Aku dan Karel lagi di kantin, weny tadi disuruh ke ruang guru. Tumben kantin ngak begitu ramai, biasanya tidak ada tempat duduk kosong di kantin. Aku dan Karel duduk di kursi yang kosong. Lalu muncul Deri dan Miko. Deri langsung duduk di sebelahku dan Miko di sebelah Karel.
“Haii... Jingga.” sapanya.
“Hai...” balasku, sebenarnya tidak ingin membalas sapaannya tapi dari pada nanti jadi ribut lebih baik aku menanggapi sapaannya.
“Makin cantik aja Jingga.” ucapnya sambil cengengesan, huh malas banget meladeni si Deri.
“Jingga sabtu ada pembukaan cafe temanku, kamu datang ya.” ucapnya sambil menyentuh tanganku. Aku menarik tanganku perlahan.
“Tidak bisa, aku ada kegiatan di situ.” ucapku.
“Yah...ayolah Jingga sesekali kamu mau dong aku ajak.” ucapnya, Aku harus ngomong apa sama dia supaya tidak memaksaku.
“Aku tidak bisa.” ucapku lagi, Deri memegang tanganku.
“Ayolah Jingga.” ucapnya, aku melepaskan tanganku dari genggamannya tapi Deri menahannya.
“Deri, Jingga sudah mengatakan tidak bisa. Kamu kok memaksanya.” ucap Karel kesal.
“Kamu tidak usah ikut campur.” ucap Deri. Aku mencoba melepaskan tanganku. Aku kesal dan ingin marah, aku menahannya di sini banyak orang.
“Jingga itu sudah punya pacar.” ucap Karel, pacar... dapat ide dari mana Karel mengatakan aku sudah punya pacar..
“Tidak usah bohong segala.” ucap Miko.
“Iya benaran, itu pacarnya datang.” ucap Karel menunjuk seseorang. Aku mengikuti arah telunjuk Karel begitu juga Deri dan Miko. Banyu..., Banyu baru saja masuk ke kantin. Tiba-tiba Karel membuat Banyu jadi pacarku...
“Banyu...” Karel memanggil Banyu dan melambaikan tangannya. Banyu melihat ke arah kami lalu melangkah mendekati kami. Banyu melihat Karel lalu melihatku, matanya turun melihat tanganku yang digenggam Deri. Aku menarik tanganku tapi Deri menahannya.
“Lepasin.” ucapku kesal pada Deri.
“Lepasin tangan Jingga Deri.” ucap Banyu, tapi Deri hanya senyum.
“Kalau aku tidak mau, bagaimana?” ucap Deri menantang, Banyu menatap Deri tajam.
“Hei Deri, kamu ini di depan pacar Jingga masih saja belagu.” ucap Karel sambil berdiri. Banyu menoleh pada Karel.
“Aku sudah katakan pada Deri, kalau Jingga tidak bisa pergi sabtu ini dengan Deri. Jingga kan ada acara sama kamu, kamu kan sekarang pacar Jingga.” ucap Karel, menjelaskan pada Banyu yang pasti bingung dan kaget dengan perkataan Karel seperti juga aku. Karel berusaha untuk terlihat sungguh-sungguh. Banyu kembali melihat ke arah kami dan melihatku lalu...
“Lepasin Der, kamu tidak malu semua orang di kantin sedang melihat kamu mengganggu Jingga seperti itu.” ucap Banyu. Deri melihat sekeliling kami, aku juga melihat sekeliling kami. Semua melihat kami sambil berbisik-bisik. Banyu menarik tangan Deri yang menggenggam tanganku dan menekannya dengan keras. Deri kelihatan kesakitan lalu melepas genggamannya dari tanganku. Aku memegang tanganku yang memerah, dasar Deri tanganku jadi sakit. Banyu menepiskan tangan Deri lalu Banyu mendekatiku dan menarik tanganku. Dia melihat tanganku yang memerah lalu mengusap pelan. Lalu Banyu meraih jemariku dan menggengamnya. Dadaku berdesir halus...
“Ayo kita pergi.” ucapnya lalu aku berdiri dan mengikuti Banyu. Aku melihat karel yang sedang menatap Deri kesal.
“Jangan ganggu Jingga lagi.” ucapnya lalu berbalik dan mengikuti kami. Banyu melangkah cepat aku kewalahan mengikutinya. Setelah jauh dari kantin langkah kaki Banyu yang tadi cepat jadi melambat. Aku merasa lega dan sedikit santai. Aku... Banyu masih mengenggam jemariku hangat. Jantungku berdetak cepat. Selalu begini kalau bersentuhan dengan Banyu. Ini bukan gangguan panik tapi... ntahlah. Aku melihat ke belakangku, tidak ada Karel kemana dia. Kami berjalan bersisian sambil bergenggaman tangan. Banyu tetap memegang jemariku saat kami masuk ke kelas, teman-teman melihat kami. Aku merasa risih dan menarik tanganku tapi Banyu menahan jemariku tak mau melepaskannya. Saat tiba di bangku kami baru Banyu melepaskan genggamannya. Banyu tidak mengatakan apa pun, aku mengusap pelan tanganku yang masih memerah karena genggaman Deri tadi. Kalau Bang Digo tahu sudah dihajar tuh si Deri. Karel dan Weny muncul bersamaan sambil senyum-senyum padaku dan Banyu. Ihh.. kenapa lagi yang berdua ini. Bel berbunyi saatnya pelajaran kembali dimulai. Mereka duduk di bangku mereka lalu membalikan badan mereka ke belakang.
“Aku dengar gosip di depan kelas tadi.” ucap karel tersenyum jahil.
“Apa.” ucapku sambil mengeluarkan bukuku dari dalam tas.
“Kamu dan Banyu bergandengan tangan masuk kelas haha...” Karel tertawa. Hmmm... jadi gosip...
“Iya, wihhh berita besar. Kalian sudah berani nunjukin hubungan kalian ya...” ucap Weny, ini lagi. Memang kapan kami punya hubungan sih. Nih orang di sebelahku ini sudah katakan padaku untuk menjadi orang asing.
“Kami...” aku mau menjawab Weny tapi Banyu mendahului aku.
“Kan kamu sendiri Rel yang katakan kami pacaran.” ucapnya datar, Karel senyum sambil garuk-garuk kepalanya yang tak gatal.
“Itu kan... Biar si Deri berhenti mengganggu Jingga.” ucap Karel keki.
“Jadi jangan aneh kalau orang yang pacaran bergandengan tangan.” ucapnya lalu mengeluarkan buku sketsanya dan mulai membuat sketsa. Aku menatapnya. Dia sedang menyindir aku dan Karel atau sedang marah atau...
“Hahaha... Kamu gitu deh Ban.” ucap Karel, sadar Banyu sedang membalas perkataan Karel di kantin.
“Ya sudah, berarti beneran ya kamu dan Jingga pacaran ya.” ucap Weny membela Karel. Aku melotot pada Weny, kenapa dia yang mengambil keputusan. Karel tertawa lalu membalikkan badannya menghadap depan begitu juga Weny. Banyu hanya diam tak memprotes perkataan Weny. Kalau sudah pegang buku sketsa tidak akan perduli yang lain.
“Apaan sih Wen.” ucapku berbisik sambil memajukan tubuhku ke depan mendekati Weny karena guru sudah masuk ke kelas. Weny mengeditkan bahunya sedang Karel bahunya berguncang pelan menahan ketawa. Huhh...aku manyun lalu memundurkan tubuhku ke belakang. Ku lirik Banyu, dia sibuk dengan sketsa...
Sepulang sekolah Weny dan Karel pulang lebih dulu karena aku ada piket kelas. Setelah piket aku dan teman-teman pulang, sekolah sudah sepi. Ada beberapa siswa cowok yang berlari ke arah kantin. Ada apa ya? Aku penasaran jam segini kenapa mereka berlari kekantin dengan wajah seperti itu. Aku melangkah ke arah kantin, ada kerumunan orang di dekat parkiran di samping kantin. Sepertinya ada yang berkelahi, aku melihat penjaga sekolah menerobos kerumunan orang itu. Aku berjalan semakin dekat dan mencoba melihat ke dalam kerumunan orang itu. Huh... kenapa cowok-cowok ini tinggi-tinggi sekali, aku ngak bisa melihat ada apa di tengah kerumunan itu. Lalu beberapa orang menyingkir dari depanku dan... Banyu... Deri... Pak Gimin memegang tangan Banyu dan Deri. Mereka berjalan dari tengah kerumunan menuju ke arahku, wajah Banyu terlihat memerah Deri juga. Mereka berantem, kenapa? Apa karena kejadian di kantin tadi?
“Banyu.” ucapku saat mereka berjalan tepat di depanku, Banyu tidak menjawab dia hanya menunduk. Aku mengikuti mereka, kerumunan sudah bubar. Pak Gimin membawa Banyu dan Deri ke ruang guru, ada guru yang belum pulang. Miko teman Deri juga mengikuti ke kantor guru. Aku dan Miko menunggu di luar. Mereka pasti kena hukum. Aku melirik Miko.
“Kenapa mereka berantem Mik?” tanyaku, Miko melihat ke arahku. Tapi tidak menjawab pertanyaanku. Huhhh... percuma bertanya ke dia. Aku mendesah pelan lalu mengalihkan pandanganku dari Miko ke pintu ruangan guru.
“Memang benar kamu pacaran dengan Banyu?” tanya Miko, aku menoleh lagi pada Miko.
“Memangnya kenapa? Kenapa kalian harus ikut campur urusanku?” ucapku kesal, Miko mengalihkan pandangannya dariku.
“Deri itu sahabat dekat Mario, dia sudah lama tidak suka sama Banyu. Dia sedang meledak saat ini.” ucap Miko. Hemmm... jadi ini amarah yang sudah lama bercokol di hati Deri. Banyu dan Deri keluar dari ruang guru, aku mendekati Banyu.
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku, Banyu menatapku. Wajah Banyu mulai kelihatan lebam, aku hendak menyentuh pipinya yang lebam tapi dia menghindar.
“Ayo pulang.” ucapnya lalu berjalan melewatiku, aku menatap Banyu. Banyu menoleh dan menatapku.
“Ayo pulang.” ucapnya lagi, aku lalu berjalan mendekati Banyu. Lalu kami berjalan ke parkiran sekolah. Banyu mengantarku pulang. Banyu tidak menjawab saat ku tanya kenapa dia berkelahi dengan Deri, Banyu hanya diam. Apakah ini benar ada hubungannya dengan kejadian di kantin tadi.
Besoknya, Banyu nggak muncul di kelas, apa dia sakit? Aku jadi merasa bersalah, aku lalu cerita ke Karel dan Weny yang ternyata sudah tahu. Gosip di sekolah memang luar biasa. Saat pulang sekolah kami baru tahu kalau deri dan Banyu kena hukuman membersihkan belakang sekolah. Aku, Karel dan Weny mencari Banyu di belakang sekolah. Rumput di belakang sekolah sudah hilang, barang-barang rusak yang biasanya menumpuk juga sudah hilang. Belakang sekolah jadi bersih. Banyu sudah tidak ada lagi di sana begitu juga Deri. Mungkin mereka sudah pulang? Karel mengajak kami ke ruang guru, mungkin mereka masih di sana. Ternyata memang benar, Banyu dan Deri masih ada di dalam ruang guru. Kami mengintip lewat jendela, Pak Bimo guru pelajaran olahraga kami sepertinya sedang menasehati mereka berdua. Kami menunggu Banyu di depan ruangan guru. Tidak lama kemudian Banyu dan Deri keluar. Aku, Karel dan Weny langsung mendekati Banyu.
“Kamu kenapa berantem sama Deri Ban?” tanya karel, Banyu tidak menjawab dan hanya berjalan saja. Kami mengikuti Banyu, Karel berusaha menjejeri langkah Banyu sedang aku dan Wenny berjalan di belakang mereka. Karel terus bertanya pada Banyu namun Banyu cuek aja tidak menjawab. Kami mengikuti Banyu sampai ke parkiran.
“Jingga, ayo.” ucap Banyu, aku menatap Banyu heran. Dari kemarin Banyu terus mengajakku pulang bersama. Banyu menyerahkan helm padaku. Aku melihat Weny dan Karel, mereka juga menatapku lalu... Karel menyuruh aku menerima helm dari Banyu. Weny mengangguk kepadaku menyetujui saran Karel. Aku lalu menerima helm dari Banyu, Banyu menghidupkan motornya. Aku mendekat dan naik ke boncengannya.
“Kami pulang.” ucap Banyu pada Karel dan Weny. Karel dan Weny hanya mengangguk lalu motor Banyu melaju, aku melambai pada Karel dan Weny.
Karel juga curiga kalau perkelahian antara Deri dan Banyu itu karena kejadian di kantin waktu itu. Tapi kami tidak mau mengungkit hal itu lagi karena Banyu tidak akan bicara. Sejak itu Banyu selalu ada di dekatku kemana pun aku pergi, aku enggan bertanya kenapa dia begitu. Aku ngak mau dia kembali menyuruhku menganggapnya sebagai orang asing lagi. Keberadaannya disekitarku membuatku merasa aman. Hari ini Om Handi akan menjemputku di sekolah katanya. Tidak tahu kenapa tiba-tiba Om Handi menjemputku hari ini. Aku, Weny dan karel berdiri di depan gerbang. Di seberang Sekolah mobil Om Handi parkir, aku melihat Om Handi keluar dari mobil. Aku melambai sambil senyum, Om Handi membalas lambaianku. Lalu pintu depan mobil Om Handi terbuka lagi. Om Handi bawa teman rupanya... Sosok yang sangat tidak asing muncul dari balik pintu itu, jantungku berdetak cepat. Itu...itu Bang Digo? Iya... Bang Digo membuka kacamata hitam yang dia pakai. Aku berteriak riang...
“Bang Digo...” teriakku, aku berlari menyeberang tanpa melihat kekiri dan kekanan.
“Hati-hati Jingga...” ucap Karel, untung tidak ada kendaraan yang lewat. Aku ngak kepikiran apa-apa selain berlari ke Bang Digo...
“Jingga.” ucap Bang Digo, aku berdiri di depan orang yang selama dua tahun ini sangat ku rindu. Bang Digo senyum, lalu aku memeluk Bang Digo erat. Air mataku mengalir, aku senang sekali sampai menangis. Bang Digo juga memelukku erat.
“Jingga-ku...” ucapnya, panggilan kesayangan Bang Dega dan Bang Digo. Bang Digo melepaskan pelukannya lalu memegang wajahku. Tanganku masih memeluk Bang Digo.
“Adikku sudah besar.” ucapnya lalu menghapus air mata di pipiku, aku melihat matanya berkaca-kaca.
“Iya, tahun depan aku sudah kuliah.” ucapku sambil tersenyum.
“Wahhh...aku ketipu ini sih Jingga kecil. Menanggis sambil tertawa.” ucapnya jenaka, air matanya sudah menetes di pipinya. Aku tertawa lalu menghapus air mata di pipi Bang Digo. Bang Digo selalu mengejekku karena saat menangis bisa tertawa karena kekonyolan Bang Dega...
“Sudah ayo masuk, kita pulang. Di rumah kalian bisa lebih leluasa mengobrol.” ucap Om Handi yang sejenak kami lupakan.
‘Iya Om.” ucap Bang Digo lalu kami masuk ke mobil duduk di bangku belakang.
“Okey, Om sendiri di depan sebagai sopir kalian ya.” ucap Om Handi jenaka.
“Maaf Om.” ucap Bang Digo.
“Sudah biasa.” ucap Om Handi, kami tertawa. Om Handi masuk ke mobil lalu mobil Om Handi melaju, aku melihat ke arah Weny dan Karel. Aku sampai lupa mereka, mereka melihat ke arah mobil Om Handi. Maaf ya teman-teman besok aku akan cerita pada kalian. Aku melihat ada Banyu juga di dekat Karel dan Weny dengan motornya, aku tidak tahu sejak kapan dia di sana. Aku terus memeluk Bang Digo, aku takut ini hanya mimpi...
Di rumah mama dan papa juga sudah pulang, pasti karena Bang Digo datang. Mama dan papa memeluk Bang Digo lama. Mereka pasti sangat merindukan putranya. Suasana rumah terasa haru, Bik Onah juga menangis. Bang Digo memeluk Bik Onah. Ternyata Bang Digo datang tanpa memberitahukan ke mama dan papa juga, semua tiba-tiba hanya Om Handi yang tahu. Om Handi menelepon mama dan papa saat di kantor. Mereka pasti sangat kaget dan senang, mereka meninggalkan pekerjaan yang selama ini tak pernah meraka tinggalkan. Aku senang Bang Digo ada di sini.
Aku dan Bang Digo sedang ada di ruang perpustakaan mini rumah kami. Duduk di sofa depan perapian. Kami duduk bersisian, Bang Digo merangkul bahuku. Hujan diluar sana membuat pemandangan buram lewat kaca jendela di samping perapian. Api buatan perapian dinyalakan. Suara musik sendu mengalun lembut. Suasana ruangan ini sama seperti ketika Bang Dega masih di sini. Aku dan Bang Digo ngobrol sambil melihat perapian.
“Maaf ya Jingga, Abang egois. Abang pergi begitu saja tanpa memikirkan kamu.” ucap Bang Digo.
"Abang ngak perlu minta maaf. Aku mengerti Abang pasti sangat terpukul dan sedih.” ucapku.
“Iya, abang menyesali kenapa hanya abang yang selamat dari peristiwa itu.” ucapnya sedih, aku menatapnya sedih. Wajah itu terlihat suram.
“Dega melindungiku, sehingga dia yang terluka parah. Abang tidak bisa terima Dega telah pergi. Kami berjanji untuk melakukan banyak hal bersama. Banyak tempat yang ada dalam list kami belum kami datangi bersama. Abang...” Bang Digo berhenti bicara, menahan emosinya...
“Sudahlah Bang, Bang Dega sekarang sudah tenang.” ucapku, sambil memegang tangannya yang ada di bahuku. Bang Digo mengangguk.
“Abang sudah dengar apa yang kamu alami selama ini, Abang jadi merasa bersalah. Seharusnya kita bersama di sini mengatasi kesedihan kita.” ucap Bang Digo.
“Kamu masih berhalusinasi melihat Dega?” tanya Bang Digo.
“Akhir-akhir ini sudah jarang.” Jawabku.
“Kata Om Handi, ada tiga orang temanmu yang selalu membantumu.” ucap Bang Digo aku mengangguk.
“Salah satunya katanya pacar kamu.” ucap Bang Digo, aku menoleh pada Bang Digo.
“Ihh... siapa yang ngomong.” ucapku kenapa semua katakan aku pacaran dengan Banyu... Bang Digo senyum. Suasana hatinya sudah berubah.
“Kalau iya juga tidak apa-apa, Abang jadi lebih tenang. Saat Abang tidak ada dia akan menjagamu.” ucap Bang Digo.
“Banyu itu bukan pacar Jingga. Dia baik sama Jingga itu aja.” ucapku memberi penjelasaan.
“O... jadi namanya Banyu ya. Pasti orangnya keren dan ganteng kayak Abang kan.” ucap Bang Digo jenaka. Seakan tidak mendengar perkataanku yang ingin mengatakan Banyu itu bukan pacarku tapi dia baik padaku. Aku mendesah pelan, ya sudahlah dijelaskan juga tidak bakalan diterima. Aku melirik Bang Digo, dia tersenyum jahil. Ihhh... senang banget godain adiknya. Aku mencubit lengan Bang Digo. Bang Digo tertawa, aku manyun. Hari hari selanjutnya terasa menyenangkan ada Bang Digo, tapi itu hanya seminggu karena Bang Digo harus pergi kembali untuk kuliah. Tapi Bang Digo berjanji akan pulang saat liburan. Selama dua tahun ini Bang Digo tak pernah pulang. Dan juga jarang sekali untuk menelepon ke rumah. Aku berharap saat ini Bang Digo benar-benar sudah pulih. Aku pun berharap aku bisa segera lepas dari halusinasi yang selalu membuatku sulit. Di sekolah aku cerita ke Karel dan Weny tentang Bang Digo dan Bang Dega. Saat Bang Digo menjemputku sepulang sekolah, aku memperkenalkan Karel dan Weny pada Bang Digo. Bang Digo mengajak Karel dan Weny untuk ikut bersama kami. Bang Digo ingin mentraktir kami makan siang. Tentu saja Karel dan Weny mau, selain dapat makanan gratis mereka juga suka lihat Bang Digo yang keren. Dasar mereka ini, semua temanku tak pernah bisa lepas dari pesona abang kembarku.
Selama seminggu Bang Digo di sini kami selalu datang ke tempat Om Handi. Kami mengobrol dan membicarakan banyak hal. Terkadang Om handi hanya bicara dengan Bang Digo tanpa aku. Mama dan papa lebih cepat pulang dan lebih memperhatikanku. Apakah Om Handi menceritakan kondisiku pada papa dan mama? Aku sekarang sudah jarang berhalusinasi dengan Bang Dega meskipun aku melamun atau melihat langit. Aku bukan melupakanmu Bang Dega tapi aku merelakan kamu pergi. Kenanganmu akan terus hidup di hatiku. Aku tidak akan pernah melupanmu...
Jadwal piket kelas lagi. Aku jadi belakangan pulang dari Karel dan Wenny. Selesai piket kelas aku cepat-cepat keluar Bang Digo pasti sudah menungguku di gerbang sekolah. Ini hari terakhir Bang Digo ada di sini, besok pagi Bang Digo sudah kembali. Aku mendapat pesan singkat dari Bang Digo, Bang Digo lagi di kantin. Aku mengubah arah langkahku dan melangkah menuju kantin. Ngapain Bang Digo di kantin. Dari jauh aku melihat Bang Digo duduk dengan seseorang. Mereka ngobrol, aku memperjelas pandangan mataku... Banyu? Kenapa Bang Digo bisa ngobrol dengan Banyu? Aku semakin dekat, Bang Digo menoleh lalu melambai padaku. Aku senyum lalu melirik Banyu yang duduk di depan Bang Digo. Banyu sedang melihakku juga.
“Bang.” ucapku menyapa Bang Digo. Bang Digo senyum, aku berdiri di sisi bang Digo yang masih tetap duduk.
“Abang kenal Banyu?” tanyaku.
“Baru juga dikenali sama Karel dan Weny.” Jawab Bang Digo.
“Kamu saja yang tidak mau mengenalkan.” sebelum Bang Digo selesai bicara aku memotongnya.
“Kan nggak pernah ketemu, bagaimana mengenalkannya.” ucapku sambil ngelirik Banyu, dia senyum. Banyu senyum...?
“Kalian obrolin apa?” tanyaku penasaran, berharap Bang Digo tidak menanyakan apakah Banyu dan aku pacaran. Itu hal yang memalukan, aku ngak mau Banyu berpikir aku menceritakan tentang dia pada Bang Digo.
“Ada deh... urusan laki-laki. Jingga kecil tidak perlu tahu.” ucap Bang Digo sambil berdiri dan mengacak rambutku. Aku manyun, Bang Digo tertawa.
“Okelah Banyu, lain kali kalau ketemu kita ngobrol lagi.” ucap Bang Digo.
“Iya Bang.” ucap Banyu.
“Abang pergi dulu dengan Jingga kecil ini.” ucap Bang Digo sambil merangkul bahuku. Iss..terus panggil Jingga kecil. Banyu senyum dan mengangguk, dia ikutan berdiri.
“Jagain Jingga-ku ini ya Banyu..” ucap Bang Digo, ihh apaan Bang Digo ini... Aku menyikut Bang Digo. Aku menoleh pada Bang Digo
“Kenapa? Apa Abang salah? Di sekolahmu ini cuma Banyu cowok yang abang kenal Jadi Abang nitip kamu ya ke dia.” ucap Bang Digo.
“Ngapain juga nitip-nitip memang barang apa...” ucapku sewot, Bang Digo tertawa.
“Ban, ini yang Abang katakan Jingga itu tidak pendiam. Dia itu cerewet lo...” ucap Bang Digo, aku melirik Banyu yang tersenyum. Banyu banyak tersenyum saat bicara dengan Bang Digo, mereka sepertinya cocok.
“Ayo pergi...” ucapku tidak ingin Bang Digo terus mengodaku.
“Oke ya Ban, Abang tidak bercanda loh. Jagain Jingga, dia ini cengeng.” ucap Bang Digo.
“Iya Bang.” ucap Banyu. Aku cemberut menatap Bang Digo.
“Kami pergi ya Ban.” ucap Bang Digo.
“Iya Bang.” ucap Banyu.
“Pergi ya Ban.” ucapku pada Banyu, Banyu mengangguk. Lalu aku dan Bang Digo melangkah meninggalkan Banyu.
“Abang ini, Abang buat malu Jingga.” ucapku protes pada Bang Digo. Bang Digo tertawa, senang buatku kesal. Ah...perasaan yang sudah lama tak kurasakan.
Aku dan Bang Digo berencana pergi ke makam Bang Dega hari ini. Dan di sinilah kami di pemakaman Bang Dega. Aku menatap komplek pemakaman di depanku. Sejak hari itu aku tidak pernah kemari lagi... Aku tidak ingin mengakui bahwa di sinilah Bang Dega sekarang terbaring. Di bawah tanah yang dingin dan sepi. Bang Digo merangkul bahuku dan mengajakku memasuki komplek pemakaman di depan kami. Pemakaman ini terlihat rapi dan bersih, makam Bang Dega ada di tengah pemakaman ini. Aku dan Bang Digo berdiri di depan makam Bang Dega, ada bunga yang masih segar di atas makamnya. Mungkin ada yang baru berkunjung ke makam ini. Mungkin mama atau papa. Bang Digo bersimpuh di makam Bang Dega
“Dega... maaf baru menjengukmu. Aku...aku tidak ingin mengakui bahwa di sinilah kamu sekarang terbaring. Aku merindukanmu, sangat merindukanmu.” ucap Bang Digo, persis seperti apa yang ku rasakan.
“Aku tak kan bisa lagi dengar segala kekonyolanmu. Aku tidak akan punya teman petualangan sekeren kamu. Dega, maaf karena aku tidak menjaga Jingga kecil kita. Sehingga dia banyak mengalami kesulitan. Aku egois memikirkan diri sendiri. Aku membiarkannya sendiri menghadapi kesedihannya. Kenapa kamu yang pergi harusnya aku saja. Kamu pasti bisa menjaga Jingga dengan baik.” ucap Bang Digo mulai terisak, aku ikut bersimpuh di samping Bang Digo lalu memeluk Bang Digo.
“Jangan bicara begitu Bang.” ucapku sambil menangis. Bang Digo menangis.
“Dega... aku akan memperbaiki kesalahanku. Aku akan kembali menjaga Jingga kita yang cengeng ini.” ucap Bang Digo. Aku semakin memeluk erat Bang Digo.
“Dan aku juga akan sering berkunjung melihatmu, aku janji liburan akan datang akan pulang.” ucap Bang Digo lagi. Aku melepas pelukanku pada Bang Digo lalu menatap makam Bang Dega.
“Bang..., aku akan melepaskanmu. Aku berjanji akan baik-baik saja dan tidak akan bersedih lagi.” ucapku lagi di depan makam Bang Dega. Angin berhembus perlahan mempermainkan daun-daun pohon kamboja yang ada di sekitar pemakaman... Dedaunan menguning melayang jatuh di tanah pemakaman. Kami akan merelakanmu Bang Dega, Bukan melupakanmu...
*