Setelah Bang Digo pergi suasana rumah sepi kembali. Papa dan mama sekarang lebih cepat pulang. Mereka selalu bertanya tentang sekolah dan teman-temanku. Wajah mama dan papa terlihat lebih cerah sekarang, mungkin karena sudah ketemu dengan Bang Digo. Mungkin juga Om Handi bicara dengan mama dan papa. Sekarang Mama dan papa juga konseling dengan Om Handi. Aku berharap mama, papa dan Bang Digo bisa benar-benar pulih dari kesedihan mereka, begitu juga aku. Aku berharap kami akan kembali seperti dulu bersama dalam kehangatan keluarga.
Aku memutuskan untuk ikut Bimbel dengan Karel dan Banyu, kami akhirnya selalu bersama. Sikap Banyu padaku tidak secuek yang dulu. Mungkin karena janjinya dengan Bang Digo, tapi kenapa dia mau berjanji dengan Bang Digo...?
Pagi ini dengan langkah ringan aku memasuki kelas, Karel dan Weny sudah ada di dalam kelas. Tapi bangku Banyu kosong... tumben biasanya paling cepat datang. Aku lalu duduk di bangkuku, wajah Karel dan Weny terlihat tidak seriang biasanya.
“Kenapa kalian? Kok seperti tidak semangat begitu, ini masih pagi lo.” ucapku sambil senyum, Karel menoleh ke belakang. Lalu perlahan memutar badannya menghadap ke belakang.
“Iya, tadi malam Ayudia kondisinya drop. Karena itu hari ini Banyu ijin tidak sekolah. Belum tahu kondisinya sekarang.” ucap Karel sedih. Aku menoleh ke bangku Banyu, jadi Banyu tidak sekolah? Dia pasti sedang bersedih. Aku mendesah pelan. Karel kembali menghadap ke depan. Terasa ada yang kurang tanpa Banyu duduk di sebelahku.
Sepulang sekolah Karel dan Weny katanya mau ke rumah sakit. Aku ikut bersama mereka, aku ingin melihat Ayudia dan juga ingin melihat kondisi Banyu. Sesampai disana, aku melihat Banyu duduk di bangku di depan ruang Ayudia. Aku, Karel dan Weny mendekatinya, wajah Banyu sangat suram. Kami ikutan duduk di sisi Banyu, kondisi Ayudia sedang tidak baik. Orangtuanya sedang bicara dengan dokter. Mario juga muncul di rumah sakit. Mario duduk bersama kami. Orangtua Ayudia datang. Banyu berdiri lalu orangtua Ayudia bicara kepada Banyu. Mario kemudian ikut berdiri dan ikut mendengar apa yang dikatakan orangtua Ayudia. Kami tidak mendengar apa yang papa Ayudia katakan kepada Banyu. Kemudian kami melihat papa Ayudia menepuk pelan bahu Banyu. Banyu hanya diam dan menunduk begitu juga Mario. Papa dan mama Ayudia masuk ke dalam ruangan Ayudia. Karel dan Weny berdiri mendekati Banyu dan Mario. Aku juga ikut berdiri.
“Ada apa Banyu?” tanya Karel.
“Orangtua Ayudia ingin merelakan Ayudia, kondisinya semakin memburuk. Orangtuanya tidak mau Ayudia semakin menderita. Hari ini mereka memutuskan melepaskan semua alat bantu yang membuat Ayudia bertahan sampai sekarang.” ucap Banyu, matanya berkaca-kaca. Weny merangkul lengan Karel dan menangis di bahu Karel. Karel hanya diam tapi air mata menetes di pipinya. Mario bersandar ke dinding, menunduk. Banyu terduduk kembali di kursi tunggu, dia menunduk aku mendekati Banyu. Aku duduk di sisi Banyu, apa yang harus aku katakan pada Banyu. Saat ini kata-kata tak akan menghiburnya... Aku tahu itu karena aku pernah merasakannya...
“Banyu...” papa Ayudia memanggil Banyu. Banyu menaikkan wajahnya.
“Kalian boleh melihat Ayudia untuk terakhir kali sebelum melepas semua alat bantunya.” ucap papa Ayudia. Banyu berdiri, aku juga. Mario menegakkan tubuhnya. Lalu Banyu, Mario, Karel, Weny dan aku masuk ke ruangan Ayudia. Banyu berdiri di sisi tempat tidur Ayudia, dia menatap Ayudia. Karel dan Wenny berdiri di sisi Banyu. Aku berdiri di belakang mereka. Aku teringat saat-saat terakhir Bang Dega. Jantungku berdetak cepat. Aku memegang dadaku. Aku harus tenang, jangan lagi mengalami gangguan panik di sini. Mario berdiri di sisi lain tempat tidur Ayudia, wajahnya sangat sedih lalu dia bersimpuh di sisi tempat tidur Ayudia lalu memegang tangan Ayudia.
“Ayudia... Maafkan aku...” ucap Mario sambil menangis.
“Maaf...” ucap Mario lagi dia terus mengulang kata-kata itu... Aku menarik nafasku perlahan lalu menghembuskannya, aku menguatkan diriku. Aku lalu mendekati, aku ingin melihat Ayudia... Seorang yang selama ini mengisi hati Banyu. Aku melihatnya dan... wajah itu... Itu wajah yang ada di sketsa Banyu... Jadi itu... Apakah wajah ini yang juga mengisi seluruh buku sketsa Banyu? Aku menatap Banyu, dia tidak bersuara hanya menatap Ayudia. Rasa sakit yang dia rasakan mungkin membuatnya tak mampu untuk menangis. Karel dan Weny menangis dan memanggil Ayudia.
“Sebaiknya kita ucapkan selamat tinggal untuk Ayudia.” ucap Banyu. Banyu mundur dan menyuruh Karel untuk bicara pada Ayudia. Karel mendekat ke Ayudia yang terbaring tak berdaya.
“Yudia... aku bahagia kenal dengan kamu. Bersamamu membuatku semakin suka menggambar. Yudia aku berjanji akan meraih cita-cita kita bersama dan akan ku bangun gedung-gedung yang indah seperti mimpi kita...” ucap Karel menahan tangis.
“Selamat jalan Ayudia, aku akan selalu mengingatmu... Aku mengasihimu.” ucap Karel lalu mundur dan membalikkan badannya. Karel menangis, dia menahan mulutnya dengan tangannya dan menangis sesugukan. Weny maju dan bicara dengan Ayudia.
“Yudia... aku senang mengenalmu yang lembut. Selalu saja ramah padaku dan ceria. Aku kehilanganmu... Aku mengasihimu sahabat. Selamat jalan...” ucap Weny sambil menangis lalu memeluk Karel. Mario berdiri.
“Ayudia kekasihku... Aku tak kan melupakanmu dan selalu ingat nasehatmu untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Aku ngak ingin melepasmu... Tapi...” Mario menangis.
“Aku ingin kamu terus ada di sisiku, maafkan aku... Aku mencintaimu. Selamat jalan kekasihku yang cantik.” ucap Mario sambil mengusap lembut wajah Ayudia. Ku lihat Banyu tidak mendekati Tempat tidur Ayudia, sepertinya dia belum siap. Aku mendekati tempat tidur Ayudia dan memegang tangannya. Ku tatap wajahnya yang cantik. Kamu pasti orang yang baik, semua yang ada di sini sangat menyayangimu.
“Hai Ayudia.” ucapku
“Aku tidak mengenalmu, ini pertemuan pertama kita. Walau ini pertemuan pertama kita dan yang terakhir juga, tapi aku sudah mengenalmu lewat sahabat-sahabatmu. Seandainya ada kesempatan untuk kita berteman mungkin akan lebih menyenangkan. Selamat jalan Ayudia.” ucapku lalu mundur. Banyu masih belum mendekati tempat tidur Ayudia.
“Banyu.” ucap Karel serak. Banyu mendekati Ayudia.
“Yudia.” ucapnya sambil menyentuh lengan Ayudia.
“Aku tidak menyangka hanya sampai di sini persahabatan kita. Kenapa kamu tidak menepati janji untuk bersama-sama meraih cita-cita kita. Kenapa kamu meninggalkanku... Katamu aku adalah rumahmu... tempatmu pulang saat lelah dan butuh perlindungan... Kenapa kamu ngak pulang ke rumahmu ini sekarang... Kenapa kamu justru memutuskan pergi untuk selamanya... Ayudia...” ucap Banyu, air matanya mengalir.
“Aku tidak ingin kamu pergi... Aku harus bagaimana... Biasanya kamu selalu menurut tapi kenapa sekarang kamu tidak menuruti perkataanku...” ucap Banyu lagi.
“Ayudia...” ucapnya lalu bersimpuh di sisi tempat tidur Ayudia, Banyu menunduk menahan pedih hatinya.
“Banyu.” ucap Karel sambil memegang lengan Banyu dan bersimpuh di sisi Banyu.
“Jangan begini... Kamu harus kuat.” ucap Karel. Banyu menaikkan wajahnya lalu...
“Selamat tinggal Ayudia... aku akan melepaskanmu... merelakanmu.” ucap Banyu pelan. Lalu Banyu menangis lagi. Air mataku jatuh di pipiku. Semua menangis, Mario terlihat putus asa, dia terduduk dan memegang kepalanya. Karel mendekatinya dan mengusap lengannya pelan. Aku melihat air mata mengalir di pipi Ayudia... Weny menyentuh pipi Ayudia sambil menangis.
“Ayudia juga menangis...” ucapnya pelan.
“Relakanlah Mario... Jangan begini, bukan salah siapa-siapa ini memang sudah jalan Ayudia.” ucap Karel, Mario menangis sesungukan. Aku mendekati Banyu, aku bersimpuh di dekatnya.
“Banyu...” ucapku sambil menyentuh lengannya. Banyu tidak bereaksi. Hatiku teras sakit melihat Banyu seperti ini... Kemudian orangtua Ayudia masuk dengan dokter dan beberapa perawat.
“Sudah saatnya.” ucap dokter itu. Banyu, Mario, Karel, Aku dan Weny berdiri. Kami mengelilingi tempat tidur Ayudia. Banyu mundur lalu berbalik meninggalkan ruangan, aku mengikuti Banyu. Banyu berdiri di luar ruangan, tangannya mengepal. Aku mendekatinya. Wajahnya memerah menahan amarah dan kesedihan. Banyu melayangkan tinjunya ke dinding dan berteriak. Banyu... dia memukul dinding beberapa kali. Aku menahan tangan Banyu.
“Banyu.” seruku, lalu memegangi tangannya.
“Jangan seperti ini.” ucapku, Banyu melihatku...
“Aku tidak bisa menjaganya dengan baik.” ucapnya pelan, aku menggeleng... Air mata Banyu mengalir di pipinya. Aku ikut menangis lagi melihat Banyu menangis. Banyu... aku lalu menariknya duduk di bangku ruang tunggu.
“Ini bukan salahmu...” ucapku, aku melihat tangan Banyu. Tangannya berdarah karena meninju dinding tadi...
“Relakan Ayudia Banyu.” ucapku menahan tangis, sambil mengusap pelan tangan Banyu.
“Ini bukan salahmu.” ucapku. Banyu bersandar di sandaran bangku.
“Kenapa ini terjadi...” ucapnya sambil menatap ke langit-langit. Air matanya kembali menetes di pipinya. Hari itu Banyu tak bisa menghentikan Air matanya mengalir. Kehilangan sangat menyakitkan tapi kita tak bisa menghindarinya. Kita suatu saat pasti akan kehilangan orang-orang yang berarti di hidup kita. Tapi mereka tidak akan pernah hilang dari hati kita. Mereka tetap ada di hati kita, menjadi kenangan yang hidup di hati kita. Mereka pernah ada... Mereka pernah mengisi hidup kita.
Kepergian Ayudia meninggalkan duka yang mendalam di hati sahabat-sahabatnya. Banyu tidak sekolah selama seminggu. Karel dan weny lebih banyak diam.
*