyum. Bang Dega berdiri di sisiku menghadap ke arahku.
“Bang..” ucapku.
“Ngapain kamu sendiri di sini.” ucapnya sambil senyum, aku merindukan senyum itu.
“Menatap langit.” ucapku, Bang Dega senyum.
“Aku akan selalu mengingat Abang dan menyimpan Abang di hatiku. Aku akan mengikhlaskan Abang pergi.” ucapku.
“Kamu akan baik-baik saja sendiri?” tanyanya, aku tersenyum.
“Iya, aku akan baik-baik saja. Aku tidak akan cengeng lagi...” ucapku, Bang Dega senyum.
“Karena dia?” tanyanya, dia? Dia siapa?
“Abang senang kalau kamu bisa bahagia sekarang.” ucapnya, aku mengangguk. Bang Dega senyum. Aku melambai pada Bang Dega. Bang Dega juga melambai padaku, dia tersenyum. Aku akan mengikhlaskanmu Bang... Bukan karena aku tidak mengasihimu lagi tapi karena aku ingin bahagia dengan kenangan bersamamu. Aku tidak akan melupakanmu Bang. Bayang Bang Dega memudar... Angin berhembus membuat rambutku menutupi mataku. Aku merapikan rambutku, Bang Dega sudah tidak ada lagi...
“Jingga...” suara itu, aku menoleh. Banyu sudah ada di dekatku, aku tersenyum.
“Kenapa kamu ada di tengah lapangan begini.” ucapnya, dia memperhatikanku.
“Kamu baik-baik saja kan...?” tanyanya.
“Tentu.” jawabku sambil tersenyum. Wajah Banyu kelihatan mengkhawatirkanku.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kamu tidak sesak nafas atau sakit kepala kan..?” tanyanya, aku menggeleng.
“Kata Bang Digo...” Banyu berhenti bicara. Kata Bang Digo? Apa kata Bang Digo?
“Apa kata Bang Digo? Kapan Bang Digo bicara sama kamu?” tanyaku. Banyu diam.
“Ayo pulang.” ucapnya sambil berbalik dan berjalan menjauhiku. Aku mengikutinya, menjejeri langkahnya,
“Kapan kamu bicara dengan Bang Digo?” tanyaku lagi. Banyu tetap diam, aku menarik tangannya. Banyu berhenti berjalan. Lalu mendesah pelan.
“Aku dan Bang Digo sering bicara lewat telepon.” ucap Banyu akhirnya.
“Apa yang dikatakan Bang Digo?” tanyaku sambil menatap Banyu.
“Aku harus menjagamu dan tidak membiarkanmu melamun sendiri di sekolah.” ucap Banyu. Bang Digo...
“Kamu tahu apa alasannya?” tanyaku, Banyu mengangguk.
“Apa?” tanyaku.
“Kamu sering berhalusinasi tentang Bang Dega, kalau kamu mengalami itu kamu akan panik. Kamu akan sesak nafas, gemetar dan bisa pingsan karena kamu bingung antara yang nyata dan semu. Kamu mengalami gangguan panik. Sekarang kamu sedang masa pemulihan dibantu Om Handi.” ucap Banyu, Bang Digo...dia menceritakan semua itu.
“Kamu juga berpikir aku tidak waras?” tanyaku, Banyu menatapku.
“Kenapa kamu mengatakan itu. Aku tidak pernah menganggapmu seperti itu. Aku hanya berpikir kalau kamu sangat terluka karena kepergian Bang Dega. Saat itu, aku melihatmu hanya menatap Bang Dega yang sudah terbujur kaku di depanmu. Matamu bengkak, ku pikir kamu sudah banyak menangis sampai tak bisa menangis lagi. Kamu tetap ada di sisi peti mati Bang Dega tanpa menangis tanpa bicara. Kamu tidak menanggapi siapa pun yang bicara denganmu, kamu hanya diam.” ucap Banyu, Banyu melihatku saat itu. Saat kepergian Bang Dega...
“Aku ingin mendekatimu tapi kakiku tak dapat melangkah mendekatimu. Aku melihat kehampaan di wajahmu. Ku pikir nanti kamu akan baik-baik saja. Mungkin kamu sangat berduka tapi nanti kamu pasti baik-baik saja. Tapi aku salah... sejak itu kamu tidak pernah keluar rumah kecuali pergi sekolah. Kamu berjalan tanpa melihat sekelilingmu. Beberapa kali berpapasan denganmu kamu tidak pernah melihatku. Saat melihatmu muncul di kelas pertama kali aku kaget. Apalagi kamu memilih duduk di sebelah bangkuku. Setelah melihatmu beberapa kali mengalami panik. Aku sadar kamu belum pulih dari sedihmu. Dan aku paham... karena aku juga mengalaminya.” ucap Banyu, aku menunduk.
“Kamu tidak gila seperti kata mereka, kamu waras hanya kamu tenggelam dalam kesedihan yang membuatmu berhalusinasi... Kamu belum rela melepas Bang Dega membuatnya seperti selalu ada di dekatmu. Itu pelampiasan kesedihan dan rasa kehilanganmu.” ucap Banyu lagi. Aku menitikkan air mata. Aku pikir setelah kamu tahu kondisiku kamu akan pergi dan menjauh... Ternyata kamu malah menjagaku dan mengertiku.
“Jingga... kamu menangis?” tanya Banyu, aku menaikkan wajahku dan menghapus air mataku. Terima kasih Banyu. Tapi aku ingin tahu ketulusanmu..
“Kamu mau berteman denganku karena di suruh Abangku?” tanyaku, mengalihkan pembicaraan. Dan aku juga ingin tahu apakah tawaran pertemanan ini dari hatimu atau karena Bang Digo.
“Tidak, semenjak kamu memberiku gelang perak itu. Kamu sudah menjadi temanku di hatiku. Hanya aku tidak punya kesempatan sungguh-sungguh menjadi temanmu saat itu karena kamu punya dua bodyguard.” ucapnya, pasti membicarakan abang kembarku. Ntah kenapa hatiku senang mendengarnya. Ini pengakuan teman kan? Bukan pengakuan cinta.. Cinta? Aduh Jingga kok jadi mikir pengakuan cinta sih...
“Sudahlah.” ucapku lalu berjalan meninggalkan Banyu.
“Jingga.” panggil Banyu sambil menjejeri langkahku.
“Aku beneran berteman denganmu karena kamu bukan karena Bang Digo.” ucapnya berusaha membuatku percaya. Aku tidak memperdulikannya, jahatnya kamu Jingga ucapku dalam hati. Apakah dia yang dimaksud Bang Dega tadi adalah Banyu?
Aku sedang duduk di rerumputan di halaman belakang rumahku, Menatap langit senja yang indah. Dedaunan bergoyang dihembus angin. Bunga Dandelion bergoyang lembut kemudian pecah...kepingan bunganya melayang perlahan mengisi udara... Aku tersenyum... Langit dan senja ini masih sama indahnya seperti ketika Bang Dega dan Bang Digo masih ada di sisiku... Aku sekarang sudah tidak lagi berhalusinasi dengan Bang Dega. Sebentar lagi ujian akhir akan tiba setelah itu aku akan pergi ke tempat Bang Digo. Aku memutuskan kuliah di sana. Aku tersenyum, kangen Bang Digo. Aku kaget saat seseorang duduk di sisiku, aku menoleh Banyu...
“Banyu...” ucapku heran, kenapa dia muncul di sini. Di tangannya ada buku sketsanya.
“Kok kamu ada di sini?” tanyaku.
“Bik Onah tadi buka pintu dan menyuruhku kemari...” ucapnya santai. Banyu sudah bisa mengatasi kesedihannya.
“Maksudku kamu ngapain di sini?” tanyaku.
“Nih...” ucapnya sambil menyerahkan buku sketsa itu padaku.
“Kenapa kamu berikan ini kepadaku?” tanyaku heran.
“Aku kan pernah katakan kalau suatu saat aku akan menunjukkan isi buku sketsa itu padamu. Sekarang kamu bisa lihat.” ucapnya, sambil menatap langit. Kedua tangan Banyu diletakkannya di belakang tubuhnya untuk menopang tubuhnya. Boleh aku lihat? Aku tersenyum tapi... jangan-jangan semua isinya sketsa wajah Ayudia. Huhhh malas banget melihatnya. Aku lalu meletakkan buku sketsa itu di pangkuan Banyu.
“Kenapa? kamu tidak mau lihat? Kemarin-kemarin sampai mengintip ilegal.” ucapnya sambil tertawa, aku diam saja. Sekarang Banyu pun sudah bisa tertawa.
“Ayo lihatlah... Disuruh lihat tidak mau, dilarang lihat pengen banget melihatnya.” ucap Banyu, aku tetap diam.
“Kamu marah?” tanya Banyu, aku mendesah.
“Aku sudah tahu semua isinya.” ucapku, sambil melihat langit.
“Sudah tahu, kapan kamu melihatnya?” tanya Banyu.
“Pokonya aku sudah tahu, paling-paling sketsa wajah Ayudia.” ucapku cuek sambil melihat langit. Banyu tidak berkata apa-apa lagi. Jadi benar semuanya sketsa wajah Ayudia... Aku menoleh pada Banyu. Dia menatapku dari samping sambil menyipitkan sebelah matanya.
“Kamu lagi cemburu?” tanyanya.
“Cemburu? Siapa yang cemburu. Kenapa aku cemburu.” ucapku mengelak, ya...sebenarnya aku cemburu.
“Kalau begitu, lihatlah. Kalau kamu tidak cemburu apa pun isi buku sketsa ini kamu harus melihatnya.” ucap Banyu, aku melirik buku sketsa Banyu. Banyu menyodorkannya lagi padaku. Aku menatap Banyu, dia menantangku. Baiklah... Aku lalu mengambil buku sketsa itu dari Banyu. Oke... aku akan lihat supaya kamu senang ucapku dalam hati. Wajahku cemberut. Aku menarik nafas lalu membuka buku sketsa Banyu, sketsa sekolah kami. Aku membuka lagi, Lapangan sekolah. Aku buka lagi, pohon di sisi lapangan yang ditiup angin dan daunnya berguguran. Aku tersenyum. Sketsa wajah Karel dan Weny, Sketsa wajah Ayudia. Sketsa wajah Mario dan di belakangnya ada Deri. Sketsa ketika aku pertama kali berdiri di depan kelas sebagai siswa baru. Aku menoleh pada Banyu, Banyu masih melihat Langit. Aku kembali membuka lembaran sketsa di tanganku dengan perlahan, sketsa wajahku dari samping. Sketsa gelang perak pemberianku pada Banyu. Aku menyentuh gambar itu pelan. Ku buka lagi, sketsa langit. Ku buka lagi, sketsa wajahku yang lagi kesal... Dan selanjutnya sketsa wajahku dengan berbagai ekspresi termasuk saat aku tidur di kelas dulu. Aku salah di dalam buku sketsanya justru banyak sketsa wajahku. Aku menoleh pada Banyu.
“Ku pikir...” ucapku tak melanjutkan perkataanku.
“Kamu pikir apa? Di pikiranku hanya ada Ayudia.?” ucap Banyu sambil menoleh padaku. Dia mendengarku...
“Sebelum kamu datang memang iya. Tapi setelah kamu datang... semua berubah. Awalnya aku merasa bersalah pada Ayudia karena ku pikir aku telah menggantinya denganmu. Karena itu aku bersikap dingin padamu dan ingin kembali menjadi orang asing bagimu. Tapi aku tidak bisa, setiap melihatmu kesulitan kakiku langsung saja bergerak mendekatimu. Setiap ada yang menganggumu aku selalu saja tidak bisa mengendalikan diriku untuk tidak perduli padamu. Aku merasa dikendalikan olehmu dan itu sangat mengesalkanku karena aku pikir aku tidak boleh memikirkan orang lain selain Ayudia saat itu. Aku membenci diriku karena begitu cepat berpaling. Tapi akhirnya aku menyadarinya, aku bukan berpaling... Kamu memang selalu ada di sisi hatiku yang lain, yang ku sembunyikan selama ini.” ucap Banyu. Jadi karena itu dia pernah bersikap dingin padaku dan memintaku menganggapnya menjadi orang asing waktu itu. Dan kata-kata terakhirnya itu. Apakah ini sebuah pernyataan cinta? Ahh nggak mungkin...J ingga berhenti berpikir yang aneh-aneh. Banyu hanya menjelaskan sikapnya padaku selama ini... Huhhh... kenapa aku selalu memikirkan Banyu menyatakan cinta padaku? Kali ini mungkin aku benar-benar gila.
“Tapi bagaimana pun usahaku untuk tidak peduli padamu aku selalu gagal. Karena itu jangan katakan aku berteman denganmu karena Bang Digo.” ucapnya, kenapa dia mengungkit itu lagi. Tapi syukurlah, menyadarkan aku kalau ini hanya pernyataan pertemanan bukan cinta... Haduhhh Jingga... lagi-lagi pernyataan cinta.
“Oke... aku percaya...” ucapku sambil menyerahkan buku sketsanya kembali kepadanya.
“Syukurlah kalau kamu percaya.” ucap Banyu tapi wajahnya masih meragukanku. Kenapa jadi dia yang ragu...?
“Iya... aku percaya.” ucapku menyakinkannya. Dia senyum lalu membalikan tubuhnya menghadap padaku.
“Kalau begitu kamu mau jadi pacarku?” tanyanya. Apa??? Kok jadi pacar bukannya teman ya...
“Hahhh...” ucapku kaget.
“Aku suka kamu, sangat menyukaimu.” ucapnya sambil menatapku lembut. Aku bengong, jadi ini pernyataan cinta ya...?
“Kenapa kamu bingung? Dari tadi aku menjelaskan semua kepadamu kamu nggak mengerti ya.” ucap Banyu, aku menggeleng.
“Kamu kan mau menyakinkanku, kalau Kamu anggap aku temanmu.” ucapku masih bingung, Banyu mengacak rambutku.
“Semua yang aku katakan kepadamu itu bukan sikap seorang pria yang hanya mau berteman denganmu. Itu sikap pria yang sedang jatuh cinta... Mengerti?” ucap Banyu. Pernyataan cinta apaan ini... Kenapa harus sekarang? Aku melihat sekelilingku, di halaman belakang rumahku. Terus aku kan mau kuliah di luar kota...
“Hei... jawab aku.” ucap Banyu sambil mengarahkan bahuku menghadap dia. Aku memperbaiki dudukku, kami sekarang saling berhadapan. Aku menatap Banyu, kalau aku jawab iya, bagaimana nasib kuliahku? Apakah kami bisa pacaran jarak jauh? Kalau aku jawab tidak... Aku menatap Banyu...aku tidak mau kehilangan dia.
“Kamu mau jadi pacarku?” tanya Banyu lagi. Kenapa aku berpikir rumit sih... Dari tadi mikirin pernyataan cinta... Saat sudah dinyatakan malah bengong...
“Jingga...” ucap Banyu, ahh...masa bodohlah. Aku mengangguk.
“Apa itu artinya.” ucap Banyu.
“Iya aku mau.” ucapku, Banyu senyum. Melihat senyum Banyu aku juga tersenyum. Seolah terhipnotis olehnya.
“Aku lega.” ucapnya lalu menjatuhkan tubuhnya ke belakang. Banyu tiduran di rerumputan.
“Lega?” tanyaku.
“Iya kamu tahu, beberapa hari ini aku tidak tenang. Kamu tidak percaya aku. Sekarang aku lega dan kamu jadi pacarku, bukan hanya teman seperti keinginanku waktu dulu." ucapnya, Banyu meletakkan kedua tangannya di belakang kepalanya sebagai bantal kepalanya. Aku menatapnya kesal, dia lega aku yang jadi kepikiran.
“Akhirnya bisa ujian dengan tenang.” ucapnya, dia melihatku.
“Kenapa wajahmu, kok seperti kesal begitu.” ucap Banyu.
“Tentu... kamu lega aku yang kepikiran. Kenapa sekarang kamu nyatainnya.” ucapku, dia menatapku bingung.
“Aku jadi kepikiran mau lanjut kuliah di tempat Bang Digo atau tetap di sini bersama kamu. Kalau kamu nyatain selesai ujian itu kan nggak menganggu pikiranku menjelang ujian ini.” ucapku kesal, Banyu menatapku.
“Kamu mau kuliah di tempat Bang Digo?” tanya Banyu, aku mengangguk.
“Ya sudah tidak apa-apa. Yang penting statusmu adalah pacarku.” ucapnya santai, kok santai begitu sih. Jadi cuma statusnya penting orangnya tidak. Aku mencubit lengan Banyu kesal. Banyu mengaduh dan memegang kedua tanganku supaya tidak bisa mencubitnya. Banyu tertawa lalu menarikku mendekat membuatku terjatuh di dadanya. Aku menatapnya, jantungku berdetak cepat. Aku mau bangkit tapi ditahan Banyu.
“Jangan kesal, kalau kamu kesana aku pun akan kesana. Aku akan mengikutimu kemana pun kamu pergi.” ucapnya sambil tersenyum.
“Aku tidak akan biarkan kamu jauh dariku.” ucapnya lalu menarikku dalam pelukannya, terasa hangat. Aku merasakan detak jantung Banyu. Dia pasti juga merasakan detak jantungku. Aku membalas memeluknya dan tersenyum. Aku ingin selalu bersamamu Banyu. Lalu aku melepas pelukanku dan tiduran di sisinya beralaskan rerumputan yang lembut. Banyu mengenggam jemariku. Kami memandang langit bersama. Senja ini begitu indah. Langit berwarna jingga seperti namaku. Haduhhh..., aku melepaskan gengaman Banyu.
“Kenapa?” tanya Banyu, aku menggaruk lenganku...
“Gatal, rumputnya.. Nyamuk juga...” ucapku memecahkan suasana romantis ini. Banyu tertawa, aku suka mendengar suara tawanya. Dia sekarang sudah banyak tertawa... Banyu lalu bangkit dari tidurnya, aku juga bangkit. Banyu mengacak rambutku dan memelukku erat. Lalu melepaskan pelukannya dan menatapku lembut.
“Kamu lucu banget, ayo kita masuk...” ucapnya aku cemberut, Banyu membantuku berdiri. Lalu kami masuk ke rumah sambil bergenggaman tangan. Jangan khawatir Bang Dega dan Bang Digo, aku punya seseorang yang akan selalu ada untukku sekarang...
Selesai